Kamis, 02 April 2015

#CatatanHalbar 16 : Refleksi Gamalama



Upacara memperingati hari Kebangkitan Nasional thn 2014 di puncak Gamalama
dok. Ardian

Langit yang sejak pagi terlihat cerah, perlahan mulai tertutup awan mendung. Tepat tengah hari, ribuan titik air jatuh di atas tanah Ternate. Itu tandanya kami harus menunda pendakian kami ke gunung Gamalama siang ini. Namun, sembari menunggu hujan reda, juru kunci gunung Gamalama yang juga pengurus kesultanan Ternate mengajak kami untuk berdoa bersama sebelum melaksanakan pendakian. Seluruh air yang kami bawa digabung menjadi satu di dalam sebuah ember besar untuk diberi doa. Kemudian masing-masing dari kami harus membawa minimal satu botol. Sembari menunggu hujan yang semakin deras, juru kunci gunung Gamalama yang aku lupa namanya itu mengingatkan kami tentang aturan dan pantangan yang harus ditaati ketika mendaki gunung ini.

“Gunung ini dijaga oleh ratusan prajurit gaib berbaju putih. Mereka ada di hampir seluruh tempat di gunung ini. Sebagai orang yang beriman bukankah kita wajib mempercayai dengan hal-hal gaib?” ujar juru kunci tersebut. “Nanti ketika sudah sampai di pos 4,  kalian harus adzan, satu orang saja yang adzan,” lanjutnya. Sang juru kunci juga bercerita tentang salah seorang artis yang dulu pernah naik ke gunung Gamalama dan bertemu dengan sesosok orang tua dengan bersorban layaknya seorang kiai. Dorce Gamalama nama artis tersebut. Kata Gamalama di belakang namanya apakah terinspirasi dari gunung Gamalama Ternate yang pernah ia daki, atau ada alasan lain, saya kurang paham.

Hujan menyisakan bulir-bulir air pada daun-daun cengkeh dan pala. Udara dingin pegunungan semakin terasa di akhir hujan seperti ini. Kami berbaris membentuk dua banjar. Juru kunci tersebut melafadkan doa sembari berkeliling memutari barisan kami. Kami hanya menurut saja apa yang dianjurkan juru kunci tersebut. Tidak ada yang menolak, meski dalam hati ada yang menentang. Ini adalah bagian dari budaya lokal yang wajib bagi kami hormati, terlebih kami adalah pendatang.


Selain dari tim Ekspedisi NKRI subkorwil Ternate, beberapa personil dari menwa STAIN Tenate. Serma Dwi dan salah seorang anggota Menwa mundur di awal pendakian karena fisik yang tidak mendukung. Serma Dwi merasa sudah tidak sanggup untuk mendaki, sedangkan salah seorang anggota menwa tersebut diminta mundur karena sakit. Ya, memang lebih baik tidak memaksakan diri untuk mendaki gunung jika kodisi fisik tidak memungkinkan, karena berisiko besar jika tetap dipaksakan.

Ritual pembacaan doa oleh juru kunci gunung Gamalama
dok. Ardian

Sebelum berangkat, juru kunci kembali membacakan doa sembari mengelilingi barisan rombongan
dok. Ardian


Aku mengeluarkan kamera poket, mendokumentasikan beberapa foto selama perjalanan. Di pemandangan yang digambarkan dalam lagu anak-anak “Naik ke puncak gunung” itu tidak berlaku di gunung Gamalama ini. Jika di lagu itu digambarkan bahwa selama pendakian ke puncak gunung yang tinggi, hanya ada pepohonan cemara di kiri kanannya. Tetapi di sini, sebagian besar adalah pohon cengkeh dan pala, dan nyaris tidak ada pohon cemara.

Bisa dibilang pendakian ini adalah pendakian yang panjang dan pendakian yang tidak direkomendasikan. Pertama, jumlah yang besar tidak dibagi menjadi beberapa tim kecil agar lebih efisien. Jumlah kami ketika itu mungkin lebih dari 20 orang. Kedua, minimnya persiapan. Kami hanya membawa bivak dan tenda perorangan yang biasa digunakan tentara. Bahkan anggota menwa hanya membawa terpal biru berukuran lebar tanpa tiang. Selain itu, hanya sedikit orang yang membawa senter, padahal kami mengalami perjalanan hingga jam 10 malam. Mungkin karena mereka personil tentara yang terbiasa dengan kondisi darurat dan perlengkapan seadanya. Semoga tidak ada yang mencontoh cara kami mendaki kali ini.

Hujan kembali turun, tidak deras memang, hanya gerimis. Tetapi justru itu yang membuat pendakian bertambah berat karena jalanan semakin licin. Ketika reda, kami beristirahat sejenak sembari membuka nasi bungkus yang kami bawa sejak dari bawah tadi, mumpung belum terlalu gelap. Mendekati pos empat, kami berhenti lagi. Warga setempat yang menjadi guide kami turun ke mata air bersama beberapa orang untuk mengambil persediaan air. Kemudian ketika sampai di pos empat, semua berhenti dan berbaris. Semua senter dimatikan. Di tengah keheningan malam dan dinginnya udara gunung Gamalama setelah hujan, guide kami menyerukan kalimat adzan sebagai simbol sekaligus permohonan izin kepada makhluk gaib yang menjaga tempat ini bahwa kami datang dengan niat baik, dan semoga disambut dengan baik pula. Sebagaimana pesan juru kunci gunung Gamalama ketika kami hendak berangkat tadi.

Sekitar pukul 10 malam akhirnya kami sampai di puncak. Kurang lebih delapan jam lamanya pendakian yang kami lalui. Hujan sudah reda, bahkan rembulan tampak menyinari malam kami di puncak Gamalama. Udara dingin langsung menusuk. Kami langsung mencari tempat masing-masing untuk membuat bivak. Tiba-tiba langit yang sedari tadi terlihat sudah cerah, tiba-tiba hujan. Kami segera menyelesaikan bivak masing-masing. Selesai memasak pasak terakhir, sekilas sosok wanita dengan tersenyum manis di samping Darumas. Yah, hanya sekilas. Aku pun tidak terlalu fokus karena hujan mulai menderas, kami ingin segera bertedu di balik bivak. Meski bivak sudah selesai aku dan bang Heriyana belum bisa masuk ke dalam karena Darumas masih ganti pakaian di dalam. Wajar cewek, sedikit agak lama. Tapi aku salut dengan Darumas, tidak banyak cewek bisa betah dalam kondisi serba terbatas seperti ini. Meski kami tetap menghargai dan memberi hak khusus sebagaimana cewek, tetapi dia juga cukup mengerti dengan tidak menambah ribet yang biasa dilakukan cewek.

Karena kondisi bivak yang tidak terlalu tinggi, ditambah hujan membuat bivak semakin pendek. Akhirnya kami hanya bisa tiduran di dalam bivak sambil makan roti T2, ransum tentara. Lumayan juga buat mengganjal lapar di tengah hujan di puncak Gamalama ini. Ada hal unik yang terjadi ketika kami membuat bivak tadi. Karena minimnya persiapan, tidak membawa dan juga ada pohon yang bisa dijadikan pasak, alhasil sebatang bambu yang kami bawa dari bawah dipotong sejengkal untuk pasak. Masing-masing orang memotong sejengkal untuk pasak. Padahal bambu itu untuk tiang bendera upacara hari Kebangkitan Nasional besok.

Keesokan subuh aku terbangun. Meski musim hujan, pemandangan sunrise dari puncak Gamalama sungguh membuatku berdecak kagum. Ini pengalaman pertamaku berada di puncak sebuah pulau. Gugusan nusa terlihat seperti benda kecil mengapung di atas laut yang teramat luas. Riak awan dengan latar biru langit terlihat menawan ketika dipadu dengan warna keemasan mentari terbit. Ini pemandangan yang sangat luar biasa bagiku, dan aku sangat bersyukur diberi kesempatan untuk menyaksikan pemandangan ini.

Sunrise di puncak Gamalama_1
dok. Ardian

Sunrise di puncak Gamalam_2
dok. Ardian

Matahari terbit seperti terbenam
dok. Ardian

Upacara memperingati hari kebangkitan nasional berjalan hikmat dan lancar. Aku tidak tau harus mendeskripsikan seperti apa momen upacara kebangkitan nasional kali ini. Yang jelas, pengadaan upacara di puncak gunung Gamalama kami anggap sebagai wujud perjuangan untuk membangkitkan semangat pemuda Indonesia menjadi negara yang semakin berjaya. Mungkin ini pemahaman gagalku terhadap momen kebangkinan nasional. Maaf.

***

Aku, bang Heriyana, dan Darumas memilih untuk terakhir turun. Sebagian besar rombongan berjalan lebih dulu. Kami bertiga ingin mencari beberapa spesies flora fauna yang mungkin bisa kami ambil sebagai data temuan flora fauna di kaki Gamalama. Namun, karena sudah terlalu lelah, kami memutuskan untuk berjalan pulang saja. Aku berjalan duluan di depan Darumas dan bang Heriyana. Ketika jarak kami agak jauh, aku duduk dan menunggu mereka. Hingga suatu ketika, kami terpisah agak jauh. Aku merasa tidak terlalu jauh berjalan, mungkin mereka yang terlalu lama beristirahat.
Hampir setengah jam aku menunggu di bawah sebuah pohon besar. Aku ingat tempat itu juga tempat dimana kami beristirahat semalam. Aku yakin sudah tidak jauh lagi kami sampai di sebuah rumah panggung. Di depan rumah itu ada sebuah keran air yang biasanya digunakan untuk pendaki yang kehabisan air. Botol aqua 1,5 liter yang kubawa hampir kosong. Kuputuskan untuk terus berjalan sampai ke gubug itu, mungkin tidak sampai setengah jam dengan sedikit berlari bisa sampai di gubug tersebut.

Ternyata dugaanku meleset. Aku sudah berjalan hampir dua jam dan aku belum juga menemukan gubug tersebut. Aku mulai mengingat-ingat jalur yang aku lalui semalam. Ada beberapa tempat yang membuatku tidak begitu yakin apakah kami melewatinya semalam. Tapi sepertinya tidak mungkin jika aku salah jalan, karena tidak ada persimpangan di sepanjang jalan ini. Artinya hanya inilah satu-satunya jalan menuju ke puncak Gamalama. Aku duduk untuk beristirahat sejenak. Ujung jari kakiku juga mulai sedikit sakit karena sepatuku yang rusak. Air yang kubawa juga sudah semakin sedikit. Sekarang aku berada di sendirian di tengah-tengah hutan. Sejenak aku ragu apakah harus terus berjalan atau menunggu bang Heriyana dan Darumas yang entah berjarak berapa meter di belakang. Karena yakin gubug itu sudah semakin dekat, aku memutuskan untuk berjalan.

Di jalanan terjal dan licin aku terjungkal. Bukannya meringis kesakitan, aku justru tertawa senang. Aku berpikir, bersyukur ketika umur sekarang aku merasakan pengalaman luar biasa seperti ini. Mungkin esok ketika tua aku masih bisa melakukan perjalanan yang sama, tetapi kesan, semangat, ambisi yang kurasakan tentunya akan sangat berbeda. Sekarang aku muda, bebas, tanpa beban pekerjaan, keluarga; hanya berpikir untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Beberapa kali aku terjatuh karena terlalu bersemangat meskipun medannya terlalu licin. Semua rasa sakit, lelah, kotor yang berpadu dengan semangat dan ambisi ini akan menjadi cerita yang menarik untuk kelak kukisahkan kepada anak cucuku.

Akhirnya aku menemukan sebuah ladang jagung di tengah hutan. Aku ingat ladang jagung ini, berikut juga dua atau tiga kuburan di tepi jalan setelahnya. Jarakku sudah tidak jauh lagi dari gubug itu. Tetapi baru setengah jam setelahnya baru aku temui gubug tersebut. Aku tidak berhenti, airku masih cukup. Aku ingin segera sampai di basecamp. Melewati gubug, ujung jari kakiku semakin sakit. Akhirnya aku berjalan mundur untuk meminimalisir rasa sakit hingga akhirnya aku tiba di basecamp. Rombongan pertama sudah sedari tadi sampai. Mereka hanya butuh waktu dua jam dari puncak hingga tiba di basecamp. Sedangkan aku hampir empat jam. Dan yang lebih lama adalah bang Heriyana dan Darumas yang baru tiba sekitar pukul enam sore, hampir enam jam lebih perjalanan mereka. Aku di marah karena meninggalkan mereka berdua.

Perjalanan ini memberiku banyak pelajaran yang sangat berharga, seperti juga perjalanan-perjalanan yang pernah aku lalui sebelumnya. Semoga masih ada perjalanan-perjalanan lain di hari depan yang akan aku lalui. Aku selalu siap.



Beberapa dokumentasi selama pendakian Gamalama



Tim Ekspedisi bersama mahasiswa pecinta Alam dan Menwa berfoto bersama
dok. Ardian

Bintara Oprasi Ekspedisi NKRI subkorwil Jailolo memberi instruksi sebelum upacar berlangsung
dok. Ardian

Perwakilan Kopassus (Pratu Dadang), Menwa, dan Paskhas (Pratu Rifki) bertugas sebegai penarik bendera
Dok. Ardian

Hormat bendera
dok. Ardian

Dok. Ardian

Dok. Ardian

Foto bersama seluruh tim
dok. Ardian
Tidur di dalam bivak yang sangat seadanya.
dok. Ardian

Darumas dan bang Heriyana (Serma Kopassus)
dok. Ardian


1 komentar:

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman