Menyusuri hutan Bakau melalui sungai Tuada serasa di acara Jejak Petualang dok. Annisatu |
Pergerakan
kami dimulai dari desa Tuada, desa pesisir yang terletak di kecamatan Jailolo.
Umumnya daerah pesisir, desa Tuada memiliki daerah bakau yang cukup luas. Tetapi
tidak sedikit yang akhirnya gundul karena penebangan liar oleh warga untuk
dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Pada 2013 lalu, Ariel bersama grup band Noah
melakukan penanaman bakau di desa Tuada usai pagelaran Festival Teluk Jailolo.
Noah menjadi pengisi acara dalam acara tahunan terbesar di Halmahera Barat
tersebut.
Rata-rata
penduduk desa Tuada berprofesi sebagai nelayan. Sepertinya teri menjadi
komoditi andalan untuk daerah ini; setidaknya itu yang saya lihat selama
beberapa hari di sini. Ikan kecil itu dijemur di atas tikar atau karung yang
digelar di halaman warga ataupun sepanjang jalan desa. Selain melaut, ada juga
beberapa yang bekerja sebagai petani kopra atau pala. Bukit tinggi di belakang
desa ini menjadi lahan untuk perkebunan pala dan kelapa milik warga.
Matahari
cerah sekali hari ini. Ibu-ibu dan anak-anak desa Tuada berkumpul di bawah
pohon di tepian pantai sembari menikmati angin laut yang berhembus semilir,
sementara Aku, bang Irwan dan Nisa berjalan menyusuri tepian pantai menuju
hutan bakau di ujung desa. Bulan bersinar terang semalam, itu sebabnya hingga
menjelang tengah hari air laut masih tinggi. Ada perahu Kole-kole yang bersandar di hilir sungai, dan tali dari bahunya
diikatkan pada ranting pohon bakau di sekitarnya. Kami akan meminjam perahu Kole-kole itu untuk menyusuri hutan
bakau melalui aliran sungai di sekitar desa ini. Dari peta kontur yang kami
bawa, ada satu aliran sungai yang cukup besar yang bisa kami lalui untuk
menyusuri hutan bakau ini, tetapi harus melewati laut. Ini pasti seru, pikirku.
Bisa kubayangkan bagaimana perjalanan kami nanti; terombang-ambing di laut
dengan perahu Kole-kole, dan
menyusuri hutan bakau melalui sungai seperti acara Jejak Petualang di TV.
Ah ya,
mungkin sebagian dari kalian masih belum tahu bagaimana bentuk perahu Kole-kole yang akan kami gunakan untuk penyusuran bakau ini. Perahu Kole-kole adalah perahu tradisional yang
biasa digunakan nelayan untuk memancing atau melempar jala. Ukuran perahu
sangat kecil, lebar sekitar 50 cm dan panjang 3 – 5 meter. Umumnya pada bagian
sisi kanan kirinya diberi penyeimbang, namun ada juga yang tidak. Maksimum
muatan hanya 3 atau 4 orang, lebih dari itu keseimbangan perahu akan tidak
stabil dan rentan tenggelam.
Kami cuma
bertiga, jadi perahu cukup stabil. Aku di bagian depan sambil memegang kayuh,
Nisa di tengah, dan bang Irwandi di belakang sebagai pengontrol kemudi. Awalnya
aku diminta memegang kemudi karena pangkal kelingking kananku bengkak karena
bisul. Tetapi karena kemampuan kemudiku yang parah, akhirnya aku di depan
mengayuh dayung. Untungnya sebelum berangkat tadi aku sudah minum asam
mefenamat yang cukup ampuh menekan rasa sakit akibat menggenggam kayuh.
Bang Irwandi memegang kemudi dok. Annisatu |
Sepertinya
ini pertama kalinya aku ber-kole-kole
di tengah lautan. Seru! Diombang-ambing ombak lautan seraya melaju melawan arus
di bawah terik matahari dan kecipak air laut yang sesekali menyentuh wajah.
Meskipun berada di tengah lautan dengan ombak yang mengalun sedang, tapi kami
cukup tenang karena penstabil ombak di sisi kanan dan kiri perahu ini menjaga
agar perahu tetap dalam kondisi stabil. Yang penting nggak datang bukan ombak
setinggi lima meter atau dua puluh meter yang berdiri tegak di atas kami
kemudian menyapu bersih sampai ke dasar lautan. Itu sih lebay banget.
Semakin ke
tengah, ombak menjadi sedikit lebih besar. Meskipun ada penstabil di kanan
kiri, kami lebih memilih posisi aman, yaitu berada di tidak jauh dari tepi
daratan. Daratan yang saya maksud sebenarnya bukan sepenuhnya daratan,
melainkan hutan bakau yang membentang luas sejauh puluhan kilometer dari
tepian. Ya setidaknya pohon-pohon bakau itu bisa menolong kami jika sesuatu yang
tidak diinginkan terjadi.
Setiap ada
lekukan seperti celah di antara barisan pepohonan bakau yang rapat, kami selalu
sedikit mengayuh perahu lebih dekat, berharap cela itu adalah muara sungai yang
kami cari. Beberapa memang berupa muara, tetapi sedikit lebih kecil, perahu
kami tidak mungkin bisa masuk dan juga bukan muara yang kami cari. Tidak terasa
kami semakin jauh dari tepian. Bahkan rumah-rumah kayu milik masyarakat Tuada
terlihat kecil dari tempat kami saat ini. Namun, hal itu tidak membuat nyali
kami ciut. Khawatir pasti ada, tetapi semangat dan rasa penasaran lebih besar
kami rasakan. Berdoa dan berharap yang terbaik adalah hal yang selalu kami
lantunkan, meski hanya di dalam hati.
Terlihat ada
jeda di antara barisan pohon-pohon bakau di depan kami. Mungkin itu adalah
muara yang kami cari. Aku semakin mempercepat kayuhan. Bengkak di telapak
tanganku masih menyisakan sedikit nyeri. Tetapi semangat membuatnya tidak
begitu berarti. Semakin mendekat, cela itu semakin melebar. Ya, itu adalah
muara yang ada pada peta. Bang Irwandi mengatur kemudi, sementara aku menambah
tenaga pada kayuhanku agar dapat melawan arus sungai yang mengalir ke hilir. Akhirnya
kami masuk ke wilayah hutan, dan Welcome
to The Jungle.
Sedikitnya
ada enam jenis bakau yang tumbuh di kanan kiri aliran sungai ini, dan sebagian
besar di antaranya adalah jenis soki. Ketika
berbunga, kelopaknya berbentuk bintang. Buahnya panjang, dan sedikit runcing.
Ketika jatuh buah tersebut akan menancap di tanah yang lembek dan beberapa
Minggu kemudian muncul tunas dari atasnya. Mohon maaf jika pendeskripsianku
untuk tanaman ini tidak begitu kalian pahami, mungkin aku perlu belajar banyak
tentang anatomi tumbuhan.
Pemandangan
di sini luar biasa. Mungkin jika ada kamera yang nge-shoot dari atas pakai drone
atau kamera di belakangku benar-benar seperti acara Jejak Petualang. Kami mengayuh perahu sampan kecil di atas aliran
sungai yang tenang, airnya berwarna kuning kecoklatan karena lumpur di
bawahnya. Perahu kami kayuh pelan. Sejauh mata memandang, yang ada di kanan
kiri kami hanyalah pepohonan bakau yang rindang dengan akar nafas yang tumbuh
dari permukaan tanah yang becek. Air sungai ini benar-benar tenang, seperti
tidak tahu hendak mengalir ke mana. Dan
tiba-tiba aku juga membayangkan acara televisi lainnya, The Crocodile Hunter. Bukankah acara pemburu buaya itu juga mencari
hewan berahang keras di tempat seperti ini; rawa-rawa dengan air tenang yang
jarang dijamah manusia.
Kondisi sungai di antara hutan bakau Tuada dok. Annisatu |
Kami sempat turun ke darat untuk mengamati pepohonan bakau. dok. Ardian |
Kepiting bakau. dok. Ardian |
Entah
kebetulan atau memang dia bisa baca pikiran, tiba-tiba bang Irwandi bilang,
“Di, sambil liat kanan kiri ya, sapa tau ada buaya. Kayuhanmu juga diusahakan
jangan sampek ada riak.” What The ...!! Aku
juga baru ingat kalau tadi ada tim lain yang sedang di Sidangoli mengirim foto
seekor buaya besar yang berhasil di tangkap warga. Buaya itu sudah diikat kaki
dan rahangnya, di taruh di sebuah ruangan besar serta menjadi tontonan warga sekitar.
Jika melihat dari foto yang dikirim lewat BBM
itu, mungkin ukurannya 3 – 4 kali besar manusia normal. Menurut informasi
dari mereka, predator air tawar itu juga baru saja memakan manusia di desa itu.
Aku menelan
ludah, untuk menenangkan diri setelah mengingat fakta mengerikan itu.
Ingatan-ingatan tentang buaya pun bermunculan seperti halaman google. Kalian tahu, salah satu habitat
buaya adalah di muara sungai, sehingga salah satu jenis dari mereka dijuluki
buaya muara. Bukankah saat ini kami berada di muara sungai? Aku menarik nafas
dalam. Tenang, ketakutan dan pengetahuan yang ada harusnya membuat kita semakin
waspada.
Kami semakin
jauh mengayuh ke arah hulu sungai. Semakin jauh, suasana menjadi semakin
tenang. Ketakutan tentang buaya perlahan digantikan oleh perasan damai yang ada
dari suasana di tempat ini. Kicau burung-burung, jangkrik dan gemericik
dedaunan adalah simfoni paling indah yang diciptakan oleh alam. Kedamaian di
sini seakan berbicara, “Tidak ada yang perlu ditakutkan ketika alam dan manusia
bersahabat. Hutan, laut dan seluruh isi alam ini bukanlah musuh, jadi tidak ada
yang perlu ditakutkan. Jadi, kenapa manusia bersikap seolah-olah alam adalah
musuh sehingga harus dibasmi?”
Hari semakin
sore. Sepertinya kami harus berputar arah untuk kembali.
Tidak ada yang perlu ditakutkan ketika alam dan manusia bersahabat. Hutan, laut dan seluruh isi alam ini bukanlah musuh, jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Jadi, kenapa manusia bersikap seolah-olah alam adalah musuh sehingga harus dibasmi?
BalasHapusbener mas setuju, tapi kayanya lebih bener "...kenapa manusia bersikap seolah-olah alam adalah hamba sehingga harus dikeruk habis-habisan keindahannya?" hehe ^_^V
iyaa.... gitu juga bener. hehehe... udah baca semua?
BalasHapus