Hampir tiga Minggu pertama di Halmahera Barat aku lebih
banyak melakukan perjalanan ke daerah bakau. Sekarang kami tiba di desa
Marimabati.
Selama di Marimabati aku tidak banyak
melakukan penelusuran karena aku harus merawat tanganku seusai “operasi”
kemarin. Pascaoperasi tanganku semakin membengkak. Kalau tidak minum asam
mefenamat, mungkin aku tidak bisa tidur. Kuganti perban lukanya setiap pagi dan
sore selepas mandi, biasanya dibantu Darumas. Kadang sebelum diperban, di
sekitaran luka kupencet biar nanahnya atau mata bisulnya bisa cepat keluar, dan
otomatis lebih cepat sembuh. Kadang juga aku memencetnya ketika mandi di air
panas yang ada di desa Marimabati, ketika di dalam air panas rasanya jadi
geli-geli sedap. Ah, sudahlah. Aku tidak akan menceritakan lebih detail tentang
lukanya, takutnya kalian bantalan jijik membayangkannya.
Warga Marimabati mandi di air panas dok. Ardian |
Di desa Marimabati dan Gamtala ada sumber
air panas alami. Setiap pagi dan sore aku, bang Irwandi, bang Hery dan pak
Bakrie Eli, kepada desa Marimabati sering mandi di air panas tersebut. Dulunya
tempat ini kumuh, penuh lumpur dan kotor. Atas inisiatif pak kades, sumber air
panas itu menjadi tempat pemandian umum yang dapat dimanfaatkan warga desa
untuk mandi atau mencuci. Tidak hanya berinisiatif, pak Bakrie juga mendanai
sendiri sumber air panas tersebut. Dibantu warga desa, dibuatkan pembatas agar
air dari rawa tidak tercampur. Walaupun belum sempurna, tetapi tempat itu
sekarang sudah cukup nyaman. Airnya jernih, hangatnya pas, enak sekali dipakai
berendam berlama-lama. Kami sering berlama-lama berendam di sana.
Pernah ada kejadian menarik ketika kami tinggal beberapa
hari di desa Marimabati. Malam itu memang agak gerah, aku dan Darumas duduk di
luar rumah sambil nonton film. Tiba-tiba ada suara teriakan perempuan dari
rumah-rumah di belakang SD. Sontak kami berdua kaget. Belum habis rasa kaget
kami, teriakan kembali terdengar berulang-ulang. Kali ini diikuti derap langkah
seperti orang berlari. Tidak lama kemudian, beberapa orang berlarian dari
belakang SD Marimabati. Salah satu di antara mereka adalah seorang perempuan
muda, dengan rambut tergerai sambil berteriak-teriak. Bu Kades kemudian keluar
dan menghampiri kerumunan itu. Orang-orang yang berlarian tadi memegangi
perempuan yang berteriak, dan membawanya ke rumah-rumah di belakang SD. Ketika
di bawa, perempuan itu masih berteriak-teriak.
Melihat kejadian itu, bulu kuduk kami jadi merinding.
Akhirnya kami masuk ke dalam rumah. Hingga beberapa menit kemudian, perempuan
itu masih berteriak-teriak. Tidak lama, bu Kades datang dan bercerita kalau
perempuan itu kesurupan di jalanan sepi dekat bambu-bambu, makanya dia berteriak-teriak
terus dari tadi. Katanya tadi dia dan teman-temannya boncengan beberapa motor
dari Jailolo. Ketika pulang dan melewati jalanan bambu-bambu itu dia mulai
kesurupan. Tetapi sekarang sudah ditangani oleh kiai setempat.
Desa Marimabati memang jauh dari kota Jailolo. Jalanan masuk
menuju desa agak jauh dan sepi, walaupun sebagian besarnya jalannya sudah aspal
hitam. Ada beberapa tempat di sepanjang jalan menuju desa yang gelap dan sepi,
bahkan angker menurut warga setempat. Salah satunya tempat yang terdapat pohon
bambu di pinggiran jalan. Tempat itu memang sepi, gelap pula. Sering orang
melihat sosok-sosok penampakan, atau bahkan kesurupan di tempat itu.
Aku baru sadar kalau malam itu adalah malam umat. Pantas
saja bulu kudukku semakin berdiri....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar