Bentor Baronggeng Jailolo sumber. http://www.indonesia.travel/ |
Minggu
pertama belum banyak kegiatan. Kami diberi kesempatan untuk jalan-jalan
menikmati sekitaran kota Jailolo. Itulah yang aku, Darumas, Vici dan Sigit
lakukan. Dengan mental gelandangan, kami berjalan saja dari desa Kuripasai ke
pasar Akediri, berharap ada mobil bak terbuka yang bersedia kami tumpangi
sampai ke pelabuhan Jailolo. Satu pick up putih yang sedang membawa duren
lewat. Tangan kami lambaikan memohon tumpangan. Supirnya menanggapi kode
‘jempol’ yang kami mainkan, mobil ia tepikan. Setelah berbincang sedikit, si
supir yang masih berusia muda itu mengizinkan kami menumpang tetapi hanya
sampai lapangan Sasadu karena ia harus mengantar barang ke BRI Sasadu. Itu
artinya 5 km setelahnya harus kami pikir sendiri bagaimana caranya agar kami
bisa sampai ke pelabuhan Jailolo. Bagi kami itu tidak masalah. Kami lantas naik
ke bak pick up putih itu.
Mobil
melaju dengan kecepatan sedang. Udara sore Jailolo masih bisa kami nikmati
kesegarannya. Tidak terlalu banyak kendaraan di sini. Pohon-pohon yang masih
cukup banyak tumbuh di pinggiran jalan dan perkampungan masih bisa mencuci
udara kotor yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor. Krucut gunung Jailolo
terlihat jelas tanpa awan yang menutupi; biru, hijau, coklat menjadi satu
membelakangi langit biru kemerahan karena senja sebentar lagi datang. Melihat
ekspresi kebebasan dari raut wajah Darumas, Vici, dan Sigit yang lepas
terhempas angin sore memperlihatkan kalau mereka sangat menikmati perjalanan
dengan truk bak terbuka seperti ini. Bisa kalian tebak seperti apa karakter
mereka.
Laju mobil
putih itu melambat sebelum akhirnya menempi di depan Bank Rakyat Indonesia.
Sopir keluar dari dalam mobil seraya tersenyum. Kami bersiap turun, kemudian
mengucapkan terima kasih kepada sopir pick up tersebut. Sambil berjalan, kami
berharap sopir pick up itu berubah pikiran dan akhirnya mengantar kami sampai
ke pelabuhan. Kami masih melirik ke mobil putih tersebut ketika si sopir masuk
ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Ketika mobil itu melewati kami, doa kami
masih berlanjut semoga si sopir menepikan mobilnya beberapa meter di depan
kami, kemudian mengajak kami untuk naik ke mobilnya lagi. Namun, pupus. Si
sopir hanya menyalakan klakson ketika melewati kami dan berlalu begitu saja.
Jalan-jalan gratisan ala kami. hahaha dok. ardian |
Hari
semakin sore. Tiba-tiba kami psimis ada mobil yang bisa kami tumpangi sampai ke
palabuhan. Akhirnya kami memanggil satu bentor yang ngetem di depan lapangan Sasadu. Satu bentor untuk 4 orang. Agak
dipaksakan, tapi demi penghematan, apapun dilakukan. Umumnya satu bentor hanya
untuk dua orang, atau maksimal tiga orang. Kadang jika diperlukan bisa mencapai
empat orang seperti yang kami lakukan sore itu.
Bentuk
bentor ini unik, bener-bener unik. Bagian depan bentor di modif menyerupai
bagian depan mobil. Bahkan joknya memakai jok mobil. Terdapat atap dan penutup dari
kaca fiber tembus pandang yang digunakan ketika hujan atau kapanpun jika
diperlukan. Satu set sound speaker
besar menempel di bagian belakang jok. Musik-musik disko menggema dari speaker
tersebut sehingga membuat sensasi naik bentor seperti sedang baronggeng. Separuh sepeda motor bebek
digunakan sebagai pendorong pada bagian belakang.
Berempat naik Bentor dok. ardian |
Ah, ya…
kalian tau baronggeng? Baronggeng
adalah hiburan yang sering diadakan oleh masyarakat Maluku setiap kali ada
hajatan. Acaranya biasanya hanya memutar musik atau lagu-lagu dengan ritme
sedikit cepat, kemudian beberapa orang joget ria di tengah-tengah kerumunan
penonton. Awalnya kukira mereka hanya berjoget bebas. Tetapi aku baru tau
ternyata ada tarian tertentu untuk beberapa lagu tertentu. Lagu baronggeng yang
aku tahu cuma my africa saja, yang
lain aku tidak tau judulnya apa.
Kembali ke
bentor baronggeng. Sejak kedatangan
hari pertama di Jailolo, aku cukup penasaran dengan bentor di Jailolo ini. Aku
sempat bertanya kepada supir bentor tentang bentornya. Namanya bang Ilham, dia
punya dua bentor seperti ini. Katanya, untuk membuat bentor full musik seperti
ini ia harus mengeluarkan uang sekitar 20 – 30 juta untuk satu bentor,
tergantung dari jenis speaker yang digunakan, semakin bagus pastinya juga
semakin mahal. Alasannya sederhana saja, untuk menarik penumpang. Seperti yang
aku ceritakan tentang baronggeng tadi, karena kebiasaan baronggeng masyarakat
Maluku, musik seakan menjadi bagian dari gaya hidup. Kalau tidak ada musik,
rasanya kurang afdol. Selain itu, ya buat hiburan supirnya sendiri aja.
Matahari
sudah hampir tenggelam dan langit barat sudah memerah ketika kami sampai di
dermaga. Sebagai pecinta senja, aku duduk di bebatuan tepi laut sambil
menikmati senja sore itu. Aku tidak ingin senja ini kunikmati sendiri, jika
Sukab memotong senja untuk pacarnya, aku hanya menangkap sedikit bagiannya
untuk kunikmati di lain waktu. Mungkin kalian juga bisa menikmatinya.
Mohon
dimaklumi jika tidak terlalu bagus seperti aslinya. Aku cuma menangkapnya dengan
hp, jadi ya seperti ini. Kuharap kalian tidak kecewa. Mungkin suatu saat kalian
bisa menikmatinya sendiri di tepian dermaga Jailolo bersama orang-orang
spesial.
Usai
magrib, kami menumpang bentor lagi untuk kembali ke Kuripasai. Hanya sepuluh Rp
10.000 untuk satu bentor. Jauh lebih murah jika dibandingkan harga normal
sekitar Rp 20.000 untuk dua orang dalam satu bentor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar