Rabu, 30 Maret 2011

Tidak Ingin Dia Menjadi Ibunya

Kuhisap batangan hitam itu dalam-dalam dan membiarkan asapnya membumbung di udara. Kuperhatikan gerakannya yang naik turun dan berputar. Ahh... sampai saat ini hanya batangan ini yang mampu mengerti aku. Di tengah lamunanku, Ratu datang dengan mengenakan sepatu dua puluh sentinya dan pakaian ala selebritis jaman sekarang. Gayanya yang liar tapi manja, sikap cuek dan selalu santai membuatnya terasa ringan menjalani hidup. Padahal aku tahu pasti, begitu banyak masalah yang bertengger di bahunya.


“Besok antar aku ke Pontianak ya,” pintanya santai.
 “Mau ngapain? Aku lagi males pergi jauh,” jawabku sambil beranjak dari sofa hitam.
 “Cuma sebentar, dua hari aja di sana. Aku bosan ketemu sama ayah, tadi dia pulang bawa tante,”
 “Eh, tapi yang ini cantik lho. Seksi, ngga kayak yang kemaren, cuma modal silikon doank!” Aku tertawa mendengar Ratu menceritakan wanita – wanita yang sering dibawa pulang ayahnya.

Ya, ini memang kerap terjadi. Hampir setiap malam pasti ada saja orang asing di dalam rumah. Kalau cewek asing berarti hasil buruan ayahnya, tapi kalau laki-laki kekar metroseksual bisa dipastikan itu gandengan mamanya. Pada awalnya aku berpikir Ratu tidak akan lama bertahan dalam lingkungan seperti itu, tapi ternyata peristiwa-peristiwa yang sudah dirasakannya sejak awal SMP hingga sekarang berumur 22 tahun tak membuatnya hilang semangat. Walaupun dirinya sempat berkali-kali jatuh bangun dalam banyak masalah, tapi dia pasti menemukan cara untuk berdiri lagi.

Akhirnya pagi ini kami terbang menuju Pontianak. Entah apa yang diinginkan Ratu di Pontianak. Tapi biarlah, mungkin hanya sedang lelah dengan apa yang dirasakannya. Beberapa jam kemudian, kami sudah tiba di Pontianak. Setelah keluar dari bandara, kami langsung berkeliling kota, sesuka hati. Hingga tak terasa matahari sudah tengelam dan berganti menjadi bulan. Terang. Tenang, dan menenangkan.

“Malam ini aku cuma mau jalan-jalan, ngga mau nginep,” kata Ratu sambil menghembuskan asap dari hidung. Aku ikut saja apa maunya.

Suasana Pontianak yang ramai memang menggoda untuk dinikmati sampai malam, tapi aku tetap lebih menyukai kotaku. Jogja. Kami beristirahat sejenak untuk mengisi perut dengan sop ikan di warung tenda Jalan Gajah Mada. Tempat ini ramai sekali, mungkin karena menu yang ada di sini memang nikmat ketika dinikmati malam hari. Nasi bercampur cincangan ikan yang diletakkan di dalam mangkuk dengan alas daun selada kemudian disiram dengan kuah kaldu ikan.

“Dulu mama sering masak ini lho,” kenang Ratu sambil tersenyum. Aku senang melihat senyum yang selalu mengembang di wajahnya. Bahkan aku seringkali menunggu ada air mata yang menetes di pipinya karena aku betul-betul mengerti beban yang ditanggungnya. Tapi nyatanya dia tetap tegar dengan semangat dan senyumnya.

Malam itu juga, kami kembali ke Jogja dengan pesawat malam. Sesampainya di Jogja, ia tidak langsung pulang ke rumah, melainkan menginap di kosku satu malam. Esok siangnya, baru kuantar dia pulang. Bajuku basah. Begitu juga Ratu. Beberapa hari ini, Jogja sedang di selimuti dalam musim hujan. Akhirnya kami sampai di rumah Ratu dengan pakaian basah.

Ketika aku berjalan masuk ke ruang tengah, aku bertemu dengan tante Mia, mama Ratu. “Langsung ke kamar Ratu aja Bayu, di sini berantakan. Tante baru bangun, masih ngantuk. Jadi, belum sempet ngapa-ngapain. Ngga usah malu, om juga ada diatas kok,” ucapnya dengan senyum genit.

Rumah apa ini! Istri di kamar bawah dengan lelaki muda sedangkan suami di kamar atas dengan wanita semok, ujarku dalam hati. Kasihan Ratu. Anak tunggal yang harus bersabar menghadapi kegilaan orang tuanya.

Baru sampai di anak tangga yang paling akhir tiba-tiba ratu berlari menuju salah satu pintu yang sedikit terbuka “Tutup donk pintunya! Ada temenku nih, jangan nungging-nungging sembarangan!”
“Udah biarin aja, aku ngga kaget kok,” kataku kepada Ratu.
 "Tapi aku malu kamu ngliat tingkah mereka,” kata Ratu sedikit agak sewot.
 “Iya, nggak apa-apa kok,”
 “Yaudah, Aku mandi dulu ya, kamu kalau mau ganti, ambil bajuku aja yang ukuran besar daripada sakit,” ujarnya, kemudian berlalu.

Tetesan hujan memang sudah membasahi baju kami sepanjang perjalanan tadi, tapi aku masih enggan untuk mengganti baju. Aku masih memikirkan perasaan Ratu ketika melihat tingkah kedua orang tuanya. Tak lama kemudian ratu keluar dari kamar mandi dengan rambut yang sudah basah dan tubuh dibalut handuk berwarna pink sampai di atas dada.

“Kamu kok belum ganti?” tanyanya.
“Iya nanti dulu, baru lihat-lihat fotomu,”
“Nih, ganti dulu.” Ratu melemparkan kaos besar berwarna hitam ke arahku. Aku melepaskan pakaianku.

Belum aku selesai memakai baju, tiba-tiba Ratu memeluku erat dan menatapku dalam. “Bayu, makasih ya kamu sudah jadi teman terbaikku dalam keadaan apapun,” Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya.
Tapi tiba-tiba di sudut kamar itu Ratu menjadi liar. Darahku mengalir semakin deras sampai ke seluruh bagian tubuh. Tak ada kemampuan untuk memindahkan tubuh Ratu yang semakin kuat menempel di tubuhku. Aku gugup, jantungku berdetak kencang. Rasaku makin tak karuan melihat dan merasakan tubuh Ratu yang
menggeliat liar di atas tubuhku.

Aku kalah. Aku merasakan hal yang tak seharusnya. Mataku seperti buta. Telingaku tuli dan rasaku mati. Aku tak bisa menjaganya. Kami bergumul di atas ranjang sampai kami tersadar esok paginya.

“Maaf. ” kata pertama yang keluar dari mulutku.

“Kamu ngga perlu minta maaf karena aku yang minta. Kamu sangat berharga untuku mas, jadi hal yang berharga untukku yang kuberikan untukmu” jawab Ratu dengan tatapan mata tajam.

Aku tak bisa menahan gejolak ini. Aku berlari turun, tanpa berpamitan aku segera kembali ke kost. Aku kemasi barang-barang berniat meninggalkan kota tercintaku ini dengan segala kenangan. Banyak yang aku dapatkan di sini sampai aku lebih mencintai Jogja daripada Surabaya. Tapi kejadian semalam seakan menamparku, aku ingin kembali ke kota kelahiranku. Aku tak bisa membayangkan akan seperti apa Ratu nantinya. Aku tak ingin dia memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya, meskipun itu untukku. Aku ingin dia tetap berdiri tanpa menghancurkan masa depan seperti kedua orang tuanya.

Aku berharap Ratu tak melakukan hal itu lagi dengan orang lain. Jangan sampai dia menyakiti diri sendiri. Karena aku tahu dia akan merasakan beban yang lebih berat kalau itu menjadi kebiasaannya. Kini aku memutuskan untuk pulang, kembali ke tanah kelahiranku. Ya, aku akan kembali ke Surabaya. Aku akan pulang ke Dolly, dimana ibuku bekerja sebagai kupu-kupu malam.


Yogyakarta, 30 March 2011
 Nisita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman