Saat itu pula aku ingin orang-orang terdekat yang
paling aku sayang ada di sampingku agar aku bisa melihat wajah mereka di
saat-saat terakhir mataku bisa menatap mereka. Hanya itulah keinginan
terbesarku saat itu.
sumber dari Google.co.id |
Nggak ada tulisan baru yang bisa diupload. Belakangan
sedang sibuk dengan segala keperluan yang harus disiapkan sebelum pulang;
ngurusi pesanan orang, kaos, stiker, pin, pajak motor yang nyaris kadaluarsa
dan bingung karena KTP-nya nggak ada, konsep-konsep film Kekancan, ngurusin Popo yang akhir-akhir ini
semakin manja, nyari tiket buat pulang, browsing lowongan kerja, apply sana-sini, juga sibuk dengan
rencana-rencana masa depan. Terasa terlalu banyak hal yang harus dipikirkan
saat ini, sebelum pulang kampung menjelang lebaran. Minggu depan aku pulang.
Tiket sudah di tangan. Lumayan, dari Jogja dapet harga 1,2 jt untuk pertengahan
bulan puasa ini, tapi memang untuk penerbangan malam.
Insyaallah tengah malam baru sampe Medan.
Terpaksa minta jemput orangtua lagi, karena nggak mungkin naek angkutan umum
untuk sampe ke rumah, tengah malam mana ada angkutan dari Kuala Namo ke Binjai.
Lagian, ada satu carrier besar isi pakaian yang akan aku bawa. Rencana mau bawa
sebagian buku atau barang-barang lain yang sekiranya perlu di bawa pulang, tapi
nggak sanggup kalau sendirian. Ow iya, setelah lebaran rencana aku kembali ke
Jogja cuma untuk mengambil barang-barang di Jogja, kemudian kembali lagi ke Langkat dan melanjutkan hidup di sana.
Akhirnya aku menyerah. Kuserahkan keputusan ada di tangan
kedua orangtuaku. Lelah juga terlalu lama berdiri di atas idealisme pribadi,
sementara aku nggak tau darimana sumber idealisme itu berasal; entah dari
pemikiran dewasa yang bijaksana dan matang, atau hanya dari ego yang
dipaksakan. Namun, hal itu menjadi permasalahan yang selama ini kurasa cukup
mengganggu. Harapan besar dari kemandirian yang kubangun sejak pertama kali
menginjakkan kaki di kota budaya ini seakan tidak berarti apa-apa di mata
mereka. Dunia Tuhan hanya berkisar seperempat luas pulau Andalas, dan kebahagiaan
terpusat pada satu titik di tengah-tengah kebersamaan mereka saja. Tapi
mungkin, ini hanyalah masalah ego dan kebijaksanaan. Tekad yang selama ini
kupegang dengan idealisme pribadi yang kupikir sudah sangat bijaksana, ternyata
hanyalah sekumpulan egoisme yang dipaksakan. Aku sadar itu setelah merasa apa
yang aku perjuangkan seakan tidak menjadi kebanggaan di mata mereka. Ya, karena
bukan karena mereka aku berjuang. Setiap perjuangan yang tulus untuk oranglain
pasti, langsung atau pun tidak, orang yang diperjuangkan akan merasakan
perjuangan itu.
Bukan barang waktu yang sebentar aku melakukan hal
tersebut. Aku kira 4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk meyakinkan orangtua
tentang keinginanku, namun selama ini itu juga mereka mengharapkan hal yang
berbeda dari apa yang aku inginkan. Setelah empat tahun, kemudian aku lemahkan
langkahku, kepala yang keras lalu kulunakkan, dan hati yang tegas kutundukkan
agar mau berpikir dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang
sebenarnya salah dari apa yang kuperjuangkan selama ini. Tidak mungkin apa yang
kulakukan benar jika pertentangan dari orang terdekat terus datang. Apa yang
mereka lakukan pasti bukan sekedar penghalang.
Aku duduk, menarik nafas dalam untuk mengambil ketenangan
dari dalam, dan membiarkan hati yang mengambil alih untuk merasakan semuanya.
Aku mencoba mengerti apa yang mereka rasakan hingga yang mereka inginkan.
Akhirnya aku tau, ya aku cuma sekedar tau kalau apa mereka inginkan hanya
sekedar kebersamaan keluarga, anak-anak yang terus ada di sampingnya ketika
esok Tuhan memanggilnya. Mereka hanya ingin tidak ada jarak yang terlalu jauh
memisahkan mereka dan kami, anak-anaknya. Mereka mengerti apa yang kami
inginkan. Tidak ada upaya atau keinginan sedikit pun dalam hati mereka untuk
menahan keinginan anak-anaknya; kebahagiaan anak-anak adalah kebahagiaan mereka
juga. Mereka juga berharap anak-anaknya juga mengerti apa yang mereka inginkan.
Aku mengerti apa yang mereka inginkan.
Sekarang, tidak perlu ada lagi debat siapa yang harus mengerti
siapa, tinggal siapa yang mau melakukan sesuatu untuk siapa; siapa yang akan
merendahkan kepala dan egonya untuk kebahagiaan siapa; dan siapa yang
membahagiakan siapa. Karena, hanya mengerti tanpa melakukan sesuatu tidak akan
menghasilkan apa-apa. Berharap orang lain mengerti hanyalah ego yang
dipaksakan, bukan kedewasaan.
Akhirnya di sinilah aku.
Mencoba menjadi Aku 30-40 tahun yang akan datang, saat lemah menggerogoti
seluruh sendi-sendiku, kriput menghiasi kulit tubuhku, putih mendominasi rambut
di kepalaku. Dan, saat itu, yang kuharapkan hanyalah istirahat tenang di rumah
bersama keluargaku sambil menunggu utusan-Nya akan datang menjemput. Saat itu
pula aku ingin orang-orang terdekat yang paling aku sayang ada di sampingku agar
aku bisa melihat wajah mereka di saat-saat terakhir mataku bisa menatap mereka.
Hanya itulah keinginan terbesarku saat itu.
Dan, juga harapan mereka saat ini. Mungkin.
mas, diarynya aku baca, :D
BalasHapusMakasih udah mampir. Gak sampe bikin galau kan? hehehe
Hapus