Hujan itu mengenalkan kepada kita akan dingin. Dan dingin mengajarkan
kita
tentang harapan akan kehangatan.
-Ardian Justo-
Sudah pukul empat sore, hujan belum
juga reda. Langit masih belum menghilangkan awan kelabu yang menutupinya. Kami
memutuskan tetap melanjutkan pendakian. Masing-masing mengenakan mantel,
merapikan carier agar lebih mudah
dibawa saat hujan seperti ini. Hampir setengah lima sore Aku, Dimas, Moly, Avy,
Andank, dan Apos meninggalkan basecamp Selo menuju puncak gunung Merapi.
Hujan itu seperti kamu yang selalu menyejukkan hatiku.
Dimas, Avy, Andank, Moly, Apos, Ardi |
Sampai hampir pukul delapan malam,
hujan menjadi teman yang sangat setia mendampingi perjalanan kami. Daripada
sepi, aku sedikit merangkai kata-kata tentang hujan. Sebagian besar isinya
tentang gombalan, no mention pastinya.
Emang mau mention siapa juga, kebetulan semua jomblo. Hahaha. Kemudian
teman-teman yang lain juga ikut menambahkan.
Hujan itu seperti cintaku, dan cahaya adalah cintamu. Pelangi adalah keindahan yang muncul ketika
cinta kita bertemu.
Pendakian kami menggunakan jalur
yang biasa. Andank menjadi leader, di
belakangnya ada Moly, Avy, Aku, Apos, dan Dimas paling belakang sebagai sweeper. Andank kami percaya sebagai
kapten karena pendakian kali ini adalah yang kesembilan baginya. Aku dan Avy
baru pertama kali mendaki merapi. Moly sudah dua kali, Apos dan Dimas sudah
yang kesekian kali.
Semakin ke atas, udara semakin
dingin. Ditambah lagi dengan hujan yang tak kunjung reda. Tangan kami sudah
hampir mati rasa karena dingin. Beberapa kali kami istirahat, karena medan yang
ditempuh ketika hujan sedikit lebih rumit jika dibandingkan ketika cuaca sedang
cerah. Jalanan semakin licin sehingga butuh kehati-hatian, terutama medan
berbatu cadas.
Di tengah perjalanan, Moly mengeluh
kedinginan karena alergi dingin. Kami memperpendek ritme perjalanan dengan
lebih banyak berhenti. Memang pendakian menjadi sedikit lebih lama. Tetapi itu
lebih baik, agar seluruh anggota tim dalam kondisi baik-baik saja ketika sampai
di puncak dan kembali ke Jogja esok sore. Beberapa teman sempat mengusulkan
untuk mendirikan tenda di bawah saja, untuk mengantisipasi kondisi yang lebih
buruk karena Moly terus menerus mengeluh kedinginan. Tetapi tidak ada tempat
yang cukup strategis untuk mendirikan tenda. Selain hujan, angin malam di
pegunungan malam ini juga cukup kencang. Yang kami takutkan jika dia sampai
kena hipotermia. Hipotermia adalah kondisi tubuh yang menurun hingga di bawah
35 derajat Celcius. Hipotermia menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para
pendaki, terutama dalam kondisi dingin seperti ini.
Carier Moly
dibawa Avy, dan dia membawa tas ransel Avy. Kasian juga ngeliat anak kecil itu
– avy – bawa carier besar dan berat. Tapi Avy bilang dia ingin mencoba membawa
carier sampai atas. Ah, ya sudah, biarkan saja. Siapa lagi yang mau bawain
carier itu kalau bukan dia? Sebenernya Avy bukan anak kecil sih.
Walaupun badannya kecil dan sekilas seperti mahasiswa angkatan 2012, tapi
sebenarnya dia satu di antara kami berenam yang sudah menyandang gelar
sarjana.
Hujan turun cukup deras. Angin yang
bertiup cukup kencang dan ditambah udara dingin pegunungan membuat kami semakin
menggigil kedinginan. Telapak tangan kami sudah semakin mati rasa karena
dingin. Di suatu tempat, kami melewati sebuah tenda pendaki lain. Aroma indomie
menyerbak nikmat dari tenda, membuat kami semakin tergiur untuk segera sampai
di pos, mendirikan tenda dan masak mie seperti itu. Sumpah, itu adalah aroma
mie yang paling nikmat yang pernah kami hirup. Ah, nikmat sekali….
Yap, sekitar pukul Sembilan kami
sampai di Watu Gajah. Di sini sudah cukup strategis untuk mendirikan tenda.
Awalnya kami ingin lanjut hingga pasar bubrah, tapi Moly sepertinya sudah tidak
tahan. Ketika kami sampai di sini, hujan sudah reda. Andank, aku, Dimas, mencari
tempat yang aman untuk mendirikan tenda. Tidak lama kemudian, Andank menemukan
sebuah tempat yang cukup strategis. Letaknya di sebelah timur, pas sekali untuk
melihat pemandangan sunrise besok
pagi.
Lokasi tempat mendirikan tenda di sini terlalu
sempit, hanya cukup untuk satu tenda. Sedangkan kami membawa dua tenda dengan
kapasitas masing-masing empat orang. Dengan terpaksa kami hanya mendirikan satu
tenda saja untuk berenam. Selain kami, ada juga kelompok lain yang mendirikan
tenda di sini. Mereka dapat lokasi yang bagus, cukup luas untuk dua tenda dan
bersebelahan dengan gua kecil. Mereka mahasiswa dari Jogja, aku lupa dari
kampus mana. Ketika kami baru sampai di lokasi, mereka dengan baik hati memberi
kami secangkir nescafe panas. Inilah salah satu bentuk kebersamaan sesama
pendaki.
Selesai mendirikan tenda, Aku dan Andank
menyiapkan makan malam berupa mie rebus dan susu jahe panas. Tiga mie rebus
dijadikan satu mangkok dan dimakan bersama secara bergantian. Begitu juga
dengan susu jahe panasnya. Tidak ada yang mengeluh. Semua bersyukur dan
menikmati mie juga susu jahe panas, serta kehangatan kebersamaan.
Avy nunggu giliran makan mie |
Dimas seneng banget bisa makan mie kaya gitu.. hahhaa |
Selesai makan, kami berkumpul di
dalam tenda. Di luar langit cukup cerah. Hujan sudah reda sebelum kami tiba di
tempat ini. Untuk mengisi waktu, kami bermain tebak hewan berdasarkan huruf
pertama. Hewan yang disebutkan harus hewan berkaki. Siapa yang paling terakhir,
atau dalam hitungan lima tidak bisa menjawab akan diberikan sanksi. Sanksinya
cukup mudah, yang kalah diminta menggombal dari kata yang disebutkan.
Permainan dimulai. Masing-masing mengajukan
sejumlah jari. A, B, C, D, E, F, G, H, I, J. Huruf J, semua berebut menyebutkan
nama-nama hewan berkaki yang berawalan J. Jangkrik,
Jerapah, Jaguar, Jago. JARAN! Lho,
kok? Awalnya ada yang menyangkal, tapi akhirnya semua setuju kalau JARAN dibolehkan. Tidak masalah
berbahasa Jawa, yang penting hewan tersebut berkaki. Hahahaha. Akhirnya aku
selamat. Dan yang mendapat sanksi menggombal adalah Dimas. Dia diminta membuat
gombalan dari kata “kaos kaki”.
Lama dia berpikir, akhirnya muncul
juga gombalannya.
“Aku ingin kau masuk kaos kaki sebagai hadiah untukku”.
Kami ngakak mendengar kata-kata
gombalan dari Dimas. Dalam bayangan Dimas waktu denger kata “kaos kaki”, dia
teringat film tentang perayaan natal yang menggunakan kaos kaki
digantung-gantung di beberapa tempat. Kemudian Santaclaus datang dan memasukkan
hadiah ke dalam kaos kaki tersebut. Tapi karena dia juga bingung ngucapinnya,
yang kami tangkep cewek dia masuk kaos kaki. Hahahaha …
“Gak masalah, yang penting udah
usaha!”
Dimas yang paling banyak mendapat
hukuman. Pikirannya paling lemot mungkin. Hahahaha. #peacedim. Karena terlalu
sering mendapat hukuman, dia seperti orang kebingungan. Sebagai teman yang
baik, aku pun mengajukan diri untuk membantunya. Tapi sebelumnya aku tanya dulu
ke dia.
“Mau tak bantu dim?” tanyaku.
“Iya, boleh-boleh,” jawab Dimas.
“Limangewu!”
“Asem!” keluh Dimas. Yang lain pun
ngakak.
Limangewu! menjadi
tranding topic dalam pendakian ke
Merapi kali ini.
Hampir pernah mendapat sanksi
membuat kata-kata gombal. Di antara semua gombalan yang ada, kata-kata gombalan
dari Apos adalah yang paling unik, keren, kreatif, dan cewek yang kena gombalan
ini dijamin bakal klepek-klepek alias gak bernyawa lagi.
Waktu itu Apos diminta bikin
gombalan dari kata “Jempol Kaki”. Setelah berpikir sejenak, Apos pun
melancarkan gombalannya.
Wajahmu seperti jempol kaki.
“Udah,” jawab Apos santai.
Sontak kami semua ngakak denger
gombalan Apos sampai perut mules pengen kentut. Itu mah bukan gombalan, tapi
ngajak berantem.
Nggak cuma itu aja gombalan Apos
yang sangat kontroversial (bahasa infotainment), besok siangnya setelah selesai
masak Mie, Apos juga menggombal dengan kata “Panci”.
Wajahmu seperti panci, hitam, gosong.
Edyan nih orang. Ngeliat
gombalan Apos yang seperti itu, kami cuma bisa berpikiran positif, mungkin Apos
patah hati banget sama pacarnya, jadi bawaannya pengen ngehina pacarnya terus.
Tengah malam, kami merasa sangat
lelah dan mengantuk. Akhirnya kami pun tidur bersama dalam satu tenda. Yap,
tenda berkapasitas empat orang itu mau tidak mau harus muat diisi enam orang.
Aku yang paling tidak bisa tidur. Posisiku sangat tidak enak, paling pojok,
permukaan tanahnya tidak rata, susah bergerak. Tapi kenapa ada yang denger aku
ngorok ya? Ah, pasti mereka mengada-ada saja.
Pukul empat kami terbangun. Suara
sayup-sayup adzan subuh dari bawah terdengar hingga ke puncak. Melawan dingin
udara pegunungan yang sangat menusuk. Tetapi semua itu, termasuk rasa lelah dan
dingin yang kami rasakan ketika mendaki semalam, terbayar sudah dengan
pemandangan indah di depan kami. Hamparan kota dengan kelap-kelip lampu
warni-warni terbentang luas di hadapan kami. Di sebelah Selatan, gunung Merbabu
menggeliat seakan keluar dari selimut awan putih yang semalam menutupinya,
seakan ingin mengucapkan selamat pagi kepada kami. Di sisi timur, siluet puncak
gunung Lawu terlihat sangat mempesona dengan bias kombinasi merah, orange,
kuning, dan latar biru gelap dari mentari yang hendak terbit. Di bawahnya,
ribuan hektar permukaan langit bawah terisi gumpalan-gumpalan putih membentuk
lautan awan yang sangat menawan.
Subahanallah.
Sunrisenya... itu puncak gunung lawu kelihatan dikit |
Gunung Merbabu |
Sunrise, puncak lawu, dan lautan awan |
Jika melihat keindahan alam seperti
ini, sebagai generasi alay, kamera harus selalu standby. Semua saling berebut
ingin mengabadikan moment sunrise dari puncak gunung. Kalau kata temenku, salah
satu inti dari mendaki gunung adalah poto-poto.
Setelah sarapan dengan Mie goreng
dan roti, kami mulai melanjutkan perjalanan menuju puncak merapi. Puncak merapi
ditutupi pasir dan bebatuan. Jadi sangat disarankan untuk memakai sepatu agar
tidak licin. Beberapa perlengkapan seperlunya sudah siap di dalam dua tas.
Tenda dan tas-tas lainnya kami tinggal di camp.
Di sepanjang perjalanan menuju puncak merapi, kami menemukan dua memoriam,
salah satunya memoriam untuk kakak angkatanku di Mu’allimin, Yuniar Gitta
Pratama. Sebenarnya dia bukan pendaki. Alm. Yuniar adalah mahasiswa ITB, ia
meninggal pada 2010 lalu karena pengakit leukemia. Teman-teman seangkatannya
membuatkan memoriamnya di puncak merapi karena ide-idenya yang selalu segar
seperti udara pegunungan.
Memoriam Alm. Yuniar Gitta Pratama di puncak Merapi |
Perjalanan ke puncak membutuhkan
waktu kurang lebih dua setengah jam, sebagian besar waktu habis untuk
foto-foto. Yah, wajarlah, kan kami generasi alay. Sampai di pasar Bubrah, kabut
cukup tebal menutupi puncak merapi. Tetapi melihat banyaknya pendaki yang naik,
kami pun tertantang. Dengan tetap hati-hati, kami merangkak naik hingga
akhirnya sampai di puncak Merapi.
Sampai di puncak Merapi, aroma
belerang langsung menyengat. Bagi yang tidak tahan dengan bau belerang,
disarankan untuk membawa slayer atau masker. Setelah beristirahat dan
berfoto-foto di puncak Merapi, Reksa, salah seorang teman menyusul di puncak.
Kamarin memang dia janji ingin mendaki sendiri.
Saat sedang santai di puncak, kami
dikejutkan dengan suara gemuruh guguran lava dari kawah Merapi. Kami memutuskan
untuk segera turun. Mungkin sudah terlalu lama kami di sini, jadi si kawah
merasa terganggu dan menyuruh kami untuk turun. Mungkin seperti itulah.
Ini pengalaman yang cukup langka,
terutama bagiku, bisa mendengar secara langsung guguran lava dari gunung
Merapi, gunung berapi yang terkenal paling aktif di dunia.
Bagi para pendaki Merapi, ada
pengalaman lain yang bisa dinikmati ketika turun dari puncak merapi, yaitu
berlari di hamparan pasir menurun di puncak Merapi. Setelah medan berbatu,
terdapat hamparan pasir lembut menurun seluas kurang lebih seratus meter.
Sebagian besar pendaki yang turun dari puncak, akan berlari ketika sampai di
lokasi ini. Tidak perlu takut jatuh, karena tidak akan sakit. Pasirnya sangat
lembut. Tapi tetap dalam kecepatan yang terjaga, karena setelah hamparan pasir
tersebut terdapat permukaan berbatu yang keras dan cukup berbahaya jika sampai
terjatuh di sana.
Medan berbatu yg cukup rumit dan butuh kehati-hatian |
lari di pasir itu seru banget. tapi lebih seru foto-foto. hahaha |
Dimas, Avy dan Andank |
Ketika berlari di pasir kemarin, aku
sempat terjatuh karena berlari terlalu kencang. Aku mengajak Avy berlari di
permukaan pasir menurun tersebut. Awalnya dia tidak mau, takut jatuh katanya.
Tapi dengan sedikit memaksa, akhirnya dia juga terpaksa ikut. Awalnya semua
berjalan lancar. Tetapi semakin ke bawah, langkahku semakin kencang sedangkan
Avy memperlambat langkahnya. Karena ketidaksinkronan tersebut, kami jatuh
terjungkal di atas permukaan pasir. Teman-teman yang melihat kami terjatuh
langsung berlari menghampiri. Mereka khawatir jika terjadi apa-apa dengan kami.
Untunglah aku dan Avy baik-baik saja. Bahkan Avy tidak terluka sedikit pun,
sedangkan aku hanya bagian siku kiri yang lecet sedikit. Setelah terjatuh, aku
malah semakin penasaran dan mencoba lagi. Tapi kali ini aku sendiri, Avy tidak
berani kuajak lagi.
Tengah hari, sekitar pukul dua belas
siang kami turun. Andank mempersiapkan sebuah trash bag besar yang ia bawa
sejak mendaki ke puncak tadi. Trash bag itu ia bawa sepanjang perjalanan turun
untuk membawa sampah plastik yang ia temui. Ini adalah salah satu kebiasaan
Andank setiap kali mendaki. Sampai di pos New Selo, trash bag-nya telah penuh
dengan berbagi sampah plastik.
Contoh tuh, munguti sampah plastik yg ada di sekitar puncak Merapi |
Sampai di basecamp Merapi, langit
kembali gelap seperti sore kemarin. Mungkin sore ini akan hujan lagi. Jam
menunjukkan pukul tiga sore. Kami segera pulang agar tidak kehujanan di jalan.
Tetapi prediksi kami meleset. Baru beberapa kilometer dari Basecamp, hujan
mengguyur deras sepanjang perjalanan. Karena hujan, dingin, dan kecapekan
menjadi kombinasi sempurna untuk membuatku merasa sangat mengantuk hingga
membuatku nyaris kecelakaan. Tetapi Alhamdulillah, akhirnya pukul enam sore
kami sampai di kos Andank dengan selamat.
Ah, hujan. Sepertinya ia memang
teman yang setia dalam pendakian kali ini.
Hujan itu aku, dan kamu adalah dinding. Ketika kita bertemu… bochor
bochor. #ngiklan
Pendakian Merapi, 9 – 10 Maret 2013
foto-foto lainnya :
Basecamp Bara Meru Merapi. Pendaftaran pendaki juga tempat parkir motor |
Istirahat. makan. nyoklat. |
ngecek senter, hari udah mulai gelap |
Tetangga camp kami yg baik hati. lagi pada liat sunrise |
Tim kami, kaya anggota 5cm yak, cowok 4 cewek 2 |
Dimas Apos. belakangnya Merbabu dan lautan awan. cool |
Lagi istirahat waktu mau mendaki ke puncak. kabut tebel banget coy |
salah satu inti dari pendakian adalah : foto-foto |
Udah di pucak Merapi. itu belakangnya kawah merapi |
Basecamp New Selo |
Carier kami. baru turun, nyampe new selo |
Sebelum pulang, foto sek di basecamp Bara Meru Merapi. |
Joooos tenan...!!!
BalasHapus