Jumat, 08 Agustus 2014

#CatatanHalbar 9 : Marimabati


Hampir tiga Minggu pertama di Halmahera Barat aku lebih banyak melakukan perjalanan ke daerah bakau. Sekarang kami tiba di desa Marimabati.

Selama di Marimabati aku tidak banyak melakukan penelusuran karena aku harus merawat tanganku seusai “operasi” kemarin. Pascaoperasi tanganku semakin membengkak. Kalau tidak minum asam mefenamat, mungkin aku tidak bisa tidur. Kuganti perban lukanya setiap pagi dan sore selepas mandi, biasanya dibantu Darumas. Kadang sebelum diperban, di sekitaran luka kupencet biar nanahnya atau mata bisulnya bisa cepat keluar, dan otomatis lebih cepat sembuh. Kadang juga aku memencetnya ketika mandi di air panas yang ada di desa Marimabati, ketika di dalam air panas rasanya jadi geli-geli sedap. Ah, sudahlah. Aku tidak akan menceritakan lebih detail tentang lukanya, takutnya kalian bantalan jijik membayangkannya.

Warga Marimabati mandi di air panas
dok. Ardian 


Di desa Marimabati dan Gamtala ada sumber air panas alami. Setiap pagi dan sore aku, bang Irwandi, bang Hery dan pak Bakrie Eli, kepada desa Marimabati sering mandi di air panas tersebut. Dulunya tempat ini kumuh, penuh lumpur dan kotor. Atas inisiatif pak kades, sumber air panas itu menjadi tempat pemandian umum yang dapat dimanfaatkan warga desa untuk mandi atau mencuci. Tidak hanya berinisiatif, pak Bakrie juga mendanai sendiri sumber air panas tersebut. Dibantu warga desa, dibuatkan pembatas agar air dari rawa tidak tercampur. Walaupun belum sempurna, tetapi tempat itu sekarang sudah cukup nyaman. Airnya jernih, hangatnya pas, enak sekali dipakai berendam berlama-lama. Kami sering berlama-lama berendam di sana.

Pernah ada kejadian menarik ketika kami tinggal beberapa hari di desa Marimabati. Malam itu memang agak gerah, aku dan Darumas duduk di luar rumah sambil nonton film. Tiba-tiba ada suara teriakan perempuan dari rumah-rumah di belakang SD. Sontak kami berdua kaget. Belum habis rasa kaget kami, teriakan kembali terdengar berulang-ulang. Kali ini diikuti derap langkah seperti orang berlari. Tidak lama kemudian, beberapa orang berlarian dari belakang SD Marimabati. Salah satu di antara mereka adalah seorang perempuan muda, dengan rambut tergerai sambil berteriak-teriak. Bu Kades kemudian keluar dan menghampiri kerumunan itu. Orang-orang yang berlarian tadi memegangi perempuan yang berteriak, dan membawanya ke rumah-rumah di belakang SD. Ketika di bawa, perempuan itu masih berteriak-teriak.

Melihat kejadian itu, bulu kuduk kami jadi merinding. Akhirnya kami masuk ke dalam rumah. Hingga beberapa menit kemudian, perempuan itu masih berteriak-teriak. Tidak lama, bu Kades datang dan bercerita kalau perempuan itu kesurupan di jalanan sepi dekat bambu-bambu, makanya dia berteriak-teriak terus dari tadi. Katanya tadi dia dan teman-temannya boncengan beberapa motor dari Jailolo. Ketika pulang dan melewati jalanan bambu-bambu itu dia mulai kesurupan. Tetapi sekarang sudah ditangani oleh kiai setempat.
Desa Marimabati memang jauh dari kota Jailolo. Jalanan masuk menuju desa agak jauh dan sepi, walaupun sebagian besarnya jalannya sudah aspal hitam. Ada beberapa tempat di sepanjang jalan menuju desa yang gelap dan sepi, bahkan angker menurut warga setempat. Salah satunya tempat yang terdapat pohon bambu di pinggiran jalan. Tempat itu memang sepi, gelap pula. Sering orang melihat sosok-sosok penampakan, atau bahkan kesurupan di tempat itu.


Aku baru sadar kalau malam itu adalah malam umat. Pantas saja bulu kudukku semakin berdiri....  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman