Jumat, 13 April 2018

Menerima Diri Menjadi Introvert

sumber: thesecretintrovert.com



Salah seorang teman pernah curhat bagaimana susahnya dia mencari teman. Kadang dia iri melihat teman-temannya yang lain ngumpul dengan teman-temannya, rame, seru. Tapi buat dia, ketemu satu temen buat makan bareng aja kadang susah. Sering juga bertanya dalam diri, apa yang salah ya, kok kayaknya mereka pada takut temenan sama aku?

Aku seperti melihat diriku ketika dia bercerita. Bukan, bukan soal jodoh, tapi yang ia alami pun aku mengalami hal yang sama. Pergaulan jadi masalah terbesarku bahkan hingga usiaku sekarang. Dalam lingkungan yang ramai, kelompok organisasi yang terlihat solid, tapi aku juga masih sering merasa kesepian. Seringkali merasa kalau keberadaanku seperti tak kasat mata, ada nggak ada aku ya sama aja, nggak berpengaruh apapun.

Aku introvert. Tulisan ini juga ingin bercerita bagaimana seorang introvert menjalani kesehariannya. Memang gak ada yang penting barangkali dengan hidupku, tapi aku ingin menjelaskan hal yang mungkin berbeda dengan apa yang kebanyakan orang tau tentang introvert.

Apa sih introvert itu?

Jika aku bertanya, apa yang kalian tau tentang introvert? Pemalu, anti sosial, menutup diri dan suka menyendiri? Sebagian besar orang mendeskripsikan introvert seperti itu. Padahal tidak semuanya benar. Suka menyendiri mungkin benar, karena kebanyakan introvert lebih suka menghabiskan waktu sendiri mendengarkan musik kesukaan atau membaca buku di dalam kamar atau suatu tempat yang jauh dari keramaian. Terutama ketika energi mereka menipis dan mereka menjadi moody.

Introvert dan ekstrovert, menurut Marti Olsen Laney, Psy.D dalam bukunya Introvert Advantage adalah tempramen bawaan setiap orang sejak lahir, dan itu melekat kepada seseorang seumur hidupnya. Sepertiga penduduk dunia adalah introvert dan duapertiga sisanya adalah ekstrovert. Banyak tokoh-tokoh dunia yang merupakan seorang introvert, seperti Enstein. Kedua tempramen ini sangat bergantung dengan energi dari orang tersebut, dan energi tersebut juga sangat berpengaruh terhadap lingkungannya. Energi ini bisa juga kita ibaratkan sebagai mood. 

Jika diibaratkan batrai, introvert adalah batrai rechargeable, artinya dia butuh tempat dan waktu khusus untuk mengisi energinya. Sedangkan ekstrovert bisa diibaratkan batrai solarsel yang membutuhkan lingkungan luar untuk mengisi tenaganya, sama seperti ekstrovert yang butuh orang-orang, kelompok, atau komunitasnya untuk mengembalikan energinya.

Jika introvert dalam kondisi energi yang terisi penuh, artinya moodnya sedang baik ia bisa sangat ceria, suka bercerita, becanda dan jadi pusat perhatian laiknya ekstrovert. Image pemalu dan anti sosial seakan hilang darinya.  Ketika membahas sesuatu yang mereka kuasai atau apa yang memang sudah disiapkan, mereka akan tampil sangat gemilang yang bisa bikin banyak orang takjub.

Tetapi ketika energinya menipis, wajah murung seperti cewek pms dengan mood berantakan terlihat jelas seakan membuat orang di sekitarnya lebih baik menjauh. Kondisinya pun mudah lelah, ketika kumpul dengan teman-teman seakan sangat menjemukan dan membuat mereka ingin cepat-cepat menghindar dari keramaian dan mencari tempat yang lebih tenang. Kondisi ini yang kadang membuat kebanyakan orang dengan karakter introvert serba salah. Di satu sisi mereka ingin ikut kumpul dan bergaul, tapi di sisi lain swing mood membuat mereka sangat tidak nyaman berada dalam lingkungan keramaian. Seringkali kondisi ketidaknyamanan mereka juga mempengaruhi lingkungan mereka. Sikap yang nyebelin dan kata-kata yang nyakitin juga sering muncul dari mereka. Inilah yang akhirnya membuat banyak introvert akhirnya dijauhi.

Introvert perlu kenal diri mereka

Menerima diri dengan tempramen introvert itu penting. Setiap orang harus mengenal diri mereka sendiri lebih dari siapapun, terutama mereka yang terlahir sebagai introvert. Tidak ada yang salah menjadi introvert, itu bukan sebuah kecacatan lahir. Hanya saja kita perlu mengenal siapa diri kita, mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, hobi, passion, bahkan tentang apa itu introvert.

Aku bukan ingin promosi buku Introvert Advantage, tapi setelah baca buku itu membuatku punya pandangan berbeda tentang diriku sendiri, juga sebagai seorang introvert. Aku lupa kapan tepatnya buku ini aku baca, mungkin sekitar menjelang akhir kuliah. Aku bukan tidak bergaul, di SMA aku ikut beberapa organisasi bahkan menjadi kordinator bidang, juga magang di majalah pelajar hingga menjadi pimpinan redaksi. Angkatanku sewaktu SMA pun dikenal sangat solid, tapi aku pribadi nggak merasakan menjadi bagian kesolidan itu. Masalahnya sederhana, aku nggak suka ikut kumpul-kumpul dengan mereka. Hal yang sama dan akar permasalahan yang kurang lebih sama pun terjadi hingga aku kuliah, ketika ikut dalam UKM kampus dan lingkungan angkatan. Aku seperti orang yang tidak punya kubu, artinya nggak punya temen nongkrong bareng, kemana-mana lebih sering sendirian. Tetapi hubungan dengan teman-teman dan lingkungan organisasi tetap baik.

Bukannya udah tau masalahnya cuma karena nggak ikut kumpul, kenapa nggak dilakukan, kan tinggal ikut aja? Iya bener. Aku bukan nggak mau ikut kumpul dengan mereka, tapi kadang nggak suka tempat rame, nggak nyaman, dalam beberapa kondisi lebih sering diem dan menyimak guyonan mereka yang aku nggak paham. Itu lah yang sering membuatku lebih suka nggak ikutan, karena ada nggak ada aku juga nggak ngaruh. Sedih ya.

Akhirnya aku mencoba mengenal siapa diriku sendiri, apa yang aku ingin dan butuhkan, dan dari buku ini aku juga menjadi tau banyak hal tentang introvert. Aku menerima diriku sebagai seorang introvert. Setelah saat itu, aku merasakan banyak hal dalam diriku pribadi, dan ternyata juga berpengaruh kepada pandangan orang lain terhadapku.


Menjadi pribadi yang bebas

sumber

Aku tidak tau jelas dimana perubahan itu dimulai, tapi memanjangkan rambut hingga sebahu kuanggap sebagai fase menjadi pribadi yang lebih bebas dan percaya diri, yang nggak lagi sibuk memikirkan kenapa aku nggak punya temen dan selalu dianggap nggak ada. Aku merasakan kenyamanan menjadi diri sendiri ketika rambutku panjang. Meleburkan diri dalam aktivitas mendaki gunung, traveling juga fotografi, dan masih tetap bisa lulus kuliah dalam waktu empat tahun. Setelah lulus, sementara teman-teman yang lain sibuk mencari pekerjaan, aku memutuskan untuk traveling selama setahun ke Indonesia timur. Aku menganggapnya sebagai me time. Aku nggak peduli dengan banyak omongan orang yang bilang aku nggak bakal susah dapet kerjaan karena masa-masa fresh grad akan hilang setelah enam bulan setelah lulus, dan tersaingi dengan lulusan-lulusan baru.  Aku nggak peduli, aku melakukan apa yang kuinginkan, terlebih lagi aku tau alasan kenapa aku melakukannya.

Rencana traveling ke Indonesia timurku pun berjalan. Memang tidak bener-bener murni traveling karena aku ikut lembaga survey di daerah jawa timur selama dua bulan, kemudian program Ekspedisi NKRI dari Kopassus selama empat bulan di Ternate dan Halmahera Barat. Aku sangat bersyukur dengan apa yang aku jalani dan dapatkan dari pengalaman yang aku jalani selama setahun. Benar-benar di luar ekspektasiku.

Setelah setahun fase me time, aku mulai mencari pekerjaan di perusahaan dan bidang yang sesuai passionku. Beberapa bulan kemudian aku diterima kerja sesuai bidang dan perusahaan yang aku inginkan. 

Banyak perubahan yang aku rasakan ketika menerima diri sebagai introvert, dan mengetahui tentang karakter tempramen tersebut. Kepercayaan diri itu menjadi bekal untuk menghadapi lingkungan yang selalu menuntut untuk menjadi esktrovert. Contohnya ketika kecil, bagaimana orangtua selalu menyuruh anaknya yang lebih suka di rumah untuk keluar main dengan temannya, atau orang tua yang suka membandingkan anaknya dengan anak orang lain yang lebih ramah dan periang.

Menerima diri menjadi seorang introvert, pun membuatku mengetahui kebutuhan dan keinginanku yang akhirnya mengarahkanku kepada passion. Katanya, beruntunglah orang-orang yang menemukan passion dan hidup bersamanya. Aku mengamini itu. Walaupun dengan catatan, memilih hidup bersama passionmu itu artinya memilih jalan hidup yang berkali-kali lipat lebih keras daripada orang yang tidak memilih passion sebagai jalan hidupnya.*



Senin, 22 Februari 2016

Nelayan Ngerenehan

Pantai Ngerenehan dari atas. doc: Ardian

Pantai Ngerenehan merupakan satu dari sekian banyak pantai yang ada di kebupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Terletak di desa Kanigoro, kecamatan Saptosari yang berjarak sekitar 30 Km dari kota Wonosari, pantai ini menawarkan pemandangan yang berbeda dari pantai lainnya di Gunung Kidul. Pantai Ngerenehan bisa dikatakan berupa teluk yang berbentuk seperti lingkaran dengan dikelilingi tebing kapur di kanan kirinya. Deburan ombak yang pecah menghantam tebing karang menambah eksotisme tempat ini. Biru laut yang tenang dan hamparan pasir putih memberikan pengalaman yang berbeda bagi siapa saja yang mengunjungi tempat ini.

Hal yang berbeda dari pantai lainnya ialah wisatawan yang berkunjung ke pantai Ngerenehan dapat menyaksikan beragam aktivitas para nelayan. Ketika pagi hari satu persatu nelayan mulai merapat ke bibir pantai untuk menjual hasil tangkapan mereka di tempat pelelangan ikan yang ada di pantai Ngerenehan. Salah satu hal yang menarik adalah budaya gotong royong yang masih dipertahankan oleh seluruh nelayan di tempat ini. Hal tersebut terlihat ketika perahu telah merapat ke tepi pantai, dengan bahu-membahu para nelayan mengangkat perahu tersebut ke daratan dan di susun dengan rapi. Tujuannya agar perahu mereka tidak terseret ombak ketika air laut pasang sekaligus mempererat tali persaudaraan satu sama lain.

Tidak hanya melihat aktivitas nelayan, para wisatawan yang berkunjung ke pantai Ngerenehan juga dapat menikmati hidangan laut hasil tangkapan para nelayan di rumah makan yang banyak tersedia di sekitar tempat ini.



Beberapa perahu bersiap menepi. (doc. Ardianto)

Bersiap merapat (doc. ardianto)

Bahu-membahu mengangkat perahu ke daratan (doc. ardianto)

Gotongroyong mempererat persaudaraan (doc. ardianto)

Membawa hasil tangkapan (doc. ardianto)

membawa hasil tangkapan (doc.ardianto)

menuju tempat pelelangan ikan (doc. ardianto)

Tempat pelelangan ikan (doc. ardianto)


Jumat, 31 Juli 2015

Untuk Sahabat Alam yang Telah Abadi

lelah tak lagi terasa ketika di puncak kita bersama
peluh tak lagi basah, hanya kehangatan yang tersisa
kini kau telah menyatu dengan angin,
membelai lembut menyeka air mata yang dingin
kau telah bersanding dengan fajar yang selalu kita kejar
kaulah senja yang menghias elok diujung langit-Nya
aku tersenyum sepeti dulu kita bersama
menatap langit biru di puncak yang sama

menyatulah bersama alam, wahai sahabatku
terbanglah bersama kehangatan mentari

untuk para sahabat alam yang telah abadi
doa kami untukmu





Kamis, 02 April 2015

Sebesar apa Hak Pakai untuk Rezeki Kita?

sumber

 “Inti kebahagiaan dalam hidup adalah rasa syukur,” ujar bapak suatu ketika. “Jika kita mensyukuri apapun yang diberikan Allah kepada kita, insya Allah, Allah akan mencukupi segala kebutuhan kita.”
Aku melihat banyak kebenaran dari ucapannya. Dulu beliau bukan tipe orang yang banyak bicara. Dulu sosok bapak sangat pendiam, jarang tersenyum, menghindari perdebatan, nrimo. Dalam diamnya beliau melakukan banyak hal positif yang kadang aku tidak tau. Baru sekitar sepuluh tahun belakangan ini aku sering melihat banyak senyum di wajahnya, sering bercanda, sudah mulai lebih banyak bicara, sekedar memberi nasihat atau hanya bertanya tentang kegiatan anak-anaknya. Beliau adalah pusat kendali netral di keluarga. Tidak banyak menuntut, tidak banyak melarang, percaya kepada keputusan anak. Tetapi ketika keputusan sudah keluar dari mulutnya, lebih baik menurut. Keputusan yang bapak ambil bukan karena ego, tapi dari berbagai pertimbangan. Aku sering melanggar keputusan bapak, dan akhirnya aku meringkuk meminta maaf kepadanya. Meski aku tau dia tidak pernah butuh permintaan maafku, karena sedetik ada perasaan kesal dalam hatinya, bersamaan itu pula ia memaafkan.

Orang-orang di kampungku melihat keluarga kami sebagai keluarga menengah ke atas. Padahal ibuku hanya penjahit rumahan, dan bapak karyawan PTPN II Kebun Bekiun yang tugasnya hanya membersihkan parit perkebunan atau memupuk sawit. Tetapi, alhamdulillah, dari hasil itulah aku bisa menyelesaikan pendidikanku di Jogja, juga kebutuhan kedua saudaraku. Aku tidak tau apa yang mereka lakukan di luar itu, tetapi yang aku tau mereka jarang sekali mengeluh karena hutang, justru yang aku tau banyak keluarga atau teman bapak yang utang uang ke bapak. Rezeki kami tidak banyak, jika dihitung dalam nominal. Tetapi alhamdulillah Allah selalu memberi kemudahan ketika keluarga membutuhkan dana. Aku tau, selama hampir sepuluh tahun di Jogja, mungkin tidak kurang lima ratus juta sudah dikeluarkan untuk biaya sekolah dan hidupku di sana. Selama sepuluh tahun itu juga, bapak harus membiayai pernikahan kakak, abang, usaha abang dan kakak, dan modal untuk membeli sepetak tanah untuk bekal usah pensiun nanti.

Bapak pernah menceritakan prihal itu kepadaku.

“Kita harus banyak bersyukur diberi hak pakai rezeki yang sepadan dengan apa yang diberikan. Yang penting itu bukan seberapa banyak rezeki yang kita dapat, tapi seberapa besar hak pakai yang diberikan kepada kita untuk menikmati rezeki itu,” kata bapak. “Jika rezeki banyak, tetapi hak pakai sedikit, akan ada banyak cara untuk rezeki itu keluar dari kita; entah dari kemalingan, penyakit, atau musibah lain. Tapi kalau Allah memberi hak pakai kepada kita besar, meski rezeki yang diberikan sedikit, tapi cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita.”

Benar sekali apa yang bapak bilang. Selama aku di Jogja, selalu ada dana untuk biaya sekolah, biaya hidup, juga transport untuk pulang dan kembali ke Jogja. Alhamdulillah, jarang sekali kami ditimpa musibah, penyakit parah yang menghabiskan banyak biaya, atau kemalingan. Pernah memang, tapi tidak sampai memakan banyak biaya. Kami pernah kena musibah; ketika laptopku dicuri di mushala kampus ketika shalat, mamak yang sakit batu ginjal, dan sekarang mamak juga sakit diabetes. Namun, Alhamdulillah Allah mencukupi kebutuhan kami untuk menutupi itu semua.

Ada satu rahasia yang aku tau. Dulu, ketika bapak masih bekerja sebagai karyawan di PTPN II Bekiun, setiap gajian kakakku selalu disuruh untuk membagikan uang kepada janda dan anak yatim yang ada di sekitar rumah. Setiap bulan, setiap gajian. Ini salah satu bukti dari janji Allah yang mengekalkan rezeki orang-orang yang berinfak dan berzakat di jalan-Nya. Balasan untuk orang-orang yang berinfak dan berzakat bukan semata rezeki yang melimpah, tetapi rezeki yang mencukupi segala kebutuhan.

Bapak juga pernah bercerita kalau Allah sudah memberi jalan hidup setiap manusia sejak sebelum mereka terlahir ke dunia. Segala kebutuhan manusia sudah ditetapkan, termasuk jodoh, rezki, bahkan kematian. Hidup bakal lebih mudah ketika kita mengikuti segala ketentuan-Nya. “Mengikuti bukan berarti pasrah tanpa usaha, hanya saja kita mencoba belajar untuk bersyukur dan menerima. Allah juga tidak menyukai orang-orang yang hanya berpangku tangan,” ujar bapak. Tidak perlu mengeluh ketika diberi sedikit dari apa yang kita harapkan, dan tetap bersyukur jika diberi lebih. Termasuk ketika musibah datang, karena kita tidak tau maksud dari musibah yang telah ditetapkan kepada kita selain itu semua adalah cobaan.

Juga dalam bekerja, tidak perlu terlalu memaksakan diri. “Badan juga perlu diperhatikan, karena kita bekerja untuk jangka waktu yang panjang bukan satu dua hari,” bapak mengingatkan. “Kalau Allah sudah menetapkan rezeki kita hanya satu gelas, dipaksakan mengisinya dengan seember air pun yang kita dapatkan hanya segelas. Yang lainnya akan tumpah entah kemana, karena sebab apa saja. Begitu juga kalau Allah sudah menetapkan rezeki untuk kita satu tangki 1000 liter, meski yang kita dapatkan hanya satu gelas, pasti akan penuh juga nantinya,” kata bapak. Tidak hanya finansial, keluarga juga punya kebutuhan lain yang harus kita penuhi.

Menerima segala ketentuan-Nya juga tidak ‘seapa-adanya’ dari apa yang kita tangkap dari kata “menerima” itu. Ada banyak pelajaran yang akan diberikan ketika penerimaan itu sudah menumbuhkan keikhlasan di dalam hati kita. “Allah sendiri yang akan menjadi guru kita, dan memberi pelajaran kepada kita melalui tangan-tangan-Nya yang ada di semesta ini,” lanjut bapak.    


#CatatanHalbar 16 : Refleksi Gamalama



Upacara memperingati hari Kebangkitan Nasional thn 2014 di puncak Gamalama
dok. Ardian

Langit yang sejak pagi terlihat cerah, perlahan mulai tertutup awan mendung. Tepat tengah hari, ribuan titik air jatuh di atas tanah Ternate. Itu tandanya kami harus menunda pendakian kami ke gunung Gamalama siang ini. Namun, sembari menunggu hujan reda, juru kunci gunung Gamalama yang juga pengurus kesultanan Ternate mengajak kami untuk berdoa bersama sebelum melaksanakan pendakian. Seluruh air yang kami bawa digabung menjadi satu di dalam sebuah ember besar untuk diberi doa. Kemudian masing-masing dari kami harus membawa minimal satu botol. Sembari menunggu hujan yang semakin deras, juru kunci gunung Gamalama yang aku lupa namanya itu mengingatkan kami tentang aturan dan pantangan yang harus ditaati ketika mendaki gunung ini.

“Gunung ini dijaga oleh ratusan prajurit gaib berbaju putih. Mereka ada di hampir seluruh tempat di gunung ini. Sebagai orang yang beriman bukankah kita wajib mempercayai dengan hal-hal gaib?” ujar juru kunci tersebut. “Nanti ketika sudah sampai di pos 4,  kalian harus adzan, satu orang saja yang adzan,” lanjutnya. Sang juru kunci juga bercerita tentang salah seorang artis yang dulu pernah naik ke gunung Gamalama dan bertemu dengan sesosok orang tua dengan bersorban layaknya seorang kiai. Dorce Gamalama nama artis tersebut. Kata Gamalama di belakang namanya apakah terinspirasi dari gunung Gamalama Ternate yang pernah ia daki, atau ada alasan lain, saya kurang paham.

Hujan menyisakan bulir-bulir air pada daun-daun cengkeh dan pala. Udara dingin pegunungan semakin terasa di akhir hujan seperti ini. Kami berbaris membentuk dua banjar. Juru kunci tersebut melafadkan doa sembari berkeliling memutari barisan kami. Kami hanya menurut saja apa yang dianjurkan juru kunci tersebut. Tidak ada yang menolak, meski dalam hati ada yang menentang. Ini adalah bagian dari budaya lokal yang wajib bagi kami hormati, terlebih kami adalah pendatang.


Selain dari tim Ekspedisi NKRI subkorwil Ternate, beberapa personil dari menwa STAIN Tenate. Serma Dwi dan salah seorang anggota Menwa mundur di awal pendakian karena fisik yang tidak mendukung. Serma Dwi merasa sudah tidak sanggup untuk mendaki, sedangkan salah seorang anggota menwa tersebut diminta mundur karena sakit. Ya, memang lebih baik tidak memaksakan diri untuk mendaki gunung jika kodisi fisik tidak memungkinkan, karena berisiko besar jika tetap dipaksakan.

Ritual pembacaan doa oleh juru kunci gunung Gamalama
dok. Ardian

Sebelum berangkat, juru kunci kembali membacakan doa sembari mengelilingi barisan rombongan
dok. Ardian


Aku mengeluarkan kamera poket, mendokumentasikan beberapa foto selama perjalanan. Di pemandangan yang digambarkan dalam lagu anak-anak “Naik ke puncak gunung” itu tidak berlaku di gunung Gamalama ini. Jika di lagu itu digambarkan bahwa selama pendakian ke puncak gunung yang tinggi, hanya ada pepohonan cemara di kiri kanannya. Tetapi di sini, sebagian besar adalah pohon cengkeh dan pala, dan nyaris tidak ada pohon cemara.

Bisa dibilang pendakian ini adalah pendakian yang panjang dan pendakian yang tidak direkomendasikan. Pertama, jumlah yang besar tidak dibagi menjadi beberapa tim kecil agar lebih efisien. Jumlah kami ketika itu mungkin lebih dari 20 orang. Kedua, minimnya persiapan. Kami hanya membawa bivak dan tenda perorangan yang biasa digunakan tentara. Bahkan anggota menwa hanya membawa terpal biru berukuran lebar tanpa tiang. Selain itu, hanya sedikit orang yang membawa senter, padahal kami mengalami perjalanan hingga jam 10 malam. Mungkin karena mereka personil tentara yang terbiasa dengan kondisi darurat dan perlengkapan seadanya. Semoga tidak ada yang mencontoh cara kami mendaki kali ini.

Hujan kembali turun, tidak deras memang, hanya gerimis. Tetapi justru itu yang membuat pendakian bertambah berat karena jalanan semakin licin. Ketika reda, kami beristirahat sejenak sembari membuka nasi bungkus yang kami bawa sejak dari bawah tadi, mumpung belum terlalu gelap. Mendekati pos empat, kami berhenti lagi. Warga setempat yang menjadi guide kami turun ke mata air bersama beberapa orang untuk mengambil persediaan air. Kemudian ketika sampai di pos empat, semua berhenti dan berbaris. Semua senter dimatikan. Di tengah keheningan malam dan dinginnya udara gunung Gamalama setelah hujan, guide kami menyerukan kalimat adzan sebagai simbol sekaligus permohonan izin kepada makhluk gaib yang menjaga tempat ini bahwa kami datang dengan niat baik, dan semoga disambut dengan baik pula. Sebagaimana pesan juru kunci gunung Gamalama ketika kami hendak berangkat tadi.

Sekitar pukul 10 malam akhirnya kami sampai di puncak. Kurang lebih delapan jam lamanya pendakian yang kami lalui. Hujan sudah reda, bahkan rembulan tampak menyinari malam kami di puncak Gamalama. Udara dingin langsung menusuk. Kami langsung mencari tempat masing-masing untuk membuat bivak. Tiba-tiba langit yang sedari tadi terlihat sudah cerah, tiba-tiba hujan. Kami segera menyelesaikan bivak masing-masing. Selesai memasak pasak terakhir, sekilas sosok wanita dengan tersenyum manis di samping Darumas. Yah, hanya sekilas. Aku pun tidak terlalu fokus karena hujan mulai menderas, kami ingin segera bertedu di balik bivak. Meski bivak sudah selesai aku dan bang Heriyana belum bisa masuk ke dalam karena Darumas masih ganti pakaian di dalam. Wajar cewek, sedikit agak lama. Tapi aku salut dengan Darumas, tidak banyak cewek bisa betah dalam kondisi serba terbatas seperti ini. Meski kami tetap menghargai dan memberi hak khusus sebagaimana cewek, tetapi dia juga cukup mengerti dengan tidak menambah ribet yang biasa dilakukan cewek.

Karena kondisi bivak yang tidak terlalu tinggi, ditambah hujan membuat bivak semakin pendek. Akhirnya kami hanya bisa tiduran di dalam bivak sambil makan roti T2, ransum tentara. Lumayan juga buat mengganjal lapar di tengah hujan di puncak Gamalama ini. Ada hal unik yang terjadi ketika kami membuat bivak tadi. Karena minimnya persiapan, tidak membawa dan juga ada pohon yang bisa dijadikan pasak, alhasil sebatang bambu yang kami bawa dari bawah dipotong sejengkal untuk pasak. Masing-masing orang memotong sejengkal untuk pasak. Padahal bambu itu untuk tiang bendera upacara hari Kebangkitan Nasional besok.

Keesokan subuh aku terbangun. Meski musim hujan, pemandangan sunrise dari puncak Gamalama sungguh membuatku berdecak kagum. Ini pengalaman pertamaku berada di puncak sebuah pulau. Gugusan nusa terlihat seperti benda kecil mengapung di atas laut yang teramat luas. Riak awan dengan latar biru langit terlihat menawan ketika dipadu dengan warna keemasan mentari terbit. Ini pemandangan yang sangat luar biasa bagiku, dan aku sangat bersyukur diberi kesempatan untuk menyaksikan pemandangan ini.

Sunrise di puncak Gamalama_1
dok. Ardian

Sunrise di puncak Gamalam_2
dok. Ardian

Matahari terbit seperti terbenam
dok. Ardian

Upacara memperingati hari kebangkitan nasional berjalan hikmat dan lancar. Aku tidak tau harus mendeskripsikan seperti apa momen upacara kebangkitan nasional kali ini. Yang jelas, pengadaan upacara di puncak gunung Gamalama kami anggap sebagai wujud perjuangan untuk membangkitkan semangat pemuda Indonesia menjadi negara yang semakin berjaya. Mungkin ini pemahaman gagalku terhadap momen kebangkinan nasional. Maaf.

***

Aku, bang Heriyana, dan Darumas memilih untuk terakhir turun. Sebagian besar rombongan berjalan lebih dulu. Kami bertiga ingin mencari beberapa spesies flora fauna yang mungkin bisa kami ambil sebagai data temuan flora fauna di kaki Gamalama. Namun, karena sudah terlalu lelah, kami memutuskan untuk berjalan pulang saja. Aku berjalan duluan di depan Darumas dan bang Heriyana. Ketika jarak kami agak jauh, aku duduk dan menunggu mereka. Hingga suatu ketika, kami terpisah agak jauh. Aku merasa tidak terlalu jauh berjalan, mungkin mereka yang terlalu lama beristirahat.
Hampir setengah jam aku menunggu di bawah sebuah pohon besar. Aku ingat tempat itu juga tempat dimana kami beristirahat semalam. Aku yakin sudah tidak jauh lagi kami sampai di sebuah rumah panggung. Di depan rumah itu ada sebuah keran air yang biasanya digunakan untuk pendaki yang kehabisan air. Botol aqua 1,5 liter yang kubawa hampir kosong. Kuputuskan untuk terus berjalan sampai ke gubug itu, mungkin tidak sampai setengah jam dengan sedikit berlari bisa sampai di gubug tersebut.

Ternyata dugaanku meleset. Aku sudah berjalan hampir dua jam dan aku belum juga menemukan gubug tersebut. Aku mulai mengingat-ingat jalur yang aku lalui semalam. Ada beberapa tempat yang membuatku tidak begitu yakin apakah kami melewatinya semalam. Tapi sepertinya tidak mungkin jika aku salah jalan, karena tidak ada persimpangan di sepanjang jalan ini. Artinya hanya inilah satu-satunya jalan menuju ke puncak Gamalama. Aku duduk untuk beristirahat sejenak. Ujung jari kakiku juga mulai sedikit sakit karena sepatuku yang rusak. Air yang kubawa juga sudah semakin sedikit. Sekarang aku berada di sendirian di tengah-tengah hutan. Sejenak aku ragu apakah harus terus berjalan atau menunggu bang Heriyana dan Darumas yang entah berjarak berapa meter di belakang. Karena yakin gubug itu sudah semakin dekat, aku memutuskan untuk berjalan.

Di jalanan terjal dan licin aku terjungkal. Bukannya meringis kesakitan, aku justru tertawa senang. Aku berpikir, bersyukur ketika umur sekarang aku merasakan pengalaman luar biasa seperti ini. Mungkin esok ketika tua aku masih bisa melakukan perjalanan yang sama, tetapi kesan, semangat, ambisi yang kurasakan tentunya akan sangat berbeda. Sekarang aku muda, bebas, tanpa beban pekerjaan, keluarga; hanya berpikir untuk mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Beberapa kali aku terjatuh karena terlalu bersemangat meskipun medannya terlalu licin. Semua rasa sakit, lelah, kotor yang berpadu dengan semangat dan ambisi ini akan menjadi cerita yang menarik untuk kelak kukisahkan kepada anak cucuku.

Akhirnya aku menemukan sebuah ladang jagung di tengah hutan. Aku ingat ladang jagung ini, berikut juga dua atau tiga kuburan di tepi jalan setelahnya. Jarakku sudah tidak jauh lagi dari gubug itu. Tetapi baru setengah jam setelahnya baru aku temui gubug tersebut. Aku tidak berhenti, airku masih cukup. Aku ingin segera sampai di basecamp. Melewati gubug, ujung jari kakiku semakin sakit. Akhirnya aku berjalan mundur untuk meminimalisir rasa sakit hingga akhirnya aku tiba di basecamp. Rombongan pertama sudah sedari tadi sampai. Mereka hanya butuh waktu dua jam dari puncak hingga tiba di basecamp. Sedangkan aku hampir empat jam. Dan yang lebih lama adalah bang Heriyana dan Darumas yang baru tiba sekitar pukul enam sore, hampir enam jam lebih perjalanan mereka. Aku di marah karena meninggalkan mereka berdua.

Perjalanan ini memberiku banyak pelajaran yang sangat berharga, seperti juga perjalanan-perjalanan yang pernah aku lalui sebelumnya. Semoga masih ada perjalanan-perjalanan lain di hari depan yang akan aku lalui. Aku selalu siap.



Beberapa dokumentasi selama pendakian Gamalama



Tim Ekspedisi bersama mahasiswa pecinta Alam dan Menwa berfoto bersama
dok. Ardian

Bintara Oprasi Ekspedisi NKRI subkorwil Jailolo memberi instruksi sebelum upacar berlangsung
dok. Ardian

Perwakilan Kopassus (Pratu Dadang), Menwa, dan Paskhas (Pratu Rifki) bertugas sebegai penarik bendera
Dok. Ardian

Hormat bendera
dok. Ardian

Dok. Ardian

Dok. Ardian

Foto bersama seluruh tim
dok. Ardian
Tidur di dalam bivak yang sangat seadanya.
dok. Ardian

Darumas dan bang Heriyana (Serma Kopassus)
dok. Ardian


Rabu, 01 April 2015

Kalau Mau Ngasih ya Ngasih aja


Suatu malam aku, bang Haji, Bang Joe dan beberapa teman lain ngobrol usai makan malam di salah satu warung kaki lima di jalan Gatot Subroto. Datang seorang bapak setengah baya, dengan pakain lusuh dan menyodorkan mangkuk plastik yang ia bawa kepada kami. Bang haji mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya dan memasukkan ke dalam mangkuk tersebut. Bapak tua itu kemudian pergi meninggalkan kami. Obrolan kami kemudian beralih membicarakan pendapatan seorang pengemis.

“Teman saya pernah bilang, gaji PNS itu cuma sekitar 10 persen dari pendapatan pengemis,” ujar bang Haji. “Bayangkan saja, satu orang pengemis cuma berdiri di perempatan jalan. Setiap lampu merah dia keliling ke kendaraan yang berhenti. Satu sisi jalan hitunglah lama lampu merah sekitar 2 menit. Dalam dua menit itu, jika perorang minimal memberi 1000 rupiah, dan ada 10 orang saja yang memberi, sudah 10000. Kalau dia muterin ke empat sisi jalan, dan hitunglah rata-rata 10.000 yang ia dapat tiap satu sisi jalan, berarti sudah 40.000 yang ia dapat dalam delapan menit. Dalam satu jam, enam puluh menit, kira-kira dia bisa dapat 750.000. Kalau dia ‘kerja’ dari jam delapan pagi sampai jam 5 sore, kurang lebih sekitar 9 jam. Bayangkan saja berapa pendapatan yang dia dapatkan,” jelas bang Haji.

 “Itu baru satu hari. Bayangkan sendiri lah berapa pendapatan mereka selama sebulan,” kata bang Joe menambahkan. “Wajar kalau dulu pernah ada seorang pengemis yang masuk tivi, dia cerita kalau dia punya rumah besar, truk, dan tiap anaknya ulang tahun mereka rayakan di restoran, minimal KFC,” sambungnya.

“Jadi, mereka lebih mampu dari kita, kenapa harus dikasih?” tanyaku.

“Ketika seseorang menyodorkan tangannya meminta bantuan, kewajiban kita sesama manusia adalah memberi pertolongan. Kalau kita pengen ngasih ya ngasih aja, nggak perlu kita berpikir macam-macam tentang apa yang akan mereka perbuat dengan uang yang kita beri, yang penting kita ikhlaskan niat untuk menolong. Apa yang akan dia lakukan dengan uang itu, ya terserah mereka dengan Tuhan,” ujar bang Haji. 


Minggu, 01 Februari 2015

Air Terjun Teroh-teroh dan Kolam Abadi


Rencana untuk eksplor objek wisata di sekitar Sumatera Utara dimulai dari air terjun Teroh-teroh yang terletak di desa Rumah Galoh, kecamatan Sei Bingei, Langkat Sumatera Utara. Teroh-teroh dalam bahasa Karo artinya bawah. Aku kurang tau makna ‘bawah’ dari air terjun tersebut. Yang jelas, saat ini tempat tersebut menjadi objek wisata pilihan banyak orang di Medan dan sekitarnya. Sewaktu kami ke sana tidak terlalu banyak pengunjung, mungkin karena lokasinya yang jauh dari jalan raya dan akses menuju lokasi yang lumayan jauh sehingga hanya anak-anak muda saja yang berminat mengunjungi tempat tersebut. Memang sih sewaktu kami ke sana nyaris tidak terlihat orangtua dan anak-anak.

Jika ingin mengunjungi Air terjun Teroh-teroh aksesnya cukup mudah, dari medan menempuh jarak menuju Binjai selama satu jam kemudian dilanjut dengan perjalanan lurus menuju desa Rumah Galoh sekitar satu jam. Perjalanannya juga cukup mudah, tidak terlalu banyak persimpangan. Jika sudah sampai di desa Rumah Galoh akan ada banyak pemuda setempat yang menawarkan jasa untuk mengantar hingga sampai ke lokasi. Tinggal terserah anda ingin mengikuti atau jalan sendiri menuju lokasi yang sebenarnya hanya mengikuti jalan saja. Tidak ada angkot yang menuju kesana, jadi disarankan untuk membawa kendaraan sendiri.

Untuk menuju ke lokasi air terjun kita akan diantar oleh guide yang dikelola oleh penduduk setempat dalam bentuk shelter-shelter atau pos-pos guide. Untuk sementara ini mereka masih mengelola secara mandiri dan terpisah antara satu pos dengan pos lainnya. Satu rombongan akan dipimpin 1 atau dua orang guide. Selain menjadi penunjuk jalan, mereka juga akan membawakan barang-barang pribadi anda seperti handphone atau dompet ke dalam plastik.  Sedangkan untuk pakaian, tas, helm, sepatu, dsb bisa dititipkan di pos. Barang-barang yang disimpan di pos akan dicatat dan dijadikan satu di dalam karung.

Jalur traking menuju lokasi air terjun melewati perkebunan karet milik warga. Selain itu, guide akan mengajak kita ke kolam abadi. Tempat ini sebenarnya adalah aliran sungai menuju air terjun teroh-teroh. Airnya yang jernih dan sejuk membuat banyak orang merasa betah berlama-lama berendam di sini. Selain itu, aku sendiri tidak begitu tau kenapa warga sekitar menamakannya kolam abadi, mungkin sebagai salah satu strategi marketing saja.

Itu anak kecil di belakang ngapain ya? horor nih.
Air sungainya sangat jernih dan sejuk. 

Perjalanan selanjutnya menuju air terjun Teroh-teroh dilakukan melalui jalur sungai, itu artinya kita akan diajak body rafting dengan hanya menggunakan jaket pelampung. Saran saya, hati-hati saat melakukan body rafting, selain banyaknya bebatuan besar sehingga memunculkan putaran air dibawahnya, ada banyak pohon-pohon yang tumbang ke bawah sungai. Ranting-ranting pohon ini cukup tajam, jika tidak hati-hati bisa melukai badan dan sangat berbahaya. Para guide akan membantu untuk melewati rintangan-rintangan tersebut.

Aku sedikit kecewa saat kesana tidak membawa kamera waterproof seperti gopro atau semacamnya, karena kita akan menyaksikan banyak pemandangan yang menakjubkan ketika melakukan body rafting. Sayang sekali jika momen tersebut tidak terdokumentasikan. Aku teringat ketika melakukan susur sungai di hutan Gigisoro, Sidangoli, Halmahera Barat bersama bang Irwandi dan temannya pak Demanus (aku lupa namanya). Lokasinya kurang lebih sama; sungai yang masih asri dengan tebing yang menjulang tinggi di kanan kirinya. Jika dibersihkan dari kayu-kayu yang melintang dan menatanya sedemikian rupa, aliran sungai ini bisa dipromosikan sebagai objek wisata rafting.

Teroh-teroh waterfall (sok inggris)


Setengah jam perjalanan menyusuri sungai, tiba lah kita di air terjun teroh-teroh. Agak sulit jika ingin mengabadikan tempat ini secara full, karena lokasinya yang sempit dan banyaknya pengunjung ingin berfoto dengan latar belakang air terjun Teroh-teroh. Sebuh pohon yang melintang di tengahnya bagiku juga cukup mengganggu pemandangan. Tapi yah, inilah air terjun Teroh-teroh yang bisa menjadi salah satu objek wisata pilihan bagi anda yang ingin berkunjung ke kabupaten Langkat, Sumatera Utara. 

Sorry fotonya masih narsis, nanti kalau ada kamera sendiri insyaallah aku fotokan secara full. 





Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman