Sejak
kecil selalu diajarkan untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih atau mengharapkan
balasan dari apa yang telah kita lakukan. Kita sudah terlanjur meyakini bahwa
tulus lebih baik dari pamrih. Tetapi, apa tulus dan pamrih itu sebenarnya?
Adakah batasan-batasan yang jelas antara keduanya?
Untuk
artikel ini, kita batasi untuk istilah keduanya. Pamrih adalah melakukan suatu
perbuatan dengan harapan adanya balasan dalam bentuk apapun dari apa yang
dilakuan. Tulus adalah melakukan tanpa adanya harapan mendapatkan balasan dalam
bentuk apapun dari apa yang dilakukan.
Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering kali berlaku pamrih. Ketika berjalan dan
mendapati seseorang yang kesulitan, kemudian kita menolongnya. Jika ditanyakan,
kita pasti ikhlas-ikhlas saja melakukan hal tersebut. Benarkah ikhlas? Benarkah
tidak ada harapan jika suatu saat nanti ketika kita mendapat kesulitan ada
seseorang yang menolong kita? Pasti! Karena kita adalah manusia yang tidak bisa
hidup tanpa orang lain.
Setiap
orang pasti punya keyakinan bahwa ketika kita berbuat baik, maka orang lain
juga akan baik kepada kita. Jikapun bukan orang tersebut yang akan membalasnya,
akan ada orang lain yang akan membalasnya, atau minimal Tuhan lah yang akan
membalasnya. Dari pemahaman tersebut terlihat bahwa perbuatan baik yang kita
lakukan adalah akibat dan harapan akan adanya balasan kebaikan jika kita
melakukan kebaikan adalah sebabnya. Hubungan sebab dan akibat itu selalu nyata
dalam kehidupan sehari-hari manusia, dan sering kali kita salah menafsirkan
mana sebab dan mana akibat. Hubungan antara sebab dan akibat sering kali
mengarah kepada pamrih. ‘Akibat’ mendasari seseorang untuk melakukan sesuatu. Alasan
yang sering dianggap sebagai landasan ketika melakukan suatu perbuatan
sebenarnya adalah ‘akibat’. Ada harapan jika suatu perbuatan dilakukan akan
menghasilkan sesuatu seperti yang ada dalam khayalan kita.
Alasan
adalah akibat. Hasil adalah akibat. Khayalan adalah akibat. Harapan adalah
akibat. Lantas, apa itu sebab? Sebab muncul ketika kita melakukan sesuatu tanpa
adanya harapan tentang sesuatu yang terjadi nantinya. Jika harapan, angan-angan
muncul sesudah suatu perbuatan dilakukan, ia adalah sebab. Akan tetapi jika
harapan dan angan-angan itu muncul sebelum suatu perbuatan dilakukan, ia adalah
akibat. Oleh karena itu, sedikit sekali perbuatan yang menjadi sebab, sebagian
besar dari perbuatan yang kita lakukan adalah ‘akibat’.
Ibadah
yang kita lakukan juga termasuk ‘akibat’, dan sebagian besar dari kita
beribadah dengan pamrih. Tuhan
memerintahkan kepada kita untuk beribadah. Akibat dari perintah tersebut
menyebabkan kita beribadah. Tuhan berjanji bahwa setiap ibadah yang kita
lakukan akan mendapat balasan dari-Nya. Ketika beribadah, kita memegang janji
Tuhan bahwa Dia akan membalas ibadah yang kita lakukan dengan pahala dan surga,
atau bertemu dengan-Nya di akhirat nanti. Bukankah itu pamrih? Ada harapan
balasan dari ibadah kita. Tidak ada keikhlasan dalam ibadah kita.
Lantas,
bagaimana ibadah yang tanpa pamrih? Setiap orang beribadah pasti mengharap
pahala, surga dan bertemu dengan Tuhan di akhirat kelak. Adakah ibadah yang
tanpa pamrih? Ibadah yang tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan pahala, surga,
maupun bertemu dengan-Nya? Ada. Ibadah yang lillahi
ta’ala. Ibadah seperti apa itu? Beribadah seperti yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw.
Setiap
orang, setiap manusia dengan latar belakang agama apapun bisa mengambil
pelajaran dari Muhammad Saw. Dia adalah utusan Allah Swt yang mendapat
keistimewaan terbebas dari segala dosa, dan sudah dipastikan mendapat pahala,
surga dan tentunya bertemu dengan Allah Swt. Namun, beliau beribadah dengan
sangat taat, segala puasa ia laksanakan, shalat tak pernah ia tinggalkan,
shalat sunnah selalu ia kerjakan. Intinya, tidak ada satupun perintah Allah Swt
yang tidak ia kerjakan dengan sepenuh hati. Itu semua ia lakukan sejak bangun
tidur, hingga tidur kembali, bahkan ketika ia tidur. Segala yang beliau lakukan
adalah sebab. Tidak pernah ia melakukan suatu perbuatan karena mengharap orang
lain ataupun Tuhan akan membalas perbuatan baiknya. Beliau tidak memperlukan
itu, karena tanpa mengharap pun ia telah mendapatkannya. Jikapun ada
pengharapan yang beliau lakukan itu semua bukan untuknya, tetapi untuk para
pengikutnya dan manusia di seluruh dunia.
Akan
tetapi, kenapa Rasulullah mengajarkan kita untuk berharap? Yah, benar. Karena
manusia butuh motivasi, penyokong keyakinan mereka. Namun, sebenarnya
Rasulullah tidak hanya mengajarkan tentang harapan, tetapi juga keikhlasan
beribadah lillahi ta’ala. Tapi,
ajaran keikhlasan itu juga disertai harapan-harapan? Ya benar. Dan Al-Quran
juga mengajarkan “Mengapa kamu tidak
berpikir?”
Jogjakarta, 24 Desember 2012
Ardianjusto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar