Bang Irwandi rutin mengecek posisi melalui peta dan GPS, mengingat jalur ini jarang dilalui orang dok. Ardian |
Pagi di telaga Rano. Awan putih membiaskan
cahaya mentari menelusup dedaunan. Telaga Rano terlihat tenang. Jernih airnya
membiaskan bukit yang menyemburkan asap belerang dan gugusan pulau-pulau kecil.
Asap belerang masih tercium dari tepian telaga tempat kami membersihkan diri.
Sarapan pagi sudah siap. Hanya mie sarden kemudian di campur dengan nasi
lontong sisa kemarin. Untuk minumnya hanya air putih saja. Itu semua sudah
sangat nikmat sekali untuk kondisi di lapangan seperti ini.
Pagi tadi aku dikagetkan oleh teriakan temanku
yang mengatakan bahwa sepatuku terbakar. Ah ya, semalam aku memanggangnya di
dekat tungku. Ternyata hanya kebakar sedikit. Pagi tadi ketika bang Irwandi
memasak sarapan, dia tidak memindahkan sepatuku menjauh dari tungku sehingga api
yang besar membakar sebagian kecil pada bagian belakang dan karet bagian depan.
Tidak apa-apa, yang penting masih bisa digunakan untuk tiga bulan ke depan.
Selesai sarapan, perjalanan di mulai. Kami
mencari jalan yang digunakan penyadap nira untuk bisa sampai di tempat ini.
Mulanya hanya medan datar, kemudian sedikit mendaki tepian tebing. Lama
kelamaan jalan setapak itu sudah tidak lagi terlihat, yang ada di depan hanya
semak-semak dan pohon tumbang di permukaan tebing yang semakin tinggi. Sudah
kepalang tanggung jika ingin kembali dan memutar mencari jalan lain. Semua
sepakat untuk melanjutkan perjalanan melalui jalan bertebing itu.
Semakin jauh berjalan, tebing semakin tinggi.
Permukaan yang semula tanah menjadi berbatu. Kemiringannya pun semakin bertambah
hingga 90° sehingga kami harus
merangkak seraya berpegangan pada akar maupun pohon-pohon kecil yang ada di
depan kami. Sempat di salah satu titik, Aku dan Kozin hampir saja tertimpa batu
besar yang jatuh dari atas. Batu sebesar pelukan orang dewasa itu semula
menjadi pijakan bang Irwandi yang berada paling atas. Ternyata batu itu tidak
terpaku kuat di tanah sehingga ketika diinjak batu tersebut terperosok jatuh.
Beruntung semua reflek berterik “Batu!!!!” dan kami masih sempat menghindar
beberapa detik sebelum batu itu menimpa kami. Aku terus mengucapkan syukur
sementara lutut Kozin tidak berhenti bergetar setelah selamat dari batu itu.
Kami beristirahat sebentar untuk menenangkan
diri dan mengumpulkan tenaga. Aku melihat ke atas, tebing setinggi kira-kira
200m masih menunggu untuk kami daki agar bisa sampai di puncak. Dalam hati aku
terus menyanyikan lirik, “Tiada gunung
terlalu tinggi, buat kami daki di siang hari. Tiada jurang terlalu dalam buat
kami susuri di malam gelap…” untuk mengumpulkan semangat dan mental. Lirik
itu terus kunyanyikan seraya merangkak mendaki tebing setinggi kira-kira 300 m
itu. Kelegaan muncul ketika kami menginjakkan kaki di puncak tebing.
Kami beristirahat sejenak dengan merebahkan
diri di atas tanah. Air di jerigen yang kami bawa tinggal sedikit, tetapi cukup
untuk sekedar membasahi tenggorokan yang sedari tadi kering. Perjalan kami
memang termasuk ekstrem. Berjalan menyusuri punggung gunung, membabat rotan,
berenang menyeberangi telaga Rano, dan mendaki tebing dengan kemiringan
mencapai 90° tanpa tali maupun
peralatan yang memadai. Rute selanjutnya tergolong lebih mudah. Kami mengikuti
tanda jalan berwarna orange yang diikatkan di ranting-ranting pohon hingga
menemukan jalan setapak yang biasa digunakan oleh pencari kayu di hutan.
Sebenarnya perbuatan mereka termasuk ilegal, karena hutan Sahu dan telaga Rano
termasuk dalam kawasan hutan lindung yang terlarang untuk segala bentuk
penebangan pohon untuk tujuan apapun. Namun, ketika ditindak mereka selalu
menggunakan alasan untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya anak sekolah. Ketika
perbuatan itu ditolerir, tidak ada upaya dari mereka untuk menanam pohon agar
hutan tidak gundul dan habitat flora dan fauna masih terjaga.
Tiba di Desa
Kami terus menyusuri jalan setapak tersebut hingga
menemukan sebuah rumah penebang pohon. Tidak ada orang di rumah itu. Tetapi
kami tetap masuk ke rumah untuk mencari makanan. Hanya ada timun dan pepaya
mengkal di luar. Bagi orang lapangan yang kelaparan, hanya ada dua rasa
makanan, enak dan enak sekali. Bagi kami, timun dan pepaya mengkal itu rasanya
enak sekali. Begitu juga dengan kelapa muda yang kami temukan pada pohon kelapa
pendek yang tumbuh di pinggir jalan. Tidak perlu takut kelaparan di Halmahera,
jika menemukan hasil kebun di pinggir jalan, jika ada orangnya minta saja, pasti mereka memberinya. Jika tidak
ada, ambil saja karena pasti mereka memberinya juga.
Atas dasar itu, ketika kami melihat sebuah
pohon rambutan kecil berbuah lebat pada salah satu rantingnya kami langsung
mengambilnya tanpa pikir panjang. Aku yang bertindak sebagai eksekutor. Tanpa
mempertimbangkan besar dahannya, aku langsung saja memanjat. Awalnya berjalan
lancar. Satu tangkai rambutan lebat berhasil aku amankan. Ketika ingin
menggapai ranting lain yang berada di pucuk, aku mendengar suara “krek”.
Sedetik kemudian, dahan yang aku injak patah dan aku terjatuh ke bawah.
Beruntung pohon itu tidak terlalu tinggi, dan aku dalam posisi berdiri ketika
terjatuh sehingga tidak terlalu sakit.
Perjalanan dimulai lagi.. dok. Ardian |
Ternyata dahan yang patah adalah bagian yang
berisi buah rambutan lebat. Tanpa pikir panjang, mereka langsung mengambil
seluruh buah bahkan tanpa sempat menolongku. Semua buah kami ambil dan dahannya
kami buang agak jauh ke di balik pohon. Tanpa rasa berdosa, kami memakan
rambutan itu sepanjang jalan dan membuang kulitnya di pinggir jalan untuk
menghilangkan jejak.
Jalan setapak itu mengantarkan kami hingga ke
jalan raya menuju desa Gamsungi, sekitar 5 km dari desa Trans Goal. Kami
beristirahat di tepian jalan seraya menunggu oto yang lewat. Lelah tidak terasa ketika kami bercerita tentang
perjalan yang telah kami lalui tiga hari ini. Hujan kembali turun mengiringi
rasa syukur kami karena telah diberi kekuatan dan keselamatan selama
perjalanan.
Dari sini, petualangan lain masih
menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar