Dok. Ardian |
“Apa kau akan berbeda?” suaranya
tertelan desiran angin laut yang ditimpai deru ombak pantai ujung barat pulau
ini.
“Menurutmu, apa aku akan
berbeda?” aku balik bertanya. Dia terdiam.
“Setiap perubahan pasti membuat
berbeda. Tetapi, aku tidak ingin perbedaan ini membuat kita berubah,” kataku.
***
Aku suka senja, begitu juga dengannya.
Senja telah memberi banyak keajaiban sekaligus misteri kehidupan bagiku, juga
dia. Ia telah membuat sesuatu menjadi luar biasa. Dan, senja juga yang telah
mempertemukan kami. Pada suatu sore di sebuah titik kota, senja bergelayut di
antara gedung-gedung tua di pinggiran jalan. Ia duduk di bebatuan taman di
pinggir jalan. Kamera DSLR ia pegang di tangannya, sedang tatapannya memandang
lurus ke barisan gedung-gedung tua yang berwarna kekuningan di timpa cahaya
senja. Sesekali matanya dipejamkan menikmati hembusan angin yang memainkan
rambutnya.
Awalnya aku hanya memandanginya
dari kejauhan. Mencuri beberapa moment dengan kameraku. Tetapi, melihatnya yang
seperti tengah menikmati sesuatu sendirian, ada keinginan menyapanya. Akhirnya
aku memberanikan diri untuk mendekatinya.
“Hai, boleh duduk?” sapaku.
“Hai, silakan,” ia tersenyum,
mempersilakan.
“Nggak foto-foto?” tanyaku.
“Sudah tadi,” jawabnya singkat.
Sambil tersenyum, tatapannya masih terpaku pada barisan gedung di depan. Aku
semakin penasaran dengan apa yang dilakukannya.
“Ngeliatin apa sih? Sepertinya
dari tadi kamu ngeliatin ke gedung-gedung itu terus?” tanyaku penasaran.
“Coba kamu pandangin
gedung-gedung itu. Keren kan? Kalau siang gedung-gedung itu hanya kelihatan
seperti sebuah bangunan tua dengan warna pudar yang tidak menarik. Tapi waktu
sore seperti ini, cahaya kekuningan dari senja membuat gedung-gedung itu
terlihat klasik dan semakin indah di pandang. Itu salah satu keajaiban senja,
membuat sesuatu yang biasa terkadang menjadi luar biasa,” jelasnya.
Aku takjub mendengarnya. Memang
benar, barisan gedung-gedung tua itu memang terlihat lebih indah dan klasik
dengan cahaya kekuningan yang ditimpakan cahaya senja di beberapa sisinya. Tidak
ada lagi kesan kuno dan seram dari bangunan yang telah ada di kota ini lebih
dari satu abad itu.
“Apa kamu suka gedung-gedung
itu?” tanyaku lagi.
“Aku suka. Tetapi, aku lebih
suka senja,” ujarnya.
“Ow, ya? Apa yang membuatmu
merasa senja itu begitu istimewa?”
“Senja adalah sebuah tanda bahwa
hari akan segera berakhir. Ia juga sebuah akhir untuk sebuah siklus kehidupan.
Senja memiliki banyak rahasia yang belum dan tidak bisa diungkapkan.”
Begitulah awal pertemuan kami.
Berawal dari pembicaraan tentang senja, hingga aku tahu namanya adalah Senjaloka.
***
Pagi itu aku mengajaknya
jalan-jalan ke pantai. Sudah seminggu kami berada di tempat ini. Aku sengaja
meminta cuti di hari libur panjang agar aku bisa membawanya berlibur ke pulau
ini. Dulu aku pernah ke sini ketika kuliah. Ini kali kedua aku menginjakkan
kaki di pulau ini, dan pertama kalinya bersama seseorang yang sebentar lagi
menjadi istriku.
Pantai ini adalah salah satu
pantai yang paling kusuka di pulau ini. Orang setempat menyebutnya pantai
Layar. Aku kurang tahu bagaimana sejarahnya pantai ini sehingga di sebuat
dengan pantai layar. Airnya yang tenang berwarna biru kehijauan kontras dengan
pasir berwarna putih dan bebatuan hitam di tepi pantai. Angin yang berhembus
semilir memainkan dedaunan di atas pepohonan yang masih rindang dan lebat di sekeliling pulau menciptakan sebuah harmoni alam yang tenang dan damai. Di
sinilah, di tepian pantai dengan alunan melodi alamnya yang damai, aku ingin
mengungkapkan sesuatu kepadanya.
Aku menunggu hingga sore ketika
langit menghiaskan cahaya jingga di ujung pandangan. Beberapa nelayan kembali
menepikan perahu mereka. Burung camar terbang lepas di atas lautan yang
memantulkan cahaya keemasan. Aku melihat dia berjalan pelan di sepanjang
dermaga sambil menatap takjub pemandangan di hadapannya. Ketika aku berada di
belakangnya, ia berbalik dan memelukku dengan penuh haru.
“Makasih banyak sayang. Ini
senja terindah yang pernah aku lihat,” katanya terharu.
“Dan kamu adalah Senja yang
tidak kalah indah dibanding senja sore ini,” aku tersenyum. Senja membalas
senyum, kemudian memelukku lagi.
Sebelum senja ini hilang, aku
ingin menyampaikan sesuatu yang sudah kutunggu sejak lama. Aku ingin senja ini
menjadi saksi ikatan yang akan terbangun antara aku dan dia.
“Sayang, ada sesuatu yang ingin
aku katakan,” kataku membuka. Tidak kupungkiri ini membuat jantungku berdegub
kencang. Aku gugup untuk mengatakannya. Aku ingin hal ini hanya sekali terucap
dan menjadi kesan yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun.
“Apa yang ingin kau sampaikan?”
tanyanya menunggu.
Aku tersenyum, mencoba mencari
kata-kata yang sesuai. “Kita dipertemukan oleh senja di sebuah kota dengan
bangunan-bangunan tua. Menjalin ikatan dengan beragam rintangan yang selalu
kita hadapi bersama. Sore ini, disaksikan senja dan lautan, aku ingin
meneguhkan ikatan yang telah kita jalin selama ini.” Aku berhenti sejenak.
Mengambil nafas sekaligus keberanian untuk satu kalimat terakhir. “Senja, mau
kah kamu menjadi istriku?”
Senja tertegun, matanya
berkaca-kaca mendengar perkataanku. Ia melepaskan rangkulan tangannya dan memandang
jauh ke arah bola merah tenggelam ditelan lautan. Aura kegembiraan seketika
lenyap. Harapan yang semula berkumpul dan memberi keteguhan dalam hatiku, seakan
telah sirna.
“Kenapa, Senja?” tanyaku,
kekhawatiran melingkupiku saat ini.
Senja terdiam, menunduk. Setetes
cairan bening jatuh ke permukaan air di bawah dermaga. Senja menangis. Aku
memegang kedua bahunya. Ada sesuatu yang terjadi dengan Senja yang tidak ia
ceritakan padaku, firasatku berkata seperti itu.
“Ada apa Sayang? Ceritakanlah
jika ada sesuatu yang membuatmu sedih?”
Senja memalingkan badannya ke
arahku. Matanya sembab, terlihat raut kesedihan menyeruak di sana, bukan raut
kebahagiaan seperti harapanku selama ini.
“A.. aku minta ma.. maaf karena
belum sempat mengatakan hal ini kepadamu,” katanya terbata menahan isak tangis.
“Sebenarnya sejak lama aku ingin menyampaikannya kepadamu. Tetapi, aku sulit
mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya. Hingga saat ini pun aku tidak
tahu harus bagaimana mengatakannya kepadamu.” Senja kembali terisak. Aku
menghapus airmatanya dengan tanganku.
Dari perkataannya aku tahu ini
suatu kabar yang tidak baik. Tetapi, aku mencoba bersabar menerima apapun yang
akan terjadi.
“Katakan saja apapun yang ingin
kamu katakan. Aku siap menerimanya, apapun itu.”
Ia terdiam. Air matanya terus
mengalir membanjiri pipinya. Aku menghapusnya lagi. Mencoba mendamaikannya.
“Maaf karena telah membuatmu menunggu dan berharap,” ujarnya terisak, "Aku sungguh minta maaf karena aku tidak bisa ... " kata-katanya terpotong oleh tangis. Aku semakin bingung dengan pernyataannya.
"Kenapa, Senja. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan?" kataku mencoba menenangkan.
"Karena.. aku tidak bisa.... menahan rasa haru dan bahagia ini." Ia tersenyum menatapku dengan air mata yang masih membanjiri pipinya. Senja kemudian memelukku. "Terima kasih sayang sudah mempercayaiku. Aku menerima tunanganmu," ucap senja lirih.
Aku menangis.
"Karena.. aku tidak bisa.... menahan rasa haru dan bahagia ini." Ia tersenyum menatapku dengan air mata yang masih membanjiri pipinya. Senja kemudian memelukku. "Terima kasih sayang sudah mempercayaiku. Aku menerima tunanganmu," ucap senja lirih.
Aku menangis.
***
Ini kali ketiga aku menginjakkan
kaki di pantai Layar dan untuk pertama kalinya bersama keluarga kecilku.
Menikmati senja di dermaga pantai Layar.
masuknya kurang smooth Jo. dan lagi, entah kenapa, kok jadinya geli dengar nama senja. mungkin karena udah ga begitu peka dengan senja.
BalasHapustrus mengenai siapa-sebenarnya-senjaloka, kesannya terlalu disembunyikan oleh penulisnya. ya walaupun mungkin sengaja dibuat supaya ada lompatan-lompatan yang membuat pembaca jadi berpikir.
udah asing sama senja ya? padahal senja lho yg bikin kita kenal. wkwkwkwk #abaikan.
BalasHapusapa yah? sebenarnya aku jg bingung senja itu sapa. hahaha.
Wih, tampaknya sasindo lagi gemar banget main senja-senjaan :3
BalasHapusAku suka bagian prolognya. Manis. Tapi agak 'njeglek' pas baca tulisan selanjutnya. Pengenalan karakter tokohnya kurang dalem, menurutku. Terus ada banyak pengulangan kata, misalnnya "pantai ini". Pake permainan diksi aja sih biar tambah menarik :)
Terus, pas adegan ngelamar kok rada klise ya mas? :v wehehehe ....
Judulnya mungkin lebih baik diganti. Kalau aku sebagai pembaca, pas baca judul itu nggak ada rasa penasaran buat baca isinya. Pas baca judul "Aku menangis di pantai Layar", yang ada di kepalaku ya cuman "ada orang lagi nangis di pantai".
Aku suka bagian penggambaran settingnya, kerasa idup :)))
aslinya ini cerpen lawas banget. nemu gitu aja, trus upload tanpa edit. hahaha.
Hapusnuwun yak masukannya. jarang2 ada novelis yg mau komen gini. hehehe