Upacara memperingati hari Kebangkitan Nasional thn 2014 di puncak Gamalama
dok. Ardian
|
Langit yang sejak pagi terlihat cerah, perlahan mulai tertutup awan mendung. Tepat tengah hari, ribuan titik air jatuh di atas tanah Ternate. Itu tandanya kami harus menunda pendakian kami ke gunung Gamalama siang ini. Namun, sembari menunggu hujan reda, juru kunci gunung Gamalama yang juga pengurus kesultanan Ternate mengajak kami untuk berdoa bersama sebelum melaksanakan pendakian. Seluruh air yang kami bawa digabung menjadi satu di dalam sebuah ember besar untuk diberi doa. Kemudian masing-masing dari kami harus membawa minimal satu botol. Sembari menunggu hujan yang semakin deras, juru kunci gunung Gamalama yang aku lupa namanya itu mengingatkan kami tentang aturan dan pantangan yang harus ditaati ketika mendaki gunung ini.
“Gunung ini dijaga oleh ratusan prajurit gaib berbaju putih.
Mereka ada di hampir seluruh tempat di gunung ini. Sebagai orang yang beriman
bukankah kita wajib mempercayai dengan hal-hal gaib?” ujar juru kunci tersebut.
“Nanti ketika sudah sampai di pos 4, kalian
harus adzan, satu orang saja yang adzan,” lanjutnya. Sang juru kunci juga
bercerita tentang salah seorang artis yang dulu pernah naik ke gunung Gamalama
dan bertemu dengan sesosok orang tua dengan bersorban layaknya seorang kiai.
Dorce Gamalama nama artis tersebut. Kata Gamalama di belakang namanya apakah
terinspirasi dari gunung Gamalama Ternate yang pernah ia daki, atau ada alasan
lain, saya kurang paham.
Hujan menyisakan bulir-bulir air pada daun-daun cengkeh dan
pala. Udara dingin pegunungan semakin terasa di akhir hujan seperti ini. Kami
berbaris membentuk dua banjar. Juru kunci tersebut melafadkan doa sembari
berkeliling memutari barisan kami. Kami hanya menurut saja apa yang dianjurkan
juru kunci tersebut. Tidak ada yang menolak, meski dalam hati ada yang
menentang. Ini adalah bagian dari budaya lokal yang wajib bagi kami hormati, terlebih kami adalah pendatang.
Selain dari tim Ekspedisi NKRI subkorwil Ternate, beberapa
personil dari menwa STAIN Tenate. Serma Dwi dan salah seorang anggota Menwa
mundur di awal pendakian karena fisik yang tidak mendukung. Serma Dwi merasa
sudah tidak sanggup untuk mendaki, sedangkan salah seorang anggota menwa
tersebut diminta mundur karena sakit. Ya, memang lebih baik tidak memaksakan
diri untuk mendaki gunung jika kodisi fisik tidak memungkinkan, karena berisiko
besar jika tetap dipaksakan.
![]() |
Ritual pembacaan doa oleh juru kunci gunung Gamalama dok. Ardian |
![]() |
Sebelum berangkat, juru kunci kembali membacakan doa sembari mengelilingi barisan rombongan dok. Ardian |
Aku mengeluarkan kamera poket, mendokumentasikan beberapa
foto selama perjalanan. Di pemandangan yang digambarkan dalam lagu anak-anak
“Naik ke puncak gunung” itu tidak berlaku di gunung Gamalama ini. Jika di lagu
itu digambarkan bahwa selama pendakian ke puncak gunung yang tinggi, hanya ada
pepohonan cemara di kiri kanannya. Tetapi di sini, sebagian besar adalah pohon
cengkeh dan pala, dan nyaris tidak ada pohon cemara.
Bisa dibilang pendakian ini adalah pendakian yang panjang
dan pendakian yang tidak direkomendasikan. Pertama, jumlah yang besar tidak
dibagi menjadi beberapa tim kecil agar lebih efisien. Jumlah kami ketika itu
mungkin lebih dari 20 orang. Kedua, minimnya persiapan. Kami hanya membawa
bivak dan tenda perorangan yang biasa digunakan tentara. Bahkan anggota menwa
hanya membawa terpal biru berukuran lebar tanpa tiang. Selain itu, hanya
sedikit orang yang membawa senter, padahal kami mengalami perjalanan hingga jam
10 malam. Mungkin karena mereka personil tentara yang terbiasa dengan kondisi
darurat dan perlengkapan seadanya. Semoga tidak ada yang mencontoh cara kami
mendaki kali ini.
Hujan kembali turun, tidak deras memang, hanya gerimis.
Tetapi justru itu yang membuat pendakian bertambah berat karena jalanan semakin
licin. Ketika reda, kami beristirahat sejenak sembari membuka nasi bungkus yang
kami bawa sejak dari bawah tadi, mumpung belum terlalu gelap. Mendekati pos
empat, kami berhenti lagi. Warga setempat yang menjadi guide kami turun ke mata air bersama beberapa orang untuk mengambil
persediaan air. Kemudian ketika sampai di pos empat, semua berhenti dan
berbaris. Semua senter dimatikan. Di tengah keheningan malam dan dinginnya
udara gunung Gamalama setelah hujan, guide
kami menyerukan kalimat adzan sebagai simbol sekaligus permohonan izin kepada
makhluk gaib yang menjaga tempat ini bahwa kami datang dengan niat baik, dan
semoga disambut dengan baik pula. Sebagaimana pesan juru kunci gunung Gamalama
ketika kami hendak berangkat tadi.
Sekitar pukul 10 malam akhirnya kami sampai di puncak.
Kurang lebih delapan jam lamanya pendakian yang kami lalui. Hujan sudah reda,
bahkan rembulan tampak menyinari malam kami di puncak Gamalama. Udara dingin
langsung menusuk. Kami langsung mencari tempat masing-masing untuk membuat
bivak. Tiba-tiba langit yang sedari tadi terlihat sudah cerah, tiba-tiba hujan.
Kami segera menyelesaikan bivak masing-masing. Selesai memasak pasak terakhir, sekilas
sosok wanita dengan tersenyum manis di samping Darumas. Yah, hanya sekilas. Aku
pun tidak terlalu fokus karena hujan mulai menderas, kami ingin segera bertedu
di balik bivak. Meski bivak sudah selesai aku dan bang Heriyana belum bisa
masuk ke dalam karena Darumas masih ganti pakaian di dalam. Wajar cewek,
sedikit agak lama. Tapi aku salut dengan Darumas, tidak banyak cewek bisa betah
dalam kondisi serba terbatas seperti ini. Meski kami tetap menghargai dan
memberi hak khusus sebagaimana cewek, tetapi dia juga cukup mengerti dengan tidak
menambah ribet yang biasa dilakukan cewek.
Karena kondisi bivak yang tidak terlalu tinggi, ditambah
hujan membuat bivak semakin pendek. Akhirnya kami hanya bisa tiduran di dalam
bivak sambil makan roti T2, ransum tentara. Lumayan juga buat mengganjal lapar di
tengah hujan di puncak Gamalama ini. Ada hal unik yang terjadi ketika kami
membuat bivak tadi. Karena minimnya persiapan, tidak membawa dan juga ada pohon
yang bisa dijadikan pasak, alhasil sebatang bambu yang kami bawa dari bawah
dipotong sejengkal untuk pasak. Masing-masing orang memotong sejengkal untuk
pasak. Padahal bambu itu untuk tiang bendera upacara hari Kebangkitan Nasional besok.
Keesokan subuh aku terbangun. Meski musim hujan, pemandangan sunrise dari puncak Gamalama sungguh
membuatku berdecak kagum. Ini pengalaman pertamaku berada di puncak sebuah
pulau. Gugusan nusa terlihat seperti benda kecil mengapung di atas laut yang
teramat luas. Riak awan dengan latar biru langit terlihat menawan ketika dipadu
dengan warna keemasan mentari terbit. Ini pemandangan yang sangat luar biasa
bagiku, dan aku sangat bersyukur diberi kesempatan untuk menyaksikan
pemandangan ini.
![]() |
Sunrise di puncak Gamalama_1 dok. Ardian |
![]() |
Sunrise di puncak Gamalam_2 dok. Ardian |
![]() |
Matahari terbit seperti terbenam dok. Ardian |
Upacara memperingati hari kebangkitan nasional berjalan hikmat dan lancar. Aku tidak tau harus mendeskripsikan seperti apa momen upacara kebangkitan nasional kali ini. Yang jelas, pengadaan upacara di puncak gunung Gamalama kami anggap sebagai wujud perjuangan untuk membangkitkan semangat pemuda Indonesia menjadi negara yang semakin berjaya. Mungkin ini pemahaman gagalku terhadap momen kebangkinan nasional. Maaf.
***
Aku, bang Heriyana, dan Darumas memilih untuk terakhir
turun. Sebagian besar rombongan berjalan lebih dulu. Kami bertiga ingin mencari
beberapa spesies flora fauna yang mungkin bisa kami ambil sebagai data temuan flora
fauna di kaki Gamalama. Namun, karena sudah terlalu lelah, kami memutuskan
untuk berjalan pulang saja. Aku berjalan duluan di depan Darumas dan bang
Heriyana. Ketika jarak kami agak jauh, aku duduk dan menunggu mereka. Hingga suatu
ketika, kami terpisah agak jauh. Aku merasa tidak terlalu jauh berjalan,
mungkin mereka yang terlalu lama beristirahat.
Hampir setengah jam aku menunggu di bawah sebuah pohon
besar. Aku ingat tempat itu juga tempat dimana kami beristirahat semalam. Aku yakin
sudah tidak jauh lagi kami sampai di sebuah rumah panggung. Di depan rumah itu
ada sebuah keran air yang biasanya digunakan untuk pendaki yang kehabisan air. Botol
aqua 1,5 liter yang kubawa hampir kosong. Kuputuskan untuk terus berjalan
sampai ke gubug itu, mungkin tidak sampai setengah jam dengan sedikit berlari
bisa sampai di gubug tersebut.
Ternyata dugaanku meleset. Aku sudah berjalan hampir dua jam
dan aku belum juga menemukan gubug tersebut. Aku mulai mengingat-ingat jalur
yang aku lalui semalam. Ada beberapa tempat yang membuatku tidak begitu yakin
apakah kami melewatinya semalam. Tapi sepertinya tidak mungkin jika aku
salah jalan, karena tidak ada persimpangan di sepanjang jalan ini. Artinya hanya inilah satu-satunya
jalan menuju ke puncak Gamalama. Aku duduk untuk beristirahat sejenak. Ujung jari kakiku juga
mulai sedikit sakit karena sepatuku yang rusak. Air yang kubawa juga sudah
semakin sedikit. Sekarang aku berada di sendirian di tengah-tengah hutan. Sejenak aku ragu apakah harus terus berjalan atau menunggu bang
Heriyana dan Darumas yang entah berjarak berapa meter di belakang. Karena yakin
gubug itu sudah semakin dekat, aku memutuskan untuk berjalan.
Di jalanan terjal dan licin aku terjungkal. Bukannya meringis
kesakitan, aku justru tertawa senang. Aku berpikir, bersyukur ketika umur
sekarang aku merasakan pengalaman luar biasa seperti ini. Mungkin esok ketika
tua aku masih bisa melakukan perjalanan yang sama, tetapi kesan, semangat,
ambisi yang kurasakan tentunya akan sangat berbeda. Sekarang aku muda, bebas,
tanpa beban pekerjaan, keluarga; hanya berpikir untuk mencari pengalaman
sebanyak-banyaknya. Beberapa kali aku terjatuh karena terlalu bersemangat
meskipun medannya terlalu licin. Semua rasa sakit, lelah, kotor yang berpadu
dengan semangat dan ambisi ini akan menjadi cerita yang menarik untuk kelak
kukisahkan kepada anak cucuku.
Akhirnya aku menemukan sebuah ladang jagung di tengah hutan.
Aku ingat ladang jagung ini, berikut juga dua atau tiga kuburan di tepi jalan
setelahnya. Jarakku sudah tidak jauh lagi dari gubug itu. Tetapi baru setengah
jam setelahnya baru aku temui gubug tersebut. Aku tidak berhenti, airku masih
cukup. Aku ingin segera sampai di basecamp. Melewati gubug, ujung jari kakiku
semakin sakit. Akhirnya aku berjalan mundur untuk meminimalisir rasa sakit
hingga akhirnya aku tiba di basecamp. Rombongan pertama sudah sedari tadi
sampai. Mereka hanya butuh waktu dua jam dari puncak hingga tiba di basecamp. Sedangkan
aku hampir empat jam. Dan yang lebih lama adalah bang Heriyana dan Darumas yang
baru tiba sekitar pukul enam sore, hampir enam jam lebih perjalanan mereka. Aku
di marah karena meninggalkan mereka berdua.
Perjalanan ini memberiku banyak pelajaran yang sangat
berharga, seperti juga perjalanan-perjalanan yang pernah aku lalui sebelumnya. Semoga
masih ada perjalanan-perjalanan lain di hari depan yang akan aku lalui. Aku selalu
siap.
Beberapa dokumentasi selama pendakian Gamalama
![]() |
Tim Ekspedisi bersama mahasiswa pecinta Alam dan Menwa berfoto bersama dok. Ardian |
![]() |
Bintara Oprasi Ekspedisi NKRI subkorwil Jailolo memberi instruksi sebelum upacar berlangsung dok. Ardian |
![]() |
Perwakilan Kopassus (Pratu Dadang), Menwa, dan Paskhas (Pratu Rifki) bertugas sebegai penarik bendera Dok. Ardian |
![]() |
Hormat bendera dok. Ardian |
![]() |
Dok. Ardian |
![]() |
Dok. Ardian |
![]() |
Foto bersama seluruh tim dok. Ardian |
![]() |
Tidur di dalam bivak yang sangat seadanya. dok. Ardian |
![]() |
Darumas dan bang Heriyana (Serma Kopassus) dok. Ardian |
Mantap bro... ceritane wes ngalir...
BalasHapus