Tidak ada yang bisa
membayar masa muda, tidak ada yang bisa membeli pengalaman, karena waktu hanya
terjadi sekali seumur hidup dan tidak pernah bisa terulang.
Sesuai rencana, pagi ini kami akan menuju
habitat kelelawar sekaligus menangkap udang di sungai Gigisoro. Menu sarapan
pagi ini sama seperti kemarin, mie instan goreng dicampur dengan sarden kaleng
dan kopi panas. Sudah kukatakan kepada kalian, di hutan itu semua makanan
rasanya enak dan enak sekali. Jadi, nikmati saja apa yang ada.
Habitat kelelawar ada di tebing sungai
Gigisoro. Jika dari urutan sungai yang kami lewati ketika berangkat kemarin,
dia ada di hulu sungai pertama. Itu artinya kami harus menyeberangi dua sungai
lagi untuk sampai ke sana. Dari titik penyeberangan kemudian kami berjalan ke
barat kurang lebih satu kilometer dengan menyusuri pinggir sungai. Mendekati
tempat tujuan, jalanan menanjak. Jika dilihat dari permukaan sungai, tempat
tersebut adalah sebuah tebing setinggi 10 meter dengan lebar sungai 3 meter.
Pada bagian dinding tebing terdapat beberapa cekungan dan rongga yang gelap dan
lembab. Banyak kelelawar yang bergelantungan di tempat tersebut, beberapa
lainnya berterbangan mondar-mandir di antara tebing.
Ratusan kelelawar yang sedari tadi bertengger
di dinding tebing seketika berhamburan keluar ketika pak Medes dan pak Demianus
melempar batu besar ke sungai. Suara gaduh dari batu besar yang dilemparkan ke
dasar sungai menyebabkan jurang tersebut menjadi gelap oleh ratusan kelelawar
yang berterbangan tak tentu arah, dan sesaat kemudian kembali bertengger di
tempat semula.
Kelelawar yang terbang dari goa. Fotonya agak buram, maklum cuma pake poket dan batre lowbat dok. Ardian |
Sampai di hulu, pak Medes baru selesai menyebar
decis pada bagian yang berarus deras.
Kami menunggu di tepian berpasir hingga pestisida yang disebar pak Medes menyebar
dan udang muncul dipermukaan sungai. Perstisida tersebut hanya akan meracuni
udang, sedangkan ikan dan yang lainnya tidak berpengaruh. Jika kita berenang
diairnya pun tidak masalah, tetapi jangan sampai diminum. Kalau diminum pun
tidak sampai mati mungkin, hanya semaput saja. hehehe.
Selang beberapa saat, bau menyengat dari decis mulai tercium, tandanya pestisida
tersebut sudah mulai menyebar. Aku dan Rusli menyusuri tepian menuju hulu
sungai yang lebih tinggi. Di sana udang-udang sudah berenang di permukaan pada
tepi-tepi sungai dengan beragam ukuran. Aku dan Rusli dengan tangkas menangkapi
udang yang masih cukup lincah berenang di permukaan. Satu udang berukuran besar
besar ‘bertengger’ pada permukaan tepi sungai. Badan, sepasang capit dan
antenanya berwarna biru tua. Cula di ujung kepalanya bergerigi. Dengan perlahan
kucoba menangkap udang tersebut, namun sayang ia melompat dengan lincah ke
dalam sungai ketika tangkapanku meleset. Aku merutuk. Kucari di sekitar tempat
dimana udang tersebut menghilang, tetapi tidak ada. akhirnya kutinggalkan tempat
itu dan mencari di tempat lain. Barang kali beberapa saat nanti ia akan muncul
lagi ke permukaan.
Rusli beberapa kali girang ketika berhasil
menangkap satu ekor udang berukuran besar. Aku ikut tertawa melihat tingkahnya
yang kegirangan, kemudian kembali berkonsentrasi mencari udang di sekitarku.
Satu ekor berukuran sebesar kelingking berenang pelan ke permukaan. kucoba
menangkapnya dengan perlahan, namun udang tersebut melompat ketika sudah berada
dalam genggamanku. Aku merutuk lagi. Ah, sial. Hasil tangkapanku masih sedikit
dan belum ada yang berukuran sebesar tangkapan Rusli tadi.
Kelihatannya memang mudah, tetapi tidak semudah
kelihatannya. Walaupun udang-udang tersebut sudah terkena racun, namun mereka
tidak mati hanya mabuk kemudian berenang ke permukaan. Udang-udang itu masih tetap
lincah berenang. Jika tidak cekatan, kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa.
Meski begitu, tidak perlu tegang dan terlalu serius. Menangkap udang adalah
kegiatan refreshing yang sangat
menyenangkan. Sesaat kita kesal karena tangkapan lolos, sesaat kemudian kita
akan kegirangan ketika berhasil menangkap satu ekor, terlebih lagi jika
berhasil menangkap udang berukuran besar setelah berkali-kali gagal. Seperti
yang aku alami.
Setelah hampir tiga kali gagal menangkap udang
biru berukuran besar tadi, aku kembali ke tempat yang sama. Perjalan perlahan
di tengah air sungai setinggi perut, aku melihat udang itu kembali ‘bertengger’
permukaan tepi sungai. Kali ini harus berhasil, seruku dalam hati. Aku berjalan
pelan. Udang biru itu masih tenang berada di tempatnya. Dengan cekatan,
langsung kutangkap dengan kedua tangan. Udang tersebut tidak lagi mampu
melarikan diri. Satu capitnya patah karena genggamanku terlalu kuat ketika
mencengkramnya tadi. Aku pun girang dan menunjukkan hasil tangkapanku kepada
Rusli yang tengah konsentrasi mencari udang di permukaan dangkal. Ia hanya
tertawa sejenak, kemudian kembali berkonsentrasi dengan buruannya. Udang besar
itu aku masukkan ke dalam karung yang dibawa pak Medes karena tidak mungkin
kumasukkan ke dalam kantong celana seperti udang-udang kecil hasil tangkapanku
sebelumnya. Aku sedikit kaget, malu, atau entah apalah rasanya ketika melihat
di dalam karung terdapat puluhan udang biru berukuran sebesar tangkapanku dan
hanya sedikit sekali udang-udang kecil. Yah, kalian bisa menggambarkan sendiri
lah gimana ekspresiku saat itu.
Kami mulai bergeser ke bawah, karena di tempat
itu sepertinya sudah tidak terlalu banyak udang yang berenang ke permukaan.
Darumas menunggu di tepi sungai bersama pak Demianus, bang Irwandi dan bang
Andrian berenang mencari udang di tepian. Aku dan Rusli bergabung bersama
mereka. Udang di sini lebih banyak dan rata-rata ukurannya sebesar udang biru. Aku
menyebutnya udang biru karena berwarna biru. Namun sebenarnya udang itu adalah
udang sungai dewasa sehingga warna karapas, capit dan antenanya menjadi
kebiruan.
Seru juga nangkep udang di sungai. Dok. Ardian |
Hasil tangkapan. Lumayanlah buat lauk makan malam Dok. Ardian |
Terlalu asyik menangkap udang, tak terasa hari
sudah semakin sore. Hasil tangkapan udang di karung juga sudah hampir memenuhi
setengahnya. Pak Demianus, Darumas, dan yang lainnya kembali melalui darat.
Bang Irwandi mengajakku dan pak Medes berenang sepanjang sungai hingga ke
hilir. Ini tantangan menarik, siapa takut! Lagi pula ada pak Medes, penduduk
lokal yang sudah sering ke hutan ini, pasti sudah pernah mengarung di sungai
Gigisoro sekali dua. Jadi, tidak perlu terlalu khawatir dengan kondisi sungai
di sini, apalagi di beberapa titik kami harus melompati beberapa air terjun setinggi
3-5 meter.
Tetapi ternyata dugaanku salah.
Saat kami akan melompati air terjun pertama
setinggi 3 meter, pak Medes yang semula di depan, tiba-tiba balik kanan. Dia
tidak berani lompat di air terjun itu. Ternyata pak Medes belum pernah berenang
menyusuri sungai Gigisoro meskipun beberapa kali ke sini. Itu sebabnya dia
berbalik ketika diminta menjadi yang pertama lompat ke air terjun tersebut
karena takut adanya batu, kayu, atau sesuatu yang berbahaya lainnya.
Bang Irwandi kemudian memimpin di depan.
Sebelum melompat ia melihat sekitaran air terjun. Bang Irwandi mengajarkan
teori sederhana untuk melihat kedalaman air di sekitar air terjun. Jika
permukaan sungai di sekitaran air terjun tidak beriak besar atau tergolong
tenang berarti kedalaman sungai lebih dari 2 meter. Jika terdapat banyak riak
air yang ‘muncrat’ ke atas kemungkinan kedalamannya kurang dari 2 meter. Tentu
saja banyak faktor yang juga harus dipertimbangkan.
Aku tidak sempat menguji apakah teori itu benar
atau salah, yang jelas setelah melihat kondisi permukaan sungai di sekitar
turunnya air, bang Irwandi langsung melompat, tenggelam sebentar kemudian
muncul di permukaan dengan berenang. Aku tidak mau berdiri terlalu lama di atas
air terjun dan melihat ke bawah, karena jika terlalu lama pasti akan menjadi
semakin ragu dan takut. Sesaat setelahnya, aku langsung ikut melompat menuju
titik jatuhnya bang Irwandi. Tubuhku langsung tenggelam cukup dalam, tetapi
kakinya belum sampai menyentuh dasar. Kemudian kukayuhkan kedua tangan dan kaki
untuk mencapai permukaan. Ini yang pertama bagiku. Kalian yang sudah expert pasti tau bagaimana rasanya
pertama kali melompat dan mengarungi sungai yang juga pertama kali diarungi
dengan berenang tanpa peralatan pendukung.
Aku melihat ke belakang, pak Medes berdiri di
atas air terjun dan melihat ke bawah. Ia yang semula terlihat ragu, kemudian
melompat mengikuti kami. Sesaat kemudian ia muncul ke permukaan dengan wajah
lega dan puas. Kami bertiga kemudian berenang ke hilir. Air sungai mengalir
tenang, sepertinya memang kedalamannya lebih dari dua meter, mungkin hampir 3 –
5 meter. Dinding tebing setinggi 10 meter mengapit di kanan kiri. Dinding
bagian atas lebih sempit, dan bagian bawah melebar seperti mangkuk. Pada
dinding tebing yang lembab dan gelap banyak ditumbuhi lumut dan tumbuhan paku.
Cekungan dan rongga-rongga di sekitar dinding tebing menjadi tempat bertengger
ratusan kelelawar.
Sekitar 10 meter dari air terjun pertama,
terdapat air terjun kedua yang lebih tinggi dari yang pertama, mungkin 5 meter
tingginya. Bang Irwandi langsung melompat sesaat ketika sampai di atasnya, aku
mengikuti di belakangnya, dan terakhir pak Medes. Sensasinya luar biasa. Ah,
maap jika aku terlalu lebay menggambarkannya. Maklum saja, ini yang pertama buatku.
Jadi segala hal baru yang kualami kurasakan sangat luar biasa, karena tidak
biasanya aku mengalami hal seperti ini.
Permukaan air sungai masih sama tenangnya
dengan sebelumnya. Kedalamannya mungkin sama. Hanya saja, bagian bawah dinding
di sini lebih lebar. Bau menyengak kotoran kelelawar tercium sejak aku muncul
ke permukaan. Kelelawar yang bertengger dan berterbangan di sekitar tebing di
sini lebih banyak dari tempat sebelumnya. Tebing ini juga yang kami lihat dari
atas tadi. Jika tadi kami melihat kelelawar dari atas, sekarang kami melihat
dari permukaan sungai.
Air terjun kedua tidak terlalu tinggi; sekitar
dua meter saja, lebih rendah dari yang pertama. Tebingnya juga sudah tidak lagi
tinggi. Di bagian hilir, Rusli dan yang lainnya sudah menunggu kami. Aku bisa
membawa raut wajah iri pada mereka karena tidak bisa merasakan sensasi keseruan
seperti yang kami rasakan. Namun, di akhir perjalanan keseruan kami tadi, ada satu
penyesalan, kami tidak membawa kamera tahan air sehingga semua adegan keseruan
kami tadi tidak ada satu pun yang terdokumentasikan. Mungkin suatu saat nanti
aku bisa kembali dengan seperangkat kamera underwater
atau minimal kamera Go-Pro dan merekam semua keseruan tadi. Namun,
aku selalu mensyukuri segala hal, setiap pengalaman baru yang aku lalui. Apa
yang bisa kita lakukan semasa muda tidak akan pernah terulang ketika usia kita
telah tua nanti. Tidak ada yang bisa membayar masa muda, tidak ada yang bisa
membeli pengalaman, karena waktu hanya terjadi sekali seumur hidup dan tidak
pernah bisa terulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar