A. Asal Mula Batik
Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dan darimana awal mula berkembangnya batik. Ada dua pendapat yang menyebutkan mengenai asal batik. Pendapat yang pertama diungkapkan oleh G.P. Rouffaer yang mengatakan bahwa asal mula kesenian batik Jawa berasal dari India, orang – orang India yang datang ke Nusantara untuk berdagang lama – lama mempengaruhi Jawa dalam bidang agama dan kebudayaan, salah satunya batik. Pendapat ini didukung oleh Fruin Mees yang menyatakan bahwa orang Pasundan pun juga meniru kepandaian orang Hindu seperti membuat batik.
Pendapat yang kedua menyatakan bahwa batik berasal dari Indonesia sendiri. Seperti teori yang diungkapkan oleh Brandes mengenai sepuluh kepandaian manusia purba Indonesia, seni batik merupakan salah satu kepandaian yang dimiliki bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Akan tetapi, setelah masuknya pengaruh Hindu – Buddha, ikut mempengaruhi budaya batik itu sendiri.
Sedangkan pendapat dari Iwan Tirta berbeda dari kedua teori diatas, dia mengatakan jika batik merupakan kesenian yang banyak berkembang di berbagai belahan dunia. Akan tetapi, semua orang mengakui bahwa batik yang berasal dari Jawa merupakan batik yang paling halus dan mempunyai motif yang beragam dan juga teknik pembuatannya merupakan yang paling sempurna jika dibanding dengan batik di daerah lainnya.
Meskipun banyak teori yang berbeda tentang asal mula batik, akan tetapi para ahli bersepakat bahwa batik sudah ada sejak zaman Hindu. Hal ini dibuktikan dengan adanya relief yang bermotif batik pada beberapa candi peninggalan zaman Hindu – Budha. Misalnya pada relief candi di Ngrimbi dekat Jombang Jawa Timur. Selain itu pada relief Candi Borobudur dan Prambanan juga terdapat relief yang bermotifkan batik.
Batik selama ini selalu identik dengan budaya Jawa. Hal ini terlihat dari kata ”batik” itu sendiri. Secara harfiah batik berasal dari kosakata bahasa Jawa yang terdiri dari kata ”amba” dan ”titik”. Kata ”amba” berarti menulis dan kata ”titik” berarti bulatan kecil. Jadi dapat disimpulkan, batik ialah menulis atau menggambar bulatan kecil. Sedangkan secara terminologi batik adalah menggambar di atas kain dengan motif tertentu dan diaplikasikan dengan bahan malam atau lilin untuk menahan masuknya warna ( wax-resist dyeing ).
B. Perkembangan Batik di Keraton Yogyakarta
Batik selalu berkembang sesuai dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Misalnya pada abad 17, batik telah menjadi komoditas perdagangan di daerah pesisir utara Jawa. Di keraton sendiri batik juga selalu mengalami perkembangan. Batik di keraton merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan mereka sehari – hari. Batik merupakan busana yang dikenakan oleh para bangsawan Jawa. Batik juga menjadi alat kelengkapan pada setiap upacara dan keperluan keraton yang lain.
Perkembangan batik di keraton sudah dimulai sejak didirikannya Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Motif batik yang menjadi ciri khas keraton Mataram adalah motif batik ”parang”. Motif ini berasal dari pengalaman Panembahan Senopati yang sering bertapa di daerah ”pereng” atau tebing berbaris. Kemudian dalam perkembangannya, batik motif parang ini menjadi motif larangan, tidak semua orang bisa mengenakan batik yang bermotif parang tersebut. Hanya bangsawan keturunan dari Panembahan Senopati saja yang boleh mengenakan motif tersebut. Larangan ini dicetuskan oleh Sultan Hamengku Buwono I.
Perpecahan yang terjadi di Mataram tidak membuat perbedaan yang mencolok pada motif batik di daerah pecahan Mataram tersebut. Motif batik larangan tersebut juga masih boleh dikenakan oleh bangsawan di Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan juga Paku Alaman. Hal ini dikarenakan mereka juga merupakan keturunan dari Panembahan Senopati.
Ciri khas batik keraton Yogyakarta terlihat dari warna dasarnya yang putih bersih. Warna putih ini berbeda dengan warna dasar batik Surakarta. Batik Surakarta berwarna dasar putih kecoklatan atau krem yang menjadi ciri khas mereka. Selain itu, pola geometri yang besar – besar dan bermotif parang dan nitik juga menjadi ciri khas batik keraton Yogyakarta. Motif batik tersebut mempunyai filosofi dan makna sendiri – sendiri. Ada beberapa motif batik yang dianggap sakral, biasanya hanya dikenakan pada saat – saat tertentu dan oleh beberapa kalangan saja.
Kegiatan membatik di keraton sering dilakukan oleh para putri Sultan di keraton. Kegiatan ini sudah dimulai sejak mereka kecil dan menjadi kegiatan sehari – hari mereka. Mereka membatik dengan dibantu para abdi dalem. Dalam keraton terdapat sebuah pandangan bahwa sebagai wanita Jawa diharuskan bisa membatik. Hal tersebut dikarenakan dengan membatik dapat melatih kesabaran, ketekunan, olah rasa dan juga olah karsa. Selain itu, batik mempunyai nilai tersendiri di mata pria , oleh karena itu setiap wanita dianjurkan bisa membatik sendiri untuk suaminya.
C. Pergeseran Batik ke Luar Keraton
Sebelum mengenal motif batik keraton, masyarakat memakai batik yang bercorak umum. Hal itu, disebabkan karena adanya motif batik larangan yang diterapkan oleh pihak keraton. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman, motif batik larangan tersebut boleh dikenakan oleh masyarakat umum. Adanya perkembangan ini menyebabkan bergesernya batik keraton ke luar keraton. Hal ini juga disebabkan oleh kondisi sosial masyarakat di sekitarnya, kondisi sosial itu mencakup kebudayaan dan keadaan ekonomi masyarakat.
Batik selalu identik dengan kebudayaan keraton dan Jawa. Kebudayaan Jawa selalu dipenuhi dengan upacara – upacara tradisi. Dan dalam setiap upacara tradisional tersebut, batik menjadi salah satu kelengkapannya, khususnya dalam hal busana. Batik juga tidak lepas dari kehidupan sehari – hari masyarakat Jawa. Kebiasaan memakai batik ini sudah berkembang sejak dahulu kala.
Seperti yang sudah diketahui bahwa di dalam keraton terdapat kelas – kelas sosial . Kelas – kelas itu terdiri dari Sultan, bangsawan dan yang terakhir adalah rakyat jelata. Dalam kehidupan sehari – harinya, ada peraturan yang harus ditaati. Hal ini membuat perbedaan yang mencolok di antara golongan – golongan tersebut, termasuk dalam hal pemakaian batik. Golongan bangsawan mempunyai kebebasan yang lebih luas jika dibanding golongan rakyat jelata.
Peraturan mengenai pemakaian batik ini untuk menunjukkan status dan kedudukan mereka. Tidak semua orang bisa memakai motif batik keraton, golongan bangsawan pun tetap dibedakan. Status sosial seseorang di masyarakat dapat dilihat dari motif batik yang dikenakannya. Masyarakat umum tidak bisa mengenakan motif batik hanya berdasarkan selera saja, mereka tetap harus memperhatikan peraturan yang telah dibuat oleh keraton. Lingkungan dan tradisi juga mempengaruhi dalam hal pemakaian batik ini.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, batik motif keraton yang bernilai tinggi tersebut mulai dapat dibeli oleh orang – orang yang ekonominya tinggi. Harga batik motif keraton setara dengan kualitasnya yang tinggi. Maka dari itu, walaupun sudah ada pergeseran pada batik keraton, tetapi tetap orang – orang tertentu saja yang bisa mengenakannya.
Selain itu, bergesernya batik keraton ke luar keraton juga dikarenakan adanya perkembangan di bidang teknologi yang dapat membantu proses pembuatan batik. Adanya revolusi industri di Inggris menggantikan proses pembuatan batik yang semula menggunakan tangan menjadi industri pabrik. Pemasaran yang luas juga membuat bergesernya batik keraton ke luar keraton. Motif – motif batik keraton tersebut dijiplak dan dipasarkan ke luar keraton. Bahkan motif – motif batik tersebut dibuat sebagai pelengkap busana barat seperti pakaian atau seragam, kain selendang atau skraf. Seperti yang dilakukan Walikota Jakarta Ali Sadikin pada awal tahun 1970, dirinya memperkenalkan kemeja batik lengan panjang sebagai pengganti pakaian – pakaian model barat pada acara – acara resmi.
Adanya pengaruh kebudayaan luar juga membuat pergeseran batik keraton ke luar keraton. Budaya asing tersebut memunculkan motif sendiri, walaupun ada juga yang mengkombinasikan dengan motif batik keraton. Hal tersebut menimbulkan warna dan kreasi baru pada motif batik.
Eightball Rizalldin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar