Senin, 11 Agustus 2014

#CatatanHalbar 11 : Goa Kelelawar, Udang dan Susur Sungai



Tidak ada yang bisa membayar masa muda, tidak ada yang bisa membeli pengalaman, karena waktu hanya terjadi sekali seumur hidup dan tidak pernah bisa terulang.


Sesuai rencana, pagi ini kami akan menuju habitat kelelawar sekaligus menangkap udang di sungai Gigisoro. Menu sarapan pagi ini sama seperti kemarin, mie instan goreng dicampur dengan sarden kaleng dan kopi panas. Sudah kukatakan kepada kalian, di hutan itu semua makanan rasanya enak dan enak sekali. Jadi, nikmati saja apa yang ada.

Habitat kelelawar ada di tebing sungai Gigisoro. Jika dari urutan sungai yang kami lewati ketika berangkat kemarin, dia ada di hulu sungai pertama. Itu artinya kami harus menyeberangi dua sungai lagi untuk sampai ke sana. Dari titik penyeberangan kemudian kami berjalan ke barat kurang lebih satu kilometer dengan menyusuri pinggir sungai. Mendekati tempat tujuan, jalanan menanjak. Jika dilihat dari permukaan sungai, tempat tersebut adalah sebuah tebing setinggi 10 meter dengan lebar sungai 3 meter. Pada bagian dinding tebing terdapat beberapa cekungan dan rongga yang gelap dan lembab. Banyak kelelawar yang bergelantungan di tempat tersebut, beberapa lainnya berterbangan mondar-mandir di antara tebing.

Ratusan kelelawar yang sedari tadi bertengger di dinding tebing seketika berhamburan keluar ketika pak Medes dan pak Demianus melempar batu besar ke sungai. Suara gaduh dari batu besar yang dilemparkan ke dasar sungai menyebabkan jurang tersebut menjadi gelap oleh ratusan kelelawar yang berterbangan tak tentu arah, dan sesaat kemudian kembali bertengger di tempat semula.

Kelelawar yang terbang dari goa. Fotonya agak buram, maklum cuma pake poket dan batre lowbat
dok. Ardian

 Aku coba mengabadikan hewan malam tersebut dari atas tebing dengan kamera poketku, namun mereka bergerak terlalu cepat sehingga yang tertangkap hanya kelebatan hitam dimana-mana. Pak Medes sudah berjalan lebih dulu menuju hulu sungai untuk decis, racun untuk membuat udang pusing kemudian naik ke permukaan. Aku, Rusli dan pak Demianus kemudian berjalan menyusul pak Medes ke hulu sungai, sedangkan bang Irwandi dan yang lainnya masih di belakang, mereka tertinggal cukup jauh di belakang.

Sampai di hulu, pak Medes baru selesai menyebar decis pada bagian yang berarus deras. Kami menunggu di tepian berpasir hingga pestisida yang disebar pak Medes menyebar dan udang muncul dipermukaan sungai. Perstisida tersebut hanya akan meracuni udang, sedangkan ikan dan yang lainnya tidak berpengaruh. Jika kita berenang diairnya pun tidak masalah, tetapi jangan sampai diminum. Kalau diminum pun tidak sampai mati mungkin, hanya semaput saja. hehehe.

Selang beberapa saat, bau menyengat dari decis mulai tercium, tandanya pestisida tersebut sudah mulai menyebar. Aku dan Rusli menyusuri tepian menuju hulu sungai yang lebih tinggi. Di sana udang-udang sudah berenang di permukaan pada tepi-tepi sungai dengan beragam ukuran. Aku dan Rusli dengan tangkas menangkapi udang yang masih cukup lincah berenang di permukaan. Satu udang berukuran besar besar ‘bertengger’ pada permukaan tepi sungai. Badan, sepasang capit dan antenanya berwarna biru tua. Cula di ujung kepalanya bergerigi. Dengan perlahan kucoba menangkap udang tersebut, namun sayang ia melompat dengan lincah ke dalam sungai ketika tangkapanku meleset. Aku merutuk. Kucari di sekitar tempat dimana udang tersebut menghilang, tetapi tidak ada. akhirnya kutinggalkan tempat itu dan mencari di tempat lain. Barang kali beberapa saat nanti ia akan muncul lagi ke permukaan.

Rusli beberapa kali girang ketika berhasil menangkap satu ekor udang berukuran besar. Aku ikut tertawa melihat tingkahnya yang kegirangan, kemudian kembali berkonsentrasi mencari udang di sekitarku. Satu ekor berukuran sebesar kelingking berenang pelan ke permukaan. kucoba menangkapnya dengan perlahan, namun udang tersebut melompat ketika sudah berada dalam genggamanku. Aku merutuk lagi. Ah, sial. Hasil tangkapanku masih sedikit dan belum ada yang berukuran sebesar tangkapan Rusli tadi.

Kelihatannya memang mudah, tetapi tidak semudah kelihatannya. Walaupun udang-udang tersebut sudah terkena racun, namun mereka tidak mati hanya mabuk kemudian berenang ke permukaan. Udang-udang itu masih tetap lincah berenang. Jika tidak cekatan, kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Meski begitu, tidak perlu tegang dan terlalu serius. Menangkap udang adalah kegiatan refreshing yang sangat menyenangkan. Sesaat kita kesal karena tangkapan lolos, sesaat kemudian kita akan kegirangan ketika berhasil menangkap satu ekor, terlebih lagi jika berhasil menangkap udang berukuran besar setelah berkali-kali gagal. Seperti yang aku alami.

Setelah hampir tiga kali gagal menangkap udang biru berukuran besar tadi, aku kembali ke tempat yang sama. Perjalan perlahan di tengah air sungai setinggi perut, aku melihat udang itu kembali ‘bertengger’ permukaan tepi sungai. Kali ini harus berhasil, seruku dalam hati. Aku berjalan pelan. Udang biru itu masih tenang berada di tempatnya. Dengan cekatan, langsung kutangkap dengan kedua tangan. Udang tersebut tidak lagi mampu melarikan diri. Satu capitnya patah karena genggamanku terlalu kuat ketika mencengkramnya tadi. Aku pun girang dan menunjukkan hasil tangkapanku kepada Rusli yang tengah konsentrasi mencari udang di permukaan dangkal. Ia hanya tertawa sejenak, kemudian kembali berkonsentrasi dengan buruannya. Udang besar itu aku masukkan ke dalam karung yang dibawa pak Medes karena tidak mungkin kumasukkan ke dalam kantong celana seperti udang-udang kecil hasil tangkapanku sebelumnya. Aku sedikit kaget, malu, atau entah apalah rasanya ketika melihat di dalam karung terdapat puluhan udang biru berukuran sebesar tangkapanku dan hanya sedikit sekali udang-udang kecil. Yah, kalian bisa menggambarkan sendiri lah gimana ekspresiku saat itu.

Kami mulai bergeser ke bawah, karena di tempat itu sepertinya sudah tidak terlalu banyak udang yang berenang ke permukaan. Darumas menunggu di tepi sungai bersama pak Demianus, bang Irwandi dan bang Andrian berenang mencari udang di tepian. Aku dan Rusli bergabung bersama mereka. Udang di sini lebih banyak dan rata-rata ukurannya sebesar udang biru. Aku menyebutnya udang biru karena berwarna biru. Namun sebenarnya udang itu adalah udang sungai dewasa sehingga warna karapas, capit dan antenanya menjadi kebiruan.

Seru juga nangkep udang di sungai.
Dok. Ardian


Hasil tangkapan. Lumayanlah buat lauk makan malam
Dok. Ardian

Terlalu asyik menangkap udang, tak terasa hari sudah semakin sore. Hasil tangkapan udang di karung juga sudah hampir memenuhi setengahnya. Pak Demianus, Darumas, dan yang lainnya kembali melalui darat. Bang Irwandi mengajakku dan pak Medes berenang sepanjang sungai hingga ke hilir. Ini tantangan menarik, siapa takut! Lagi pula ada pak Medes, penduduk lokal yang sudah sering ke hutan ini, pasti sudah pernah mengarung di sungai Gigisoro sekali dua. Jadi, tidak perlu terlalu khawatir dengan kondisi sungai di sini, apalagi di beberapa titik kami harus melompati beberapa air terjun setinggi 3-5 meter.

Tetapi ternyata dugaanku salah.

Saat kami akan melompati air terjun pertama setinggi 3 meter, pak Medes yang semula di depan, tiba-tiba balik kanan. Dia tidak berani lompat di air terjun itu. Ternyata pak Medes belum pernah berenang menyusuri sungai Gigisoro meskipun beberapa kali ke sini. Itu sebabnya dia berbalik ketika diminta menjadi yang pertama lompat ke air terjun tersebut karena takut adanya batu, kayu, atau sesuatu yang berbahaya lainnya.

Bang Irwandi kemudian memimpin di depan. Sebelum melompat ia melihat sekitaran air terjun. Bang Irwandi mengajarkan teori sederhana untuk melihat kedalaman air di sekitar air terjun. Jika permukaan sungai di sekitaran air terjun tidak beriak besar atau tergolong tenang berarti kedalaman sungai lebih dari 2 meter. Jika terdapat banyak riak air yang ‘muncrat’ ke atas kemungkinan kedalamannya kurang dari 2 meter. Tentu saja banyak faktor yang juga harus dipertimbangkan.

Aku tidak sempat menguji apakah teori itu benar atau salah, yang jelas setelah melihat kondisi permukaan sungai di sekitar turunnya air, bang Irwandi langsung melompat, tenggelam sebentar kemudian muncul di permukaan dengan berenang. Aku tidak mau berdiri terlalu lama di atas air terjun dan melihat ke bawah, karena jika terlalu lama pasti akan menjadi semakin ragu dan takut. Sesaat setelahnya, aku langsung ikut melompat menuju titik jatuhnya bang Irwandi. Tubuhku langsung tenggelam cukup dalam, tetapi kakinya belum sampai menyentuh dasar. Kemudian kukayuhkan kedua tangan dan kaki untuk mencapai permukaan. Ini yang pertama bagiku. Kalian yang sudah expert pasti tau bagaimana rasanya pertama kali melompat dan mengarungi sungai yang juga pertama kali diarungi dengan berenang tanpa peralatan pendukung.

Aku melihat ke belakang, pak Medes berdiri di atas air terjun dan melihat ke bawah. Ia yang semula terlihat ragu, kemudian melompat mengikuti kami. Sesaat kemudian ia muncul ke permukaan dengan wajah lega dan puas. Kami bertiga kemudian berenang ke hilir. Air sungai mengalir tenang, sepertinya memang kedalamannya lebih dari dua meter, mungkin hampir 3 – 5 meter. Dinding tebing setinggi 10 meter mengapit di kanan kiri. Dinding bagian atas lebih sempit, dan bagian bawah melebar seperti mangkuk. Pada dinding tebing yang lembab dan gelap banyak ditumbuhi lumut dan tumbuhan paku. Cekungan dan rongga-rongga di sekitar dinding tebing menjadi tempat bertengger ratusan kelelawar.

Sekitar 10 meter dari air terjun pertama, terdapat air terjun kedua yang lebih tinggi dari yang pertama, mungkin 5 meter tingginya. Bang Irwandi langsung melompat sesaat ketika sampai di atasnya, aku mengikuti di belakangnya, dan terakhir pak Medes. Sensasinya luar biasa. Ah, maap jika aku terlalu lebay menggambarkannya. Maklum saja, ini yang pertama buatku. Jadi segala hal baru yang kualami kurasakan sangat luar biasa, karena tidak biasanya aku mengalami hal seperti ini.
Permukaan air sungai masih sama tenangnya dengan sebelumnya. Kedalamannya mungkin sama. Hanya saja, bagian bawah dinding di sini lebih lebar. Bau menyengak kotoran kelelawar tercium sejak aku muncul ke permukaan. Kelelawar yang bertengger dan berterbangan di sekitar tebing di sini lebih banyak dari tempat sebelumnya. Tebing ini juga yang kami lihat dari atas tadi. Jika tadi kami melihat kelelawar dari atas, sekarang kami melihat dari permukaan sungai.

Air terjun kedua tidak terlalu tinggi; sekitar dua meter saja, lebih rendah dari yang pertama. Tebingnya juga sudah tidak lagi tinggi. Di bagian hilir, Rusli dan yang lainnya sudah menunggu kami. Aku bisa membawa raut wajah iri pada mereka karena tidak bisa merasakan sensasi keseruan seperti yang kami rasakan. Namun, di akhir perjalanan keseruan kami tadi, ada satu penyesalan, kami tidak membawa kamera tahan air sehingga semua adegan keseruan kami tadi tidak ada satu pun yang terdokumentasikan. Mungkin suatu saat nanti aku bisa kembali dengan seperangkat kamera underwater atau minimal kamera Go-Pro dan merekam semua keseruan tadi. Namun, aku selalu mensyukuri segala hal, setiap pengalaman baru yang aku lalui. Apa yang bisa kita lakukan semasa muda tidak akan pernah terulang ketika usia kita telah tua nanti. Tidak ada yang bisa membayar masa muda, tidak ada yang bisa membeli pengalaman, karena waktu hanya terjadi sekali seumur hidup dan tidak pernah bisa terulang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman