Minggu, 14 Oktober 2012

Kegelisahan Toeti dalam Puisi


Toeti Heraty dikenal sebagai penyair wanita yang memiliki karakteristik tersendiri di tengah para penyair Indonesia Indonesia modern. Ia mampu berdiri di luar arus, dan karena itulah, menurut  Soebagio Sastrowardoyo (1967: 308), Toeti Heraty tidak sama dengan penyair-penyair lain. Suryadi Ag (1998). menegaskan bahwa Toeti Heraty termasuk penyair wanita yang karya-karyanya layak diperhitungkan dalam penelitian sastra, khususnya puisi. Prof. Teeuw juga menyebut Teoti Heraty sebagai penyair wanita yang memiliki karakteristik yang sangat khas. “Cocktail Party” merupakan salah satu dari sekian banyak sajak karya Toeti Heraty maupun karya-karya penyair lain yang paling dikagumi kritikus asal Belanda tersebut. Dalam bukunya, Teeuw (1989: 129) mengatakan dari sekian banyak sajak yang ia sukai dan ia pilih untuk dibicarakan dalam buku tersebut, sajak Cocktail Party-lah yang paling rumit, yang paling banyak memerlukan analisis dan penafsiran di berbagai tingkat sekaligus.
Kiprah kepenyairan Toeti Heraty dimulai sejak enam buah puisinya dimuat di majalah Horison, Oktober 1967. Selepas itu, puisinya banyak dimuat di majalah Budaja Djaja (1968, 1970, 1974), Basis (1979), dan Zaman (1980). Kemudian karya-karyanya diterbitkan dalam kumpulan puisi, di antaranya Sajak-sajak 33 (1973), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979), Mimpi dan Prestasi (1982), Aku dan Budaya (1984), Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (1986, bersama A.Teeuw), Antologi Puisi Indonesia 1997 (1977), Nostalgi = Transendensi (1995), Sembilan Kerlip Cermin (2000), dan Prosa Lirik Calon Arang : Kisah Perempuan Korban Patriarki (2000). Keseluruhan karya-karyanya didominasi tema seputar dunia dan berbagai permasalahan perempuan (Mahayana, 2000).
Membaca karya-karya Toeti Heraty seperti membaca sebuah gambaran kegelisahan seorang perempuan terhadap nasib kaumnya. Banyak di antara karya-karyanya yang mencoba menyodorkan penolakan terhadap budaya patriarki yang masuk dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Seringkali laki-laki bertindak seperti dewa yang menguasai jagad raya, dan jadilah perempuan sebagai objek bagi mereka. Dunia dan alam semesta adalah milik laki-laki. Tidak ada tempat bagi perempuan untuk membela diri. Sajak Manifesto (Heraty, 1995: 95) secara tegas menyatakan hal tersebut, aku tuntut kalian/ ke pengadilan, tanpa pihak yang menghakimi/ siapa tahu/ suap-menyuap telah luas menjulang/ sampai ke Hakim Tertinggi/ siapa jamin, ia tak berpihak sejak semua/ karena dunia, pula semesta, pria yang punya/.
Calon Arang merupakan salah satu perempuan yang menjadi korban sejarah budaya patriarki. Dalam prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki, Teoti menyatakan bahwa Calon Arang merupakan korban budaya patriarki. Bentuk-bentuk penindasan tersebut terlihat dari berbagai kisah Calon Arang yang menggambarkannya sebagai seorang perempuan tua tukang teluh, suka membantai, dan menimbulkan penyakit yang membinasakan banyak orang. Pramoedya Ananta Toer (2000), salah satu pengarang yang mengisahkan kembali kisah Calon Arang dalam sebuah Cerita Calon Arang. Dalam buku tersebut, Toer menggambarkan tokoh Calon Arang sebagai “perempuan yang buruk kelakuannya, senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas dan meyakiti. Ia tukang teluh dan punya banyak ilmu ajaib untuk membunuh orang”. Oleh karena itu, banyak aktivis perempuan yang mengkritik Cerita Calon Carang dan Pramoedya Ananta Toer sebagai pengarang karena penggambarannya yang terlalu bias gender (Toer, 2000: 6).
Secara turun temurun legenda Calon Arang dipertahankan sebagai sebuah dokumentasi sejarah hingga tanpa sadar hal tersebut justru membentuk sebuah paradigma baku tentang kekejaman perempuan bernama Calon Arang. Seperti diungkapkan Seno Gumira Ajidarma dalam pengantar prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuang Korban Patriarki (Heraty, 2000: xiii) bahwa legenda selalu mengukuhkan dan terkukuhkan. Melihat ketimpangan itulah Toeti Heraty ingin membongkar pemahaman baku Calon Arang dan keberatsebelahannya dalam menempatkan perempuan melalui versi Calon Arang yang ditulis dari sudut pandang perempuan.
Namun, kegelisahannya tidak hanya berupa penindasan yang banyak dialami oleh kaumnya. Terkadang kegelisahan tersebut digambarkan dengan nada protes dan sikap ironis memandang kebodohan kaumnya yang secara sadar menerima berbagai perlakuan tersebut dan bahkan dengan senang hati menjadi bagian dari budaya patriarki. Hal inilah yang membuat karya-karya Toeti Heraty berbeda dengan penyair-penyair wanita sezamannya seperti Isma Sawitri, Diah Hadaning, atau Susy Aminah Aziz (Mahayana, 2008). Citra perempuan dalam karya-karyanya tidak tergambar sebagai sosok yang lemah lembut dan memaklumi segala hal yang menimpa dirinya. Hal tersebut seperti tergambar dalam petikan sajak “Manifesto” berikut.
Perkara kecil membelenggu wanita dengan
Tetek bengek yang malah disyukuri olehnya
Secara serius, dungu dan syahdu
                                      (Heraty, 1995: 95)

Penggambaran yang sama juga terdapat dalam prosa lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (Heraty, 2000: 46 – 50).
Sesuatu telah terjadi yang disebut “female bonding”
Yang sebetulnya langka terjadi, karena paradigm peremuan
Lebih jelas adalah persaingan, bahkan pula
Pengkhianatan pada Calon Arang oleh putrinya
Sang Ratna Manggali –
Memang ia habis-habisan dirayu oleh Mpu Bahula
Dinyatakan cantik luar biasa, diungkapkan cinta dan
Keperihatinannya, suatu yang perempuan ingin percaya
…..
Hidup perempuan yang selalu jadi konsumen kosmetika

Dalam bentuk protes terhadap dominasi laki-laki tergambar dalam kutipan beberapa sajak berikut.
Siapa yang tidak akan geram,
siapa yang tidak akan berang
ada perempuan diperlakukan tidak adil
oleh kehidupan
……..
ini hanya spekulasi, karena sangat faham
peran ibu, nasib janda, dan perempuan elok
sebagai komoditi jadi bulan-bulanan dalam
masyarakat patriarki, tetapi kini tergantung
perempuan, kehendaknya sendiri:
apa yang ia kehendaki?
                                             (Heraty, 2000: 28 – 71)

Petikan sajak di atas menggambarkan sikap protesnya terhadap budaya patriarki yang bertindak tidak adil terhadap perempuan. Perempuan yang sering kali menjadi barang komoditi pasar, korban kosmetik dan kecantikan. Bahkan saat ini hampir seluruh bintang iklan segala produk komoditas selalu membidik perempuan sebagai bintang iklan untuk menarik pasar. Toeti menyadari hal tersebut sebagai sebuah penindasan masyarakat patriarki terhadap perempuan. Akan tetapi, penindasan bukanlah sebuah tindak kekerasan jika korban patriarki menjalani hal tersebut dengan penuh kesadaran dan suka rela. Semua tergantung perempuan, kehendaknya sendiri: apa yang ia kehendaki?
Peka terhadap berbagai permasalahan di sekitarnya, khususnya perempuan dan menuangkannya dalam barisan sajak-sajak penuh perenungan memang menjadi ciri khas kepenyairan Toeti Heraty. Maman S. Mahayana dalam laman pribadinya Mahayana-mahadewa.com menyebutkan salah satu yang cukup menonjol dalam pengucapan Toeti adalah kontemplasi dan perenungan atas masalahnya sendiri ketika ia dikembalikan kepada pengalaman pribadi. Imaji dalam sebagian besar puisinya dibangunnya menjadi sangat personal, tidak jarang juga membangun perenungan filosofis. Hal inilah yang terkadang membuat pembaca maupun kritikus sastra kesulitan untuk memahami puisi-puisi Toeti Heraty, seperti yang dialami Teeuw (1980, 78 – 79) ketika ingin memahami sajak “Cocktail Party”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman