The A-Team: Ardian, Imam, Andank, dan Mukhtar |
Dua minggu setelah lebaran aku kembali ke Jogja. Selain
membereskan beberapa barang yang harus dibawa pulang dan tidak, pertengahan
Agustus ini aku, Andank, Imam, dan Mukhtar berencana mendaki gunung Sumbing via
Kaliangkrik, Magelang. Awal puasa lalu ketika buka puasa bersama, kami
merencanakan pendakian ke Sumbing sebelum masing-masing dari kami sibuk dengan
urusan pekerjaan. Bisa dibilang pendakian ini adalah pendakian perpisahan
sebelum bulan September nanti Mukhtar ke Palembang untuk bekerja di salah satu
perusahaan farmasi, Imam kembali ke Tangerang, dan Aku mungkin bakal kembali ke
Medan. Hanya Andank yang masih di Jogja, atau kalau pulang pun hanya di Klaten.
Seminggu sebelum pendakian seperti biasa kami selalu kumpul
untuk mendata barang apa saja yang perlu dibawa dan berapa iuran yang
diperlukan, terutama untuk membeli bahan makan. Pendakian kali ini uang iuran
bakal lebih banyak dipakai untuk logistik karena perlengkapan Andank sudah
cukup lengkap, dan tenda bisa sewa di Jatropa Farmasi dengan separuh harga dari
tempat penyewaan. Tapi pendakian kali ini tidak ada ceweknya, 6 orang termasuk
adiknya Imam dan teman Mukhtar cowok semua. Biasanya ada Liong atau Vava yang
sering ikut mendaki bareng kami.
Sekarang mereka berdua lagi KKN. Jadi, ya kami aja, The A-Team.
Ya, The A-Team. Seperti dalam film The A Team yang
menceritakan satu Team militer yang dibentuk khusus dari beberapa divisi.
Mereka sangat kompak, saling melengkapi, dan mendukung sehingga jarang sekali
mereka gagal dalam misi. Begitu juga dengan pendakian, mencapai puncak bersama
adalah target kami, tetapi kembali ke rumah masing-masing dengan selamat dan
tanpa ada perasaan grundel adalah
misi yang harus kami selesaikan bersama.
Tidak mudah mencari teman mendaki yang pas. Lelah dan berat yang
ditanggung ditambah haus akan membongkar pertahanan sikap yang selama ini
ditahan. Ketika itulah setiap orang akan menunjukkan sikap dan sifat alaminya.
Dalam setiap tim pendaki, pasti ada satu atau dua orang yang
menyebalkan. Itu wajar. Di saat orang menunjukkan sikap atau sifat alaminya, di
sisi lain kita pun kehilangan sikap memaklumi yang tidak jarang mengundang
emosi, walaupun kebanyakan hanya dipendam dan memunculkan grundelan pasca pendakian. Kemudian pendakian selanjutnya akan
mencari orang lain untuk diajak mendaki.
Umumnya sih begitu, tapi kasus seperti
itu mungkin tidak semua orang mengalami. Yang jelas, mendapat teman
seperjalanan menuju puncak yang asyik itu kenikmatan yang luar biasa sekali.
Perjalanan menuju desa Kaliangkrik, Magelang tidak bisa
dibilang mudah lebih lagi ketika malam hari seperti ini. Meski jalanan sebagian
besar sudah aspal hitam, tapi tanjakan yang cukup terjal memaksa kami untuk
jalan kaki karena motor kami tidak kuat jika berboncengan. Jalanan sempit
berbatu dan menanjak ditambah udara dingin menanti ketika mendekati dusun
Butuh, desa Kaliangkrik, Magelang. Dusun Butuh merupakan dusun terakhir
sekaligus tertinggi di desa Kaliangkrik. Kepala dusun Butuh menyediakan
rumahnya sebagai basecamp bagi pendaki yang ingin mendaki gunung Sumbing via
Kaliangkrik. Beliau sangat ramah. Walau belum bertemu, tapi aku bisa menebaknya
dari banyaknya camilan, kopi sachet, dan dua termos air panas yang sengaja
disuguhkan untuk pendaki yang singgah ke rumahnya.
****
sudah tidak ada pohon cemara di kanan kiri jalur menuju puncak gunung, semua berubah menjadi sayur mayur dok. Andank |
Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali...
Kiri kanan kulihat
saja banyak sayur-sayuran.....
Mungkin lirik lagu anak-anak itu lebih tepat kalau liriknya
seperti itu. Hampir 2 km ke atas desa yang terhampar berhektar-hektar lahan
perkebunan sayur milik warga. Hanya sebagian kecil pohon cemara di badan
gunung, itu pun dengan ranting-ranting yang sudah gundul. Masyarakat lokal
memotong ranting-ranting pohon dan mengambilnya untuk kayu bakar. Pohon yang
rantingnya telah gundul lama-kelamaan akan mati dengan sendirinya, baru
kemudian batang besar itu ditebang. Mungkin seperti itu cara mereka membuka
lahan dan menggunduli secara perlahan. Aku tidak tau, hanya asumsi pribadi
tanpa dasar yang kuat. Yang jelas, banyak gunung-gunung di Indonesia yang
hutannya telah gundul dan diganti dengan berhektar-hektar lahan sayuran dan
buah. Kebanyakan mereka tidak sadar dengan bahaya longsor dan erosi yang bisa
terjadi akibat pengalihan hutan menjadi lahan sayur seperti ini. Jika sudah
menyangkut soal perut, seakan semua menjadi halal untuk dilakukan. Karena tidak
punya solusi yang pas, akhirnya orang lain pun memaklumi.
Jalur Kaliangkrik bagi para pendaki gunung Sumbing belum
terlalu terkenal. Sebagian besar menggunakan jalur Kledung jika ingin mendaki
Sumbing. Menurut temanku, ada plus minus dari dua jalur ini. Dari segi jarak, jalur
Kledung memang lebih pendek namun lebih curam dan harus membawa air ekstra
karena tidak ada satupun sumber air. Sedangkan jalur Kaliangkrik lebih panjang
karena mengambil jalur memutari punggung gunung. Namun, poin plusnya pendakian
terasa ringan sekaligus banyaknya aliran sungai sehingga sedikit meringankan
bawaan air. Seperti yang kami lakukan, cukup membawa jerigen kosong dari bawah
dan mengisinya ketika tiba di sungai terakhir. Kebetulan sungai terakhir yang
paling besar dan posisinya sudah cukup dekat dengan pos pohon tunggal; tempat
yang biasanya digunangan untuk mendirikan tenda. Kurang lebih ada 11 aliran
sungai, dan yang terbesar alirannya adalah yang terakhir.
Meski memutar, view yang disajikan sepanjang perjalanan juga
cukup membuat decak kagum. Hamparan kota Magelang terlihat dengan latar
belakang Merapi dan Merbabu yang terlihat gagah. Beberapa kali kami
beristirahat lama karena tertegun dengan hembusan angin dan pemandangan yang
menakjubkan di depan kami. Bagiku, ini salah satu jalur pendakian dengan
pemandangan yang luar biasa. Namun, kami tetap harus selalu waspada dan
hati-hati karena kami berjalan di punggung gunung, jika tidak waspada bisa-bisa
kami terperosok dan jatuh ke jurang.
cukup ambil foto, cukup tinggalkan jejak, dan cukup membunuh waktu. dok. Imam |
Di sungai terakhir, jerigen yang kami bawa diisi penuh untuk
persediaan hingga esok. Sudah lewat tengah hari, matahari masih cukup terik.
Andank yang lusa wisuda memakai lotion sun block, agar tetap ganteng sewaktu
wisuda katanya. Imam dan Mukhtar juga. Aku mengejek mereka karena ketika foto wajah
mereka terlalu putih seperti banci, tapi akhirnya aku harus menanggung perih
dan kulit mengelupas di wajah karena terbakar matahari beberapa hari pasca
pendakian.
Untuk kesekian kalinya aku merasa heran dengan sikap
orang-orang yang menuliskan nama-nama mereka, geng atau apalah di atas batu dan
pohon di sekitar jalur pendakian. Hampir semua gunung yang pernah kudaki, pasti
menemukan coret-coretan seperti itu, termasuk di bebatuan sungai ini. Apa
seperti ini yang dinamakan pecinta alam? Pasti bukan, karena orang yang
mencintai tidak akan merusak apa yang ia cintai. Mereka yang melakukan
vandalism di gunung pasti hanyalah oknum yang mengaku-aku sebagai pecinta alam,
padahal bukan. Mereka hanya ikut-ikutan, kemudian merusak. Sebenarnya tidak ada
salahnya ikut-ikutan mendaki gunung, karena aku pun hanya ikut-ikutan, bukan
dari organisasi pecinta alam. Namun, tidak peduli dari organisasi pecinta alam
atau bukan, usaha menjaga alam harus dilakukan, minimal tidak membuat sampah di
gunung, vandalism, dan sebagainya.
Andank lusa wisuda mengabadikan momen kelulusannya di puncak sumbing, 17 08 2014 |
Ada sesuatu yang tidak kalah menakjubkan ketika sore hari.
Kami sudah tiba di pos pohon tunggal dan tenda sudah berdiri tegak di atas
permukaan tanah yang miring. Tidak ada lokasi yang datar di sekitar pos pohon
tunggal. Angin bertiup sangat kencang ditambah lokasi terbuka tanpa pepohonan
membuat kami sedikit khawatir dengan tenda kami, semoga saja bisa bertahan. Matahari
perlahan turun di belakang gunung Sumbing membuat bayangan segitiga raksasa
yang jatuh di atas kota Magelang. Semakin sore, bayangan itu semakin bertambah
besar hingga ke hingga ke gunung Merbabu dan Merapi. Sayang kami berada di sisi
timur Sumbing, mungkin di bagian baratnya senja terlihat sangat menakjubkan.
Meski begitu, segitiga raksasa ini adalah pemandangan yang tidak biasa buatku.
Menjelang gelap, angin semakin kencang. Meski sudah
windstoper, jaket tebalku tidak mampu menahan udara dingin yang bertiup di
sini. Lebih baik masuk ke dalam tenda sembari menikmati kopi hangat bersama
yang lain. Tenda kapasitas enam orang yang kami bawa benar-benar pas sekali
untuk kami berenam, sampai-sampai kami susah bergerak saking pas-nya. Semua
tidur dalam posisi badan lurus laiknya ikan kalengan. Sesekali posisi badan
melorot karena permukaan tanah yang tidak rata, sehingga konsentrasi tidur kami
terbagi antara tidur dan menahan badan. Yah, bisa kalian bayangkan sendirilah
bagaimana nikmatnya tidur di dalam tenda di pos pohon tunggal gunung Sumbing.
Dingin yang menembus kulit membuat kami aras-arasen untuk summit attack keesokan paginya. Padahal
hanya beberapa meter lagi, mungkin tidak sampai sejam dengan ritme normal kami
sudah sampai di puncak watu lawang. Sumbing memiliki beberapa puncak, watu
lawang adalah salah satunya. Dari sisi timur juga terdapat jalan menurun menuju
kawah gunung Sumbing. Ada beberapa pendaki yang mendirikan tenda dan bermalam
di bawah. Mungkin di bawah angin tidak terlalu kencang karena terhalang dinding
kaldera Sumbing.
Meski hari ini adalah 17 agustus, tapi kurang dari 10
rombongan pendaki yang naik ke Sumbing menggunakan jalur Kaliangkrik. Mungkin
lebih banyak pendaki melalui jalur Kledung. Saat ini mendaki gunung sudah
menjadi lifestyle banyak mahasiswa,
terlebih lagi pada 17 agustus seperti ini. Gunung Merapi, Merbabu, Prau di
Wonosobo, Lawu di Karanganyar penuh dengan pendaki-pendaki yang ingin
memperingati hari kemerdekaan di puncak gunung. Begitu juga dengan
gunung-gunung lain di Indonesia. Namun sayang, sebagian besar dari mereka hanya
ikut-ikutan tanpa dibarengi pengetahuan dan kesadaran tentang kecintaan
terhadap alam sehingga pasca pendakian masal memperingati hari kemerdekaan
didapati ratusan sampah di sepanjang jalur pendakian hingga puncak. Bahkan
ketika sampai di rumah keesokan harinya aku membaca berita bahwa terjadi
kebakaran di antara pos 4 dan 5 pendakian gunung Lawu. Penyebabnya sudah pasti
akibat pendaki yang teledor membakar sampah dan ditinggal tidur sehingga api
menyebar menyambar ranting-ranting kering. Selama beberapa hari puluhan pendaki
terjebak di atas gunung (sumber).
Sudah banyak himbauan dan kritik agar tidak menjadikan
gunung sebagai tempat sampah. Banyak yang menanggapi, namun lebih banyak lagi
yang masa bodo dan tetap mengotori gunung dengan beragam sampah yang ia bawa.
Banyak orang yang menganggap demam mendaki gunung dimulai pasca boomingnya film
5 cm yang menceritakan sekelompok anak muda kota
yang mengadakan reuni di gunung Semeru. Sejak saat itu, gunung Semeru tidak ada
habis-habisnya dikunjungi banyak pendaki pemula yang hanya bermodal ransel,
jaket baseball, sepatu kets dan mie instan sebagai logistik utama. Mereka
mengganggap mendaki gunung sama seperti pergi ke pantai. Mereka tidak peduli
dengan faktor keselamatan yang sangat penting untuk diperhatikan ketika mendaki
gunung. Kegiatan mendaki gunung termasuk olahraga ekstrem, ada banyak hal yang
perlu diperhatikan untuk meminimalisir keselamatan. Selain perlengkapan, skill,
rencana, dan pengetahuan juga menjadi faktor yang harus diperhatikan nyaman
selama pendakian.
Tengah hari kami turun dengan santai. Di pos dua kami
berhenti untuk makan siang. Logistik kami masih melimpah karena semalam cuaca
terlalu dingin sehingga kami memutuskan untuk tidur saja. Beberapa butir telur
dan beras kami berikan kepada sekelompokk pendaki yang kebetulan juga istirahat
di pos 2. Salah satu hal yang paling menyenangkan dari kegiatan pendakian
adalah rasa persaudaraan antar sesama pendaki. Tidak perlu makanan mewah,
segelas kopi hangat dinikmati bersama sudah sangat berarti sebagai pengikat
persaudaraan.
Dan, akhirnya, pendakian pun diakhiri dengan makan malam
bersama tongseng kambing di jalan Muntilan. Semoga masih ada kesempatan untuk
mendaki bersama di gunung Kerinci beberapa tahun lagi.
Beberapa momen yang sempat terabadikan selama pendakian Sumbing
Jalur pendakian yang menyusuri punggung gunung Sumbing dok. Andank |
Jalur pendakian dok. Andank |
Puncak dan kaldera Sumbing dok. Ardian |
Kaldera Sumbing dok. Ardian |
Istirahat di tengah perjalanan sembari menikmati pemandangan Merapi merbabu dok. Ardian |
Menyiapkan air untuk bekal di atas dok. Ardian |
Bayangan Sumbing ketika sore dok. Ardian |
golden Sunrise dok. Ardian |
Golden sunrise dok. Ardian |
Golden Sunrise dok. Ardian |
Pakai sunblock untuk persiapan wisuda dok. ardian |
Tanaman sayur di kanan kiri jalur pendakian menuju Sumbing dok. Andank |
Golden Sunrise di pos Pohon Tunggal dok. Ardian |
Ini foto yang paling aku suka. dok. temennya Mukhtar. |
mas, untuk ke sumbing via kaliangkrik dari jakarta naik apa ya ? kereta atau bus, dan turun dimana ?
BalasHapus