Rabu, 28 Januari 2015

#CatatanHalbar 15 : Tangan Siapa yang Meraba Kita Semalam?

Ah, sial. Doaku tidak dikabulkan. Masih asyik-asyiknya bersantai di atas batu cadas besar di bawah pohon pala, bulir-bulir hujan datang membawa rombongannya. Darumas, Dadang dan Ode yang tadi berkeliling di sekitar hutan mencari temuan berlari langsung masuk ke tenda – sebenarnya lebih cocok dikatakn bivak – yang kami buat. Barang-barang sudah dimasukkan ke dalam tenda. Hujan turun cukup deras. Sepuluh menit pertama aku, bang Heriyana dan Darumas masih terpaku di bawah bivak sambil berharap hujan segera mereda. Hening. Hanya suara tetesan air yang menghantam bagian atas bivak dan genangan air yang mengisi suara. Air mulai menggenang masuk ke dalam bivak. Aku sigap membenahi mantol hujan yang kami jadikan alas untuk tas dan barang bawaan lainnya di dalam bivak agar tidak basah. Semakin lama genangan air semakin meninggi. Aku yang semula duduk, sekarang jongkok di atas matras yang kujaga sisi kanan kirinya agar air tidak masuk menggenangi matras. Bang Heriyana menjaga bagian atas bivak yang mulai mengendur ikatannya. Darumas duduk di atas tumpukan tas yang dibungkus dengan mantol.

Kemudian Dadang masuk ke bivak kami.

“Bang, gimana kalau kita pindah aja. Tadi aku liat ada gubuk warga yang lumayan besar,” kata 

Dadang yang masuk hanya memakai celana pendek kolor.

“Oke. Ayok,” ujar bang Heriyana tanpa pikir panjang. Sial, kenapa baru sekarang dia ngomong kalau ada gubug, udah keburu kebanjiran kayak gini, grutuku dalam hati.

Dengan membawa perlengkapan seadanya yang bisa dibawa, kami langsung pindah menuju gubug warga yang dikatakan Dadang. Hujan masih deras. Kami berjalan cepat menyusuri jalan berumput, namun tetap hati-hati ketika melewati genangan air karena permukaan tanah di sini berlumut dan licin. Aku beberapa kali terpeleset, namun alhamdulillah tidak sampai jatuh. Kalau jatuh pasti sudah basah kuyup. Bang Heriyana meneriaki bang Sadox yang sedari tadi belum keluar dari bivak, kemudian keluar dengan tampang bak seorang warga yang mengungsi karena banjir. Aku sempat terkekeh melihat penampilannya saat itu. Bayangkan saja, dia keluar hanya memakai celana renang pendek dengan senjata diselempangkan di dada, satu ransel ia kenakan di belakang, tangan kanannya membawa bungkusan berisi mie instan dan sarden, sedangkan tangan kirinya membawa plastik besar berisi biskuit.
***
Lokasi tempat kami mendirikan tenda yang kehujanan
dok. Ardian
 Hari mulai gelap. Hujan masih turun, walaupun tidak sederas sebelumnya. Sepertinya sampai malam grimis masih akan tetap turun. Suara jangkrik dan serangga hutan lainnya terdengar mengiringi cahaya matahari yang mulai meredup bersama kawanan kodok yang bersenandung di bawah hujan. Kaokan gagak sesekali menimpali. Di banyak tempat, gagak disimbolkan dengan kematian atau musibah. Banyak orang percaya jika terdengar suara burung hitam itu di suatu desa atau di atas rumah, itu berarti desa atau rumah tersebut akan mendapat musibah.

Jika gagak berkaok di tempat keramat seperti ini, mungkin ceritanya bisa lain. Ada sesuatu yang terjadi ketika malam berada di titik menjelang pergantian hari.

Hampir jam sepuluh malam, aku belum bisa tidur. Karena gubug itu tidak terlalu besar, posisi tidur harus diatur agar mencukupi untuk menampung kami berenam. Lima orang tidur sebaris, sedangkan satu orang sisanya, yaitu aku, terpaksa melintang di atas kepala mereka. Dadang, bang Sadox, dan bang Ode yang tadi saling bercerita sudah tidak terdengar lagi suaranya. Darumas dan bang Heriyana sudah terlelap sejak selesai menyanyikan lagu Doa TNI. Gemerisik hujan masih terdengar dari atap gubug, udara dingin semakin menusuk melalui sela-sela sleeping bag yang kupakai. Suara gagak dan binatang malam masih terdengar mengisi kekosongan malam. Aku menarik bagian atas sleeping bag menutupi bagian wajahku dan memaksa mataku untuk terpejam.

Aku belum sepenuhnya terlelap ketika tiba-tiba bang Sadox berteriak kencang sekali.

“Aaaaaaaarrrrrrrrrrrrgggghhhhh!!!!!”

Sontak kami semua kaget dan langsung terbangun.

“Dox, kenapa kamu?” tanya Dadang yang ada di sebelahnya.

Bang Sadox tidak langsung menjawab. Bang Ode menimpali dengan pertanyaan yang sama.

“Tidak apa-apa,” katanya sesaat kemudian.

Aku melirik jam di tanganku. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Bang Heriyana mungkin melihat jam juga. Kemudian dia berkata, “Udah, udah. Tidur lagi. Masih malem,” perintahnya. Nada suaranya berbeda.

Kantukku hilang, tetapi harus kupaksa untuk tidur karena masih tengah malam. Beberapa menit kemudian aku merasa ada tangan yang meraba bagian luar sleeping bagku. Aku menyentakkan tangan dari dalam untuk mengusir tangan usil yang kukira itu kerjaan bang Sadox, bang Ode atau Dadang untuk menakut-nakuti. Kemudian bang Sadox berteriak pelan kepada orang yang merabanya. Aku berpikir, mungkin bang Ode atau Dadang yang ngerjain dia karena kejadian barusan. Berselang beberapa saat, tangan usil itu kembali menggerayangi bagian luar sleeping bagku. Aku kembali mengusirnya dari dalam sleeping bag. Ketiga orang tentara itu kembali berisik, sepertinya mereka juga merasakan hal yang sama. Mungkin mereka saling ngerjain, pikirku. Dan aku juga menjadi korban kejahilan salah satu dari mereka. Terakhir, tangan jahil itu kembali merabaku. Kali ini tangan itu meraba bagian wajah hingga mulut. Aku meniupkan udara untuk mengusir tangan jahil itu agar menjauh dari wajahku. Setelah itu tidak ada lagi tangan jahil yang menggerayangi.

Akhirnya aku bisa tertidur. Namun, tidak benar-benar lelap. Beberapa kali aku terbangun. Rintik hujan masih terdengar dari luar, semakin pagi udara semakin dingin. Aku meringkuk untuk sedikit menghalau dingin. Hingga subuh menjelang, aku masih berusaha terlelap. Sementara di bawah rintik hujan yang tinggal satu-satu, di antara tanaman cabai setinggi lutut, wanita itu masih membelakangi kami.
***

Pagi-pagi bang Sadox seperti kesurupan memarahi aku. “Hei, Ardi, rambut kamu itu dipotong jangan seperti itu. Seram sekali itu,” sulutnya.

Aku yang nggak ngerti apa yang terjadi cuma bengong. “Emang kenapa bang?” tanyaku.

“Iya, gara-gara rambutmu itu aku mimpi buruk,” katanya. Kami semua tertawa terkekeh mendengar pengakuan bang Sadox.

“Kok iso?” Darumas bertanya.

Bang Heriyana kemudian memotong pertanyaan Darumas.

“Jadi, kenapa kamu semalam teriak, Dox?” tanya bang Heriyana disela-sela menikmati sarapan mie instan rebusnya.

“Jadi ceritanya gini,” bang Sadox memulai ceritanya. Kami mengambil posisi mendengarkan. “Saya semalam mimpi ada cewek yang datang. Dia pakai jilbab warna hijau muda, terus dia tidur di sini juga bareng sama kita. Pas tidur itu, aku mimpi. Jadi mimpi di dalam mimpi lah ceritanya. Di mimpi itu aku bangun. Pas aku bangun si cewek itu nggak ada. Kalian semua juga nggak ada, cuma aku yang ada di sini.

Ternyata kalian semua jatuh di bawah. Dadang di sebelah jurang, Ode di sana, Daru di sana, bang Heri di situ. Nah, Si Ardi ini juga jatuh di bawah dipan ini. Aku liat rambut dia jadi mengembang besar sekali kayak edi brokoli. Terus, aku panggil lah dia. ‘Hei Ardi, kenapa rambut kamu itu?’ Dia tidak jawab. Aku panggil lagi. ‘Hei Ardi.. ardi..'" Waktu dia ngelinguk, mukanya pucat, matanya melotot hitam. Aku teriaak. Aaaaarrrrgggghhhh!!! Ternyata sampai kebawa nyata,” kisahnya. “Makanya rambut kamu dipotong, bikin orang mimpi buruk saja,” lanjutnya.

“Hahahaha... gakpapa bang, biar yang laen juga mimpi buruk,” candaku.

“Jadi cewek tadi itu kemana?” tanya bang Dadang.

“Oya, cewek itu berdiri di situ (menunjuk ke beberapa pohon cabe yang sengaja ditanam di pinggir gubug),” jelas bang Sadox.

****

Saat pulang kami bertemu dengan anak-anak desa Fahudu yang ikut membantu orangtua mereka memanen buah pala. Kebetulan sekali mereka bersedia ketika kami minta untuk mengantar sampai ke jalan besar, karena bapak Yamin yang kemarin janji akan menjemput kami tidak datang. Mungkin dia juga bingung mencari lokasi kami karena jauh dari tempat dimana kami berpisah kemarin.
Di tengah perjalanan turun, bang Sadox mengingatkan kami tentang sesuatu yang akhirnya membuat bulu kuduk berdiri.

Foto bersama anak-anak dusun Fahudu
dok. Darumas

“Semalam siapa sih yang ngeraba-ngeraba,” tanya bang Sadox.

“Eh iya. Aku juga diraba-raba. Berapa kali tu ya?” sambut bang Ode sambil mengingat-ingat kejadian semalam.

“Aku juga, sampe tangannya ngeraba mukaku,” aku menimpali.

“Aku juga tuh. Kirain Sadox yang nakut-nakuti abis dia teriak-teriak,” tambah bang Dadang.

“Kalian ngomong apa sih, raba-raba. Jangan-jangan kalian saling grepe-grepean. ” ujar Darumas.

“Jadi semalam abis Sadox teriak, ada yang grepe-grepe. Gak tau siapa, aku kira mereka-mereka ini aja yang jail,” kisah bang Dadang.

“Saya nggak tuh. Darumas juga enggak,” kata bang Heriyana. “Makanya sebelum tidur nyanyi Doa TNI biar gak diganggu setan,” tambah bang Heri.

“Iya, semalam diajak nyanyi pada gak mau sih,” ujar Darumas.

Sampai di rumah pak Lurah Mado, beberapa orang yang mengetahui rencana kami untuk menginap di hutan pulau Hiri menyapa. “Beneran nginap di atas pak? Kok berani?” tanya seseorang di antara mereka. Sementara kami masih bertanya-tanya tangan siapa yang meraba-raba kami semalam.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman