sumber |
Aku melihat banyak kebenaran dari
ucapannya. Dulu beliau bukan tipe orang yang banyak bicara. Dulu sosok bapak
sangat pendiam, jarang tersenyum, menghindari perdebatan, nrimo. Dalam diamnya beliau melakukan banyak hal positif yang
kadang aku tidak tau. Baru sekitar sepuluh tahun belakangan ini aku sering
melihat banyak senyum di wajahnya, sering bercanda, sudah mulai lebih banyak
bicara, sekedar memberi nasihat atau hanya bertanya tentang kegiatan
anak-anaknya. Beliau adalah pusat kendali netral di keluarga. Tidak banyak
menuntut, tidak banyak melarang, percaya kepada keputusan anak. Tetapi ketika
keputusan sudah keluar dari mulutnya, lebih baik menurut. Keputusan yang bapak
ambil bukan karena ego, tapi dari berbagai pertimbangan. Aku sering melanggar
keputusan bapak, dan akhirnya aku meringkuk meminta maaf kepadanya. Meski aku
tau dia tidak pernah butuh permintaan maafku, karena sedetik ada perasaan kesal
dalam hatinya, bersamaan itu pula ia memaafkan.
Orang-orang di kampungku melihat
keluarga kami sebagai keluarga menengah ke atas. Padahal ibuku hanya penjahit
rumahan, dan bapak karyawan PTPN II Kebun Bekiun yang tugasnya hanya
membersihkan parit perkebunan atau memupuk sawit. Tetapi, alhamdulillah, dari
hasil itulah aku bisa menyelesaikan pendidikanku di Jogja, juga kebutuhan kedua
saudaraku. Aku tidak tau apa yang mereka lakukan di luar itu, tetapi yang aku
tau mereka jarang sekali mengeluh karena hutang, justru yang aku tau banyak
keluarga atau teman bapak yang utang uang ke bapak. Rezeki kami tidak banyak,
jika dihitung dalam nominal. Tetapi alhamdulillah Allah selalu memberi
kemudahan ketika keluarga membutuhkan dana. Aku tau, selama hampir sepuluh
tahun di Jogja, mungkin tidak kurang lima ratus juta sudah dikeluarkan untuk
biaya sekolah dan hidupku di sana. Selama sepuluh tahun itu juga, bapak harus
membiayai pernikahan kakak, abang, usaha abang dan kakak, dan modal untuk
membeli sepetak tanah untuk bekal usah pensiun nanti.
Bapak pernah menceritakan prihal
itu kepadaku.
“Kita harus banyak bersyukur
diberi hak pakai rezeki yang sepadan dengan apa yang diberikan. Yang penting
itu bukan seberapa banyak rezeki yang kita dapat, tapi seberapa besar hak pakai
yang diberikan kepada kita untuk menikmati rezeki itu,” kata bapak. “Jika
rezeki banyak, tetapi hak pakai sedikit, akan ada banyak cara untuk rezeki itu
keluar dari kita; entah dari kemalingan, penyakit, atau musibah lain. Tapi
kalau Allah memberi hak pakai kepada kita besar, meski rezeki yang diberikan
sedikit, tapi cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kita.”
Benar sekali apa yang bapak
bilang. Selama aku di Jogja, selalu ada dana untuk biaya sekolah, biaya hidup,
juga transport untuk pulang dan kembali ke Jogja. Alhamdulillah, jarang sekali
kami ditimpa musibah, penyakit parah yang menghabiskan banyak biaya, atau
kemalingan. Pernah memang, tapi tidak sampai memakan banyak biaya. Kami pernah kena musibah; ketika laptopku dicuri di mushala kampus ketika
shalat, mamak yang sakit batu ginjal, dan sekarang mamak juga sakit diabetes.
Namun, Alhamdulillah Allah mencukupi kebutuhan kami untuk menutupi itu semua.
Ada satu rahasia yang aku tau.
Dulu, ketika bapak masih bekerja sebagai karyawan di PTPN II Bekiun, setiap
gajian kakakku selalu disuruh untuk membagikan uang kepada janda dan anak yatim
yang ada di sekitar rumah. Setiap bulan, setiap gajian. Ini salah satu bukti
dari janji Allah yang mengekalkan rezeki orang-orang yang berinfak dan berzakat
di jalan-Nya. Balasan untuk orang-orang yang berinfak dan berzakat bukan semata
rezeki yang melimpah, tetapi rezeki yang mencukupi segala kebutuhan.
Bapak juga pernah bercerita kalau
Allah sudah memberi jalan hidup setiap manusia sejak sebelum mereka terlahir ke
dunia. Segala kebutuhan manusia sudah ditetapkan, termasuk jodoh, rezki, bahkan
kematian. Hidup bakal lebih mudah ketika kita mengikuti segala ketentuan-Nya.
“Mengikuti bukan berarti pasrah tanpa usaha, hanya saja kita mencoba belajar untuk
bersyukur dan menerima. Allah juga tidak menyukai orang-orang yang hanya
berpangku tangan,” ujar bapak. Tidak perlu mengeluh ketika diberi sedikit dari
apa yang kita harapkan, dan tetap bersyukur jika diberi lebih. Termasuk ketika
musibah datang, karena kita tidak tau maksud dari musibah yang telah ditetapkan
kepada kita selain itu semua adalah cobaan.
Juga dalam bekerja, tidak perlu
terlalu memaksakan diri. “Badan juga perlu diperhatikan, karena kita bekerja
untuk jangka waktu yang panjang bukan satu dua hari,” bapak mengingatkan.
“Kalau Allah sudah menetapkan rezeki kita hanya satu gelas, dipaksakan
mengisinya dengan seember air pun yang kita dapatkan hanya segelas. Yang
lainnya akan tumpah entah kemana, karena sebab apa saja. Begitu juga kalau Allah
sudah menetapkan rezeki untuk kita satu tangki 1000 liter, meski yang kita
dapatkan hanya satu gelas, pasti akan penuh juga nantinya,” kata bapak. Tidak
hanya finansial, keluarga juga punya kebutuhan lain yang harus kita penuhi.
Menerima segala ketentuan-Nya
juga tidak ‘seapa-adanya’ dari apa yang kita tangkap dari kata “menerima” itu.
Ada banyak pelajaran yang akan diberikan ketika penerimaan itu sudah
menumbuhkan keikhlasan di dalam hati kita. “Allah sendiri yang akan menjadi
guru kita, dan memberi pelajaran kepada kita melalui tangan-tangan-Nya yang ada
di semesta ini,” lanjut bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar