Rabu, 09 Juli 2014

Tiga atau Empat Puluh Tahun dari Usiaku Sekarang


Saat itu pula aku ingin orang-orang terdekat yang paling aku sayang ada di sampingku agar aku bisa melihat wajah mereka di saat-saat terakhir mataku bisa menatap mereka. Hanya itulah keinginan terbesarku saat itu.


sumber dari Google.co.id
Nggak ada tulisan baru yang bisa diupload. Belakangan sedang sibuk dengan segala keperluan yang harus disiapkan sebelum pulang; ngurusi pesanan orang, kaos, stiker, pin, pajak motor yang nyaris kadaluarsa dan bingung karena KTP-nya nggak ada, konsep-konsep film Kekancan, ngurusin Popo yang akhir-akhir ini semakin manja, nyari tiket buat pulang, browsing lowongan kerja, apply sana-sini, juga sibuk dengan rencana-rencana masa depan. Terasa terlalu banyak hal yang harus dipikirkan saat ini, sebelum pulang kampung menjelang lebaran. Minggu depan aku pulang. Tiket sudah di tangan. Lumayan, dari Jogja dapet harga 1,2 jt untuk pertengahan bulan puasa ini, tapi memang untuk penerbangan malam. 
Insyaallah tengah malam baru sampe Medan. Terpaksa minta jemput orangtua lagi, karena nggak mungkin naek angkutan umum untuk sampe ke rumah, tengah malam mana ada angkutan dari Kuala Namo ke Binjai. Lagian, ada satu carrier besar isi pakaian yang akan aku bawa. Rencana mau bawa sebagian buku atau barang-barang lain yang sekiranya perlu di bawa pulang, tapi nggak sanggup kalau sendirian. Ow iya, setelah lebaran rencana aku kembali ke Jogja cuma untuk mengambil barang-barang di Jogja, kemudian kembali lagi ke Langkat dan melanjutkan hidup di sana. 

Akhirnya aku menyerah. Kuserahkan keputusan ada di tangan kedua orangtuaku. Lelah juga terlalu lama berdiri di atas idealisme pribadi, sementara aku nggak tau darimana sumber idealisme itu berasal; entah dari pemikiran dewasa yang bijaksana dan matang, atau hanya dari ego yang dipaksakan. Namun, hal itu menjadi permasalahan yang selama ini kurasa cukup mengganggu. Harapan besar dari kemandirian yang kubangun sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota budaya ini seakan tidak berarti apa-apa di mata mereka. Dunia Tuhan hanya berkisar seperempat luas pulau Andalas, dan kebahagiaan terpusat pada satu titik di tengah-tengah kebersamaan mereka saja. Tapi mungkin, ini hanyalah masalah ego dan kebijaksanaan. Tekad yang selama ini kupegang dengan idealisme pribadi yang kupikir sudah sangat bijaksana, ternyata hanyalah sekumpulan egoisme yang dipaksakan. Aku sadar itu setelah merasa apa yang aku perjuangkan seakan tidak menjadi kebanggaan di mata mereka. Ya, karena bukan karena mereka aku berjuang. Setiap perjuangan yang tulus untuk oranglain pasti, langsung atau pun tidak, orang yang diperjuangkan akan merasakan perjuangan itu. 

Bukan barang waktu yang sebentar aku melakukan hal tersebut. Aku kira 4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk meyakinkan orangtua tentang keinginanku, namun selama ini itu juga mereka mengharapkan hal yang berbeda dari apa yang aku inginkan. Setelah empat tahun, kemudian aku lemahkan langkahku, kepala yang keras lalu kulunakkan, dan hati yang tegas kutundukkan agar mau berpikir dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sebenarnya salah dari apa yang kuperjuangkan selama ini. Tidak mungkin apa yang kulakukan benar jika pertentangan dari orang terdekat terus datang. Apa yang mereka lakukan pasti bukan sekedar penghalang. 

Aku duduk, menarik nafas dalam untuk mengambil ketenangan dari dalam, dan membiarkan hati yang mengambil alih untuk merasakan semuanya. Aku mencoba mengerti apa yang mereka rasakan hingga yang mereka inginkan. Akhirnya aku tau, ya aku cuma sekedar tau kalau apa mereka inginkan hanya sekedar kebersamaan keluarga, anak-anak yang terus ada di sampingnya ketika esok Tuhan memanggilnya. Mereka hanya ingin tidak ada jarak yang terlalu jauh memisahkan mereka dan kami, anak-anaknya. Mereka mengerti apa yang kami inginkan. Tidak ada upaya atau keinginan sedikit pun dalam hati mereka untuk menahan keinginan anak-anaknya; kebahagiaan anak-anak adalah kebahagiaan mereka juga. Mereka juga berharap anak-anaknya juga mengerti apa yang mereka inginkan. Aku mengerti apa yang mereka inginkan. 

Sekarang, tidak perlu ada lagi debat siapa yang harus mengerti siapa, tinggal siapa yang mau melakukan sesuatu untuk siapa; siapa yang akan merendahkan kepala dan egonya untuk kebahagiaan siapa; dan siapa yang membahagiakan siapa. Karena, hanya mengerti tanpa melakukan sesuatu tidak akan menghasilkan apa-apa. Berharap orang lain mengerti hanyalah ego yang dipaksakan, bukan kedewasaan.  

Akhirnya di sinilah aku. Mencoba menjadi Aku 30-40 tahun yang akan datang, saat lemah menggerogoti seluruh sendi-sendiku, kriput menghiasi kulit tubuhku, putih mendominasi rambut di kepalaku. Dan, saat itu, yang kuharapkan hanyalah istirahat tenang di rumah bersama keluargaku sambil menunggu utusan-Nya akan datang menjemput. Saat itu pula aku ingin orang-orang terdekat yang paling aku sayang ada di sampingku agar aku bisa melihat wajah mereka di saat-saat terakhir mataku bisa menatap mereka. Hanya itulah keinginan terbesarku saat itu.

Dan, juga harapan mereka saat ini. Mungkin.


2 komentar:

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman