Perahu Bodi menepi. Orang-orang yang sebelumnya
duduk di tempat tunggu pelabuhan kecil itu kemudian berjalan satu-satu menaiki
perahu tersebut. Papan kecil menjadi “tangga” antara tepian dengan buritan
perahu. Meski namanya pelabuhan, tetapi keadaannya jauh dari gambaran pelabuhan
pada umumnya. Pelabuhan ini, pelabuhan Sulamadaha namanya. Hanya pelabuhan
kecil tempat transit bagi masyarakat yang ingin ke pulau Hiri. Kami ikut naik
bersama penumpang lain yang ingin ke pulau Hiri dan duduk di bagian haluan.
Tidak lama kemudian perahu bodi
berangkat.
Perahu ini
bisa memuat kurang lebih 30 orang, termasuk barang-barang kebutuhan pokok yang
harus dibeli di Ternate. Perahu bergerak lambat meninggalkan pelabuhan
Sulamadaha yang berbentuk tanjung kecil. Air laut di sekitar pelabuhan berwarna
biru muda jernih seperti cermin sehingga terumbu karang yang berada di bawahnya
dapat terlihat. Nahkoda menambah laju motor menjadi lebih cepat, memecah ombah
dan birunya air laut.
Ada enam
moda transportasi yang menghubungkan pulau Ternate dengan pulau Hiri di
pelabuhan Sulamadaha, empat perahu bodi
dan dua speed atau perahu motor.
Keenamnya beroprasi sejak pagi hingga menjelang magrib. Moda ini menjadi
andalan masyarakat pulau Hiri yang ingin ke pulau Ternate maupun sebaliknya.
Biayanya pun cukup murah, untuk perahu bodi
hanya Rp 5000/ orang dengan waktu tempuh sekitar 20 menit, dan perahu motor Rp
10.000/orang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit.
Dua puluh
menit kemudian kami sampai di pelabuhan pulau Hiri. Ada enam kelurahan di pulau
Hiri, yaitu keluarahan Mado, Togolobe, Dororiisa, Tafraka dan Fahudu. Kami
tinggal di rumah kepala lurah desa Togolobe yang tinggal di desa Mado.
Beristirahat di rumah lurah desa Togolobe sangat nyaman, serasa tinggal di vila
tepi pantai. Ya, memang rumahnya berada di tepi pantai. Ini tempat yang
sempurna untuk beristirahat dari berbagai kesibukan ibu kota, menurutku. Laut
biru, angin sepoi-sepoi, di seberang sana pulau Ternate dengan gunung Gamalama
yang menjulang tinggi dengan gagahnya. Hal yang paling aku suka adalah duduk di
teras lantai dua rumahnya dengan buku sambil menikmati laut, gunung Gamalama
dan angin yang berhembus lembut.
Darumas, Dadang dan Ode di depan salah satu gapura Pulau Hiri. Aku nggak tau itu artinya apa dok. Sadox |
Bergotong royong membangun jalan menuju makam keramat pulau Hiri dok. Darumas |
Sore hari, ketika sedang asyik berbagi cerita dengan pak lurah, tiba-tiba mata kami tertarik oleh sekelompok lumba-lumba yang “bermain” di lautan tidak jauh dari tepi pantai. Alhasil kami harus ngacangin pak lurah dan asyik menyaksikan lumba-lumba yang sedang bermain di tengah laut. Saking asyiknya, saya lupa mengambil kamera untuk mengabadikan mamalia laut itu. Menurut pak Lurah, hampir setiap hari lumba-lumba “lewat” di laut itu. Biasanya pagi atau sore hari, tergantung ombak. Malah jika musim ombak, mereka mengikuti perahu yang menyeberang dari pelabuhan Sulamadaha ke pulau Hiri, sebaliknya. Sambutan luar biasa untuk kami yang baru tiba di pulau ini.
Meski
sebuah pulau kecil, tetapi tatanan desa di sini cukup rapi. Jalanan tertata
rapi dengan trotoar dan pot bunga di kanan-kiri jalan. Namun, jalanan bagus
belum sepenuhnya mengitari pulau ini. Masih ada 1,7 km lagi yang masih berbatu
dan susah diakses kendaraan bermotor yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan.
Aku sempat keliling pulau dengan
meminjam sepeda motor salah seorang ojek di depan dermaga. Di sisi utara pulau
ini ada sebuah pantai pasir putih yang cantik dan pulau kecil di seberangnya,
masyarakat di sini menyebutnya pulau Guramongofa (anak pulau Hiri). Pulaunya
cukup bagus, biru laut di sekelilingnya jernih, saking jernihnya kontur bawah
laut di sekitarnya terlihat dari tepi pantai pasir putih yang jaraknya sekitar
150 meter itu. Namun sayang, kami belum sempat mengunjungi pulau itu. Padahal
ada perahu nelayan yang bisa kita sewa untuk menyeberang ke pulau itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar