Minggu, 01 Februari 2015

Pendakian Sumbing: Perpisahan The A-Team


The A-Team: Ardian, Imam, Andank, dan Mukhtar

Dua minggu setelah lebaran aku kembali ke Jogja. Selain membereskan beberapa barang yang harus dibawa pulang dan tidak, pertengahan Agustus ini aku, Andank, Imam, dan Mukhtar berencana mendaki gunung Sumbing via Kaliangkrik, Magelang. Awal puasa lalu ketika buka puasa bersama, kami merencanakan pendakian ke Sumbing sebelum masing-masing dari kami sibuk dengan urusan pekerjaan. Bisa dibilang pendakian ini adalah pendakian perpisahan sebelum bulan September nanti Mukhtar ke Palembang untuk bekerja di salah satu perusahaan farmasi, Imam kembali ke Tangerang, dan Aku mungkin bakal kembali ke Medan. Hanya Andank yang masih di Jogja, atau kalau pulang pun hanya di Klaten.

Seminggu sebelum pendakian seperti biasa kami selalu kumpul untuk mendata barang apa saja yang perlu dibawa dan berapa iuran yang diperlukan, terutama untuk membeli bahan makan. Pendakian kali ini uang iuran bakal lebih banyak dipakai untuk logistik karena perlengkapan Andank sudah cukup lengkap, dan tenda bisa sewa di Jatropa Farmasi dengan separuh harga dari tempat penyewaan. Tapi pendakian kali ini tidak ada ceweknya, 6 orang termasuk adiknya Imam dan teman Mukhtar cowok semua. Biasanya ada Liong atau Vava yang sering ikut mendaki bareng kami.  Sekarang mereka berdua lagi KKN. Jadi, ya kami aja, The A-Team.

Ya, The A-Team. Seperti dalam film The A Team yang menceritakan satu Team militer yang dibentuk khusus dari beberapa divisi. Mereka sangat kompak, saling melengkapi, dan mendukung sehingga jarang sekali mereka gagal dalam misi. Begitu juga dengan pendakian, mencapai puncak bersama adalah target kami, tetapi kembali ke rumah masing-masing dengan selamat dan tanpa ada perasaan grundel adalah misi yang harus kami selesaikan bersama.  Tidak mudah mencari teman mendaki yang pas. Lelah dan berat yang ditanggung ditambah haus akan membongkar pertahanan sikap yang selama ini ditahan. Ketika itulah setiap orang akan menunjukkan sikap dan sifat alaminya.
Dalam setiap tim pendaki, pasti ada satu atau dua orang yang menyebalkan. Itu wajar. Di saat orang menunjukkan sikap atau sifat alaminya, di sisi lain kita pun kehilangan sikap memaklumi yang tidak jarang mengundang emosi, walaupun kebanyakan hanya dipendam dan memunculkan grundelan pasca pendakian. Kemudian pendakian selanjutnya akan mencari orang lain untuk diajak mendaki.

Umumnya sih begitu, tapi kasus seperti itu mungkin tidak semua orang mengalami. Yang jelas, mendapat teman seperjalanan menuju puncak yang asyik itu kenikmatan yang luar biasa sekali.
Perjalanan menuju desa Kaliangkrik, Magelang tidak bisa dibilang mudah lebih lagi ketika malam hari seperti ini. Meski jalanan sebagian besar sudah aspal hitam, tapi tanjakan yang cukup terjal memaksa kami untuk jalan kaki karena motor kami tidak kuat jika berboncengan. Jalanan sempit berbatu dan menanjak ditambah udara dingin menanti ketika mendekati dusun Butuh, desa Kaliangkrik, Magelang. Dusun Butuh merupakan dusun terakhir sekaligus tertinggi di desa Kaliangkrik. Kepala dusun Butuh menyediakan rumahnya sebagai basecamp bagi pendaki yang ingin mendaki gunung Sumbing via Kaliangkrik. Beliau sangat ramah. Walau belum bertemu, tapi aku bisa menebaknya dari banyaknya camilan, kopi sachet, dan dua termos air panas yang sengaja disuguhkan untuk pendaki yang singgah ke rumahnya.

****

sudah tidak ada pohon cemara di kanan kiri jalur menuju puncak gunung, semua berubah menjadi sayur mayur
dok. Andank

Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali...
Kiri kanan kulihat saja banyak sayur-sayuran.....

Mungkin lirik lagu anak-anak itu lebih tepat kalau liriknya seperti itu. Hampir 2 km ke atas desa yang terhampar berhektar-hektar lahan perkebunan sayur milik warga. Hanya sebagian kecil pohon cemara di badan gunung, itu pun dengan ranting-ranting yang sudah gundul. Masyarakat lokal memotong ranting-ranting pohon dan mengambilnya untuk kayu bakar. Pohon yang rantingnya telah gundul lama-kelamaan akan mati dengan sendirinya, baru kemudian batang besar itu ditebang. Mungkin seperti itu cara mereka membuka lahan dan menggunduli secara perlahan. Aku tidak tau, hanya asumsi pribadi tanpa dasar yang kuat. Yang jelas, banyak gunung-gunung di Indonesia yang hutannya telah gundul dan diganti dengan berhektar-hektar lahan sayuran dan buah. Kebanyakan mereka tidak sadar dengan bahaya longsor dan erosi yang bisa terjadi akibat pengalihan hutan menjadi lahan sayur seperti ini. Jika sudah menyangkut soal perut, seakan semua menjadi halal untuk dilakukan. Karena tidak punya solusi yang pas, akhirnya orang lain pun memaklumi.

Jalur Kaliangkrik bagi para pendaki gunung Sumbing belum terlalu terkenal. Sebagian besar menggunakan jalur Kledung jika ingin mendaki Sumbing. Menurut temanku, ada plus minus dari dua jalur ini. Dari segi jarak, jalur Kledung memang lebih pendek namun lebih curam dan harus membawa air ekstra karena tidak ada satupun sumber air. Sedangkan jalur Kaliangkrik lebih panjang karena mengambil jalur memutari punggung gunung. Namun, poin plusnya pendakian terasa ringan sekaligus banyaknya aliran sungai sehingga sedikit meringankan bawaan air. Seperti yang kami lakukan, cukup membawa jerigen kosong dari bawah dan mengisinya ketika tiba di sungai terakhir. Kebetulan sungai terakhir yang paling besar dan posisinya sudah cukup dekat dengan pos pohon tunggal; tempat yang biasanya digunangan untuk mendirikan tenda. Kurang lebih ada 11 aliran sungai, dan yang terbesar alirannya adalah yang terakhir.

Meski memutar, view yang disajikan sepanjang perjalanan juga cukup membuat decak kagum. Hamparan kota Magelang terlihat dengan latar belakang Merapi dan Merbabu yang terlihat gagah. Beberapa kali kami beristirahat lama karena tertegun dengan hembusan angin dan pemandangan yang menakjubkan di depan kami. Bagiku, ini salah satu jalur pendakian dengan pemandangan yang luar biasa. Namun, kami tetap harus selalu waspada dan hati-hati karena kami berjalan di punggung gunung, jika tidak waspada bisa-bisa kami terperosok dan jatuh ke jurang.


cukup ambil foto, cukup tinggalkan jejak, dan cukup membunuh waktu.
dok. Imam
Di sungai terakhir, jerigen yang kami bawa diisi penuh untuk persediaan hingga esok. Sudah lewat tengah hari, matahari masih cukup terik. Andank yang lusa wisuda memakai lotion sun block, agar tetap ganteng sewaktu wisuda katanya. Imam dan Mukhtar juga. Aku mengejek mereka karena ketika foto wajah mereka terlalu putih seperti banci, tapi akhirnya aku harus menanggung perih dan kulit mengelupas di wajah karena terbakar matahari beberapa hari pasca pendakian.

Untuk kesekian kalinya aku merasa heran dengan sikap orang-orang yang menuliskan nama-nama mereka, geng atau apalah di atas batu dan pohon di sekitar jalur pendakian. Hampir semua gunung yang pernah kudaki, pasti menemukan coret-coretan seperti itu, termasuk di bebatuan sungai ini. Apa seperti ini yang dinamakan pecinta alam? Pasti bukan, karena orang yang mencintai tidak akan merusak apa yang ia cintai. Mereka yang melakukan vandalism di gunung pasti hanyalah oknum yang mengaku-aku sebagai pecinta alam, padahal bukan. Mereka hanya ikut-ikutan, kemudian merusak. Sebenarnya tidak ada salahnya ikut-ikutan mendaki gunung, karena aku pun hanya ikut-ikutan, bukan dari organisasi pecinta alam. Namun, tidak peduli dari organisasi pecinta alam atau bukan, usaha menjaga alam harus dilakukan, minimal tidak membuat sampah di gunung, vandalism, dan sebagainya.

Andank lusa wisuda mengabadikan momen kelulusannya di
puncak sumbing, 17 08 2014
Ada sesuatu yang tidak kalah menakjubkan ketika sore hari. Kami sudah tiba di pos pohon tunggal dan tenda sudah berdiri tegak di atas permukaan tanah yang miring. Tidak ada lokasi yang datar di sekitar pos pohon tunggal. Angin bertiup sangat kencang ditambah lokasi terbuka tanpa pepohonan membuat kami sedikit khawatir dengan tenda kami, semoga saja bisa bertahan. Matahari perlahan turun di belakang gunung Sumbing membuat bayangan segitiga raksasa yang jatuh di atas kota Magelang. Semakin sore, bayangan itu semakin bertambah besar hingga ke hingga ke gunung Merbabu dan Merapi. Sayang kami berada di sisi timur Sumbing, mungkin di bagian baratnya senja terlihat sangat menakjubkan. Meski begitu, segitiga raksasa ini adalah pemandangan yang tidak biasa buatku.

Menjelang gelap, angin semakin kencang. Meski sudah windstoper, jaket tebalku tidak mampu menahan udara dingin yang bertiup di sini. Lebih baik masuk ke dalam tenda sembari menikmati kopi hangat bersama yang lain. Tenda kapasitas enam orang yang kami bawa benar-benar pas sekali untuk kami berenam, sampai-sampai kami susah bergerak saking pas-nya. Semua tidur dalam posisi badan lurus laiknya ikan kalengan. Sesekali posisi badan melorot karena permukaan tanah yang tidak rata, sehingga konsentrasi tidur kami terbagi antara tidur dan menahan badan. Yah, bisa kalian bayangkan sendirilah bagaimana nikmatnya tidur di dalam tenda di pos pohon tunggal gunung Sumbing.

Dingin yang menembus kulit membuat kami aras-arasen untuk summit attack keesokan paginya. Padahal hanya beberapa meter lagi, mungkin tidak sampai sejam dengan ritme normal kami sudah sampai di puncak watu lawang. Sumbing memiliki beberapa puncak, watu lawang adalah salah satunya. Dari sisi timur juga terdapat jalan menurun menuju kawah gunung Sumbing. Ada beberapa pendaki yang mendirikan tenda dan bermalam di bawah. Mungkin di bawah angin tidak terlalu kencang karena terhalang dinding kaldera Sumbing.

Meski hari ini adalah 17 agustus, tapi kurang dari 10 rombongan pendaki yang naik ke Sumbing menggunakan jalur Kaliangkrik. Mungkin lebih banyak pendaki melalui jalur Kledung. Saat ini mendaki gunung sudah menjadi lifestyle banyak mahasiswa, terlebih lagi pada 17 agustus seperti ini. Gunung Merapi, Merbabu, Prau di Wonosobo, Lawu di Karanganyar penuh dengan pendaki-pendaki yang ingin memperingati hari kemerdekaan di puncak gunung. Begitu juga dengan gunung-gunung lain di Indonesia. Namun sayang, sebagian besar dari mereka hanya ikut-ikutan tanpa dibarengi pengetahuan dan kesadaran tentang kecintaan terhadap alam sehingga pasca pendakian masal memperingati hari kemerdekaan didapati ratusan sampah di sepanjang jalur pendakian hingga puncak. Bahkan ketika sampai di rumah keesokan harinya aku membaca berita bahwa terjadi kebakaran di antara pos 4 dan 5 pendakian gunung Lawu. Penyebabnya sudah pasti akibat pendaki yang teledor membakar sampah dan ditinggal tidur sehingga api menyebar menyambar ranting-ranting kering. Selama beberapa hari puluhan pendaki terjebak di atas gunung (sumber).

Sudah banyak himbauan dan kritik agar tidak menjadikan gunung sebagai tempat sampah. Banyak yang menanggapi, namun lebih banyak lagi yang masa bodo dan tetap mengotori gunung dengan beragam sampah yang ia bawa. Banyak orang yang menganggap demam mendaki gunung dimulai pasca boomingnya film 5 cm  yang menceritakan sekelompok anak muda kota yang mengadakan reuni di gunung Semeru. Sejak saat itu, gunung Semeru tidak ada habis-habisnya dikunjungi banyak pendaki pemula yang hanya bermodal ransel, jaket baseball, sepatu kets dan mie instan sebagai logistik utama. Mereka mengganggap mendaki gunung sama seperti pergi ke pantai. Mereka tidak peduli dengan faktor keselamatan yang sangat penting untuk diperhatikan ketika mendaki gunung. Kegiatan mendaki gunung termasuk olahraga ekstrem, ada banyak hal yang perlu diperhatikan untuk meminimalisir keselamatan. Selain perlengkapan, skill, rencana, dan pengetahuan juga menjadi faktor yang harus diperhatikan nyaman selama pendakian.

Tengah hari kami turun dengan santai. Di pos dua kami berhenti untuk makan siang. Logistik kami masih melimpah karena semalam cuaca terlalu dingin sehingga kami memutuskan untuk tidur saja. Beberapa butir telur dan beras kami berikan kepada sekelompokk pendaki yang kebetulan juga istirahat di pos 2. Salah satu hal yang paling menyenangkan dari kegiatan pendakian adalah rasa persaudaraan antar sesama pendaki. Tidak perlu makanan mewah, segelas kopi hangat dinikmati bersama sudah sangat berarti sebagai pengikat persaudaraan.

Dan, akhirnya, pendakian pun diakhiri dengan makan malam bersama tongseng kambing di jalan Muntilan. Semoga masih ada kesempatan untuk mendaki bersama di gunung Kerinci beberapa tahun lagi.


Beberapa momen yang sempat terabadikan selama pendakian Sumbing


Jalur pendakian yang menyusuri punggung gunung Sumbing
dok. Andank

Jalur pendakian
dok. Andank

Puncak dan kaldera Sumbing
dok. Ardian

Kaldera Sumbing
dok. Ardian

Istirahat di tengah perjalanan sembari menikmati pemandangan Merapi merbabu
dok. Ardian

Menyiapkan air untuk bekal di atas
dok. Ardian

Bayangan Sumbing ketika sore
dok. Ardian

golden Sunrise
dok. Ardian

Golden sunrise
dok. Ardian

Golden Sunrise
dok. Ardian

Pakai sunblock untuk persiapan wisuda
dok. ardian

Tanaman sayur di kanan kiri jalur pendakian menuju Sumbing
dok. Andank

Golden Sunrise di pos Pohon Tunggal
dok. Ardian

Ini foto yang paling aku suka.
dok. temennya Mukhtar. 


1 komentar:

  1. mas, untuk ke sumbing via kaliangkrik dari jakarta naik apa ya ? kereta atau bus, dan turun dimana ?

    BalasHapus

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman