Jumat, 29 Maret 2013

Pendakian Merapi: Hujan Itu...


Hujan itu mengenalkan kepada kita akan dingin. Dan dingin mengajarkan kita
tentang harapan akan kehangatan.
-Ardian Justo-


Sudah pukul empat sore, hujan belum juga reda. Langit masih belum menghilangkan awan kelabu yang menutupinya. Kami memutuskan tetap melanjutkan pendakian. Masing-masing mengenakan mantel, merapikan carier agar lebih mudah dibawa saat hujan seperti ini. Hampir setengah lima sore Aku, Dimas, Moly, Avy, Andank, dan Apos meninggalkan basecamp Selo menuju puncak gunung Merapi.

Hujan itu seperti kamu yang selalu menyejukkan hatiku.

Dimas, Avy, Andank, Moly, Apos, Ardi


Sampai hampir pukul delapan malam, hujan menjadi teman yang sangat setia mendampingi perjalanan kami. Daripada sepi, aku sedikit merangkai kata-kata tentang hujan. Sebagian besar isinya tentang gombalan, no mention pastinya. Emang mau mention siapa juga, kebetulan semua jomblo. Hahaha. Kemudian teman-teman yang lain juga ikut menambahkan.

Hujan itu seperti cintaku, dan cahaya adalah cintamu.  Pelangi adalah keindahan yang muncul ketika cinta kita bertemu.

Pendakian kami menggunakan jalur yang biasa. Andank menjadi leader, di belakangnya ada Moly, Avy, Aku, Apos, dan Dimas paling belakang sebagai sweeper. Andank kami percaya sebagai kapten karena pendakian kali ini adalah yang kesembilan baginya. Aku dan Avy baru pertama kali mendaki merapi. Moly sudah dua kali, Apos dan Dimas sudah yang kesekian kali.

Semakin ke atas, udara semakin dingin. Ditambah lagi dengan hujan yang tak kunjung reda. Tangan kami sudah hampir mati rasa karena dingin. Beberapa kali kami istirahat, karena medan yang ditempuh ketika hujan sedikit lebih rumit jika dibandingkan ketika cuaca sedang cerah. Jalanan semakin licin sehingga butuh kehati-hatian, terutama medan berbatu cadas.

Di tengah perjalanan, Moly mengeluh kedinginan karena alergi dingin. Kami memperpendek ritme perjalanan dengan lebih banyak berhenti. Memang pendakian menjadi sedikit lebih lama. Tetapi itu lebih baik, agar seluruh anggota tim dalam kondisi baik-baik saja ketika sampai di puncak dan kembali ke Jogja esok sore. Beberapa teman sempat mengusulkan untuk mendirikan tenda di bawah saja, untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk karena Moly terus menerus mengeluh kedinginan. Tetapi tidak ada tempat yang cukup strategis untuk mendirikan tenda. Selain hujan, angin malam di pegunungan malam ini juga cukup kencang. Yang kami takutkan jika dia sampai kena hipotermia. Hipotermia adalah kondisi tubuh yang menurun hingga di bawah 35 derajat Celcius. Hipotermia menjadi momok yang sangat menakutkan bagi para pendaki, terutama dalam kondisi dingin seperti ini.  

Carier Moly dibawa Avy, dan dia membawa tas ransel Avy. Kasian juga ngeliat anak kecil itu – avy – bawa carier besar dan berat. Tapi Avy bilang dia ingin mencoba membawa carier sampai atas. Ah, ya sudah, biarkan saja. Siapa lagi yang mau bawain carier itu kalau bukan dia?  Sebenernya Avy bukan anak kecil sih. Walaupun badannya kecil dan sekilas seperti mahasiswa angkatan 2012, tapi sebenarnya dia satu di antara kami berenam yang sudah menyandang gelar sarjana.

Hujan turun cukup deras. Angin yang bertiup cukup kencang dan ditambah udara dingin pegunungan membuat kami semakin menggigil kedinginan. Telapak tangan kami sudah semakin mati rasa karena dingin. Di suatu tempat, kami melewati sebuah tenda pendaki lain. Aroma indomie menyerbak nikmat dari tenda, membuat kami semakin tergiur untuk segera sampai di pos, mendirikan tenda dan masak mie seperti itu. Sumpah, itu adalah aroma mie yang paling nikmat yang pernah kami hirup. Ah, nikmat sekali….

Yap, sekitar pukul Sembilan kami sampai di Watu Gajah. Di sini sudah cukup strategis untuk mendirikan tenda. Awalnya kami ingin lanjut hingga pasar bubrah, tapi Moly sepertinya sudah tidak tahan. Ketika kami sampai di sini, hujan sudah reda. Andank, aku, Dimas, mencari tempat yang aman untuk mendirikan tenda. Tidak lama kemudian, Andank menemukan sebuah tempat yang cukup strategis. Letaknya di sebelah timur, pas sekali untuk melihat pemandangan sunrise besok pagi.

Lokasi tempat mendirikan tenda di sini terlalu sempit, hanya cukup untuk satu tenda. Sedangkan kami membawa dua tenda dengan kapasitas masing-masing empat orang. Dengan terpaksa kami hanya mendirikan satu tenda saja untuk berenam. Selain kami, ada juga kelompok lain yang mendirikan tenda di sini. Mereka dapat lokasi yang bagus, cukup luas untuk dua tenda dan bersebelahan dengan gua kecil. Mereka mahasiswa dari Jogja, aku lupa dari kampus mana. Ketika kami baru sampai di lokasi, mereka dengan baik hati memberi kami secangkir nescafe panas. Inilah salah satu bentuk kebersamaan sesama pendaki.

Selesai mendirikan tenda, Aku dan Andank menyiapkan makan malam berupa mie rebus dan susu jahe panas. Tiga mie rebus dijadikan satu mangkok dan dimakan bersama secara bergantian. Begitu juga dengan susu jahe panasnya. Tidak ada yang mengeluh. Semua bersyukur dan menikmati mie juga susu jahe panas, serta kehangatan kebersamaan.

Avy nunggu giliran makan mie

Dimas seneng banget bisa makan mie kaya gitu.. hahhaa


Selesai makan, kami berkumpul di dalam tenda. Di luar langit cukup cerah. Hujan sudah reda sebelum kami tiba di tempat ini. Untuk mengisi waktu, kami bermain tebak hewan berdasarkan huruf pertama. Hewan yang disebutkan harus hewan berkaki. Siapa yang paling terakhir, atau dalam hitungan lima tidak bisa menjawab akan diberikan sanksi. Sanksinya cukup mudah, yang kalah diminta menggombal dari kata yang disebutkan.
Permainan dimulai. Masing-masing mengajukan sejumlah jari. A, B, C, D, E, F, G, H, I, J. Huruf J, semua berebut menyebutkan nama-nama hewan berkaki yang berawalan J. Jangkrik, Jerapah, Jaguar, Jago. JARAN! Lho, kok? Awalnya ada yang menyangkal, tapi akhirnya semua setuju kalau JARAN dibolehkan. Tidak masalah berbahasa Jawa, yang penting hewan tersebut berkaki. Hahahaha. Akhirnya aku selamat. Dan yang mendapat sanksi menggombal adalah Dimas. Dia diminta membuat gombalan dari kata “kaos kaki”.

Lama dia berpikir, akhirnya muncul juga gombalannya.

“Aku ingin kau masuk kaos kaki sebagai hadiah untukku”.

Kami ngakak mendengar kata-kata gombalan dari Dimas. Dalam bayangan Dimas waktu denger kata “kaos kaki”, dia teringat film tentang perayaan natal yang menggunakan kaos kaki digantung-gantung di beberapa tempat. Kemudian Santaclaus datang dan memasukkan hadiah ke dalam kaos kaki tersebut. Tapi karena dia juga bingung ngucapinnya, yang kami tangkep cewek dia masuk kaos kaki. Hahahaha …

“Gak masalah, yang penting udah usaha!”

Dimas yang paling banyak mendapat hukuman. Pikirannya paling lemot mungkin. Hahahaha. #peacedim. Karena terlalu sering mendapat hukuman, dia seperti orang kebingungan. Sebagai teman yang baik, aku pun mengajukan diri untuk membantunya. Tapi sebelumnya aku tanya dulu ke dia.

“Mau tak bantu dim?” tanyaku.
“Iya, boleh-boleh,” jawab Dimas.
“Limangewu!”
“Asem!” keluh Dimas. Yang lain pun ngakak.

Limangewu! menjadi tranding topic dalam pendakian ke Merapi kali ini.
Hampir pernah mendapat sanksi membuat kata-kata gombal. Di antara semua gombalan yang ada, kata-kata gombalan dari Apos adalah yang paling unik, keren, kreatif, dan cewek yang kena gombalan ini dijamin bakal klepek-klepek alias gak bernyawa lagi.

Waktu itu Apos diminta bikin gombalan dari kata “Jempol Kaki”. Setelah berpikir sejenak, Apos pun melancarkan gombalannya.

Wajahmu seperti jempol kaki.

“Udah,” jawab Apos santai.

Sontak kami semua ngakak denger gombalan Apos sampai perut mules pengen kentut. Itu mah bukan gombalan, tapi ngajak berantem.

Nggak cuma itu aja gombalan Apos yang sangat kontroversial (bahasa infotainment), besok siangnya setelah selesai masak Mie, Apos juga menggombal dengan kata “Panci”.

Wajahmu seperti panci, hitam, gosong.

Edyan nih orang. Ngeliat gombalan Apos yang seperti itu, kami cuma bisa berpikiran positif, mungkin Apos patah hati banget sama pacarnya, jadi bawaannya pengen ngehina pacarnya terus.

Tengah malam, kami merasa sangat lelah dan mengantuk. Akhirnya kami pun tidur bersama dalam satu tenda. Yap, tenda berkapasitas empat orang itu mau tidak mau harus muat diisi enam orang. Aku yang paling tidak bisa tidur. Posisiku sangat tidak enak, paling pojok, permukaan tanahnya tidak rata, susah bergerak. Tapi kenapa ada yang denger aku ngorok ya? Ah, pasti mereka mengada-ada saja.

Pukul empat kami terbangun. Suara sayup-sayup adzan subuh dari bawah terdengar hingga ke puncak. Melawan dingin udara pegunungan yang sangat menusuk. Tetapi semua itu, termasuk rasa lelah dan dingin yang kami rasakan ketika mendaki semalam, terbayar sudah dengan pemandangan indah di depan kami. Hamparan kota dengan kelap-kelip lampu warni-warni terbentang luas di hadapan kami. Di sebelah Selatan, gunung Merbabu menggeliat seakan keluar dari selimut awan putih yang semalam menutupinya, seakan ingin mengucapkan selamat pagi kepada kami. Di sisi timur, siluet puncak gunung Lawu terlihat sangat mempesona dengan bias kombinasi merah, orange, kuning, dan latar biru gelap dari mentari yang hendak terbit. Di bawahnya, ribuan hektar permukaan langit bawah terisi gumpalan-gumpalan putih membentuk lautan awan yang sangat menawan. 

Subahanallah.

Sunrisenya... itu puncak gunung lawu kelihatan dikit

Gunung Merbabu

Sunrise, puncak lawu, dan lautan awan

Jika melihat keindahan alam seperti ini, sebagai generasi alay, kamera harus selalu standby. Semua saling berebut ingin mengabadikan moment sunrise dari puncak gunung. Kalau kata temenku, salah satu inti dari mendaki gunung adalah poto-poto. 

Setelah sarapan dengan Mie goreng dan roti, kami mulai melanjutkan perjalanan menuju puncak merapi. Puncak merapi ditutupi pasir dan bebatuan. Jadi sangat disarankan untuk memakai sepatu agar tidak licin. Beberapa perlengkapan seperlunya sudah siap di dalam dua tas. Tenda dan tas-tas lainnya kami tinggal di camp. Di sepanjang perjalanan menuju puncak merapi, kami menemukan dua memoriam, salah satunya memoriam untuk kakak angkatanku di Mu’allimin, Yuniar Gitta Pratama. Sebenarnya dia bukan pendaki. Alm. Yuniar adalah mahasiswa ITB, ia meninggal pada 2010 lalu karena pengakit leukemia. Teman-teman seangkatannya membuatkan memoriamnya di puncak merapi karena ide-idenya yang selalu segar seperti udara pegunungan.

Memoriam Alm. Yuniar Gitta Pratama di puncak Merapi


Perjalanan ke puncak membutuhkan waktu kurang lebih dua setengah jam, sebagian besar waktu habis untuk foto-foto. Yah, wajarlah, kan kami generasi alay. Sampai di pasar Bubrah, kabut cukup tebal menutupi puncak merapi. Tetapi melihat banyaknya pendaki yang naik, kami pun tertantang. Dengan tetap hati-hati, kami merangkak naik hingga akhirnya sampai di puncak Merapi.

Sampai di puncak Merapi, aroma belerang langsung menyengat. Bagi yang tidak tahan dengan bau belerang, disarankan untuk membawa slayer atau masker. Setelah beristirahat dan berfoto-foto di puncak Merapi, Reksa, salah seorang teman menyusul di puncak. Kamarin memang dia janji ingin mendaki sendiri.
Saat sedang santai di puncak, kami dikejutkan dengan suara gemuruh guguran lava dari kawah Merapi. Kami memutuskan untuk segera turun. Mungkin sudah terlalu lama kami di sini, jadi si kawah merasa terganggu dan menyuruh kami untuk turun. Mungkin seperti itulah.

Ini pengalaman yang cukup langka, terutama bagiku, bisa mendengar secara langsung guguran lava dari gunung Merapi, gunung berapi yang terkenal paling aktif di dunia.

Bagi para pendaki Merapi, ada pengalaman lain yang bisa dinikmati ketika turun dari puncak merapi, yaitu berlari di hamparan pasir menurun di puncak Merapi. Setelah medan berbatu, terdapat hamparan pasir lembut menurun seluas kurang lebih seratus meter. Sebagian besar pendaki yang turun dari puncak, akan berlari ketika sampai di lokasi ini. Tidak perlu takut jatuh, karena tidak akan sakit. Pasirnya sangat lembut. Tapi tetap dalam kecepatan yang terjaga, karena setelah hamparan pasir tersebut terdapat permukaan berbatu yang keras dan cukup berbahaya jika sampai terjatuh di sana.

Medan berbatu yg cukup rumit dan butuh kehati-hatian

lari di pasir itu seru banget. tapi lebih seru foto-foto. hahaha


Dimas, Avy dan Andank


Ketika berlari di pasir kemarin, aku sempat terjatuh karena berlari terlalu kencang. Aku mengajak Avy berlari di permukaan pasir menurun tersebut. Awalnya dia tidak mau, takut jatuh katanya. Tapi dengan sedikit memaksa, akhirnya dia juga terpaksa ikut. Awalnya semua berjalan lancar. Tetapi semakin ke bawah, langkahku semakin kencang sedangkan Avy memperlambat langkahnya. Karena ketidaksinkronan tersebut, kami jatuh terjungkal di atas permukaan pasir. Teman-teman yang melihat kami terjatuh langsung berlari menghampiri. Mereka khawatir jika terjadi apa-apa dengan kami. Untunglah aku dan Avy baik-baik saja. Bahkan Avy tidak terluka sedikit pun, sedangkan aku hanya bagian siku kiri yang lecet sedikit. Setelah terjatuh, aku malah semakin penasaran dan mencoba lagi. Tapi kali ini aku sendiri, Avy tidak berani kuajak lagi.

Tengah hari, sekitar pukul dua belas siang kami turun. Andank mempersiapkan sebuah trash bag besar yang ia bawa sejak mendaki ke puncak tadi. Trash bag itu ia bawa sepanjang perjalanan turun untuk membawa sampah plastik yang ia temui. Ini adalah salah satu kebiasaan Andank setiap kali mendaki. Sampai di pos New Selo, trash bag-nya telah penuh dengan berbagi sampah plastik.

Contoh tuh, munguti sampah plastik yg ada di sekitar puncak Merapi


Sampai di basecamp Merapi, langit kembali gelap seperti sore kemarin. Mungkin sore ini akan hujan lagi. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Kami segera pulang agar tidak kehujanan di jalan. Tetapi prediksi kami meleset. Baru beberapa kilometer dari Basecamp, hujan mengguyur deras sepanjang perjalanan. Karena hujan, dingin, dan kecapekan menjadi kombinasi sempurna untuk membuatku merasa sangat mengantuk hingga membuatku nyaris kecelakaan. Tetapi Alhamdulillah, akhirnya pukul enam sore kami sampai di kos Andank dengan selamat.

Ah, hujan. Sepertinya ia memang teman yang setia dalam pendakian kali ini.

Hujan itu aku, dan kamu adalah dinding. Ketika kita bertemu… bochor bochor. #ngiklan


Pendakian Merapi, 9 – 10 Maret 2013


foto-foto lainnya :

Basecamp Bara Meru Merapi. Pendaftaran pendaki juga tempat parkir motor


Istirahat. makan. nyoklat. 

ngecek senter, hari udah mulai gelap


Tetangga camp kami yg baik hati. lagi pada liat sunrise 

Tim kami, kaya anggota 5cm yak, cowok 4 cewek 2

Dimas Apos. belakangnya Merbabu dan lautan awan. cool

Lagi istirahat waktu mau mendaki ke puncak. kabut tebel banget coy

salah satu inti dari pendakian adalah : foto-foto

Udah di pucak Merapi. itu belakangnya kawah merapi

Basecamp New Selo

Carier kami. baru turun, nyampe new selo

Sebelum pulang, foto sek di basecamp Bara Meru Merapi. 
  

1 komentar:

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman