Toeti Heraty dikenal sebagai penyair wanita yang memiliki karakteristik
tersendiri di tengah para penyair Indonesia Indonesia modern. Ia mampu berdiri
di luar arus, dan karena itulah, menurut
Soebagio Sastrowardoyo (1967: 308), Toeti Heraty tidak sama dengan
penyair-penyair lain. Suryadi Ag (1998). menegaskan bahwa Toeti Heraty termasuk
penyair wanita yang karya-karyanya layak diperhitungkan dalam penelitian
sastra, khususnya puisi. Prof. Teeuw juga menyebut Teoti Heraty sebagai penyair
wanita yang memiliki karakteristik yang sangat khas. “Cocktail Party” merupakan
salah satu dari sekian banyak sajak karya Toeti Heraty maupun karya-karya
penyair lain yang paling dikagumi kritikus asal Belanda tersebut. Dalam
bukunya, Teeuw (1989: 129) mengatakan dari sekian banyak sajak yang ia sukai
dan ia pilih untuk dibicarakan dalam buku tersebut, sajak Cocktail Party-lah
yang paling rumit, yang paling banyak memerlukan analisis dan penafsiran di
berbagai tingkat sekaligus.
Kiprah kepenyairan Toeti Heraty dimulai sejak enam buah puisinya dimuat
di majalah Horison, Oktober 1967.
Selepas itu, puisinya banyak dimuat di majalah Budaja Djaja (1968, 1970, 1974), Basis (1979), dan Zaman (1980).
Kemudian karya-karyanya diterbitkan dalam kumpulan puisi, di antaranya Sajak-sajak 33 (1973), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979), Mimpi dan Prestasi (1982), Aku dan Budaya (1984), Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda
(1986, bersama A.Teeuw), Antologi Puisi
Indonesia 1997 (1977), Nostalgi =
Transendensi (1995), Sembilan Kerlip
Cermin (2000), dan Prosa Lirik Calon Arang : Kisah Perempuan
Korban Patriarki (2000). Keseluruhan karya-karyanya didominasi tema seputar
dunia dan berbagai permasalahan perempuan (Mahayana, 2000).
Membaca karya-karya Toeti Heraty seperti membaca sebuah gambaran kegelisahan
seorang perempuan terhadap nasib kaumnya. Banyak di antara karya-karyanya yang
mencoba menyodorkan penolakan terhadap budaya patriarki yang masuk dalam
berbagai bidang kehidupan manusia. Seringkali laki-laki bertindak seperti dewa
yang menguasai jagad raya, dan jadilah perempuan sebagai objek bagi mereka.
Dunia dan alam semesta adalah milik laki-laki. Tidak ada tempat bagi perempuan
untuk membela diri. Sajak Manifesto (Heraty, 1995: 95) secara tegas menyatakan
hal tersebut, aku tuntut kalian/ ke
pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi/ siapa tahu/ suap-menyuap telah luas
menjulang/ sampai ke Hakim Tertinggi/ siapa jamin, ia tak berpihak sejak semua/
karena dunia, pula semesta, pria yang punya/.
Calon Arang merupakan salah satu perempuan yang menjadi korban sejarah
budaya patriarki. Dalam prosa lirik Calon
Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki, Teoti menyatakan bahwa Calon Arang
merupakan korban budaya patriarki. Bentuk-bentuk penindasan tersebut terlihat
dari berbagai kisah Calon Arang yang menggambarkannya sebagai seorang perempuan
tua tukang teluh, suka membantai, dan menimbulkan penyakit yang membinasakan
banyak orang. Pramoedya Ananta Toer (2000), salah satu pengarang yang mengisahkan
kembali kisah Calon Arang dalam sebuah Cerita
Calon Arang. Dalam buku tersebut, Toer menggambarkan tokoh Calon Arang sebagai
“perempuan yang buruk kelakuannya, senang menganiaya sesama manusia, membunuh,
merampas dan meyakiti. Ia tukang teluh dan punya banyak ilmu ajaib untuk
membunuh orang”. Oleh karena itu, banyak aktivis perempuan yang mengkritik Cerita Calon Carang dan Pramoedya Ananta
Toer sebagai pengarang karena penggambarannya yang terlalu bias gender (Toer,
2000: 6).
Secara turun temurun legenda Calon Arang dipertahankan sebagai sebuah
dokumentasi sejarah hingga tanpa sadar hal tersebut justru membentuk sebuah paradigma
baku tentang kekejaman perempuan bernama Calon Arang. Seperti diungkapkan Seno
Gumira Ajidarma dalam pengantar prosa lirik Calon
Arang: Kisah Perempuang Korban Patriarki (Heraty, 2000: xiii) bahwa legenda
selalu mengukuhkan dan terkukuhkan. Melihat ketimpangan itulah Toeti Heraty
ingin membongkar pemahaman baku Calon Arang dan keberatsebelahannya dalam
menempatkan perempuan melalui versi Calon Arang yang ditulis dari sudut pandang
perempuan.
Namun, kegelisahannya tidak hanya berupa penindasan yang banyak dialami
oleh kaumnya. Terkadang kegelisahan tersebut digambarkan dengan nada protes dan
sikap ironis memandang kebodohan kaumnya yang secara sadar menerima berbagai
perlakuan tersebut dan bahkan dengan senang hati menjadi bagian dari budaya
patriarki. Hal inilah yang membuat karya-karya Toeti Heraty berbeda dengan
penyair-penyair wanita sezamannya seperti Isma Sawitri, Diah Hadaning, atau
Susy Aminah Aziz (Mahayana, 2008). Citra perempuan dalam karya-karyanya tidak
tergambar sebagai sosok yang lemah lembut dan memaklumi segala hal yang menimpa
dirinya. Hal tersebut seperti tergambar dalam petikan sajak “Manifesto”
berikut.
Perkara kecil membelenggu wanita
dengan
Tetek bengek yang malah disyukuri
olehnya
Secara serius, dungu dan syahdu
(Heraty,
1995: 95)
Penggambaran yang sama juga terdapat dalam prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban
Patriarki (Heraty, 2000: 46 – 50).
Sesuatu telah terjadi yang
disebut “female bonding”
Yang sebetulnya langka terjadi,
karena paradigm peremuan
Lebih jelas adalah persaingan,
bahkan pula
Pengkhianatan pada Calon Arang
oleh putrinya
Sang Ratna Manggali –
Memang ia habis-habisan dirayu
oleh Mpu Bahula
Dinyatakan cantik luar biasa,
diungkapkan cinta dan
Keperihatinannya, suatu yang
perempuan ingin percaya
…..
Hidup perempuan yang selalu jadi
konsumen kosmetika
Dalam bentuk protes terhadap dominasi laki-laki tergambar dalam kutipan
beberapa sajak berikut.
Siapa yang tidak akan geram,
siapa yang tidak akan berang
ada perempuan diperlakukan tidak
adil
oleh kehidupan
……..
ini hanya spekulasi, karena
sangat faham
peran ibu, nasib janda, dan
perempuan elok
sebagai komoditi jadi
bulan-bulanan dalam
masyarakat patriarki, tetapi kini
tergantung
perempuan, kehendaknya sendiri:
apa yang ia kehendaki?
(Heraty,
2000: 28 – 71)
Petikan sajak di atas menggambarkan sikap protesnya terhadap budaya
patriarki yang bertindak tidak adil terhadap perempuan. Perempuan yang sering
kali menjadi barang komoditi pasar,
korban kosmetik dan kecantikan. Bahkan saat ini hampir seluruh bintang iklan
segala produk komoditas selalu membidik perempuan sebagai bintang iklan untuk
menarik pasar. Toeti menyadari hal tersebut sebagai sebuah penindasan masyarakat
patriarki terhadap perempuan. Akan tetapi, penindasan bukanlah sebuah tindak
kekerasan jika korban patriarki menjalani hal tersebut dengan penuh kesadaran
dan suka rela. Semua tergantung
perempuan, kehendaknya sendiri: apa yang ia kehendaki?
Peka terhadap berbagai permasalahan di sekitarnya, khususnya perempuan
dan menuangkannya dalam barisan sajak-sajak penuh perenungan memang menjadi
ciri khas kepenyairan Toeti Heraty. Maman S. Mahayana dalam laman pribadinya
Mahayana-mahadewa.com menyebutkan salah satu yang cukup menonjol dalam pengucapan
Toeti adalah kontemplasi dan perenungan atas masalahnya sendiri ketika ia
dikembalikan kepada pengalaman pribadi. Imaji dalam sebagian besar puisinya
dibangunnya menjadi sangat personal, tidak jarang juga membangun perenungan
filosofis. Hal inilah yang terkadang membuat pembaca maupun kritikus sastra
kesulitan untuk memahami puisi-puisi Toeti Heraty, seperti yang dialami Teeuw
(1980, 78 – 79) ketika ingin memahami sajak “Cocktail Party”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar