Jumat, 08 Maret 2013

Kopi Toraja, Cincin India, dan Mitos Pikiran



 “Kalau hidup hanya mitos, ia berkaitan dengan pola pikir kita terhadap sesuatu. Mungkin saja besar kecilnya masalah itu hanya mitos. Sebenarnya masalah itu sama aja, 
nggak ada yang besar dan nggak ada yang kecil. ”



Kali ini Aku memesan secangkir kopi Toraja di Warung Kopi Lidah Ibu. Waktu ngopi di rumah salah seorang teman selasa lalu, dia bilang kalau kopi Toraja adalah kopi yang paling enak. Ketika itu ia menyuguhkanku segelas kopi sumatera. Aku menjadi penasaran dengan kopi Toraja. Dan, mala mini aku merasakan sendiri kenikmatan kopi Toraja seperti yang diceritakan temenku itu. Memang nikmat sekali. Beda dengan kopi Sidikalang dan Kopi Sumatera – aku lupa dari daerah mana kopi itu – yang disuguhkan temanku itu. Rasa pahitnya nikmat sekali. Ah, aku tidak terlalu pandai mendeskripsikan bagaimana kenikmatan kopi itu ketika menyentuh lidahku. Tapi, aku seperti merasakan kepalaku sedikit pusing ketika usai menyeruput kopi Torajaku. Mungkin ini penyesuaian pertama buatku sebagai penikmat kopi pemula.

Cincin India a.k.a bawang bombay goreng tepung
sumber
Ditemani secangkir kopi dan cemilan “Cincin India”, cemilan dari irisan bawang Bombay yang diiris seperti cincin dan goreng dengan tepung, kemudian disajikan dengan saus tomat, obrolan kami – aku dan seorang temanku – mengudara bersama kabut putih dari 2-3-4 super premium. Obrolan kami dimulai dari “Cincin India”. Cemilan ini cukup unik, dari bawang Bombay yang digoreng tepung. Bagiku ini tidak biasa. Ya, karena biasanya saya jarang makan cemilan seperti ini. Hehehee. Kata temanku, Cincin India ini bagus buat meminimalisir kanker. Lha, kenapa? Kalau sate biasanya ada percikan arang yang menempel di dagingnya. Percikan itu yang biasanya yang menjadi penyebab kanker. Makanya biasanya kalau sate selalu dikasih irisan bawang. “Tapi, waktu kita makan sate tadi, dikit banget bawangnya, makanya di sini aku pesan Cincin India ini,” kata temanku.

Ow… ya, aku baru tahu kalau bawang menetralisir kanker, dan percikan arang dari api pembakaran sate sebagai pemicu kanker. Entah benar atau tidak, Cincin India ini memang cukup enak dinikmati bersama kopi Toraja dan rokok. Fiiuuuhhhhh… asap kami mengudara.

Di dalam tasku ada buku “Mitos dan Komunikasi” karangan Umar Junus. Aku sempat membaca satu artikel tentang “Mitos dan Realitas”. Satu kutipan yang cukup menarik, menurut Umar Junus, bahwa kehidupan adalah mitos. “Mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Kita hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak tanduk kita. Ketakutan atau keberanian kita terhadap sesuatunya ditentukan oleh mitos-mitos yang kita hidupi.“

Contoh sederhananya begini. Banyak orang berpendapat bahwa ciri cewek cantik itu kalau dia memiliki bodi langsing, kulit putih, rambut panjang dan lurus. Dan pada kenyataannya banyak cewek yang mempercayai mitos tersebut. Mereka berlomba-lomba menyiksa diri dengan mengikuti program diet, berolahraga, minum pil pelangsing, perawatan kulit, memakai lition setiap waktu, hingga make over rambut mereka menjadi lurus. Iklan-iklan produk kecantikan pun semakin memperkuat mitos tersebut. Apa yang mereka lakukan adalah untuk menghidupkan mitos tentang kecantikan. Mereka hidup dalam mitos. Dan, mitos tersebut menjadi hidup karena kepercayaan mereka.

Kemudian muncul mitos baru tentang kecantikan. Mitos tersebut berpandangan bahwa cewek cantik tidak harus berkulit putih, tidak harus berbodi langsing, dan tidak harus berambut hitam lurus. Orang-orang yang percaya terhadap mitos tersebut berpandangan bahwa cewek yang hitam lebih eksotis, lebih menarik, tubuh yang gemuk lebih imut, lebih chubby, rambut yang keriting lebih menawan. Kemudian banyak cewek-cewek yang berjemur di pantai agar kulit mereka tampak lebih hitam agar terlihat lebih eksotis, mereka pergi ke salon untuk mengeriting rambut, dan membiarkan tubuh mereka “mengembang” agar terlihat lebih imut, lebih chubby. Tidak hanya itu, produk kecantikan juga turut menciptakan beragam produk yang dapat mempercepat kehitaman kulit dan membuat rambut lurus menjadi ikal keriting.

Begitulah. Kehidupan hanya mitos yang muncul untuk mengukuhkan mitos yang ada sebelumnya atau menolak mitos yang ada dan mengukuhkan mitos baru. Jika menurut Umar Junus (Mitos dan Komunikasi, 1981:92) dikatakan sebagai mitos pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang pertama mempertahankan apa yang terlah wujud, sedangkan yang lain menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah wujud. 

Kemudian saya katakan kepada teman saya, “Kalau hidup hanya mitos, ia berkaitan dengan pola pikir kita terhadap sesuatu.  Mungkin saja besar kecilnya masalah itu hanya mitos. Sebenarnya masalah itu sama aja, nggak ada yang besar dan nggak ada yang kecil. ” Temanku bertanya, “Alasannya?”

“Simpelnya begini,” kataku, “sering kali ketika bercerita atau mendengar cerita orang lain tentang masalahnya, kita merasa ada kemiripan tentang apa yang ia alami dengan pengalaman kita. Ketika itu ia menganggap apa yang ia alami itu sebagai masalah yang berat, tetapi kita, yang pernah mengalami hal yang sama, menganggap hal tersebut bukan apa-apa.”

“Hmm.. sepertinya aku ngerti maksudmu,” ujar temenku menanggapi. “Bapakku juga pernah ngomong, ketika kamu mendapat 10 masalah, apakah kamu menganggap 10 itu besar sekali hingga kamu merasa tidak mampu melakukan apa-apa lagi, atau 10 kecil bahkan tidak ada apa-apanya? Pilihan pertama itu sama saja kamu orang yang lebay, membesar-besarkan masalah yang kecil. Sedangkan pilihan kedua, berarti kamu orang yang optimis dan dewasa. Kamu bisa menempatkan masalah sekedarnya, tetapi bukan berarti kamu menganggapnya tidak ada dan lari darinya.”

Berarti memang benar, kalau masalah itu tergantung bagaimana kita melihatnya. Karena mitos juga tergantung bagaimana kita melihatnya. Menurut Umar Junus, cerita rakyat yang pernah berkembang di kalangan masyarakat dahulu sering dianggap sebagai mitos karena sifatnya yang tidak rasional dan seringkali tidak sesuai realitas masa kini. Tetapi, apakah tidak mungkin orang-orang yang menciptakannya dahulu beranggapan sebaliknya? Lebih lanjut, betulkah karya sastra masa kini suatu realitas, sesuatu yang rasional sepenuhnya?

“Kalau kita tanyai orang-orang yang tak terlibat secara langsung dengan proses modernisasi, dengan pemikirannya yang masih tetap tradisional,” kata Junus, “misalnya saja orang-orang kampong, maka mereka akan menjawab bahwa mitos itu adalah sesuatu yang benar-benar terjadi, suatu kebenaran. Ia adalah suatu realitas yang rasional bagi mereka, yang juga dikuasai oleh suatu hubungan sebab akibat, meskipun dalam dimensi yang berbeda dari yang ada pada manusia modern. Degan cara begini, dapat dipastikan bahwa pada masyarakatnya, mitos ini adalah realitas. Dan kita tidak dapat menolak hakikat ini. Kita paling-paling hanya mungkin menilainya sebagai  tidak realistis/tidak rasional, sesuai dengan pemikiran kita kini. Tapi ini sama sekali tidak menolak hakikatnya”.

Aku menyeruput Torajaku, dan temanku membuka bungkus rokok yang kesekian, kemudian menyulutnya. Asap putih tipis berhempus dari mulut dan hidungnya. Mengudara menembus genteng dari lampu TL putih yang tepat berada di atas kepalanya, kemudian menyentuh genting dan hilang ke segala arah. Ia seperti begitu menikmati rokoknya ini. Katanya, Dji Sam Soe Super Premium memang nikmat sekali. “Kalau di kos, ada rokok sama kopi, wah enak banget. Pas banget buat jadi temen garap skripsi,” ujarnya seakan melepaskan pembicaraan kami tentang mitos tadi bersama asap putih tipis dari rokoknya. Fiiuuhh…. Ia menghembuskan lagi.

Aku penasaran seperti apa kenikmatannya. Kemudian aku mengambil satu batang dari kotak besi tempat penyimpanan rokok miliknya. Tiap batangnya dibungkus dengan kertas timah kuning. Berbeda dengan kebanyakan rokok merk lain yang kertas timah digunakan untuk melapisi kotak rokoknya saja. mungkin inilah yang membedakan rokok Dji Sam Soe Super Premium dengan rokok lainnya. Asapnya juga lebih tipis, tidak seperti Dji Sam Soe biasa yang ketika kamu hembuskan seperti cerobong asap, tebal sekali.

“Tipis-tipis aja. Nanti pusing,” temanku mengingatkan.

Aku mulai menikmati tiap hisapannya, dan menghembuskan perlahan ke udara. Aku mengakui kenikmatannya. Ah, memang enak sekali rokok ini. “Jangan sampai kamu kecanduan, bisa jebol kantongmu,” ujar temanku. “Perbungkusnya enam belas ribu, hahaha. ” Dia tertawa, aku menimpali dengan asapku.

Sudah larut malam. Jam di leptopku sudah menunjukkan pukul 23.30. Sudah lama juga kami di sini. Kopi Toraja di cangkirku sudah tinggal ampasnya. Sudah dingin pula. Aku memesan air putih untuk melegakan tenggorokan. Kemudian beranjak pulang meninggalkan warung Kopi Lidah Ibu. Asap terakhir aku hembuskan melambung tinggi di bawah langit malam ini. Fiiiuuuuuhhh….

07 Maret 2013
23.38 Wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman