Rabu, 06 Agustus 2014

#CatatanHalbar 6 : Telaga Rano


Telaga Rano
dok. Ardian



Danau Rano terletak di kecamatan Sahu, Halmahera Barat. Danau ini terletak di ketinggian 1000 mdpl, berada di tengah-tengah hutan Sahu. Tidak banyak orang yang mengunjungi danau Rano. Juga tidak banyak info yang kami ketahui tentang danau Rano, hanya sedikit info dari teman dan masyarakat transmigran Goal atau Trans Goal yang menjadi tempat transit kami. Selain jarak yang cukup jauh dan hutan yang masih lebat, tidak adanya akses menuju ke danau juga menjadi faktor yang mengerdilkan nyali banyak orang untuk mengunjungi danau Rano. Hanya orang-orang yang bernyali dan bersemangat besar yang bisa sampai di tempat yang juga disebut telaga tersebut. Yap, dan kami adalah salah satu tim bernyali dan bersemangat tersebut.

Sebenarnya ada beberapa desa yang dapat dijadikan titik tolak menuju telaga Rano seperti desa Gamsungi, desa Air Panas, desa Goal, desa Peot, dan desa Sasur. Di antara ketiga desa tersebut, desa Gamsungi adalah yang paling sering dijadikan titik tolak menuju telaga Rano karena sudah terdapat akses jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat sampai batas hutan. Di desa tersebut juga banyak orang yang biasa dijadikan penunjuk jalan untuk menuju ke sana.

Namun, kami tidak memilih desa Gamsungi sebagai titik tolak, melainkan desa Air Panas. Kami tertantang untuk membuka jalan baru dari desa tersebut menuju telaga. Hanya bermodal peta kontur, gps, logistik secukupnya, dan semangat kami bertekad berangkat menuju telaga Rano.

Pak Mo
Di desa Goal, tidak jauh dari desa Air Panas, ada seorang pencari burung yang biasa masuk ke hutan Sahu. Setiap orang di desa tersebut mengenal dia sebagai ‘penguasa hutan Sahu’. Namanya pak Arnol, tetapi penduduk setempat memanggilnya pak Mo. Usianya 75 tahun. Sejak muda beliau sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk mencari burung. Jika ada peneliti dari luar Halmahera yang ingin masuk hutan atau mengunjungi telaga menggunakan jasa pak Mo sebagai penunjuk jalan.

Begitu juga kami. Oleh pak Hasam, warga desa Trans sekaligus pemilik rumah yang kami tinggali menyarankan untuk meminta bantuan pak Mo untuk menjadi penunjuk jalan. Namun, beliau sedang sakit pinggang sehingga tidak bisa mengantarkan kami. Pak Mo menyarankan agar kami ke desa Gamsungi, di sana ada juga beberapa warga yang biasa mencari burung di hutan, mungkin bisa membantu kami menunjukkan jalan menuju telaga Rano.

Karena mempertimbangkan waktu, kami tidak sempat lagi mencari orang yang ditunjukkan pak Mo. Akhirnya kami mengajak Budi, Kozin, dan Samsul, pemuda desa Trans untuk menemani. Sebelum berangkat pak Hasam kembali menyarankan kami untuk mengunjungi kediaman pak Mo lagi. Penduduk desa Goal, Air Panas, Trans Goal, dan Gamsungi menganggap pak Mo sebagai ‘pakuncen’ hutan Sahu dan telaga Rano, sehingga banyak orang yang datang ke kediaman pak Mo sebelum mereka ke hutan.

Kozin, Samsul, Budi dan Ardian
dok. Irwandi


Rabu pagi kami berangkat dari desa air panas. Menurut info warga setempat, ada jalan setapak yang biasa digunakan pencari kayu sampai ke tengah hutan. Kemudian kami lanjutkan perjalanan dengan membuka jalur baru. Jalanan yang curam dan rotan yang tumbuh subur menjadi penghalang yang harus kami lalui sehingga perjalanan berjalan sedikit lambat dan menguras banyak tenaga.

Sekitar jam dua siang kami istirahat di tengah hutan. Memasak mie instan yang dicampur sarden dan nasi lontong. Kami juga mendirikan bivak sederhana karena langit sudah mulai hujan. Bivak dari ponco selebar 2x2 m itu menjadi tempat perlindungan kami dari hujan sampai esok hari karena hujan terus turun hingga malam. Kopi instan disedu untuk menghangatkan badan. Obrolan kami mengalir tentang banyak hal seiring asap rokok membumbung tinggi menembus hujan.

Matahari mulai turun digantikan gelap. Tidak ada bulan, gemintang pun tidak terlihat jelas karena tertutup daun-daun dan ranting pohon besar yang menjulang. Hujan sudah mulai reda meninggalkan jejak tanah basah. Ada cahaya berwarna hijau seperti fosfor di atas tanah yang basah, tetapi saat dilihat menggunakan senter hanya tidak ada apa-apa, hanya percahan daun dan rating kering yang basah terkena hujan. Namun, ketika lampu dimatikan cahaya itu muncul lagi. Akhirnya kuambil cahaya itu ketika gelap. Ternyata hanya percahan ranting dan daun kering yang bercahaya seperti fosfor. Tidak ada jamur, tumbuhan maupun yang menghasilkan cahaya di percahan itu. Cahaya itu seperti jejak hewan, mungkin siput, karena tidak semua bagian percahan itu bercahaya. Aku sempat mengumpulkan beberapa percahan yang bercahaya paling terang kemudian kukumpulkan di dalam sebuah plastik. Namun sayang, kumpulan percayahan itu tidak bisa kubawa pulang karena hilang ketika kami berenang menyeberangi telaga Rano.

Pagi menjelang. Kicauan rangkok, nuri, kakak tua dan berbagai macam burung serta hewan hutan menyambut pagi kami. Tanah masih basah sisa hujan kemarin. Air disedu untuk memasak energen sebagai pasokan tenaga untuk perjalanan hari ini. Beberapa dari kami merapikan barang bawaan dan bivak. Tidur kami semalam bisa dikatakan cukup nyenyak walaupun badan sedikit sakit karena akar pohon yang menjalar malang melintang di bawah bivak kami.

Setelah sarapan seadanya dengan beberapa potong roti tawar dan energen, kami melanjutkan perjalanan. Tumbuhan rotan dan jalanan terjal masih menjadi rintangan utama yang harus kami hadapi. Bang Irwandi dan Budi di barisan depan dengan golok untuk menebas setiap rotan dan tumbuhan untuk memberi jalan. Aku dan Samsul di tengah, sementara Kozin di bagian belakang untuk memberi penanda jalan pada bagian ranting dengan rafia biru. Siapa tau ketika pulang besok kami melewati jalan ini lagi, tanda itu bisa menuntun kami hingga ke desa Air Panas.


Asap belerang di salah satu sisi telaga rano
dok. Ardian

Satu jam perjalanan, tumbuhan rotan sudah tidak banyak lagi. Namun, jalanan terjal menanjak semakin tinggi. Mungkin kami sudah semakin dekat. Berdasarkan peta topografi yang kami bawa, mendekati telaga kondisi medan memang akan semakin terjalan menanjak. Memang benar jalan kami sudah dekat. Dari atas kami sudah melihat permukaan air danau yang biru kehijauan.

Rasa lelah yang sedari tadi kami rasakan mendadak hilang sejenak ketika melihat permukaan telaga. Akhirnya kami tiba di tujuan kami. Sekarang kami hanya butuh menuruni bukit ini agar kami bisa lebih dekat dengan permukaan telaga. Bayangan kesegaran air telaga yang membasahi tenggorokan membuat kami bersemangat menuruni bukit tersebut. Semangat itu membuat kami melupakan sesuatu yang cukup penting. Dan, kami benar-benar lupa akan hal itu sehingga kami terus menuruni tebing tersebut. Kami lupa peta.

Ya, kami lupa tentang petunjuk peta. Di peta yang kami bawa, telaga Rano dikelilingi bukit terjal yang cukup tinggi. Ada satu bagian yang tidak terlalu terjal tetapi harus memutar cukup jauh. Benar saja. Mulanya kondisi medan sedikit mudah. Semakin turun kondisi medan semakin terjal dengan tanah gembur dan batu-batu besar yang licin. Sudah kepalang tanggung jika ingin kembali dan mencari jalan memutar. Akhirnya dengan sisa tenaga yang ada, kami melanjutkan perjalanan. Pelan tapi pasti, kami terus bergerak. Entah berapa kali terperosok dan jatuh. Pakaian yang kami pakai sudah bercampur antara keringat dan tanah yang menempel.

Hampir satu jam kami tertatih menuruni jurang terjal. Setelah lelah memuncak dan pakain basah kuyup oleh keringat, akhirnya kami sampai di permukaan telaga. Tanpa buang waktu, kami langsung minum air telaga untuk membasahi tenggorokan yang sedari tadi kering. Tiga jam kami berjalan tanpa air karena persediaan air sudah habis sejak di bivak. Air telaga Rano cukup segar di tenggorokan. Walaupun sedikit bau belerang karena memang di sisi lain dari tempat kami sekarang terdapat bukit belerang.



Walaupun sudah sampai di permukaan, tetapi kami belum bisa beristirahat. Ada sebuah gubug terpal di ujung telaga. Siapa tau ada orang sehingga kami bisa meminta sedikit makanan, atau jika pun tidak ada gubug itu bisa menjadi tempat beristirahat yang nyaman. Untuk bisa sampai ke sana ada tiga jalan, pertama naik ke atas kemudian mencari jalan. Kedua, menyusurui sisi telaga, dan ketiga berenang. Melihat kondisi fisik yang sudah lelah, akhirnya kami memilih pilihan kedua. Tetapi ternyata pilihan kedua bukanlah pilihan yang baik. Sisi telaga tidak bisa dilalui karena berlumpur dan dalam. Baru beberapa langkah berjalan, akhirnya kami memilih alternatif ketiga. Cukup ekstrem memang.

Ide tersebut awalnya muncul karena melihat kondisi sisi telaga yang semakin. Selain itu, ada pohon pisang di ujung telaga yang mungkin bisa kami gunakan untuk membawa tas kami. Tantangannya, tiga orang dari kami harus berenang sejauh 200m untuk mengambil batang pohon pisang di sisi lain telaga ini. Terpilihlah aku, Budi dan bang Irwandi yang akan menerima tantangan itu. Bang Irwandi adalah seorang infantri marinir, jadi tidak diragukan lagi kemampuan renangnya. Aku bisa berenang, tetapi sudah lama tidak latihan. Kalau Budi, aku tidak tau. Masalah lain, kondisi kami yang sudah sangat lelah dan belum makan sedari pagi tadi kecuali sepotong roti tawar.

Bang Irwandi membawa beberapa batang pohon pisang dari seberang
telaga rano.
dok. Ardian

Baru 20 m berenang Budi sudah kelelahan, dia kemudian berenang ke pinggir, kemudian selang 10 m, aku mulai kehilangan konsentrasi berenang. Lelah sudah semakin berat terasa menjalar ke sekujur tubuh. Akhirnya aku pun berenang ke pinggir. Hanya bang Irwandi yang bisa berenang sampai ke tujuan. Di tepian yang aku dan Budi singgahi juga ada beberapa pohon pisang. Kami mengambil tiga batang berukuran sedang, sedangkan Bang Irwandi membawa lima batang pisang.

Delapan batang pisang tersebut kami ikat menjadi satu rakit. Dikarenakan Samsul tidak bisa berenang, ia naik di atas rakit beserta semua tas yang kami bawa, sedangkan empat orang yang lain berenang di sisi kanan dan kiri untuk mendorong. Hujan turun cukup deras. Lelah tidak lagi terasa berat. Di tengah hujan lebat kami berenang mendayung rakit hingga ke tepi. Ketika lelah, kami berenang pelan.

Semakin jauh berenang, keseimbangan rakit menjadi tidak menentu. Kadang miring terlalu kanan, kadang terlalu kiri sehingga membuat tas kami nyaris terjatuh ke telaga. Samsul pun berpegang semakin keras. Wajahnya terlihat sedikit ketakutan ketika rakit bergoyang kanan kiri kehilangan keseimbangan. Namun, akhirnya kami tiba di gubug dengan selamat.

Gubug itu berukuran kecil, kira-kira hanya seluas 2x2 meter. Terdapat dipan dan tungku masak. Atapnya dari terpal, sedangkan dipannya hanya terbuat dari bambu. Terdapat beberapa potong kayu kering di tungku masak. Juga panci, piring, sendok, gelas dan jerigen berisi air. Sepertinya gubug ini digunakan warga untuk mengambil nira karena tidak jauh dari sini terdapat sebuah drum besar seperti tempat penyulingan.

Hujan masih bertahan dengan rintik kecil. Beruntung aku masih membawa pakaian ganti. Samsul hanya pakai sarung, karena hanya itu yang kering. Kozin dan Budi masih punya pakaian kering. Setelah membersihkan badan dan pakaian di telaga, bang Irwandi langsung memasak air dan memasak mie sarden. Beberapa daun kasbi atau daun singkong menjadi sayur tambahan mie setelah direbus. Semua makanan itu sangat nikmat bagi kami yang sedari pagi belum makan nasi. Kemudian usai makan, kami mengabadikan diri dengan berfoto di telaga. Bagi Budi, Kozin, dan Samsul, sampai di telaga Rano adalah rekor tersendiri. Walaupun mereka tinggal di desa Trans Goal yang tidak jauh dari Telaga Rano, tetapi baru kali ini mereka bisa sampai di telaga. Lebih lagi dengan membuka jalur baru dan melalui medan yang tidak biasa.

Dari tempat kami berdiri, telaga Rano terlihat menawan. Airnya biru kehijauan. Danau tersebut seperti terbentuk dari aktivitas vulkonologi ribuan tahun lalu. Sisi-sisinya dikelilingi tebing yang dipenuhi pepohonan lebat dengan ketinggian lebih dari 300 m, dengan salah satu sisinya terdapat tebing yang mengeluarkan asap belerang. Bau belerang memang tercium dari seluruh permukaan sisi telaga. Di tengah telaga ini ada beberapa pulau kecil, beberapa di antaranya sangat kecil sehingga lebih tepat disebut tanah yang menonjol keluar. Kata penduduk Goal, dulu ada sembilan pulau di tengah telaga, tetapi yang kami lihat hanya ada enam. Konon menurut mereka, pulau-pulau kecil itu bisa bergeser ketika tertiup angin. Katanya ada orang dari Jawa yang pernah meneliti dengan mengukur jarak pulau itu dari daratan, kemudian diulangi selang beberapa jam. Dan, hasilnya memang pulau itu bergeser beberapa meter dari posisi awal.

Pakaian kami basah semua, termasuk sepatuku. Beberapa kami jemur saja di tiang-tiang gubug yang diberi tali. Beberapa pakaian yang akan dipaki lagi besok, kami panggang di atas api. Begitu juga dengan sepatuku. Kupikir, sangar tidak nyaman menggunakan sepatu basah dalam perjalan jauh di medan ekstrem. Apalagi sepatuku tipe water proof, jika bagian dalam basah susah mengeringkannya. Jadi, aku berinisiatif untuk memanggangnya di dekat tungku. Mudah-mudahan pagi besok sudah kering, pikirku.

Gelap menutupi telaga Rano dan hutan di sekitarnya. Matahari digantikan bintang gemintang yang terlihat kerlap kerlip di langit. Lelah menggelayuti tubuh kami sejak tadi, tetapi mata masih sulit terpejam. Rokok menjadi jalan lain untuk menghabiskan malam hingga kantuk mendekap.


3 komentar:

  1. nice trip dude :D (y)

    BalasHapus
  2. WOW................SDH BRPA TAHUN SILAM...BARU TAU KALAU DIAN JUSTO SANGAT KREATIP DENGAN TULISAN TANGNYA...HHH MANTAP JUSTO,,,

    BalasHapus

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman