Selasa, 14 Januari 2014

Kuputuskan untuk Mencintaimu


google.com

“Tidak ada paksaan untuk mencintaiku, tidak juga ada larangan untukmu meninggalkanku. Aku memang tidak bisa memberi kepastian apa-apa. Dan setiap orang berhak mendapat kepastian, termasuk kamu,” ujarnya.

Hujan lagi. ada waktu yang berselang di sini. Aku ingin bercerita tentang sebuah kisah cinta yang belum pernah terjadi di dunia ini. Kisah cinta biasa sebenarnya, tidak ada yang istimewa, mungkin kisahmu lebih istimewa dari kisah ini. Ini bukan kisahku. Aku di sini bukanlah aku. Kamu bisa melekatkan ia pada siapapun.

Baiklah, aku mulai saja.

Aku bertemu dengannya lima tahun lalu di Jogja. Aku dan dia kuliah di fakultas yang sama, tetapi kami tidak pernah satu kelas. Dua hari yang lalu kami melangsungkan pernikahan. Mencintainya, begitu juga dengannya. Yang aku tau, akulah yang pertama kali mencintainya sejak dua atau tiga tahun lalu. Dia belum tau jika aku mencintainya. Aku tidak pernah mengatakan, dia juga tidak pernah bertanya. Pun kami jarang bertemu sapa, hanya sesekali saja berkabar. Tetapi kami berhubungan baik.

Kamu pasti tau jika mencintai seseorang, akan ada ujian untuk menguji kualitas atau seberapa besar cintamu itu. Untukku, jarak adalah ujian yang harus aku hadapi. Dia berada di luar negeri untuk waktu yang cukup lama. Tiga tahun sejak aku memutuskan untuk mencintainya, aku diharuskan untuk menyelesaikan ujian itu. Yang harus aku lakukan hanyalah menunggunya. Tidak ada keharusan selain itu. Aku bisa melakukan apa saja, termasuk berhenti menunggu atau mencintai orang lain. Aku menerimanya. Aku pikir, apalah susahnya menuggu.

Aku menceritakan kepada sahabatku bahwa aku mencintai seseorang. Sahabatku merasa senang dan mendukungku. Namun, setelah kuceritakan semuanya, dia sedikit shock.

“Gila!” serunya. “Jadi, kamu nggak tau perasaan dia? Gak tau apa dia sudah punya calon atau belum? Dan, kamu memutuskan untuk menunggu dia selama tiga tahun tanpa kepastian?” tanyanya dengan ekspresi tidak percaya. Aku hanya tersenyum mengiyakan. Itu sebulan sejak aku memutuskan untuk mencintainya. “Sorry men, bukannya meragukan, tapi kalau memang akhirnya nanti kamu bisa nikah sama dia, gua acungin jempol kuda! Hahaha,” lanjutnya seraya tertawa.

Ini memang gila. Siapa yang bisa menunggu tanpa kepastian? Sebagian orang pasti meninggalkan ketidakpastian dan mengambil yang pasti-pasti aja? Yap, itu yang aku ambil kemudian. Empat bulan sejak kuputuskan untuk mencintainya, aku bertemu dengan seorang cewek yang menyukaiku. Namanya Ana. Aku tau itu karena dia mengatakannya. Ana itu dua tahun lebih muda dariku. Akhirnya kami pacaran setelah beberapa hari aku galau dengan sikapku sendiri. Di satu sisi aku ingin tetap menjaga cintaku untuknya, di sisi lain aku seperti orang pada umumnya yang lebih mementingkan kepastian daripada ketidakpastian. Aku sempat bertanya ke beberapa orang, dan aku tau mereka yang aku tanyai adalah orang-orang umum karena mengiyakan pendapat kedua.

Suatu malam sebelum aku putuskan untuk menjalin hubungan dengan Ana, ia datang dalam pikiranku. Ia bilang, “Tidak ada paksaan untuk mencintaiku, tidak juga ada larangan untukmu meninggalkanku. Aku memang tidak bisa memberi kepastian apa-apa. Dan setiap orang berhak mendapat kepastian, termasuk kamu.” Hanya itu yang ia katakan.

Aku sempat berpikir heroik. Menjadi sosok pecinta sejati seperti dalam film-film drama atau novel cinta dengan menjaga hati untuk satu orang yang dicintai meski tanpa kepastian sedikit pun. Mungkin ini yang dimaksud pengorbanan.

Tetapi aku bukanlah sosok pecinta sejati, karena dua hari setelahnya ketika menjemput Ana di stasiun, aku menyatakan permintaanku untuk menjadi pacarnya. Dan, ia menerimaku. Namun, hubunganku dengannya tidak berjalan lama. Dua bulan setelah itu kami putus. Selama dua bulan itu hubungan kami tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

Aku sempat menyukai cewek lain setelah beberapa bulan putus dari Ana, tetapi hanya berjalan dua minggu. Hatiku seperti tergerak lagi untuk kembali mencintainya setelah secara tidak sengaja aku melihatnya di beranda socmedku. Aku ingin lagi mencintainya seperti beberapa bulan lalu. Tetapi apa masih bisa?
Ia datang lagi ke dalam pikiranku pada suatu malam, dan mengatakan hal yang sama dengan waktu itu. 

“Tidak ada paksaan untuk mencintaiku, tidak juga ada larangan untukmu meninggalkanku. Aku memang tidak bisa memberi kepastian apa-apa. Dan setiap orang berhak mendapat kepastian, termasuk kamu,” ujarnya.

Tidak mudah untuk berteman dengan ketidakpastian. Tetapi yang kulakukan hanya melakukan apa yang harus kulakukan tanpa merasa melakukannya. Semua berjalan cepat. Hingga akhirnya aku bertemu dengannya dan keluarganya.

Kisah ini berakhir bersamaan dengan hujan yang sudah reda. Tidak ada yang istimewa bukan? Aku yakin kisah cintamu lebih istimewa dari kisah ini.


13/01/14

3 komentar:

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman