Jumat, 15 April 2011

Siung dan Barisan Tebing Karangnya


Perjalanan ke pantai Siung, Wonosari, Sabtu lalu benar-benar seperti sebuah pelarian dari masalah yang sedang aku hadapi. Aku, dan dua orang temanku, Dhimas dan Eko, berniat untuk sekedar hunting foto di pantai hari sabtu pagi itu. Karena memang lagi nggak ada kerjaan dan kondisi pikiran sedang tidak baik karena masalah dengan seseorang, aku pikir lebih baik aku ikut dengan mereka. Aku naek motor sendiri, sedangkan Dhimas dan Eko boncengan berdua. Sampai di jalan Wonosari, gerimis mulai turun rintik-rintik. Tidak begitu deras, sehingga kami merasa tidak perlu memakai jas hujan. Setelah cukup jauh perjalanan, gerimis tidak juga reda, tidak juga bertambah besar. Sedang jarak yang harus kami lewati masih cukup jauh, meskipun tidak terlalu deras, kalau begini terus bisa-bisa sampai di pantai Siung sudah basah kuyup. Setelah diskusi singkat, kami memutuskan untuk memakai jas hujan.

Ada kejadian unik dan lucu ketika kami akan memakai jas hujan. Sewaktu kami mau minggir ke tepi jalan, ada seorang bapak-bapak, masih muda, berjalan pelan dengan motornya di pinggir jalan. Kami agak kesulitan untuk minggir karena posisinya yang cukup mepet dengan kami, sehingga Dhimas, yang ketika itu di depan dan berada dekat dengan si bapak tersebut, mepet si bapak. Kemudian bapak tersebut menoleh ke arah
Dhimas, dan berhenti. Bapak itu mengira Dhimas manggil dia. Waktu bapak itu menoleh ke Dhimas dan sepertinya ingin bertanya, “Ada apa manggil saya?” tapi dengan tampang cuek dan tidak bersalah, Dhimas malah mengacangi bapak itu. Biar nggak malu, si bapak duduk sebenar di atas sepeda motornya, kemudian perlahan-lahan berlalu meninggalkan kami karena menyadari ternyata tidak ada yang memanggil dia. Hehehe.. maaf ya pak.

Tidak berapa jauh setelah memakai jas hujan, gerimis reda. Bahkan jalanan masih kering. Sepertinya memang belum hujan. Dengan perasaan kesal sekaligus lucu, kami melepaskan kembali jas hujan yang kami pakai. Tetapi, sial. Ketika sudah mulai masuk daerah kota Wonosari dan mulai jalan ke arah pantai, gerimis kembali turun. Tetapi, karena mengingat kejadian barusan, kami tidak memakai jas hujan. Ternyata benar. Tidak berapa lama, hujan reda, bahkan awan mendung tidak terlihat lagi.

Sampai di pertigaan jalan, kami belok ke kiri. Aku kurang tau apa nama pertigaan itu atau daerah itu. Yang jelas, kalau lurus bisa langsung ke pantai Baron, Kukup, dan sekitarnya. Kalau ke kiri ke pantai Siung, Wediombo. Beberapa ratus meter di depan, ada beberapa pasang anak muda yang mampir di sekitar jurang batu. Tertarik dengan pemandangan di sekitar jurang tersebut sekaligu penasaran dengan apa yang dilakukan pasangan anak muda tersebut, kami memutuskan berbelok dan singgah ke tempat tersebut. Ternyata di sana hanya terdapat jurang biasa. Pasangan anak muda tadi adalah penduduk sekitar yang hanya singgah sebentar melihat-lihat. Ah, tidak tahu juga apa yang mereka perbuat di sini. Aku tidak mau berburuk sangka kepada mereka.

Setelah berfoto dengan beberapa gaya yang unik, nyentrik dan menarik – aku dengan gaya bangau mau terbang, ultramen yang sedang meloncat dan hendak terbang. Sedangkan Eko, manjat dari pohon dan foto dengan meloncat dari pohon tersebut. melihat Eko foto, aku jadi heran sendiri. Kenapa Cuma masalah foto dia begitu serius sampai mau-maunya disuruh manjat pohon dan loncat dari atasnya. Tapi, usahanya patut diapresiasi, karena hasilnya cukup bagus, natural, alami. Kalau ada pengusaha kopra yang butuh “makhluk pemanjat” tidak perlu susah-susah nyari. Hehehe.

Perjalan ke pantai Siung dilanjutkan...

Cukup jauh memang, tetapi melihat medan yang menanjak, menikung, naik-turun, wah, rasanya asyik sekali, seperti naek rollercoaster (bener nggak tuh tulisannya.. hehehe). Walau kadang bikin mual, tapi bener-bener asyik, aku sangat suka dan menikmati rute seperti ini, apalagi kalau dilaju dengan sepeda motor. Wah, makjoosss deh. Tapi mungkin kalau naek mobil atau bis bisa muntah juga deh kayaknya. Ya, mudah-mudahan nggak deh.

Setelah menempu sekitar 2 jam perjalanan, akhirnya kami sampai juga di pantai Siung Wonosari, tepatnya di dusun Duwet, desa Purwodadi, Tepus, Gunung Kidul. Hmm.. komentar pertama waktu sampai di sana... “Waw.. keren juga nih pantai, pasir putih lagi. Ombaknya gedhe banget. Tapi, kok kotor?” Mungkin sedang pasang atau emang akhir-akhir ini ombak laut selatan Jawa sedang tinggi. Deburan ombaknya terdengar keras sekali memecah karang yang berdiri kokoh di sisi-sisi pantai. Sesekali ombak besar tersebut naik hingga menyapu pinggiran pantai yang berpasir putih tersebut. Namun, sangat disayangkan. Keindahan pantai Siung tercemari dengan sampah-sampah yang berserakan di mana-mana, seakan-akan menandakan tidak ada yang merawat pantai ini. Padahal, wisata pantai merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki masyarakat Gunung Kidul sebagai obyek wisata yang sangat menarik untuk dikunjungi.

Tidak mau menunggunggu waktu lagi untuk terjun ke seluk-seluk pantai Siung, kami segera menitipkan sepeda motor ke penitipan di sekitar pantai. Kemudian langsung terjun menuju bibir panti. Tetapi, kami tidak puas kalau menikmati pantai hanya bermain di sekitar pantai dan bermain ombak saja, itu hal yang biasa. Melihat tebing-tebing tinggi yang menjulang di kanan-kiri pantai, seakan menjadi tembok pelindung dari keganasan ombak, kami menjadi tertarik untuk mencoba untuk “menaklukkan” salah satu tebingnya.
Di bagian barat, di belakang warung makan, seperti ada jalan tikus menuju ke atas. Mungkin emang jalan yang biasa digunakan para penjelajah untuk melakukan “penaklukkan” tebing-tebing tersebut. Ah, lagak kami sudah seperti sekelompok penjelajah yang baru menemukan jalan baru menuju tempat penemuan harta karun. Jalanannya memang seperti jalan tikus, sempit, jika hujan jalanan menjadi licin, masih penuh dengan semak belukar. Kami terus menelusuri lebih dalam jalan tikus tersebut. Sampai di suatu tempat, kami menemukan sebuah tiang yang bertuliskan, “Blok C”, “Blok B”, “Blok A”. Ah, ini mungkin jejak-jejak peninggalan masa lalu atau jejak para pejuang kemerdekaan yang membuat rute perjalanan mereka agar lebih mudah. Tetapi, pejuang mana yang berbuat sebodoh itu, membuat tanda menuju tempat persembunyian mereka, itu sama aja memberi kesempatan penjajah untuk membantai habis pasukannya. Kalau emang ada, pasti pasukan itu sudah mati digantung atau dijebloskan ke sarang buaya. Hahahaha (ketawa kejam).

Ah, sudahlah, daripada sibuk mikirin si prajurit bodoh yang buat papan-papan penanda ini, lebih baik melanjutkan perjalanan. Jalanan di depan sepertinya semakin menantang.

Setelah keluar dari jalanan yang penuh tanaman-tanaman semak, akhirnya kami menemukan sebuah tempat yang cukup indah. Gunung-gunung karang berdiri kokoh di tengah laut. Ombak-ombak semakin menggila menggempur dinding-dinding karang gunung-gunung di tengah laut tersebut. Tebing-tebing yang kami lihat dari bibir pantai tadi, kini semakin dekat di hadapan kami. Terowongan-terowongan gelap, lembab dan dingin semakin menantang kami untuk menaklukkannya. Tak lupa beberapa jepretan dari kamera kami sekedar untuk kenang-kenangan sekaligus barang bukti bahwa kami telah menaklukkan tebing yang tinggi, curam, dan belum terjamah. Hahaha.

Di sebuah tempat yang diapit dua tebing, ada sekelompok pemuda-pemudi yang sedang bertarung. Eh, tunggu dulu. Kok bisa ada orang lain yang lebih dulu sampai di sini? Haduh, nggak jadi donk ngerasa jadi penemu jalan terbaru. Hahaha.. terlalu tinggi khayalanku nih.. hehe. Ternyata di sini adalah tempat para pecinta alam yang masih pemula maupun professional yang ingin belajar menaklukkan tebing-tebing curam di pinggiran pantai Siung. Yupz, tebing-tebing di pinggiran pantai Siung memang sering dijadikan tempat latihan maupun ajang perlombaan panjat tebing mulai dari tinggal lokal hingga tingkat nasional. Sekelompok pemuda dan pemudi yang kami lihat di tempat tersebut adalah kelompok pecinta alam yang sedang berlatih memanjat tebing di sini.

Setelah melihat aksi para pemuda-pemudi pecinta alam tersebut berlatih, kami mencoba melihat-lihat ke dalam sebuah tebing yang cukup tinggi. Terowongan dengan bebatuan cadas yang lembab dan dingin membuat kami semakin tertantang untuk menelusuri lebih jauh sela-sela bukit ini. Semakin ke dalam kami tidak menemukan jalan lagi, berhenti di sebuah goa kecil dan terjal. Tetapi, ketika melihat ke atas, sepertinya menarik untuk ditelurusi. Akhirnya aku dan eko mencoba menelusuri medan yang tidak begitu sulit, hanya berupa bebatuan karang yang tajam dan semak belukar yang tidak terlalu tinggi. Dhimas masih asyik mengabadikan beberapa moment dari salah satu sudut tebih yang sedang kami naiki.
Setelah sedikit bersusah payah menelusuri permukaan tebing yang dipenuhi karang-karang tajam dan tanaman semak yang cukup tinggi, akhirnya kami sampai juga di atas puncak tebing karang. Subhanallah, pemandangan pantai Siung dilihat dari sini sungguh sangat menakjubkan. Gugusan gunung-gunung karang di tengah laut yang bertarung dengan deburan ombak terlihat indah manawan setiap kali ombak-ombak itu bergulung-gulung dan pecah seketika ketika menabrak dinding karang gunung-gunung tersebut. Garis bibir pantai yang meliuk-liuk indah dengan warna kemilau dari riak air laut yang tertinggal ketika debur ombak menyapu pantai pasir putih. Beberapa remaja putri berkerudung yang bermain dengan teman-temannya dan berteriak seraya berlari setiap kali ombak besar datang mengejar mereka. Dari atas sini, angin laut terasa segar sekali membelai lembut setiap jengkal tubuh yang lelah. Damai. Ah, sungguh indah.

Sebenarnya masih panjang nih cerita. Tapi, besok aku sambung lagi ya..

ardian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman