Ketika sore, aku bersama beberapa
teman berencana mencuri jeruk di ladang itu. Letaknya memang di pinggir sawah.
Ketika sudah sampai, kami tidak langsung beraksi. Kami berjalan lurus menuju
sungai melewati area kebun jeruk yang menjadi sasaran kami untuk memastikan
lokasi aman untuk dijarah. Ketika berdiskusi kecil menyusun strategi, kami pun
menjalankan aksi.
Dua orang yang larinya paling
kencang masuk ke kebun, dan sisanya berjaga-jaga di luar. Aku termasuk yang
berjaga di luar. Sebenarnya satu dari dua orang yang temanku yang masuk ke
kebun juga bukan anak yang larinya kencang, tetapi dia anak yang nekat. Mungkin
bisa dibilang bodoh.
Kedua temanku sudah masuk ke dalam
kebun. Aku dan yang lainnya berjalan di sepanjang bedeng sawah, tidak jauh dari kebun jeruk. Beberapa menit berlalu,
kondisi masih aman. Tetapi kami tetap mengawasi kondisi sekitar kebun. Tidak
berapa lama, terdengar suara teriakan seorang laki-laki dari kebun.
“Maaalllliiiiiiinnggggggg!!!!”
Sontak kami kaget dan langsung
berlari. Tanpa berpikir bahwa kami sedang berada di sawah, dan jalanan yang ada
hanyalah bedeng berlumpur setapak
yang jika salah-salah akan terjerembab ke sawah. Beberapa meter di belakang
kami seorang laki-laki tanpa baju berlari mengejar kami sambil menenteng arit.
Laki-laki itu berteriak dengan garang ke arah kami.
“Woooiii.. jangan lari kelen (kalian)!!!!”
Laki-laki itu terus berteriak sambil
tetap berlari lebih pelan. Aku sempat melihat beberapa kali ke belakang,
laki-laki itu agak kesusahan berlari di atas bedeng ini. Karena memang bedeng
yang hanya setapak dan licin sekali sehingga ia tidak bisa berlari di atasnya.
Tetapi, itu tidak berlaku terhadap
kami. Mungkin karena badan kami yang kecil sehingga lebih ringan. Sepanjang
jalan kami terus berlari dan tidak terjatuh sama sekali. Sampai di Dam air kami berhenti. Laki-laki yang
mengejar kami terlihat berbalik ke ladang. Di Dam itu kami menunggu teman-temanku dengan cemas. Apa yang terjadi dengan
mereka. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja dan bisa selamat.
Hampir setengah jam kami menunggu,
hingga akhirnya salah seorang di antara kami mengajak pulang.
“Lebih baik kita pulang ajalah yok.
Kita tunggu aja orang itu di rumah. Baleknya pasti orang itu.”
Kami setuju. Kamudian kami kembali
ke kampong dan menunggu mereka. Bayang-bayang laki-laki dengan arit yang
mengejar kami dan kedua teman kami mengisi pikiranku dan teman-teman. Kami
hanya berharap semoga mereka tidak tertangkap oleh laki-laki itu. Jika
tertangkap, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan mereka.
Tetapi hingga adzan maghrib berkumandang, kami belum melihat tanda-tanda
kedatangan kedua temanku. Kami pasrah. Barangkali mereka memang sudah
tertangkap.
Selepas maghrib, saat aku tengah
makan malam di rumah. Ada seorang laki-laki datang dengan sepeda motor ke
rumahku. Bapakku yang saat itu juga sedang makan malam, menghentikan makan
malamnya dan keluar menemui orang tersebut. Bapak terlihat sedang
berbincang-bincang dengan orang itu. Sesaat kemudian, bapak masuk dan
memanggilku.
“Kau nyuri jeruk?” tanya bapak
dengan nada tinggi.
Aku diam, sambil menganggukkan
kepala. Saat itu aku benar-benar tidak berani menunjukkan wajahku kepada bapak.
Aku malu sekali.
Laki-laki yang datang itu adalah
salah seorang laki-laki dengan arit yang mengejar kami waktu di sawah sore
tadi. Memang benar, kedua temanku tertangkap. Dari mereka dia mengintrogasi
siapa-siapa saja yang terlibat dan kemudian menghampiri rumah kami satu persatu.
Tiap orang didenda sebesar sepuluh ribu rupiah.
Setelah memberikan uang denda kepada
laki-laki itu, bapak masuk dan melanjutkan makan malamnya. Aku masih belum
berani mengangkat wajahku di hadapannya. Makanan makan malam saat itu terasa
hilang nikmatnya.
Selesai makan, bapak menanyaiku
tentang apa yang aku lakukan sore tadi. Kuceritakan semuanya dari awal sampai
akhir kepada bapak.
“Buat apa nyuri, minta aja baik-baik
sama yang punya juga pasti dikasih. Orang karo memang kayak gitu, kalau barangnya
dicuri mereka tidak segan-segan bertindak tegas. Tapi mereka juga baik. Kalau
kita minta baik-baik, mereka tidak segan-segan memberi kok.”
Aku merasa semakin malu sekali malam
itu. Tetapi, sikap bapak yang dingin dan sangat bijaksana membuatku merasa sedikit
tenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar