Rabu, 06 Agustus 2014

#CatatanHalbar 3 Bentor Baronggeng

Bentor Baronggeng Jailolo
sumber. http://www.indonesia.travel/

Minggu pertama belum banyak kegiatan. Kami diberi kesempatan untuk jalan-jalan menikmati sekitaran kota Jailolo. Itulah yang aku, Darumas, Vici dan Sigit lakukan. Dengan mental gelandangan, kami berjalan saja dari desa Kuripasai ke pasar Akediri, berharap ada mobil bak terbuka yang bersedia kami tumpangi sampai ke pelabuhan Jailolo. Satu pick up putih yang sedang membawa duren lewat. Tangan kami lambaikan memohon tumpangan. Supirnya menanggapi kode ‘jempol’ yang kami mainkan, mobil ia tepikan. Setelah berbincang sedikit, si supir yang masih berusia muda itu mengizinkan kami menumpang tetapi hanya sampai lapangan Sasadu karena ia harus mengantar barang ke BRI Sasadu. Itu artinya 5 km setelahnya harus kami pikir sendiri bagaimana caranya agar kami bisa sampai ke pelabuhan Jailolo. Bagi kami itu tidak masalah. Kami lantas naik ke bak pick up putih itu.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Udara sore Jailolo masih bisa kami nikmati kesegarannya. Tidak terlalu banyak kendaraan di sini. Pohon-pohon yang masih cukup banyak tumbuh di pinggiran jalan dan perkampungan masih bisa mencuci udara kotor yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor. Krucut gunung Jailolo terlihat jelas tanpa awan yang menutupi; biru, hijau, coklat menjadi satu membelakangi langit biru kemerahan karena senja sebentar lagi datang. Melihat ekspresi kebebasan dari raut wajah Darumas, Vici, dan Sigit yang lepas terhempas angin sore memperlihatkan kalau mereka sangat menikmati perjalanan dengan truk bak terbuka seperti ini. Bisa kalian tebak seperti apa karakter mereka.

Laju mobil putih itu melambat sebelum akhirnya menempi di depan Bank Rakyat Indonesia. Sopir keluar dari dalam mobil seraya tersenyum. Kami bersiap turun, kemudian mengucapkan terima kasih kepada sopir pick up tersebut. Sambil berjalan, kami berharap sopir pick up itu berubah pikiran dan akhirnya mengantar kami sampai ke pelabuhan. Kami masih melirik ke mobil putih tersebut ketika si sopir masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Ketika mobil itu melewati kami, doa kami masih berlanjut semoga si sopir menepikan mobilnya beberapa meter di depan kami, kemudian mengajak kami untuk naik ke mobilnya lagi. Namun, pupus. Si sopir hanya menyalakan klakson ketika melewati kami dan berlalu begitu saja.

Jalan-jalan gratisan ala kami. hahaha
dok. ardian

Hari semakin sore. Tiba-tiba kami psimis ada mobil yang bisa kami tumpangi sampai ke palabuhan. Akhirnya kami memanggil satu bentor yang ngetem di depan lapangan Sasadu. Satu bentor untuk 4 orang. Agak dipaksakan, tapi demi penghematan, apapun dilakukan. Umumnya satu bentor hanya untuk dua orang, atau maksimal tiga orang. Kadang jika diperlukan bisa mencapai empat orang seperti yang kami lakukan sore itu.
Bentuk bentor ini unik, bener-bener unik. Bagian depan bentor di modif menyerupai bagian depan mobil. Bahkan joknya memakai jok mobil. Terdapat atap dan penutup dari kaca fiber tembus pandang yang digunakan ketika hujan atau kapanpun jika diperlukan. Satu set sound speaker besar menempel di bagian belakang jok. Musik-musik disko menggema dari speaker tersebut sehingga membuat sensasi naik bentor seperti sedang baronggeng. Separuh sepeda motor bebek digunakan sebagai pendorong pada bagian belakang.

Berempat naik Bentor
dok. ardian 

Ah, ya… kalian tau baronggeng? Baronggeng adalah hiburan yang sering diadakan oleh masyarakat Maluku setiap kali ada hajatan. Acaranya biasanya hanya memutar musik atau lagu-lagu dengan ritme sedikit cepat, kemudian beberapa orang joget ria di tengah-tengah kerumunan penonton. Awalnya kukira mereka hanya berjoget bebas. Tetapi aku baru tau ternyata ada tarian tertentu untuk beberapa lagu tertentu. Lagu baronggeng yang aku tahu cuma my africa saja, yang lain aku tidak tau judulnya apa.



Kembali ke bentor baronggeng. Sejak kedatangan hari pertama di Jailolo, aku cukup penasaran dengan bentor di Jailolo ini. Aku sempat bertanya kepada supir bentor tentang bentornya. Namanya bang Ilham, dia punya dua bentor seperti ini. Katanya, untuk membuat bentor full musik seperti ini ia harus mengeluarkan uang sekitar 20 – 30 juta untuk satu bentor, tergantung dari jenis speaker yang digunakan, semakin bagus pastinya juga semakin mahal. Alasannya sederhana saja, untuk menarik penumpang. Seperti yang aku ceritakan tentang baronggeng tadi, karena kebiasaan baronggeng masyarakat Maluku, musik seakan menjadi bagian dari gaya hidup. Kalau tidak ada musik, rasanya kurang afdol. Selain itu, ya buat hiburan supirnya sendiri aja.

Matahari sudah hampir tenggelam dan langit barat sudah memerah ketika kami sampai di dermaga. Sebagai pecinta senja, aku duduk di bebatuan tepi laut sambil menikmati senja sore itu. Aku tidak ingin senja ini kunikmati sendiri, jika Sukab memotong senja untuk pacarnya, aku hanya menangkap sedikit bagiannya untuk kunikmati di lain waktu. Mungkin kalian juga bisa menikmatinya.

Mohon dimaklumi jika tidak terlalu bagus seperti aslinya. Aku cuma menangkapnya dengan hp, jadi ya seperti ini. Kuharap kalian tidak kecewa. Mungkin suatu saat kalian bisa menikmatinya sendiri di tepian dermaga Jailolo bersama orang-orang spesial.


Usai magrib, kami menumpang bentor lagi untuk kembali ke Kuripasai. Hanya sepuluh Rp 10.000 untuk satu bentor. Jauh lebih murah jika dibandingkan harga normal sekitar Rp 20.000 untuk dua orang dalam satu bentor.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman