Telaga Rano dok. Ardian |
Danau Rano terletak di kecamatan Sahu,
Halmahera Barat. Danau ini terletak di ketinggian 1000 mdpl, berada di
tengah-tengah hutan Sahu. Tidak banyak orang yang mengunjungi danau Rano. Juga
tidak banyak info yang kami ketahui tentang danau Rano, hanya sedikit info dari
teman dan masyarakat transmigran Goal atau Trans Goal yang menjadi tempat transit kami. Selain jarak yang cukup jauh dan hutan
yang masih lebat, tidak adanya akses menuju ke danau juga menjadi faktor yang
mengerdilkan nyali banyak orang untuk mengunjungi danau Rano. Hanya orang-orang
yang bernyali dan bersemangat besar yang bisa sampai di tempat yang juga
disebut telaga tersebut. Yap, dan kami adalah salah satu tim bernyali dan
bersemangat tersebut.
Sebenarnya ada beberapa desa yang dapat
dijadikan titik tolak menuju telaga Rano seperti desa Gamsungi, desa Air Panas,
desa Goal, desa Peot, dan desa Sasur. Di antara ketiga desa tersebut, desa
Gamsungi adalah yang paling sering dijadikan titik tolak menuju telaga Rano
karena sudah terdapat akses jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat
sampai batas hutan. Di desa tersebut juga banyak orang yang biasa dijadikan
penunjuk jalan untuk menuju ke sana.
Namun, kami tidak memilih desa Gamsungi sebagai
titik tolak, melainkan desa Air Panas. Kami tertantang untuk membuka jalan baru
dari desa tersebut menuju telaga. Hanya bermodal peta kontur, gps, logistik
secukupnya, dan semangat kami bertekad berangkat menuju telaga Rano.
Pak Mo
Di desa Goal, tidak jauh dari desa Air Panas,
ada seorang pencari burung yang biasa masuk ke hutan Sahu. Setiap orang di desa
tersebut mengenal dia sebagai ‘penguasa hutan Sahu’. Namanya pak Arnol, tetapi
penduduk setempat memanggilnya pak Mo. Usianya 75 tahun. Sejak muda beliau
sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk mencari burung. Jika ada peneliti dari
luar Halmahera yang ingin masuk hutan atau mengunjungi telaga menggunakan jasa
pak Mo sebagai penunjuk jalan.
Begitu juga kami. Oleh pak Hasam, warga desa
Trans sekaligus pemilik rumah yang kami tinggali menyarankan untuk meminta
bantuan pak Mo untuk menjadi penunjuk jalan. Namun, beliau sedang sakit pinggang
sehingga tidak bisa mengantarkan kami. Pak Mo menyarankan agar kami ke desa
Gamsungi, di sana ada juga beberapa warga yang biasa mencari burung di hutan,
mungkin bisa membantu kami menunjukkan jalan menuju telaga Rano.
Karena mempertimbangkan waktu, kami tidak
sempat lagi mencari orang yang ditunjukkan pak Mo. Akhirnya kami mengajak Budi,
Kozin, dan Samsul, pemuda desa Trans untuk menemani. Sebelum berangkat pak
Hasam kembali menyarankan kami untuk mengunjungi kediaman pak Mo lagi. Penduduk
desa Goal, Air Panas, Trans Goal, dan Gamsungi menganggap pak Mo sebagai
‘pakuncen’ hutan Sahu dan telaga Rano, sehingga banyak orang yang datang ke
kediaman pak Mo sebelum mereka ke hutan.
Kozin, Samsul, Budi dan Ardian dok. Irwandi |
Rabu pagi kami berangkat dari desa air panas.
Menurut info warga setempat, ada jalan setapak yang biasa digunakan pencari
kayu sampai ke tengah hutan. Kemudian kami lanjutkan perjalanan dengan membuka
jalur baru. Jalanan yang curam dan rotan yang tumbuh subur menjadi penghalang
yang harus kami lalui sehingga perjalanan berjalan sedikit lambat dan menguras
banyak tenaga.
Sekitar jam dua siang kami istirahat di tengah
hutan. Memasak mie instan yang dicampur sarden dan nasi lontong. Kami juga
mendirikan bivak sederhana karena langit sudah mulai hujan. Bivak dari ponco
selebar 2x2 m itu menjadi tempat perlindungan kami dari hujan sampai esok hari
karena hujan terus turun hingga malam. Kopi instan disedu untuk menghangatkan
badan. Obrolan kami mengalir tentang banyak hal seiring asap rokok membumbung
tinggi menembus hujan.
Matahari mulai turun digantikan gelap. Tidak
ada bulan, gemintang pun tidak terlihat jelas karena tertutup daun-daun dan
ranting pohon besar yang menjulang. Hujan sudah mulai reda meninggalkan jejak
tanah basah. Ada cahaya berwarna hijau seperti fosfor di atas tanah yang basah,
tetapi saat dilihat menggunakan senter hanya tidak ada apa-apa, hanya percahan
daun dan rating kering yang basah terkena hujan. Namun, ketika lampu dimatikan
cahaya itu muncul lagi. Akhirnya kuambil cahaya itu ketika gelap. Ternyata hanya
percahan ranting dan daun kering yang bercahaya seperti fosfor. Tidak ada
jamur, tumbuhan maupun yang menghasilkan cahaya di percahan itu. Cahaya itu
seperti jejak hewan, mungkin siput, karena tidak semua bagian percahan itu
bercahaya. Aku sempat mengumpulkan beberapa percahan yang bercahaya paling
terang kemudian kukumpulkan di dalam sebuah plastik. Namun sayang, kumpulan
percayahan itu tidak bisa kubawa pulang karena hilang ketika kami berenang
menyeberangi telaga Rano.
Pagi menjelang. Kicauan rangkok, nuri, kakak
tua dan berbagai macam burung serta hewan hutan menyambut pagi kami. Tanah
masih basah sisa hujan kemarin. Air disedu untuk memasak energen sebagai
pasokan tenaga untuk perjalanan hari ini. Beberapa dari kami merapikan barang
bawaan dan bivak. Tidur kami semalam bisa dikatakan cukup nyenyak walaupun
badan sedikit sakit karena akar pohon yang menjalar malang melintang di bawah
bivak kami.
Setelah sarapan seadanya dengan beberapa potong
roti tawar dan energen, kami melanjutkan perjalanan. Tumbuhan rotan dan jalanan
terjal masih menjadi rintangan utama yang harus kami hadapi. Bang Irwandi dan
Budi di barisan depan dengan golok untuk menebas setiap rotan dan tumbuhan
untuk memberi jalan. Aku dan Samsul di tengah, sementara Kozin di bagian
belakang untuk memberi penanda jalan pada bagian ranting dengan rafia biru.
Siapa tau ketika pulang besok kami melewati jalan ini lagi, tanda itu bisa
menuntun kami hingga ke desa Air Panas.
Asap belerang di salah satu sisi telaga rano dok. Ardian |
Satu jam perjalanan, tumbuhan rotan sudah tidak
banyak lagi. Namun, jalanan terjal menanjak semakin tinggi. Mungkin kami sudah
semakin dekat. Berdasarkan peta topografi yang kami bawa, mendekati telaga
kondisi medan memang akan semakin terjalan menanjak. Memang benar jalan kami
sudah dekat. Dari atas kami sudah melihat permukaan air danau yang biru
kehijauan.
Rasa lelah yang sedari tadi kami rasakan
mendadak hilang sejenak ketika melihat permukaan telaga. Akhirnya kami tiba di
tujuan kami. Sekarang kami hanya butuh menuruni bukit ini agar kami bisa lebih
dekat dengan permukaan telaga. Bayangan kesegaran air telaga yang membasahi
tenggorokan membuat kami bersemangat menuruni bukit tersebut. Semangat itu
membuat kami melupakan sesuatu yang cukup penting. Dan, kami benar-benar lupa
akan hal itu sehingga kami terus menuruni tebing tersebut. Kami lupa peta.
Ya, kami lupa tentang petunjuk peta. Di peta
yang kami bawa, telaga Rano dikelilingi bukit terjal yang cukup tinggi. Ada
satu bagian yang tidak terlalu terjal tetapi harus memutar cukup jauh. Benar
saja. Mulanya kondisi medan sedikit mudah. Semakin turun kondisi medan semakin
terjal dengan tanah gembur dan batu-batu besar yang licin. Sudah kepalang
tanggung jika ingin kembali dan mencari jalan memutar. Akhirnya dengan sisa
tenaga yang ada, kami melanjutkan perjalanan. Pelan tapi pasti, kami terus
bergerak. Entah berapa kali terperosok dan jatuh. Pakaian yang kami pakai sudah
bercampur antara keringat dan tanah yang menempel.
Hampir satu jam kami tertatih menuruni jurang
terjal. Setelah lelah memuncak dan pakain basah kuyup oleh keringat, akhirnya
kami sampai di permukaan telaga. Tanpa buang waktu, kami langsung minum air
telaga untuk membasahi tenggorokan yang sedari tadi kering. Tiga jam kami
berjalan tanpa air karena persediaan air sudah habis sejak di bivak. Air telaga
Rano cukup segar di tenggorokan. Walaupun sedikit bau belerang karena memang di
sisi lain dari tempat kami sekarang terdapat bukit belerang.
Walaupun sudah sampai di permukaan, tetapi kami
belum bisa beristirahat. Ada sebuah gubug terpal di ujung telaga. Siapa tau ada
orang sehingga kami bisa meminta sedikit makanan, atau jika pun tidak ada gubug
itu bisa menjadi tempat beristirahat yang nyaman. Untuk bisa sampai ke sana ada
tiga jalan, pertama naik ke atas kemudian mencari jalan. Kedua, menyusurui sisi
telaga, dan ketiga berenang. Melihat kondisi fisik yang sudah lelah, akhirnya
kami memilih pilihan kedua. Tetapi ternyata pilihan kedua bukanlah pilihan yang
baik. Sisi telaga tidak bisa dilalui karena berlumpur dan dalam. Baru beberapa
langkah berjalan, akhirnya kami memilih alternatif ketiga. Cukup ekstrem
memang.
Ide tersebut awalnya muncul karena melihat
kondisi sisi telaga yang semakin. Selain itu, ada pohon pisang di ujung telaga
yang mungkin bisa kami gunakan untuk membawa tas kami. Tantangannya, tiga orang
dari kami harus berenang sejauh 200m untuk mengambil batang pohon pisang di
sisi lain telaga ini. Terpilihlah aku, Budi dan bang Irwandi yang akan menerima
tantangan itu. Bang Irwandi adalah seorang infantri marinir, jadi tidak
diragukan lagi kemampuan renangnya. Aku bisa berenang, tetapi sudah lama tidak
latihan. Kalau Budi, aku tidak tau. Masalah lain, kondisi kami yang sudah
sangat lelah dan belum makan sedari pagi tadi kecuali sepotong roti tawar.
Bang Irwandi membawa beberapa batang pohon pisang dari seberang telaga rano. dok. Ardian |
Baru 20 m berenang Budi sudah kelelahan, dia
kemudian berenang ke pinggir, kemudian selang 10 m, aku mulai kehilangan
konsentrasi berenang. Lelah sudah semakin berat terasa menjalar ke sekujur
tubuh. Akhirnya aku pun berenang ke pinggir. Hanya bang Irwandi yang bisa
berenang sampai ke tujuan. Di tepian yang aku dan Budi singgahi juga ada
beberapa pohon pisang. Kami mengambil tiga batang berukuran sedang, sedangkan Bang
Irwandi membawa lima batang pisang.
Delapan batang pisang tersebut kami ikat
menjadi satu rakit. Dikarenakan Samsul tidak bisa berenang, ia naik di atas
rakit beserta semua tas yang kami bawa, sedangkan empat orang yang lain
berenang di sisi kanan dan kiri untuk mendorong. Hujan turun cukup deras. Lelah
tidak lagi terasa berat. Di tengah hujan lebat kami berenang mendayung rakit
hingga ke tepi. Ketika lelah, kami berenang pelan.
Semakin jauh berenang, keseimbangan rakit
menjadi tidak menentu. Kadang miring terlalu kanan, kadang terlalu kiri sehingga
membuat tas kami nyaris terjatuh ke telaga. Samsul pun berpegang semakin keras.
Wajahnya terlihat sedikit ketakutan ketika rakit bergoyang kanan kiri
kehilangan keseimbangan. Namun, akhirnya kami tiba di gubug dengan selamat.
Gubug itu berukuran kecil, kira-kira hanya
seluas 2x2 meter. Terdapat dipan dan tungku masak. Atapnya dari terpal,
sedangkan dipannya hanya terbuat dari bambu. Terdapat beberapa potong kayu
kering di tungku masak. Juga panci, piring, sendok, gelas dan jerigen berisi
air. Sepertinya gubug ini digunakan warga untuk mengambil nira karena tidak
jauh dari sini terdapat sebuah drum besar seperti tempat penyulingan.
Hujan masih bertahan dengan rintik kecil. Beruntung
aku masih membawa pakaian ganti. Samsul hanya pakai sarung, karena hanya itu
yang kering. Kozin dan Budi masih punya pakaian kering. Setelah membersihkan
badan dan pakaian di telaga, bang Irwandi langsung memasak air dan memasak mie
sarden. Beberapa daun kasbi atau daun
singkong menjadi sayur tambahan mie setelah direbus. Semua makanan itu sangat
nikmat bagi kami yang sedari pagi belum makan nasi. Kemudian usai makan, kami mengabadikan
diri dengan berfoto di telaga. Bagi Budi, Kozin, dan Samsul, sampai di telaga
Rano adalah rekor tersendiri. Walaupun mereka tinggal di desa Trans Goal yang
tidak jauh dari Telaga Rano, tetapi baru kali ini mereka bisa sampai di telaga.
Lebih lagi dengan membuka jalur baru dan melalui medan yang tidak biasa.
Dari tempat kami berdiri, telaga Rano terlihat
menawan. Airnya biru kehijauan. Danau tersebut seperti terbentuk dari aktivitas
vulkonologi ribuan tahun lalu. Sisi-sisinya dikelilingi tebing yang dipenuhi
pepohonan lebat dengan ketinggian lebih dari 300 m, dengan salah satu sisinya
terdapat tebing yang mengeluarkan asap belerang. Bau belerang memang tercium
dari seluruh permukaan sisi telaga. Di tengah telaga ini ada beberapa pulau
kecil, beberapa di antaranya sangat kecil sehingga lebih tepat disebut tanah
yang menonjol keluar. Kata penduduk Goal, dulu ada sembilan pulau di tengah
telaga, tetapi yang kami lihat hanya ada enam. Konon menurut mereka,
pulau-pulau kecil itu bisa bergeser ketika tertiup angin. Katanya ada orang
dari Jawa yang pernah meneliti dengan mengukur jarak pulau itu dari daratan,
kemudian diulangi selang beberapa jam. Dan, hasilnya memang pulau itu bergeser
beberapa meter dari posisi awal.
Pakaian kami basah semua, termasuk sepatuku.
Beberapa kami jemur saja di tiang-tiang gubug yang diberi tali. Beberapa pakaian
yang akan dipaki lagi besok, kami panggang di atas api. Begitu juga dengan
sepatuku. Kupikir, sangar tidak nyaman menggunakan sepatu basah dalam perjalan
jauh di medan ekstrem. Apalagi sepatuku tipe water proof, jika bagian dalam
basah susah mengeringkannya. Jadi, aku berinisiatif untuk memanggangnya di
dekat tungku. Mudah-mudahan pagi besok sudah kering, pikirku.
Gelap menutupi telaga Rano dan hutan di
sekitarnya. Matahari digantikan bintang gemintang yang terlihat kerlap kerlip
di langit. Lelah menggelayuti tubuh kami sejak tadi, tetapi mata masih sulit
terpejam. Rokok menjadi jalan lain untuk menghabiskan malam hingga kantuk
mendekap.
nice trip dude :D (y)
BalasHapusThanks bro..
HapusWOW................SDH BRPA TAHUN SILAM...BARU TAU KALAU DIAN JUSTO SANGAT KREATIP DENGAN TULISAN TANGNYA...HHH MANTAP JUSTO,,,
BalasHapus