Kamis, 02 April 2015

Sebesar apa Hak Pakai untuk Rezeki Kita?

sumber

 “Inti kebahagiaan dalam hidup adalah rasa syukur,” ujar bapak suatu ketika. “Jika kita mensyukuri apapun yang diberikan Allah kepada kita, insya Allah, Allah akan mencukupi segala kebutuhan kita.”
Aku melihat banyak kebenaran dari ucapannya. Dulu beliau bukan tipe orang yang banyak bicara. Dulu sosok bapak sangat pendiam, jarang tersenyum, menghindari perdebatan, nrimo. Dalam diamnya beliau melakukan banyak hal positif yang kadang aku tidak tau. Baru sekitar sepuluh tahun belakangan ini aku sering melihat banyak senyum di wajahnya, sering bercanda, sudah mulai lebih banyak bicara, sekedar memberi nasihat atau hanya bertanya tentang kegiatan anak-anaknya. Beliau adalah pusat kendali netral di keluarga. Tidak banyak menuntut, tidak banyak melarang, percaya kepada keputusan anak. Tetapi ketika keputusan sudah keluar dari mulutnya, lebih baik menurut. Keputusan yang bapak ambil bukan karena ego, tapi dari berbagai pertimbangan. Aku sering melanggar keputusan bapak, dan akhirnya aku meringkuk meminta maaf kepadanya. Meski aku tau dia tidak pernah butuh permintaan maafku, karena sedetik ada perasaan kesal dalam hatinya, bersamaan itu pula ia memaafkan.

Orang-orang di kampungku melihat keluarga kami sebagai keluarga menengah ke atas. Padahal ibuku hanya penjahit rumahan, dan bapak karyawan PTPN II Kebun Bekiun yang tugasnya hanya membersihkan parit perkebunan atau memupuk sawit. Tetapi, alhamdulillah, dari hasil itulah aku bisa menyelesaikan pendidikanku di Jogja, juga kebutuhan kedua saudaraku. Aku tidak tau apa yang mereka lakukan di luar itu, tetapi yang aku tau mereka jarang sekali mengeluh karena hutang, justru yang aku tau banyak keluarga atau teman bapak yang utang uang ke bapak. Rezeki kami tidak banyak, jika dihitung dalam nominal. Tetapi alhamdulillah Allah selalu memberi kemudahan ketika keluarga membutuhkan dana. Aku tau, selama hampir sepuluh tahun di Jogja, mungkin tidak kurang lima ratus juta sudah dikeluarkan untuk biaya sekolah dan hidupku di sana. Selama sepuluh tahun itu juga, bapak harus membiayai pernikahan kakak, abang, usaha abang dan kakak, dan modal untuk membeli sepetak tanah untuk bekal usah pensiun nanti.

Bapak pernah menceritakan prihal itu kepadaku.

“Kita harus banyak bersyukur diberi hak pakai rezeki yang sepadan dengan apa yang diberikan. Yang penting itu bukan seberapa banyak rezeki yang kita dapat, tapi seberapa besar hak pakai yang diberikan kepada kita untuk menikmati rezeki itu,” kata bapak. “Jika rezeki banyak, tetapi hak pakai sedikit, akan ada banyak cara untuk rezeki itu keluar dari kita; entah dari kemalingan, penyakit, atau musibah lain. Tapi kalau Allah memberi hak pakai kepada kita besar, meski rezeki yang diberikan sedikit, tapi cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita.”

Benar sekali apa yang bapak bilang. Selama aku di Jogja, selalu ada dana untuk biaya sekolah, biaya hidup, juga transport untuk pulang dan kembali ke Jogja. Alhamdulillah, jarang sekali kami ditimpa musibah, penyakit parah yang menghabiskan banyak biaya, atau kemalingan. Pernah memang, tapi tidak sampai memakan banyak biaya. Kami pernah kena musibah; ketika laptopku dicuri di mushala kampus ketika shalat, mamak yang sakit batu ginjal, dan sekarang mamak juga sakit diabetes. Namun, Alhamdulillah Allah mencukupi kebutuhan kami untuk menutupi itu semua.

Ada satu rahasia yang aku tau. Dulu, ketika bapak masih bekerja sebagai karyawan di PTPN II Bekiun, setiap gajian kakakku selalu disuruh untuk membagikan uang kepada janda dan anak yatim yang ada di sekitar rumah. Setiap bulan, setiap gajian. Ini salah satu bukti dari janji Allah yang mengekalkan rezeki orang-orang yang berinfak dan berzakat di jalan-Nya. Balasan untuk orang-orang yang berinfak dan berzakat bukan semata rezeki yang melimpah, tetapi rezeki yang mencukupi segala kebutuhan.

Bapak juga pernah bercerita kalau Allah sudah memberi jalan hidup setiap manusia sejak sebelum mereka terlahir ke dunia. Segala kebutuhan manusia sudah ditetapkan, termasuk jodoh, rezki, bahkan kematian. Hidup bakal lebih mudah ketika kita mengikuti segala ketentuan-Nya. “Mengikuti bukan berarti pasrah tanpa usaha, hanya saja kita mencoba belajar untuk bersyukur dan menerima. Allah juga tidak menyukai orang-orang yang hanya berpangku tangan,” ujar bapak. Tidak perlu mengeluh ketika diberi sedikit dari apa yang kita harapkan, dan tetap bersyukur jika diberi lebih. Termasuk ketika musibah datang, karena kita tidak tau maksud dari musibah yang telah ditetapkan kepada kita selain itu semua adalah cobaan.

Juga dalam bekerja, tidak perlu terlalu memaksakan diri. “Badan juga perlu diperhatikan, karena kita bekerja untuk jangka waktu yang panjang bukan satu dua hari,” bapak mengingatkan. “Kalau Allah sudah menetapkan rezeki kita hanya satu gelas, dipaksakan mengisinya dengan seember air pun yang kita dapatkan hanya segelas. Yang lainnya akan tumpah entah kemana, karena sebab apa saja. Begitu juga kalau Allah sudah menetapkan rezeki untuk kita satu tangki 1000 liter, meski yang kita dapatkan hanya satu gelas, pasti akan penuh juga nantinya,” kata bapak. Tidak hanya finansial, keluarga juga punya kebutuhan lain yang harus kita penuhi.

Menerima segala ketentuan-Nya juga tidak ‘seapa-adanya’ dari apa yang kita tangkap dari kata “menerima” itu. Ada banyak pelajaran yang akan diberikan ketika penerimaan itu sudah menumbuhkan keikhlasan di dalam hati kita. “Allah sendiri yang akan menjadi guru kita, dan memberi pelajaran kepada kita melalui tangan-tangan-Nya yang ada di semesta ini,” lanjut bapak.    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman