Rabu, 09 Juli 2014

Aku Menangis di Pantai Layar

Dok. Ardian


“Apa kau akan berbeda?” suaranya tertelan desiran angin laut yang ditimpai deru ombak pantai ujung barat pulau ini.
“Menurutmu, apa aku akan berbeda?” aku balik bertanya. Dia terdiam.
“Setiap perubahan pasti membuat berbeda. Tetapi, aku tidak ingin perbedaan ini membuat kita berubah,” kataku.
***
Aku suka senja, begitu juga dengannya. Senja telah memberi banyak keajaiban sekaligus misteri kehidupan bagiku, juga dia. Ia telah membuat sesuatu menjadi luar biasa. Dan, senja juga yang telah mempertemukan kami. Pada suatu sore di sebuah titik kota, senja bergelayut di antara gedung-gedung tua di pinggiran jalan. Ia duduk di bebatuan taman di pinggir jalan. Kamera DSLR ia pegang di tangannya, sedang tatapannya memandang lurus ke barisan gedung-gedung tua yang berwarna kekuningan di timpa cahaya senja. Sesekali matanya dipejamkan menikmati hembusan angin yang memainkan rambutnya.
Awalnya aku hanya memandanginya dari kejauhan. Mencuri beberapa moment dengan kameraku. Tetapi, melihatnya yang seperti tengah menikmati sesuatu sendirian, ada keinginan menyapanya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekatinya.
“Hai, boleh duduk?” sapaku.
“Hai, silakan,” ia tersenyum, mempersilakan.
 “Nggak foto-foto?” tanyaku.
“Sudah tadi,” jawabnya singkat. Sambil tersenyum, tatapannya masih terpaku pada barisan gedung di depan. Aku semakin penasaran dengan apa yang dilakukannya.
“Ngeliatin apa sih? Sepertinya dari tadi kamu ngeliatin ke gedung-gedung itu terus?” tanyaku penasaran.
“Coba kamu pandangin gedung-gedung itu. Keren kan? Kalau siang gedung-gedung itu hanya kelihatan seperti sebuah bangunan tua dengan warna pudar yang tidak menarik. Tapi waktu sore seperti ini, cahaya kekuningan dari senja membuat gedung-gedung itu terlihat klasik dan semakin indah di pandang. Itu salah satu keajaiban senja, membuat sesuatu yang biasa terkadang menjadi luar biasa,” jelasnya.
Aku takjub mendengarnya. Memang benar, barisan gedung-gedung tua itu memang terlihat lebih indah dan klasik dengan cahaya kekuningan yang ditimpakan cahaya senja di beberapa sisinya. Tidak ada lagi kesan kuno dan seram dari bangunan yang telah ada di kota ini lebih dari satu abad itu.
“Apa kamu suka gedung-gedung itu?” tanyaku lagi.
“Aku suka. Tetapi, aku lebih suka senja,” ujarnya.
“Ow, ya? Apa yang membuatmu merasa senja itu begitu istimewa?”
“Senja adalah sebuah tanda bahwa hari akan segera berakhir. Ia juga sebuah akhir untuk sebuah siklus kehidupan. Senja memiliki banyak rahasia yang belum dan tidak bisa diungkapkan.”
Begitulah awal pertemuan kami. Berawal dari pembicaraan tentang senja, hingga aku tahu namanya adalah Senjaloka.
***
Pagi itu aku mengajaknya jalan-jalan ke pantai. Sudah seminggu kami berada di tempat ini. Aku sengaja meminta cuti di hari libur panjang agar aku bisa membawanya berlibur ke pulau ini. Dulu aku pernah ke sini ketika kuliah. Ini kali kedua aku menginjakkan kaki di pulau ini, dan pertama kalinya bersama seseorang yang sebentar lagi menjadi istriku.
Pantai ini adalah salah satu pantai yang paling kusuka di pulau ini. Orang setempat menyebutnya pantai Layar. Aku kurang tahu bagaimana sejarahnya pantai ini sehingga di sebuat dengan pantai layar. Airnya yang tenang berwarna biru kehijauan kontras dengan pasir berwarna putih dan bebatuan hitam di tepi pantai. Angin yang berhembus semilir memainkan dedaunan di atas pepohonan yang masih rindang dan lebat di sekeliling pulau menciptakan sebuah harmoni alam yang tenang dan damai. Di sinilah, di tepian pantai dengan alunan melodi alamnya yang damai, aku ingin mengungkapkan sesuatu kepadanya.
Aku menunggu hingga sore ketika langit menghiaskan cahaya jingga di ujung pandangan. Beberapa nelayan kembali menepikan perahu mereka. Burung camar terbang lepas di atas lautan yang memantulkan cahaya keemasan. Aku melihat dia berjalan pelan di sepanjang dermaga sambil menatap takjub pemandangan di hadapannya. Ketika aku berada di belakangnya, ia berbalik dan memelukku dengan penuh haru.
“Makasih banyak sayang. Ini senja terindah yang pernah aku lihat,” katanya terharu.
“Dan kamu adalah Senja yang tidak kalah indah dibanding senja sore ini,” aku tersenyum. Senja membalas senyum, kemudian memelukku lagi.
Sebelum senja ini hilang, aku ingin menyampaikan sesuatu yang sudah kutunggu sejak lama. Aku ingin senja ini menjadi saksi ikatan yang akan terbangun antara aku dan dia.
“Sayang, ada sesuatu yang ingin aku katakan,” kataku membuka. Tidak kupungkiri ini membuat jantungku berdegub kencang. Aku gugup untuk mengatakannya. Aku ingin hal ini hanya sekali terucap dan menjadi kesan yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun.
“Apa yang ingin kau sampaikan?” tanyanya menunggu.
Aku tersenyum, mencoba mencari kata-kata yang sesuai. “Kita dipertemukan oleh senja di sebuah kota dengan bangunan-bangunan tua. Menjalin ikatan dengan beragam rintangan yang selalu kita hadapi bersama. Sore ini, disaksikan senja dan lautan, aku ingin meneguhkan ikatan yang telah kita jalin selama ini.” Aku berhenti sejenak. Mengambil nafas sekaligus keberanian untuk satu kalimat terakhir. “Senja, mau kah kamu menjadi istriku?”
Senja tertegun, matanya berkaca-kaca mendengar perkataanku. Ia melepaskan rangkulan tangannya dan memandang jauh ke arah bola merah tenggelam ditelan lautan. Aura kegembiraan seketika lenyap. Harapan yang semula berkumpul dan memberi keteguhan dalam hatiku, seakan telah sirna.
“Kenapa, Senja?” tanyaku, kekhawatiran melingkupiku saat ini.
Senja terdiam, menunduk. Setetes cairan bening jatuh ke permukaan air di bawah dermaga. Senja menangis. Aku memegang kedua bahunya. Ada sesuatu yang terjadi dengan Senja yang tidak ia ceritakan padaku, firasatku berkata seperti itu.
“Ada apa Sayang? Ceritakanlah jika ada sesuatu yang membuatmu sedih?”
Senja memalingkan badannya ke arahku. Matanya sembab, terlihat raut kesedihan menyeruak di sana, bukan raut kebahagiaan seperti harapanku selama ini.
“A.. aku minta ma.. maaf karena belum sempat mengatakan hal ini kepadamu,” katanya terbata menahan isak tangis. “Sebenarnya sejak lama aku ingin menyampaikannya kepadamu. Tetapi, aku sulit mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya. Hingga saat ini pun aku tidak tahu harus bagaimana mengatakannya kepadamu.” Senja kembali terisak. Aku menghapus airmatanya dengan tanganku.
Dari perkataannya aku tahu ini suatu kabar yang tidak baik. Tetapi, aku mencoba bersabar menerima apapun yang akan terjadi.
“Katakan saja apapun yang ingin kamu katakan. Aku siap menerimanya, apapun itu.”
Ia terdiam. Air matanya terus mengalir membanjiri pipinya. Aku menghapusnya lagi. Mencoba mendamaikannya.
“Maaf karena telah membuatmu menunggu dan berharap,” ujarnya terisak, "Aku sungguh minta maaf karena aku tidak bisa ... " kata-katanya terpotong oleh tangis. Aku semakin bingung dengan pernyataannya.
"Kenapa, Senja. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan?" kataku mencoba menenangkan.
"Karena.. aku tidak bisa.... menahan rasa haru dan bahagia ini." Ia tersenyum menatapku dengan air mata yang masih membanjiri pipinya. Senja kemudian memelukku. "Terima kasih sayang sudah mempercayaiku. Aku menerima tunanganmu," ucap senja lirih.
Aku menangis.   
***
Ini kali ketiga aku menginjakkan kaki di pantai Layar dan untuk pertama kalinya bersama keluarga kecilku. Menikmati senja di dermaga pantai Layar.

4 komentar:

  1. masuknya kurang smooth Jo. dan lagi, entah kenapa, kok jadinya geli dengar nama senja. mungkin karena udah ga begitu peka dengan senja.
    trus mengenai siapa-sebenarnya-senjaloka, kesannya terlalu disembunyikan oleh penulisnya. ya walaupun mungkin sengaja dibuat supaya ada lompatan-lompatan yang membuat pembaca jadi berpikir.

    BalasHapus
  2. udah asing sama senja ya? padahal senja lho yg bikin kita kenal. wkwkwkwk #abaikan.
    apa yah? sebenarnya aku jg bingung senja itu sapa. hahaha.

    BalasHapus
  3. Wih, tampaknya sasindo lagi gemar banget main senja-senjaan :3

    Aku suka bagian prolognya. Manis. Tapi agak 'njeglek' pas baca tulisan selanjutnya. Pengenalan karakter tokohnya kurang dalem, menurutku. Terus ada banyak pengulangan kata, misalnnya "pantai ini". Pake permainan diksi aja sih biar tambah menarik :)

    Terus, pas adegan ngelamar kok rada klise ya mas? :v wehehehe ....

    Judulnya mungkin lebih baik diganti. Kalau aku sebagai pembaca, pas baca judul itu nggak ada rasa penasaran buat baca isinya. Pas baca judul "Aku menangis di pantai Layar", yang ada di kepalaku ya cuman "ada orang lagi nangis di pantai".

    Aku suka bagian penggambaran settingnya, kerasa idup :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. aslinya ini cerpen lawas banget. nemu gitu aja, trus upload tanpa edit. hahaha.
      nuwun yak masukannya. jarang2 ada novelis yg mau komen gini. hehehe

      Hapus

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman