Rabu, 03 April 2013

Trip Bromo dan Serangkaian 'Kesialan' Lainnya


Setelah memasuki jalan perkampungan itu, jalan menjadi semakin sempit dan gelap. Tidak ada penerangan di sana. Kanan dan kiri jalan ini adalah persawahan yang memanjang luas dengan beberapa pohon pisang dan randu di pinggirnya. Semakin ke depan, jalanan semakin gelap dan sepi. Hingga di suatu tempat, mobil kami berhenti. Jalanan di depan buntu.

Itu adalah peristiwa pertama dari serangkaian peristiwa aneh, bisa dibilang kesialan, yang kami alami sepanjang perjalanan ke Bromo 27-30 Desember 2012 lalu. Dari Jogja aku, Teguh, Bagus, Vika, Havnie, Restu dan Dea berangkat ke Malang dengan menyewa sebuah mobil Avanza hitam. Menjelang tahun baru, tarif sewa mobil naik, hampir 400rb perhari tanpa sopir. Melalui seorang temanku, kami mendapat harga yang cukup murah, 250rb perhari tanpa sopir.

Berangkat dari Jogja Kamis malam, sekitar pukul delapan. Teguh dan Bagus menjadi sopir, karena mereka yang bisa nyetir di antara kami bertujuh. Sialnya, mereka belum pernah ke Malang. Sebenarnya Vika pernah, tapi lebih sering dengan bis. Jadi perjalanan malam itu kami mengandalkan petunjuk yang ada di GPS smartphone.

Memasuki daerah Jombang, Bagus, mulai bingung dengan arah yang ditunjukkan GPS. Beberapa kali kami bolak-balik di satu tempat hanya untuk mencari satu belokan. Hingga akhirnya Bagus memutuskan untuk berbelok di sebuah gang kecil yang masuk ke perkampungan di daerah Jombang, tepatnya saya lupa itu daerah mana. Sebenarnya kami semua tidak yakin dengan jalan tersebut, tetapi GPS menunjukkan arah ke tempat tersebut.

Jalanan tersebut mengarah ke sebuah perkampungan. Ketika sampai di sana sudah hampir tengah malam, suasana kampung tersebut sudah sangat sepi. Mobil melaju memasuki jalanan kampung yang tidak beraspal. Melihat kondisi jalan yang semakin sepi, kami semakin tidak yakin jika itu jalan menuju ke Malang. Hingga akhirnya Bagus menghentikan laju mobil, dan berkata kepada kami.
“Sepertinya kita harus mundur,” kata Bagus.
“Lha, kenapa?”
“Jalan buntu!”

Benar saja. Di depan, jalan semakin kecil dan terputus oleh sebuah jalur kereta api. Tidak ada jalan lagi setelah jalur kereta api itu selain jalan setapak. Kami memang harus mundur, karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan untuk memutar balik.

Entah kenapa melihat kondisi seperti ini, beragam pikiran horror mulai bermunculan. Aku secara spontan nyeletuk, “Jadi inget film Keramat.

“Heh! Ora meden-medeni,” cegah Vika.

Film Keramat konon adalah film yang diangkat dari kisah nyata sebuah production house yang akan membuat sebuah film layar lebar di Jogja. Tetapi karena mendapat serangan gaib, salah seorang artis utamanya kerasukan roh leluhurnya dan dibawa ke alam gaib. Dengan bantuan seorang paranormal setempat, mereka memasuki dunia gaib melalui pintu pantai Parangkusumo. Satu persatu dari mereka hilang dan hanya tersisa tiga orang.

Tapi nasip kami tidak seperti kru film Keramat. Kami masih dalam kondisi lengkap dan baik-baik saja saat keluar dari tempat tersebut. Saat kembali ke jalan raya, kami akhirnya mampir di warung rames pinggir jalan dan bertanya kepada penjualnya tentang rute menuju Malang.

Terserempet Truk
Kami, kecuali Bagus dan Teguh, tertidur pulas sepanjang perjalanan. Pukul lima pagi kami beristirahat di sebuah mushala di daerah Batu. Teman-teman sedang ngomongin tentang truk dan tikungan. Aku tidak begitu mengerti apa yang mereka omongkan, semalaman sepertinya aku tidur cukup nyenyak. Katanya sih sampai ngorok. Katanya sih, aku juga nggak tahu. Kemudian aku kaget waktu ngeliat bodi bagian kiri belakang mobil lecet dan kotor, seperti bekas terserempet sesuatu. Waktu aku tanya ke Teguh tentang goresan tersebut, dia kemudian bercerita kalau semalam dia nyerempet bagian belakang truk ketika ingin memotong truk tersebut. Ah, urusannya bisa panjang nih. Mobil sewaan e.

Sejenak kami melupakan soal goresan di mobil tersebut. Selesai shalat subuh yang sudah kesiangan, kami melanjutkan perjalanan ke Malang. Dua jam kemudian, sekitar pukul tujuh kami sampai di depan kampus Universitas Brawijaya. Sambil istirahat dan sarapan nasi kuning pinggir jalan, Bagus menghubungi teman SMA-nya yang kuliah di Unibraw. Ada yang lucu, bagi kami, ketika mendengar percakapan dua orang asli Lampung. Kami seperti menonton siaran langsung serial Upin dan Ipin. Iseng-iseng kami juga menirukan logat Melayu mereka. Untung Bagus tidak marah. Peace Gus, hanya just kidding. Hahaha.

Hari itu kami menginap dan beristirahat di kontrakan salah seorang teman Restu. Sembari beristirahat untuk melanjutkan ekspedisi selanjutnya menuju gunung Bromo, kami mencari-cari informasi cara alternatif yang murah dan mudah. Akhirnya di setujui kalau perjalanan menuju Bromo dilakukan dengan menggunakan sepeda motor. Kebetulan malam itu juga ada rombongan dari mahasiswa Lampung yang akan ke Bromo juga. Kami diajak bergabung karena salah satu pemimpin rombongannya adalah teman kontrakan temen Restu.

Tetapi ada satu kendala, motor. Kami ada tujuh orang. Teman Restu dapat meminjamkan dua motor, satu motor Ipol, satu motor terpaksa harus nyewa di rental motor. Ipol temenku SMA-ku, dia kuliah di Komunikasi UMM Malang. Waktu aku ke Malang aku menghubungi dia, dan sekarang sekalian saja aku ngajak dia.

Awalnya kami ingin menyewa dua motor karena motor Ipol, modifikasi Honda Legenda sempat membuat kami ragu untuk dibawa naik ke Bromo. Tetapi, harga yang cukup mahal dan sistem yang ribet membuat kami akhirnya harus percaya kepada kemampuan si Legenda Ipol. Si pemilik rental membedakan harga untuk sewa motor dengan rute perjalanan sekitar kota Malang dan Bromo. Untuk penggunaan di Malang dan sekitarnya satu motor dikenakan tarif Rp.45.000 /24jam. Sedangkan untuk ke Bromo Rp. 100.000/24jam. Karena tarifnya yang cukup mahal, kami hampir tidak jadi nyewa. Budget kami tidak mencukupi untuk menyewa dua motor, ah, jangankan dua, satu saja kami sudah kewalahan. Akhirnya kami menipu pemilik rental motor tersebut. Ketika menyewa kami bilang motor tersebut untuk digunakan berkeliling Malang. Penyewaan menggunakan kartu mahasiswa teman Restu. Maaf ya mas-mas penyewaan motor kami tipu, maklum deh, udah jauh-jauh dari Jogja masa nggak jadi ke Bromo cuma gara-gara motor. Mohon dimaklumi.

Ok, masalah motor beres. Semua bisa berangkat.

Tanki Bocor
Persiapan seperlunya sudah dilakukan. Pukul sebelas malam tepat kami berkumpul di kampus Unibraw dengan mahasiswa dari Lampung lainnya. Setelah semua berkumpul, perjalanan ke Bromo dimulai. Sebelum berangkat, semua anggota memastikan bensin dalam keadaan full. Setelah mengisi full, ternyata motor yang dipakai Bagus bermasalah. Tanki bensinnya bocor. Bensin yang baru ia isi full tumpah semua. Perjalanan sempat tertunda sekitar setengah jam. Kami sempat merasa tidak enak dengan rombongan yang lain, dan ingin membatalkan perjalanan. Kemudian Restu menelpon temannya untuk meminjam motor. Kebetulan di kontrakan masih ada satu motor yang tidak terpakai karena temen Restu tidak ikut ke Bromo. Sekitar limabelas menit kemudian temannya datang. Motor Mega Pro yang digunakan Bagus dibawa temen Restu (ah, sial, aku lupa namanya). Hampir pukul satu dini hari perjalanan dilanjutkan kembali.

Di tengah perjalanan hujan mulai turun. Tidak begitu deras, tetapi cukup awet hingga kami tiba di pos terakhir Bromo. Perjalanan menuju Bromo ditengah hujan seperti ini cukup menantang. Jalan raya lurus dengan deretan truk-truk besar membuat kami harus lebih berhati-hati dengan kecepatan. Memasuki kawasan Bromo, jalanan mulai menanjak dan berliku. Kanan kiri jalan hanya ada jurang dan hutan lebat. Jika tidak berhati-hati bisa sangat berbahaya. Belum lagi kondisi hujan yang tidak kunjung reda membuat kondisi badan semakin lemah karena dingin dan jalanan basah. Tetapi ada diuntungkan juga hujan turun malam ini, jalanan jadi tidak begitu licin. Tantangannya hanya di kondisi yang jalan yang menikung menanjak dan dingin. Eh, satu lagi, lapar. Dingin gini bikin lapar.

Kurang lebih satu setengah jam laju sepeda motor berlenggak lenggok bak penari ronggeng mengikuti irama jalanan. Dingin semakin menyengat ketika beberapa kilometer mendekati pos terakhir Bromo. Hingga akhirnya kami tiba di pos Bromo sekitar pukul tiga dini hari hujan belum juga reda, dan dingin semakin menusuk. Kaos tangan dan jaketku basah. Sambil menunggu yang lain tiba, aku berteduh di warung dan memesan secangkir kopi panas. Biasanya para pengunjung yang akan ke puncak Bromo dan penanjakkan memarkir kendaraannya di sini. Kemudian mereka menyewa Jeep untuk menju ke tempat-tempat tersebut. Untuk ke pendakian, puncak Bromo, dan padang pasir tarif per Jeep sekitar Rp. 700.000.

Ban Bocor dan Kunci yang Nyaris Hilang
Sebagian besar rombongan termasuk aku, Havni, Bagus, dan Vika sudah tiba di pos terakhir Bromo. Tinggal Ipol, Restu, Teguh, dan Dea. Hujan masih belum juga reda. Salah seorang dari rombongan mahasiswa Lampung memberitahu kalau ada teman kami yang motornya bocor di bawah. Beberapa saat kemudian Restu sms kalau motor Teguh bocor. Sekarang dia dan Ipol menemani Tegus mencari tambal ban di sekitar situ. Beruntung ketika ban bocor mereka sudah sampai di wilayah perkampungan, sehingga tidak harus mendorong motor hingga ke atas.

Sudah lewat pukul tiga pagi Teguh dan yang lainnya belum juga tiba di pos. Mereka bilang belum menemukan tempat tambal ban di sekitar situ karena masih terlalu pagi. Aku melapor ke ketua rombongan, aku harap ada yang mau membantu mereka. Tetapi, mereka sepertinya enggan turun. Hanya satu orang cewek yang menawarkan mereka untuk menyusul duluan, biar dia dan pacarnya yang menunggu motornya.
“Kita kan sudah beberapa kali ke Bromo, biar kita yang nunggu di sini dan mereka yang ke atas,” kata si Mbak ke pacarnya.
“Nanti anak-anak gimana. Aku tanggung jawab kalau ada apa-apa dengan mereka,” jawab pacarnya.

Karena merasa tidak enak hati kalau mereka berdebat hanya karena kami. Aku bilang ke Havni, Bagus, dan Vika, “Kita datang ke sini bareng-bareng, satu ke pendakian harus ke pendakian semua. Satu nggak, ya nggak semua.” Mereka setuju. Kemudian aku meminta mbaknya pergi duluan saja dengan rombongan yang lain. Biarkan aku dan teman-teman yang menunggu. Daripada menunggu kami, yang lain tidak bisa ke pendakian liat sunrise, karena kata si pacar mbaknya itu tambal ban baru ada sekitar pukul tujuh pagi.

Setelah para rombongan berangkat, Bagus dan Aku ingin menyusul mereka ke bawah. Tapi sial, masalah baru lagi muncul. Kunci motorku hilang. Seingatku kunci motor itu sudah aku taruh kantong celana. Tetapi setelah kucari-cari tidak ketemu juga. Aku mulai kebingungan. Jangan-jangan jatuh di suatu tempat. Bagus tetap berangkat ke bawah, sedangkan Aku, Havni dan Vika mencari kunci motor. Aku baru inget, kunci motor itu tidak ada gantungan kuncinya. Dengan kondisi seperti itu pasti lebih sulit menemukannya. Kami mencari ke berbagai tempat, ke sekitar warung, parkiran, toilet, dsb. Hampir satu jam kami mencari akhirnya kunci tersebut aku temukan di bawah mobil. Kok bisa?

Aku baru inget, ketika tiba di pos tadi aku ke toilet. Ketika sampai di parkiran mobil, aku mengambil hp di saku celana. Mungkin ketika itu kunci motorku ikut terjatuh. Ketika aku kembali dari toilet, parkiran itu sudah penuh dengan beberapa mobil. Wajar saja kami susah menemukan kunci tersebut karena tepat berada di bawah mobil.

Pukul lima pagi, Teguh dan yang lainnya tiba di pos. mereka cerita kalau tadi dibantu penduduk sekitar membangunkan salah seorang tukang tambal ban yang di ada di kampung itu. Langit sudah cerah ketika kami sudah berkumpul. Ke pendakian juga sepertinya tidak memungkinkan. Akhirnya kami istirahat sejenak, memesan mie rebus dan minuman panas. Kemudian foto-foto dulu. Yap, itu adalah ritual wajib di setiap perjalanan.

Dea, Ipol, Restu, Aku, Teguh,
Havni, Vika


Setelah diperhatikan, aku baru tahu kalau ternyata masyarakat di sekitar Bromo ini mayoritas pemeluk agama Hindu. Pantas saja di beberapa tempat di sepanjang jalan tadi ada banyak pohon dan semacam tugu kecil untuk pemujaan yang dibalut dengan kain putih seperti yang banyak terdapat di Bali.

Motor Ipol Nggak Kuat Nanjak
Matahari sudah mulai beranjak naik, dan langit Bromo sudah semakin terang ketika kami mulai perjalanan ke pendakian. Langit masih cerah ketika kami berangkat, tetapi ketika sampai di tengah jalan hujan kembali turun. Akhirnya kami berteduh di sebuah warung di pertigaan menuju pendakian dan puncak Bromo.
Perjalanan dari pos terakhir Bromo hingga ke pertigaan ini cukup berat dari sebelumnya. Tanjakkannya lebih tinggi dengan kemiringan kurang lebih sekitar 60-70 derajat. Namun kanan kiri jalanan bukan lagi hutan, tetapi hamparan ladang sayur milik penduduk juga jurang curam dan berkabut. Ada juga jalan lurus dengan kanan kiri yang berhadapan langsung dengan jurang. Kami seperti berjalan di atas jembatan tanpa pembatas. Karena hujan, kabut juga semakin lebat sehingga menutup jarak pandang hingga tersisa sepuluh meter.
Sampai di atas, Restu dan Ipol belum juga tiba. Ternyata motor Ipol tidak kuat naik di penanjakan tadi. Akhirnya Restu naik ojek dengan tarif Rp.25.000 sedangkan Ipol menyusul sendiri di belakang.

Sama seperti ketika berangkat menuju Bromo semalam, pagi ini hujan juga cukup awet. Pemilik warung berbaik hati memberikan kami sebuah tungku api dari kaleng untuk menghangatkan diri. Kondisi sini memang dingin sekali, entah berapa derajat suhu di sini, nggak sempet bawa thermometer pula waktu berangkat kemaren.

Slurp.. nikmat bener si Restu makan Mie-nya

Kedinginan. brrrrrrr

si Bagus sampe mernggigil kedinginan

Mie rebus, Teh Panas dan rokok

Menghangatkan diri di depan tungku api.
Bapak warungnya baik banget nih

Itu bukan fotonya yg jelek, tapi emang kabutnya
tebel banget. Tapi gakpapa, yg penting foto-foto. hahaha


Setelah beristirahat cukup lama sedangkan hujan belum juga reda, kami tetap memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan menuju puncak Bromo. Rute dari pertigaan penanjakan dan puncak Bromo lebih ekstrim lagi, karena kami harus melewati kondisi jalan menurun dengan kemiringin sekitar 70 derajat, kondisi jalanan dengan tikungan ekstrim yang licin sehabis hujan, dan dingin yang masih menusuk.

Puncak Bromo
Cobaan itu ternyata tidak berlangsung lama. Sampai di bawah hamparan pasir luas membentang sejauh mata memandang. Beberapa bukit tinggi dengan puncak terselimuti kabut tebal berwarna putih. Dari kejauhan beberapa Jeep berbaris seperti semut melintasi hamparan pasir. Di belakang kami terdapat sebuah papan petunjuk bertuliskan,
“KAWASAN TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU”

foto-foto sek

foto-foto meneh

Ipoel bangga banget sama motornya... 

Aku dan Ipoel. *malah kaya judul sinetron

Ipoel, Aku, Teguh, Restu, Dea, Bagus, Havni, Vika,
dua orang temannya Ipol *gak tau namanya


Kami beristirahat sejenak dan menjalankan ritual wajib kami; foto-foto. Ipol berfoto dengan motornya. Dia ingin mengabadikan momen paling bersejarah dalam hidupnya bisa naik Bromo dengan sepeda motornya. Itu prestasi yang sangat membanggakan bagi dia, dan motor kesayangannya.

Cuaca cukup cerah ketika kami sampai di puncak Bromo. Menapaki 220 anak tangga hingga mencapi puncak kawah Bromo. Dari atas, pemandangan padang pasir Bromo terhampar luas dengan tebing-tebing tinggi seperti dinding benteng raksasa. Mungkin jika di lihat dari tempat yang lebih tinggi, tempat ini sepeti sebuah mangkok raksasa berisi sup yang masih panas dengan asap yang masih mengepul. Ratusan Jeep berbaris tak beraturan seperti semut-semut yang dicat dengan beragam warna. Yang menarik, di atas puncak Bromo terdapat sesaji berupa pisang, semangkuk kebang, dan dupa yang masih menyala. Sepertinya baru diletakkan di sana tadi pagi.

Kami tidak bisa berlama-lama di Bromo karena sore ini kami harus segera kembali ke Jogja. Rute ke Malang kami melewati jalan yang berbeda dengan ketika berangkat semalam, dan kami juga tidak bersama dengan rombongan mahasiswa Lampung lagi. Ipol tahu jalan pintas melalui Tumpang . Perjalanan kembali ke Malang melalui Tumpang  melewati hamparan padang pasir dan sahara yang hijau. Kondisi jalan keluar dari jalur pintas ini tidak terlalu bagus, hanya jalan kecil berbatu sejauh puluhan kilo. Meskipun sedikit susah, tetapi jalur ini lebih mudah dilalui daripada jalur yang digunakan ketika pergi semalam.

kawah bromo

pengunjung lagi menikmati puncak Bromo dan kawahnya

acting lagi benerin sepatu

sesaji di puncak Bromo

Mesra banget yak.. 

Dilihat dari atas

Pengunjung baru turun dari puncak

Pedagang minuman dan pemilik kuda berkumpul

Dinding tebing dan hamparan pasir yg akan ditemui kalau melewati
jalur Tumpang

Sabananya keren

ini juga... 

dan ini lagi....

Setelah kurang lebih tiga jam menghabiskan waktu di jalan raya akhirnya kami tiba di kontrakan teman Restu di Malang. Setelah beristirahat, sorenya kami langsung berpamitan dengan penghuni kontrakan dan Ipol untuk kembali ke Jogja. Di Batu, kami singgah sejenak di BNS atau Batu Night Spectacular mencoba beberapa wahana dan sedikit berbelanja oleh-oleh. Karena terlalu capek sehabis pulang dari Bromo, setelah singgah di Batu kami langsung tertidur pulas hingga pagi, kecuali Teguh dan Bagus pastinya.

Sosok Misterius di Tikungan Batu dan Denda Rp. 500.000
Ketika keluar dari Batu, saat kami semua tertidur pulas, di sebuah tikungan yang gelap dan sepi, Teguh melihat sosok putih dengan rambut panjang berdiri di atas sebuah pohon besar. Ia meyakini itu semacam sosok mbak kunti yang konon memang sering menampakkan diri. Banyak orang yang percaya kalau salah penyebab kecelakaan yang sering terjadi di daerah itu adalah sosok mbak kunti tersebut. Menyadari hanya dia sendiri yang sadar, Teguh langsung tancap gas meninggalkan daerah itu. Alhamdulillah kami tidak apa-apa.

Tengah hari kami sampai di Jogja. Sebelum mobil dikembalikan ke pemilik rental, bekas lecet akibat terserempet truk itu kami bersihkan dan digosok dengan sponges cuci piring. Tapi sial, usaha kami untuk menutupi kesalahan ternyata bisa dibaca oleh pemiliknya. Menyadari mobilnya kembali dengan keadaan lecet, kami diminta mengganti rugi sebesar Rp. 500.000 untuk biaya perbaikan.

Ardian Justo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman