Peristiwa rencana penempatan putra Raja
Airlangga menjadi raja di Bali disebut sebagai salah bentuk praktik nepotisme
yang terjadi di Nusantara. Raja Airlangga menginginkan salah satu anaknya
menjadi Raja di Bali. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, Airlangga
mengutus Mpu Baradah untuk membantunya. Dalam kutipan
terjemahan dari teks Calon Arang prosa
berkode LOr 5387/5279 berikut menceritakan bentuk negosiasi Mpu Baradah kepada
Mpu Kuturan sebagai tetua adat di Bali karena daerah tersebut belum ada raja
yang memerintah.
“… Raja di Jawa nama
penobatannya Maharaja Erlanggya, bergelar Jatiningrat. Dia berputra dua orang,
itulah Tuanku, diharapkan akan diangkat raja di Bali seorang, yang lainnya
(lagi) di Pulau Jawa.”
(Suastika, 1997:120*)
Namun, negosiasi tersebut tidak bisa berjalan
lancar seperti yang diharapkan. Mpu Kuturan menolak penempatan putra Raja dari
Jawa. Ia berniat mengangkat cucunya sendiri menjadi raja di Bali. Proses
negosiasi yang berjalan alot tersebut membuat geram Mpu Baradah. Ia melancarkan
ultimatum kepada Mpu Kuturan bahwa seluruh nusantara telah tunduk kepada Raja
Airlangga, sehingga hal tersebut seharusnya juga berlaku kepada Bali. Kemudian
Mpu Kuturan berkata tegas kepada Mpu Baradah.
Pendeta Baradah berkata lagi, “Tuanku, saya berkata lagi ke hadapan Sang Pendeta. Apabila sungguh
salah di hadapan Tuan Hamba, seluruh Nusantara itu Tuanku, daerah-daerah besar
itu sama-sama menyerahkan upeti semua.” Beliau Mpu Kuturan menjawab, “Tanpa
alasan bahwa Nusantara banyak menyerahkan upeti tunduk kepada Jawa semua, jika
untuk Bali saya tidak setuju. Jika begitu, saya senang apabila menyerbu seluruh
negara, ya sedapat-dapat saya menerima. Apabila saya telah mati saat itu
jugalah sekehendak Raja Jawa akan memerintah Bali itu.”
(ibid)
Dalam prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki peristiwa tersebut digambarkan
sebagai kilas balik dari bentuk praktik nepotisme yang marak terjadi pada masa pemerintahan
orde baru. Hal tersebut seperti disebutkan dalam kutipan berikut.
Coba, kita belajar dar
sejarah, dari pengalaman
Mpu Baradah yang
datang menemui Sri Mpu Kuturan di Bali
Yang lebih sakti lagi,
untuk diminta
persetujuannya atas
niat Sang Erlangga menempatkan
Salah satu putranya
pada tahta di Bali :
(Bandingkan dengan
nepotisme masa kini)
Kini di Irian, di
Dili, di Aceh, di mana lagi
Daerah menjadi proyek
oleh Pemerintah Pusat, tidak jelas
Ini meniru atau
naluri, mirip sekali dengan
Mewajibkan, pada Raja
Jawa harus diserahkan upeti.
(Heraty, 2000:21**)
Nepotisme merupakan kecenderungan
untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam
jabatan maupun pangkat di lingkungan pemerintah (KBBI edisi keempat, 2008: 959). Nepotisme juga dapat dimaknai
sebagai praktik penyimpangan politik kekuasaan yang dilakukan untuk
menguntungkan kepentingan keluarga maupun golongannya di atas kepentingan
bangsa dan negara. Isu nepotisme juga menjadi salah satu faktor pemicu gerakan
reformasi untuk menggulingkan penguasa
orde baru.
Ardian Justo
sumber :
* Suastika, I Made. 1997. Calon Arang dalam Tradisi Bali Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis Proses Pem-Bali-an. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
** Heraty, Toeti. 2000. Calon Arang : Kisah Perempuan Korban Patriarki. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar