Menyusuri sungai Gigisoro untuk sampai ke tempat pengamatan dok. Darumas |
Awal april minggu pertama kemarin, tim kami menuju
ke tempat konservasi burung Bidadari Halmahera (Semioptera wallacei), salah satu burung langka dan endemik pulau
Halmahera di Sidangoli. Perjalanan sekitar dua jam menggunakan mobil 4x4 bak
terbuka milik pabrik tambang dengan kecepatan rata-rata 60-80 km/jam. Jalanan
berkelok naik turun. Ketika turunan sopir sengaja menekan gas agar memudahkan
ketika melalui tanjakan. Kebetulan aku berdiri di bagian bak belakang, angin
terasa kencang dari laju mobil meluncur dengan cepat. Wajahku serasa di pijat
angin.
Di pertigaan Sidangoli, mobil berbelok ke kiri
menempu jalanan lurus naik turun sejauh kurang lebih 10 km menuju bukit
Gigisoro, tempat konservasi burung Bidadari. Sebuah gapura setingga 5 meter
bertuliskan “Pusat Pengamatan Burung Bidadari Halmahera” menyambut kami.
Jalanan aspal berganti jalanan sempit berbatu dan potongan aspal yang hanya
tersisa sebagian kecil. Kanan kiri jalan berupa tebing dan jurang yang
ditumbuhi semak dan pohon-pohon besar dan kecil. Anggrek tanah tumbuh dengan
bunganya yang berwarna ungu memberi variasi warna di antara hijau dedaunan. Sesekali
jalanan menurun terjal, kemudian berganti tanjakan tinggi. Kami harus berpegang
kuat pada besi bak mobil jika tidak ingin terlempar.
Setelah 8 km perjalanan melalui jalan berbatu,
kami tiba di tempat pemberhentian. Setelah ini perjalanan dilanjutkan berjalan
kaki sejauh 5 km jalan setapak naik turun dan menyeberangi dua sungai. Jika
hujan biasanya perjalanan akan banyak terhambat karena jalanan yang becek dan
licin, juga sungai yang meluap sehingga membahayakan jika dipaksa untuk
diseberangi. Sungainya tidak terlalu luas, hanya 7 meter luasnya, dangkal pula.
Namun, arusnya deras ditambah bebatuan besar dan licin bisa membuat siapa saja
terjerembab ke air jika tidak berhati-hati. Aku dan Rusli sempat terjatuh
karena menginjak batu yang licin ketika menyeberangi sungai pertama.
Kehujanan. Istirahat dulu di gubug pinggir sungai Gigisoro dok. Irwandi |
Hujan deras turun. Beruntung kami kami tengah
beristirahat di sebuah gubug di seberang sungai kedua. Mie instan rebus, teh
panas dan potongan nanas menjadi santapan penghangat badan seraya menunggu
hujan reda. Orang bilang, jika di hutan rasa semua makanan cuma dua, enak dan
enak sekali. Mie rebus, teh dan nanas termasuk yang enak sekali.
Hampir satu jam kami menunggu. Jam menunjukkan
pukul 15.15 waktu Indonesia Timur. Hujan masih turun dengan derasnya. Pos
pengamatan burung bidadari masih satu jam lagi dari sini. Sepertinya belum ada
tanda-tanda hujan akan reda dalam waktu dekat. Daripada kemalaman di jalan,
lebih baik kami menerobos hujan agar segera sampai di pos pengamatan dan
beristirahat. Hanya satu jam, tidak terlalu lama. Berjalan di tengah hujan
deras juga bukan hal buruk, dan itu adalah pengalaman yang sangar seru. Serius!
Bagi yang belum pernah, kalian harus mencobanya. Seperti bermain di bawah hujan
bersama teman-teman ketika kita kecil. Hanya saja kali ini di hutan, dan langit
sudah semakin gelap oleh mendung. Pohon-pohon besar seperti raksasa yang
berdiri tegak seraya mengawasi setiap apa saja yang ada di hutan, dan kita
seperti berjalan di antara kaki-kaki mereka. Tetapi ingat, pastikan tas kalian
sudah dipacking dengan benar agar pakaian dan logistik yang dibawa di dalam tas
tidak basah.
Pepohonan rimbun hutan Gigisoro dok. Ardian |
Aku berada di tengah-tengah ternyata. Empat
orang di depanku tadi sudah tidak terlihat. Begitu juga dengan 3 orang sisanya
yang tadi di belakangku. Kami berdelapan, empat orang teman satu timku, pak Sri
dan pak Ama dari dinas kehutanan Jailolo dan sisanya, yakni pak Demianus dan
pak Medes penduduk setempat yang mendampingi kami. Oya, pak Demianus adalah
salah satu penjaga kawasan konservasi burung Bidadari. Pengalaman pak Demianus
di bidang burung atau ornitologi tidak bisa disepelekan. Bagi penduduk
Sidangoli, pak Demianus dikenal sebagai guide bagi peneliti dalam maupun luar
negeri yang ingin meneliti tentang berbagai spesies burung di pulau Halmahera.
Namun, bagi para peneliti tersebut, pak Demianus adalah seorang ilmuwan di
bidang ornitologi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Beliau sudah
menguasai 130 spesies burung di Maluku dan Maluku Utara. Aku udah membuat
catatan khusus tentang pak Demianus Maghali, kalian bisa membuka langsung untuk
mencari tau. Memang tidak terlalu lengkap sih, tetapi cukup lah untuk sekedar
mengetahui tentang sosok belau yang, menurutku, sangat luar biasa dan patut
dicontoh.
Aku menunggu rombongan belakang dengan duduk di
sebuah akar pohon besar. Sambil bersandar pada tas, kepala sengaja
kutengadahkan ke atas. Ranting-ranting dan dedaunan memayungiku di ketinggian.
Tetes-tetes hujan memijat lembut permukaan wajahku. Aku merasakan kesegaran
yang perlahan merambat merasuk ke seluruh tubuhku. Tak terasa aku tertidur di
bawah pohon besar tersebut hingga suara kresek langkah kaki menyapu dedaunan
kering membuatku terjaga. Bang Irwandi, Darumas, dan Rusli sudah berada di
dekat tempatku tertidur. Entah berapa lama aku tertidur di bawah pohon itu. Aku
bangkit dan melanjutkan perjalanan bersama mereka. Kurasakan tidurku tadi cukup
nyenyak.
Sekitar 500 meter berjalan dari tempatku
tertidur tadi, kami tiba di pos pengamatan. Pos itu cukup besar, berukuran
15x3. Lantainya terbuat dari papan dan atapnya dari daun palem kering yang
disusun rapat. Tiap siku pada tiang penyangga diikat menggunakan tali rotan
kecil. Ada bangku panjang di bagian teras gubug. Ada dapur dan peralatan
memasak juga. Jangan dibayangkan dapur mebel dengan kompor gas yang menyala
biru dan peralatan masak stainless steel. Di sini hutan, pastinya dapur dan
perasalatannya juga sangat sederhana, hanya sekedar untuk memasak nasi, sayur
dan air untuk menghangatkan diri. Tempat ini sering dikunjungi, setidaknya dua
minggu sekali pak Rudi, pak Ama dan pak Demianus untuk mengamati hewan-hewan
yang ada di sekitar hutan atau pun sekedar melepas penat oleh kesibukan
pekerjaan.
Tempat ini belum lama dibangun, mungkin baru
sekitar 2-3 bulan. Pak Rudi, pak Ama dan pak Demianus yang membuatnya, kerena
mereka bertiga memang suka dan sering tinggal di sini. Selain itu, untuk
menyambut Festival Teluk Jailolo (FTJ) ke-IV yang akan dilaksanakan pertengahan
Mei nanti. Salah satu kegiatan dari FTJ ke-IV ini adalah Ekspedisi Burung
Bidadari. Akan ada ratusan orang yang akan datang ke sini untuk melihat burung
endemik pulau Halmahera tersebut di habitat aslinya. Beberapa dari mereka
mungkin juga akan menginap. Pada saat Ekspedisi nanti, akan dibangun tenda
besar untuk pada tamu karena gubug itu tidak mungkin bisa menampung semuanya
yang hadir dan menginap di sini.
Di dapur sudah ada panci, wajan, dan juga
piring. Pak Medes mengeluarkan logistik dan menjajarkan di dipan. Setelah
dijajarkan ternyata logistik kami cukup banyak. Dipan berukuran 1x2 itu telah
penuh separoh oleh logistik yang kami bawa. Tidak banyak sebenarnya, hanya
beras 10 kg, mie instan satu kardus, sarden 10 kaleng sedang, biskuit, minyak goreng,
kopi, gula, dsb. Semua itu persediaan logistik untuk 8 orang selama 4 hari.
Pak Medes menyiapkan makanan Dok. Ardian |
Hujan sudah reda. Matahari sudah bergulir ke
barat. Cahayanya menyelusup di antara dedaunan hijau memberi sedikit kehangatan
sebelum gelap mendekap kami di dalam hutan gunung Gigisoro. Syukurlah pakaianku
tidak ada yang basah. Setelah berganti pakaian, kami menghangatkan badan dengan
secangkir kopi hitam panas. Pak Medes dan bang Irwandi memasak nasi dan mie
goreng sarden.
Selesai makan, langit sudah gelap. Kami
beristirahat. Lelah dan dingin membuat kami cepat terlelap. Esok pagi-pagi kami
harus bangun untuk menyaksikan aksi burung-burung endemik itu bermain dan
mencari udang di sungai.
***
Jam 6 pagi kami berjalan menuju tempat
pengamatan yang jaraknya sekitar 500 meter dari gubug tempat kami beristirahat.
Menurut pak Demianus sebenarnya kami telat, seharusnya untuk melakukan
pengamatan burung Bidadari minimal jam setengah enam pagi sudah berangkat.
Jarak dari gubug ke tempat pengamatan memang tidak terlalu jauh, tetapi harusnya
sebelum waktunya mereka bermain, kita sudah berada di sana agar kita bisa
melihat keseluruhan aktivitas mereka.
Burung Bidadari biasanya bermain mulai jam 6 –
8 pagi. Pada jam tersebut, sekelompok burung Bidadari akan datang ke tempat
yang biasa menjadi tempat bermainnya. Biasanya diawali oleh satu burung jantan,
kemudian ia akan berkoak memanggil kawanannya yang lain. Mereka akan bertengger
pada ranting-ranting pohon dan melakukan berbagai atraksi, mulai berlompatan
dari satu dahan ke dahan lain, berkoak-koak, terbang ke atas kemudian turun
lagi. Menurut pak Demianus, biasanya tiap satu pohon hanya ditempati satu
burung jantan. Ranting itu menjadi kekuasaannya. Jika ada jantan lain yang
datang, ia akan mengusirnya. Ada catatan sedikit nih tentang burung Bidadari
Halmahera jika ingin menambah pengetahuan tentang makhluk endemik pulau
Halmahera tersebut.
Hampir setengah tujuh kami tiba di tempat
pengamatan. Pak Demianus langsung menyuruh dua orang dari kami untuk naik ke
menara pengamatan. Aku dan bang Irwandi langsung mengajukan diri. Menara
pengamatan tersebut dibuat dari ranting-ranting pohon dan dipaku di antara dua
pohon besar. Tingginya sekitar 15 meter dengan bagian atas berupa susunan
ranting sebagai pijakan yang cukup untuk 2-3 orang. Saat kami kesana, usia
menara itu sudah setahun, hampir seluruh bagiannya lapuk sehingga butuh ekstra
hati-hati dan waspada. Aku aja sempet deg-degan sewaktu berada di atas. Ada
satu ranting sebesar lengan yang dipalangkan dan digunakan sebagai pegangan
ketika berdiri. Mulanya aku kira kayu itu cukup kuat buat pegangan nanti
terjadi apa-apa dengan kayu yang kupijak, tetapi setelah aku amati ternyata
kayu itu sama lapuknya dengan yang lain. Akhirnya aku hanya berdoa semoga Allah
memberi keselamatan dengan menguatkan kayu-kayu itu atau meringankan tubuhku.
Ketakutanku terhadap kondisi menara kayu itu
sekejap sirna ketika seekor burung Bidadari hinggap dan bermain pada sebuah
ranting pohon yang berada tepat di atasku. Langit masih agak gelap, matahari
masih belum naik cukup tinggi sehingga aku bisa menyaksikan keindahan burung
Bidadari itu secara utuh. Namun, atraksi burung tersebut ketika melompat dari
satu dahan ke dahan lain, terbang tinggi kemudian terbang ke atas dan mendarat
dengan sayap terbuka sangat mengagumkan. Sesekali ia berlenggok mengibaskan
sayap dan bulu berwarna hijau seperti sayap yang ada di dadanya. Bulu putih
seperti antena di kedua sayapnya berdiri tegak ketika ia memainkan sayap dan
berlenggak-lenggok. Cahaya matahari yang sudah mulai tinggi membuat bulu hijau
di bagian dadanya terlihat mengkilap. Burung itu memang sangat menawan, sangat
pantas menyandang nama Bidadari.
Burung Bidadari saat bermain dok. Ardian |
Semioptera wallacei dok. Ardian |
Burung bidadari halmahera jantan dok. Ardian |
Kamera kuarahkan ke burung tersebut berharap
dapat mengabadikan makhluk cantik itu ke dalam sebuah foto. Namun, tidak banyak
yang berhasil. Di tengah kondisi cahaya yang masih gelap, peralatan minim dan
gerakannya yang lincah, sulit untuk mendapatkan foto yang bagus. Aku harus
banyak bersabar menunggu momen yang tepat agar dapat menangkap hasil yang baik.
Kemampuan fotografiku memang sangat minim, tetapi tidak membuatku putus asa.
Bermodal Canon 1100D dan lensa Canon 55-250mm tanpa menggunakan tripod, aku
mendapat beberapa foto dengan kualitas, hmmm parah. Yah, setidaknya sudah
mencoba. Bagi yang ingin memotret burung Bidadari Halmahera harap membawa
perlengkapan fotografi yang memadai, lensa tele, tripod, flash, dan pengalaman.
Sudah hampir jam delapan pagi. Matahari sudah
semakin naik. Satu persatu burun bidadari meninggalkan pohon-pohon tempat
mereka bermain dan terbang menuju tempat mereka mencari makan. Sore nanti
mereka baru akan kembali. Aku dan bang Irwandi turun dengan bergantian agar
anak-anak tangga menara kayu itu tetap aman menuntun kami hingga menjejakkan
kaki di tanah.
Pengamatan burung Bidadari sementara selesai
untuk hari ini. Kami akan pulang ke gubug untuk sarapan pagi sebelum
melanjutkan perjalanan ke habitat kelelawar dan mencari udang di sungai
Gigisoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar