Jumat, 08 Agustus 2014

#CatananHalbar 10 : Mengintip Si Cantik Bidadari



Menyusuri sungai Gigisoro untuk sampai ke tempat pengamatan
dok. Darumas

Awal april minggu pertama kemarin, tim kami menuju ke tempat konservasi burung Bidadari Halmahera (Semioptera wallacei), salah satu burung langka dan endemik pulau Halmahera di Sidangoli. Perjalanan sekitar dua jam menggunakan mobil 4x4 bak terbuka milik pabrik tambang dengan kecepatan rata-rata 60-80 km/jam. Jalanan berkelok naik turun. Ketika turunan sopir sengaja menekan gas agar memudahkan ketika melalui tanjakan. Kebetulan aku berdiri di bagian bak belakang, angin terasa kencang dari laju mobil meluncur dengan cepat. Wajahku serasa di pijat angin.

Di pertigaan Sidangoli, mobil berbelok ke kiri menempu jalanan lurus naik turun sejauh kurang lebih 10 km menuju bukit Gigisoro, tempat konservasi burung Bidadari. Sebuah gapura setingga 5 meter bertuliskan “Pusat Pengamatan Burung Bidadari Halmahera” menyambut kami. Jalanan aspal berganti jalanan sempit berbatu dan potongan aspal yang hanya tersisa sebagian kecil. Kanan kiri jalan berupa tebing dan jurang yang ditumbuhi semak dan pohon-pohon besar dan kecil. Anggrek tanah tumbuh dengan bunganya yang berwarna ungu memberi variasi warna di antara hijau dedaunan. Sesekali jalanan menurun terjal, kemudian berganti tanjakan tinggi. Kami harus berpegang kuat pada besi bak mobil jika tidak ingin terlempar.

Setelah 8 km perjalanan melalui jalan berbatu, kami tiba di tempat pemberhentian. Setelah ini perjalanan dilanjutkan berjalan kaki sejauh 5 km jalan setapak naik turun dan menyeberangi dua sungai. Jika hujan biasanya perjalanan akan banyak terhambat karena jalanan yang becek dan licin, juga sungai yang meluap sehingga membahayakan jika dipaksa untuk diseberangi. Sungainya tidak terlalu luas, hanya 7 meter luasnya, dangkal pula. Namun, arusnya deras ditambah bebatuan besar dan licin bisa membuat siapa saja terjerembab ke air jika tidak berhati-hati. Aku dan Rusli sempat terjatuh karena menginjak batu yang licin ketika menyeberangi sungai pertama.



Kehujanan. Istirahat dulu di gubug pinggir sungai Gigisoro
dok. Irwandi
Hujan deras turun. Beruntung kami kami tengah beristirahat di sebuah gubug di seberang sungai kedua. Mie instan rebus, teh panas dan potongan nanas menjadi santapan penghangat badan seraya menunggu hujan reda. Orang bilang, jika di hutan rasa semua makanan cuma dua, enak dan enak sekali. Mie rebus, teh dan nanas termasuk yang enak sekali.

Hampir satu jam kami menunggu. Jam menunjukkan pukul 15.15 waktu Indonesia Timur. Hujan masih turun dengan derasnya. Pos pengamatan burung bidadari masih satu jam lagi dari sini. Sepertinya belum ada tanda-tanda hujan akan reda dalam waktu dekat. Daripada kemalaman di jalan, lebih baik kami menerobos hujan agar segera sampai di pos pengamatan dan beristirahat. Hanya satu jam, tidak terlalu lama. Berjalan di tengah hujan deras juga bukan hal buruk, dan itu adalah pengalaman yang sangar seru. Serius! Bagi yang belum pernah, kalian harus mencobanya. Seperti bermain di bawah hujan bersama teman-teman ketika kita kecil. Hanya saja kali ini di hutan, dan langit sudah semakin gelap oleh mendung. Pohon-pohon besar seperti raksasa yang berdiri tegak seraya mengawasi setiap apa saja yang ada di hutan, dan kita seperti berjalan di antara kaki-kaki mereka. Tetapi ingat, pastikan tas kalian sudah dipacking dengan benar agar pakaian dan logistik yang dibawa di dalam tas tidak basah.

Jalanan menanjak dan becek. Batu dan akar menjadi pijakan untuk mencapai permukaan yang lebih tinggi. Semak setinggi pinggang terbelah menjadi jalan setapak untuk kami lewati. Satu-dua pohon besar seukuran pelukan orang dewasa tumbang dan menghalangi jalan. Kami harus berjalan sedikit memutar untuk melewati pohon tersebut.

Pepohonan rimbun hutan Gigisoro
dok. Ardian

Aku berada di tengah-tengah ternyata. Empat orang di depanku tadi sudah tidak terlihat. Begitu juga dengan 3 orang sisanya yang tadi di belakangku. Kami berdelapan, empat orang teman satu timku, pak Sri dan pak Ama dari dinas kehutanan Jailolo dan sisanya, yakni pak Demianus dan pak Medes penduduk setempat yang mendampingi kami. Oya, pak Demianus adalah salah satu penjaga kawasan konservasi burung Bidadari. Pengalaman pak Demianus di bidang burung atau ornitologi tidak bisa disepelekan. Bagi penduduk Sidangoli, pak Demianus dikenal sebagai guide bagi peneliti dalam maupun luar negeri yang ingin meneliti tentang berbagai spesies burung di pulau Halmahera. Namun, bagi para peneliti tersebut, pak Demianus adalah seorang ilmuwan di bidang ornitologi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Beliau sudah menguasai 130 spesies burung di Maluku dan Maluku Utara. Aku udah membuat catatan khusus tentang pak Demianus Maghali, kalian bisa membuka langsung untuk mencari tau. Memang tidak terlalu lengkap sih, tetapi cukup lah untuk sekedar mengetahui tentang sosok belau yang, menurutku, sangat luar biasa dan patut dicontoh.

Aku menunggu rombongan belakang dengan duduk di sebuah akar pohon besar. Sambil bersandar pada tas, kepala sengaja kutengadahkan ke atas. Ranting-ranting dan dedaunan memayungiku di ketinggian. Tetes-tetes hujan memijat lembut permukaan wajahku. Aku merasakan kesegaran yang perlahan merambat merasuk ke seluruh tubuhku. Tak terasa aku tertidur di bawah pohon besar tersebut hingga suara kresek langkah kaki menyapu dedaunan kering membuatku terjaga. Bang Irwandi, Darumas, dan Rusli sudah berada di dekat tempatku tertidur. Entah berapa lama aku tertidur di bawah pohon itu. Aku bangkit dan melanjutkan perjalanan bersama mereka. Kurasakan tidurku tadi cukup nyenyak.

Sekitar 500 meter berjalan dari tempatku tertidur tadi, kami tiba di pos pengamatan. Pos itu cukup besar, berukuran 15x3. Lantainya terbuat dari papan dan atapnya dari daun palem kering yang disusun rapat. Tiap siku pada tiang penyangga diikat menggunakan tali rotan kecil. Ada bangku panjang di bagian teras gubug. Ada dapur dan peralatan memasak juga. Jangan dibayangkan dapur mebel dengan kompor gas yang menyala biru dan peralatan masak stainless steel. Di sini hutan, pastinya dapur dan perasalatannya juga sangat sederhana, hanya sekedar untuk memasak nasi, sayur dan air untuk menghangatkan diri. Tempat ini sering dikunjungi, setidaknya dua minggu sekali pak Rudi, pak Ama dan pak Demianus untuk mengamati hewan-hewan yang ada di sekitar hutan atau pun sekedar melepas penat oleh kesibukan pekerjaan.

Tempat ini belum lama dibangun, mungkin baru sekitar 2-3 bulan. Pak Rudi, pak Ama dan pak Demianus yang membuatnya, kerena mereka bertiga memang suka dan sering tinggal di sini. Selain itu, untuk menyambut Festival Teluk Jailolo (FTJ) ke-IV yang akan dilaksanakan pertengahan Mei nanti. Salah satu kegiatan dari FTJ ke-IV ini adalah Ekspedisi Burung Bidadari. Akan ada ratusan orang yang akan datang ke sini untuk melihat burung endemik pulau Halmahera tersebut di habitat aslinya. Beberapa dari mereka mungkin juga akan menginap. Pada saat Ekspedisi nanti, akan dibangun tenda besar untuk pada tamu karena gubug itu tidak mungkin bisa menampung semuanya yang hadir dan menginap di sini.

Di dapur sudah ada panci, wajan, dan juga piring. Pak Medes mengeluarkan logistik dan menjajarkan di dipan. Setelah dijajarkan ternyata logistik kami cukup banyak. Dipan berukuran 1x2 itu telah penuh separoh oleh logistik yang kami bawa. Tidak banyak sebenarnya, hanya beras 10 kg, mie instan satu kardus, sarden 10 kaleng sedang, biskuit, minyak goreng, kopi, gula, dsb. Semua itu persediaan logistik untuk 8 orang selama 4 hari.

Pak Medes menyiapkan makanan
Dok. Ardian

Hujan sudah reda. Matahari sudah bergulir ke barat. Cahayanya menyelusup di antara dedaunan hijau memberi sedikit kehangatan sebelum gelap mendekap kami di dalam hutan gunung Gigisoro. Syukurlah pakaianku tidak ada yang basah. Setelah berganti pakaian, kami menghangatkan badan dengan secangkir kopi hitam panas. Pak Medes dan bang Irwandi memasak nasi dan mie goreng sarden.

Selesai makan, langit sudah gelap. Kami beristirahat. Lelah dan dingin membuat kami cepat terlelap. Esok pagi-pagi kami harus bangun untuk menyaksikan aksi burung-burung endemik itu bermain dan mencari udang di sungai.
***

Jam 6 pagi kami berjalan menuju tempat pengamatan yang jaraknya sekitar 500 meter dari gubug tempat kami beristirahat. Menurut pak Demianus sebenarnya kami telat, seharusnya untuk melakukan pengamatan burung Bidadari minimal jam setengah enam pagi sudah berangkat. Jarak dari gubug ke tempat pengamatan memang tidak terlalu jauh, tetapi harusnya sebelum waktunya mereka bermain, kita sudah berada di sana agar kita bisa melihat keseluruhan aktivitas mereka.

Burung Bidadari biasanya bermain mulai jam 6 – 8 pagi. Pada jam tersebut, sekelompok burung Bidadari akan datang ke tempat yang biasa menjadi tempat bermainnya. Biasanya diawali oleh satu burung jantan, kemudian ia akan berkoak memanggil kawanannya yang lain. Mereka akan bertengger pada ranting-ranting pohon dan melakukan berbagai atraksi, mulai berlompatan dari satu dahan ke dahan lain, berkoak-koak, terbang ke atas kemudian turun lagi. Menurut pak Demianus, biasanya tiap satu pohon hanya ditempati satu burung jantan. Ranting itu menjadi kekuasaannya. Jika ada jantan lain yang datang, ia akan mengusirnya. Ada catatan sedikit nih tentang burung Bidadari Halmahera jika ingin menambah pengetahuan tentang makhluk endemik pulau Halmahera tersebut.

Hampir setengah tujuh kami tiba di tempat pengamatan. Pak Demianus langsung menyuruh dua orang dari kami untuk naik ke menara pengamatan. Aku dan bang Irwandi langsung mengajukan diri. Menara pengamatan tersebut dibuat dari ranting-ranting pohon dan dipaku di antara dua pohon besar. Tingginya sekitar 15 meter dengan bagian atas berupa susunan ranting sebagai pijakan yang cukup untuk 2-3 orang. Saat kami kesana, usia menara itu sudah setahun, hampir seluruh bagiannya lapuk sehingga butuh ekstra hati-hati dan waspada. Aku aja sempet deg-degan sewaktu berada di atas. Ada satu ranting sebesar lengan yang dipalangkan dan digunakan sebagai pegangan ketika berdiri. Mulanya aku kira kayu itu cukup kuat buat pegangan nanti terjadi apa-apa dengan kayu yang kupijak, tetapi setelah aku amati ternyata kayu itu sama lapuknya dengan yang lain. Akhirnya aku hanya berdoa semoga Allah memberi keselamatan dengan menguatkan kayu-kayu itu atau meringankan tubuhku.

Ketakutanku terhadap kondisi menara kayu itu sekejap sirna ketika seekor burung Bidadari hinggap dan bermain pada sebuah ranting pohon yang berada tepat di atasku. Langit masih agak gelap, matahari masih belum naik cukup tinggi sehingga aku bisa menyaksikan keindahan burung Bidadari itu secara utuh. Namun, atraksi burung tersebut ketika melompat dari satu dahan ke dahan lain, terbang tinggi kemudian terbang ke atas dan mendarat dengan sayap terbuka sangat mengagumkan. Sesekali ia berlenggok mengibaskan sayap dan bulu berwarna hijau seperti sayap yang ada di dadanya. Bulu putih seperti antena di kedua sayapnya berdiri tegak ketika ia memainkan sayap dan berlenggak-lenggok. Cahaya matahari yang sudah mulai tinggi membuat bulu hijau di bagian dadanya terlihat mengkilap. Burung itu memang sangat menawan, sangat pantas menyandang nama Bidadari.

Burung Bidadari saat bermain
dok. Ardian

Semioptera wallacei
dok. Ardian
Burung bidadari halmahera jantan
dok. Ardian

Kamera kuarahkan ke burung tersebut berharap dapat mengabadikan makhluk cantik itu ke dalam sebuah foto. Namun, tidak banyak yang berhasil. Di tengah kondisi cahaya yang masih gelap, peralatan minim dan gerakannya yang lincah, sulit untuk mendapatkan foto yang bagus. Aku harus banyak bersabar menunggu momen yang tepat agar dapat menangkap hasil yang baik. Kemampuan fotografiku memang sangat minim, tetapi tidak membuatku putus asa. Bermodal Canon 1100D dan lensa Canon 55-250mm tanpa menggunakan tripod, aku mendapat beberapa foto dengan kualitas, hmmm parah. Yah, setidaknya sudah mencoba. Bagi yang ingin memotret burung Bidadari Halmahera harap membawa perlengkapan fotografi yang memadai, lensa tele, tripod, flash, dan pengalaman.

Sudah hampir jam delapan pagi. Matahari sudah semakin naik. Satu persatu burun bidadari meninggalkan pohon-pohon tempat mereka bermain dan terbang menuju tempat mereka mencari makan. Sore nanti mereka baru akan kembali. Aku dan bang Irwandi turun dengan bergantian agar anak-anak tangga menara kayu itu tetap aman menuntun kami hingga menjejakkan kaki di tanah.

Pengamatan burung Bidadari sementara selesai untuk hari ini. Kami akan pulang ke gubug untuk sarapan pagi sebelum melanjutkan perjalanan ke habitat kelelawar dan mencari udang di sungai Gigisoro.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman