Rabu, 06 Agustus 2014

#CatatanHalbar 4: Jejak Petualang atau The Crocodile Hunter?



Menyusuri hutan Bakau melalui sungai Tuada serasa di acara Jejak Petualang
dok. Annisatu



Pergerakan kami dimulai dari desa Tuada, desa pesisir yang terletak di kecamatan Jailolo. Umumnya daerah pesisir, desa Tuada memiliki daerah bakau yang cukup luas. Tetapi tidak sedikit yang akhirnya gundul karena penebangan liar oleh warga untuk dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Pada 2013 lalu, Ariel bersama grup band Noah melakukan penanaman bakau di desa Tuada usai pagelaran Festival Teluk Jailolo. Noah menjadi pengisi acara dalam acara tahunan terbesar di Halmahera Barat tersebut.

Rata-rata penduduk desa Tuada berprofesi sebagai nelayan. Sepertinya teri menjadi komoditi andalan untuk daerah ini; setidaknya itu yang saya lihat selama beberapa hari di sini. Ikan kecil itu dijemur di atas tikar atau karung yang digelar di halaman warga ataupun sepanjang jalan desa. Selain melaut, ada juga beberapa yang bekerja sebagai petani kopra atau pala. Bukit tinggi di belakang desa ini menjadi lahan untuk perkebunan pala dan kelapa milik warga.

Matahari cerah sekali hari ini. Ibu-ibu dan anak-anak desa Tuada berkumpul di bawah pohon di tepian pantai sembari menikmati angin laut yang berhembus semilir, sementara Aku, bang Irwan dan Nisa berjalan menyusuri tepian pantai menuju hutan bakau di ujung desa. Bulan bersinar terang semalam, itu sebabnya hingga menjelang tengah hari air laut masih tinggi. Ada perahu Kole-kole yang bersandar di hilir sungai, dan tali dari bahunya diikatkan pada ranting pohon bakau di sekitarnya. Kami akan meminjam perahu Kole-kole itu untuk menyusuri hutan bakau melalui aliran sungai di sekitar desa ini. Dari peta kontur yang kami bawa, ada satu aliran sungai yang cukup besar yang bisa kami lalui untuk menyusuri hutan bakau ini, tetapi harus melewati laut. Ini pasti seru, pikirku. Bisa kubayangkan bagaimana perjalanan kami nanti; terombang-ambing di laut dengan perahu Kole-kole, dan menyusuri hutan bakau melalui sungai seperti acara Jejak Petualang di TV. 

Ah ya, mungkin sebagian dari kalian masih belum tahu bagaimana bentuk perahu Kole-kole yang akan kami gunakan untuk penyusuran bakau ini. Perahu Kole-kole adalah perahu tradisional yang biasa digunakan nelayan untuk memancing atau melempar jala. Ukuran perahu sangat kecil, lebar sekitar 50 cm dan panjang 3 – 5 meter. Umumnya pada bagian sisi kanan kirinya diberi penyeimbang, namun ada juga yang tidak. Maksimum muatan hanya 3 atau 4 orang, lebih dari itu keseimbangan perahu akan tidak stabil dan rentan tenggelam.

Kami cuma bertiga, jadi perahu cukup stabil. Aku di bagian depan sambil memegang kayuh, Nisa di tengah, dan bang Irwandi di belakang sebagai pengontrol kemudi. Awalnya aku diminta memegang kemudi karena pangkal kelingking kananku bengkak karena bisul. Tetapi karena kemampuan kemudiku yang parah, akhirnya aku di depan mengayuh dayung. Untungnya sebelum berangkat tadi aku sudah minum asam mefenamat yang cukup ampuh menekan rasa sakit akibat menggenggam kayuh.

Bang Irwandi memegang kemudi
dok. Annisatu
Sepertinya ini pertama kalinya aku ber-kole-kole di tengah lautan. Seru! Diombang-ambing ombak lautan seraya melaju melawan arus di bawah terik matahari dan kecipak air laut yang sesekali menyentuh wajah. Meskipun berada di tengah lautan dengan ombak yang mengalun sedang, tapi kami cukup tenang karena penstabil ombak di sisi kanan dan kiri perahu ini menjaga agar perahu tetap dalam kondisi stabil. Yang penting nggak datang bukan ombak setinggi lima meter atau dua puluh meter yang berdiri tegak di atas kami kemudian menyapu bersih sampai ke dasar lautan. Itu sih lebay banget.

Semakin ke tengah, ombak menjadi sedikit lebih besar. Meskipun ada penstabil di kanan kiri, kami lebih memilih posisi aman, yaitu berada di tidak jauh dari tepi daratan. Daratan yang saya maksud sebenarnya bukan sepenuhnya daratan, melainkan hutan bakau yang membentang luas sejauh puluhan kilometer dari tepian. Ya setidaknya pohon-pohon bakau itu bisa menolong kami jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Setiap ada lekukan seperti celah di antara barisan pepohonan bakau yang rapat, kami selalu sedikit mengayuh perahu lebih dekat, berharap cela itu adalah muara sungai yang kami cari. Beberapa memang berupa muara, tetapi sedikit lebih kecil, perahu kami tidak mungkin bisa masuk dan juga bukan muara yang kami cari. Tidak terasa kami semakin jauh dari tepian. Bahkan rumah-rumah kayu milik masyarakat Tuada terlihat kecil dari tempat kami saat ini. Namun, hal itu tidak membuat nyali kami ciut. Khawatir pasti ada, tetapi semangat dan rasa penasaran lebih besar kami rasakan. Berdoa dan berharap yang terbaik adalah hal yang selalu kami lantunkan, meski hanya di dalam hati.

Terlihat ada jeda di antara barisan pohon-pohon bakau di depan kami. Mungkin itu adalah muara yang kami cari. Aku semakin mempercepat kayuhan. Bengkak di telapak tanganku masih menyisakan sedikit nyeri. Tetapi semangat membuatnya tidak begitu berarti. Semakin mendekat, cela itu semakin melebar. Ya, itu adalah muara yang ada pada peta. Bang Irwandi mengatur kemudi, sementara aku menambah tenaga pada kayuhanku agar dapat melawan arus sungai yang mengalir ke hilir. Akhirnya kami masuk ke wilayah hutan, dan Welcome to The Jungle.

Sedikitnya ada enam jenis bakau yang tumbuh di kanan kiri aliran sungai ini, dan sebagian besar di antaranya adalah jenis soki. Ketika berbunga, kelopaknya berbentuk bintang. Buahnya panjang, dan sedikit runcing. Ketika jatuh buah tersebut akan menancap di tanah yang lembek dan beberapa Minggu kemudian muncul tunas dari atasnya. Mohon maaf jika pendeskripsianku untuk tanaman ini tidak begitu kalian pahami, mungkin aku perlu belajar banyak tentang anatomi tumbuhan.

Pemandangan di sini luar biasa. Mungkin jika ada kamera yang nge-shoot dari atas pakai drone atau kamera di belakangku benar-benar seperti acara Jejak Petualang. Kami mengayuh perahu sampan kecil di atas aliran sungai yang tenang, airnya berwarna kuning kecoklatan karena lumpur di bawahnya. Perahu kami kayuh pelan. Sejauh mata memandang, yang ada di kanan kiri kami hanyalah pepohonan bakau yang rindang dengan akar nafas yang tumbuh dari permukaan tanah yang becek. Air sungai ini benar-benar tenang, seperti tidak tahu hendak mengalir ke mana.  Dan tiba-tiba aku juga membayangkan acara televisi lainnya, The Crocodile Hunter. Bukankah acara pemburu buaya itu juga mencari hewan berahang keras di tempat seperti ini; rawa-rawa dengan air tenang yang jarang dijamah manusia.

Kondisi sungai di antara hutan bakau Tuada
dok. Annisatu

Kami sempat turun ke darat untuk mengamati pepohonan bakau.
dok. Ardian

Kepiting bakau.
dok. Ardian

Entah kebetulan atau memang dia bisa baca pikiran, tiba-tiba bang Irwandi bilang, “Di, sambil liat kanan kiri ya, sapa tau ada buaya. Kayuhanmu juga diusahakan jangan sampek ada riak.” What The ...!! Aku juga baru ingat kalau tadi ada tim lain yang sedang di Sidangoli mengirim foto seekor buaya besar yang berhasil di tangkap warga. Buaya itu sudah diikat kaki dan rahangnya, di taruh di sebuah ruangan besar serta menjadi tontonan warga sekitar. Jika melihat dari foto yang dikirim lewat BBM itu, mungkin ukurannya 3 – 4 kali besar manusia normal. Menurut informasi dari mereka, predator air tawar itu juga baru saja memakan manusia di desa itu.

Aku menelan ludah, untuk menenangkan diri setelah mengingat fakta mengerikan itu. Ingatan-ingatan tentang buaya pun bermunculan seperti halaman google. Kalian tahu, salah satu habitat buaya adalah di muara sungai, sehingga salah satu jenis dari mereka dijuluki buaya muara. Bukankah saat ini kami berada di muara sungai? Aku menarik nafas dalam. Tenang, ketakutan dan pengetahuan yang ada harusnya membuat kita semakin waspada.

Kami semakin jauh mengayuh ke arah hulu sungai. Semakin jauh, suasana menjadi semakin tenang. Ketakutan tentang buaya perlahan digantikan oleh perasan damai yang ada dari suasana di tempat ini. Kicau burung-burung, jangkrik dan gemericik dedaunan adalah simfoni paling indah yang diciptakan oleh alam. Kedamaian di sini seakan berbicara, “Tidak ada yang perlu ditakutkan ketika alam dan manusia bersahabat. Hutan, laut dan seluruh isi alam ini bukanlah musuh, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Jadi, kenapa manusia bersikap seolah-olah alam adalah musuh sehingga harus dibasmi?”

Hari semakin sore. Sepertinya kami harus berputar arah untuk kembali.


2 komentar:

  1. Tidak ada yang perlu ditakutkan ketika alam dan manusia bersahabat. Hutan, laut dan seluruh isi alam ini bukanlah musuh, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Jadi, kenapa manusia bersikap seolah-olah alam adalah musuh sehingga harus dibasmi?

    bener mas setuju, tapi kayanya lebih bener "...kenapa manusia bersikap seolah-olah alam adalah hamba sehingga harus dikeruk habis-habisan keindahannya?" hehe ^_^V

    BalasHapus
  2. iyaa.... gitu juga bener. hehehe... udah baca semua?

    BalasHapus

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman