Sudah
sejak masa prasejarah, masyarakat di wilayah Nusantara terlibat dalam jaringan
perdagangan lokal, jauh sebelum mereka terkait dengan simpul perdagangan
Internasional. Penduduk melakukan pelayaran antar kampung ataupun antar pulau
dengan berbagai tujuan, seperti melarikan diri karena terusir dari kelompok,
mengenal kampung - kampung sekitar, mengadakan perkawinan hingga melakukan
perdagangan dengan cara melakukan pertukaran barang. Tanpa disadari, mulai
terbentuklah jalur pelayaran dan jalur komunikasi pertama yang menyatukan
wilayah perairan bersangkutan.
Munculnya
jaringan perdagangan mulai terdokumentasikan dengan baik sekitar abad 7 hingga
pertengahan abad 17. Apabila kita melihat jauh ke belakang, pada abad 7 telah
terjadi kontak perdagangan antara Sriwijaya dengan Cina. Sriwijaya tumbuh
menjadi sebuah pelabuhan singgah atau transit terbesar di wilayah Selat Malaka
selama 600 tahun. Para pedagang Cina dan India singgah dan melakukan
perdagangan di sini. Pada abad 14, Naskah Negarakertagama menyebutkan hampir
seratus toponim yang menjadi wilayah kekuasaan Majapahit. Hal ini
memperlihatkan hubungan Majapahit dalam bidang komersil/perdagangan dengan negara
- negara vasal. Pada abad 15, muncullah Malaka sebagai entitas baru yang
berkembang menjadi sebuah pelabuhan singgah/transit terbesar sesudah kerajaan –
kerajaan pendahulunya. Para pedagang dari berbagai wilayah (Gujarat, Benggala,
Wilayah Nusantara, Semenanjung Malaya, Filipina, Indocina hingga Asia Timur)
berkumpul disini untuk melakukan transaksi dagang. Mereka membawa barang
dagangan yang khas dari wilayahnya masing – masing, seperti beras, lada, garam,
rempah – rempah, kamper/kapur barus, kayu cendana, mutiara, emas, dan lain –
lain. Tetapi dari semuanya, rempah-rempah memiliki daya tarik tersendiri bagi
pedagang Cina dan India (jauh sebelum kedatangan orang Eropa).
Malaka
begitu juga Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan - kota hanya berbasis pelabuhan
transit dan jasa, dapat dikatakan tidak menghasilkan barang ekspor. Bahkan
kedua negara itu tidak memiliki wilayah pedalaman yang dijadikan tempat
produksi langsung bagi perdagangan Internasional. Hal ini mendorong wilayah –
wilayah disekitarnya (begitu juga Nusantara) menjadi pemasok barang – barang
dagangan dari masing – masing wilayahnya ke pelabuhan Malaka. Tiap daerah
menghasilkan hasil yang berbeda dalam bidang pertanian. Hal ini mendorong
interaksi perdagangan antar daerah yang melibatkan seluruh wilayah Nusantara
dan sebagian semenanjung Malaya. Perdagangan antar pulau di wilayah Nusantara
sedikit demi sedikit mulai meluas hingga masuk ke jaringan perdagangan Asia.
Jaringan ini kemudian meluas lagi hingga perdagangan Eropa mulai terjalin
dengan Asia. Dengan sendirinya terkaitlah simpul perdagangan Internasional di
jantung Asia Tenggara.
Menjelang abad 16, banyak wilayah di Nusantara
menunjukkan taraf spesialisasi wilayah yang cukup jelas dan masuk pada taraf
perdagangan Internasional yang cukup tinggi. Kota-kota dagang di sepanjang
pantai mulai bermunculan. Pusat ekonomi dibangun pada muara-muara sungai sedang
pusat produksi terletak di hulu. Produksi dilakukan di wilayah pedalaman, selanjutnya
pedagang menengah menjadi perantara dalam perdagangan dari pedalaman ke pesisir
atau dari pedagang eceran ke pedagang besar dengan menggunakan tongkang.
Barulah pedagang besar yang ada di pesisir menawarkan barangnya ke daerah lain
lewat transportasi laut. Pada awal abad 17, kota-kota di Asia Tenggara berkisar
dari 100.000-800.000. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan jumlah kota-kota di
Eropa. Hal ini mencirikan tingginya komersialisasi dibarengi dengan urbanisasi
yang cepat. Namun demikian, kota-kota di Asia Timur dan Asia Barat mungkin
lebih besar daripada pelabuhan-pelabuhan di Nusantara.
Masuknya ekspansi orang-orang Eropa ke wilayah Asia
memiliki dampak yang besar bagi perdagangan di wilayah Asia. Ketika Portugis
menaklukkan Malaka pada tahun 1511, serentak jaringan perdagangan yang sudah
lama terjalin mengalami kemunduran. Ketika VOC berdiri, kontrol produksi mulai
diambil alih oleh mereka. Monopoli terhadap beberapa komoditi di Nusantara mulai
dilakukan, seperti pala (Kepulauan Banda), cengkeh (Ambon). Lada (Banten),
proteksi beras (Jawa). Sepanjang abad 18, Belanda mulai mengambil keuntungan
dari monopolinya tersebut, yakni dengan cara melakukan ekspor rempah – rempah
hingga Gula dan Kopi ke Eropa. Tidak hanya menjadikan Jawa sebagai gudang
barang - barang ekspor saja. Belanda mulai merintis kembali perdagangan antar
pulau di wilayah Asia Tenggara dan membangun pelabuhan – pelabuhan baru di
wilayah jajahanny, seperti Sukadana (Kalimantan), Belawan (Medan), Tanjung
Priok (Batavia), Tanjung Emas (Semarang), Tanjung Perak (Surabaya), Ujung
pandang (Makasar). Rupanya Belanda mulai meniru apa yang dulu pernah ada, yaitu
bandar pelabuhan transit bagi pedagang – pedagang di wilayah lain Akan tetapi
sedikit berbeda, Belanda tidak hanya menjadi bandar pelabuhan saja, tetapi juga
sebagai agen jasa pelayaran dengan harapan mendapatkan pendapatan maksimal,
yaitu sebuah perusahaan Belanda di bidang pelayaran yang bernama Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM)
yang nantinya akan menjadi Konijkle Paketvaart Maatschappij (KPM) dan melayani
hamper semua wilayah di Hindia Belanda.
Maka dapat kita lihat bahwa dalam
hal perdagangan lah pelayaran memiliki peran penting dalam menyatukan ekonomi
nasional di wilayah Asia Tenggara. Meskipun pada masa itu belum terbentuk batas
– batas nasional yang tergambar dengan jelas dan belum terkotak – kotak secara
politik, namun terlihat bagaimana kegiatan maritim di Asia Tenggara yang
berstandar Internasional berlangsung dan lewat pelayaranlah yang menyatukan
banyak kerajaan di wilayah Asia Tenggara (begitu juga Nusantara) menyatu
menjadi sebuah sistem pedagangan yang sempurna. Ekonomi nasional yang
sesungguhnya mulai muncul ketika ekspansi Eropa ke wilayah Asia Tenggara
menghancurkan tatanan perdagangan global. Bukannya muncul secara evolusi yang
alami, tetapi muncul karena penyimpangan pertumbuhan yang terkesan dipaksakan
oleh kekuatan Eropa. Peralihan dari ekonomi nasional yang sifatnya bebas dan
teratur menjadi perekonomian kolonial yang ditandai dengan batas – batas
politik di semua wilayah di Asia Tenggara. Akan tetapi, Belanda dalam konteks
Hindia Belanda sebenarnya pada masa akhir zaman penjajahannya, mulai muncul
spesialisasi wilayah, perdagangan regional dan secara bersamaan membangun
sebuah Emporium sekaligus Imperium baru di wilayah ini, dengan perusahaan
NHM-nya yang melayani rute pelayaran lokal hingga Internasional. Meski sampai
tahun 1940-an semuanya masih dalam masa pertumbuhan.
Sumber:
·
J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom
Institute, 2009.
·
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008. Jakarta: Serambi, 2008
·
Adrian B. Lapian, “Nusantara: Silang Bahari”, Henry Chambert-Loir et al. (eds.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011, hal. 79-92
·
Vincent J. Houben, “The Pre-modern Economies of The Archipelago”, Howard Dick et al., The Emergence of a National Economy.
An Economic History of Indonesia, 1800-2000. New South Wales: Allen &
Unwin, 2002, hal. 35-55
·
William J.O’Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar”, Anne Both et al. (eds.), Sejarah
Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 197-235
·
H. W. Dick, “Industrialisasi Abad ke – 19. Sebuah Kesempatan yang Hilang”, J.
Th. Linblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern
Indonesia. Berbagai Tantangan Baru. Jakarta: LP3ES, 2000, hal. 176-210
·
Howard Dick, “Perdagangan Antarpulau, Pengintegrasian Ekonomi dan Timbulnya Suatu
Perekonomian Nasional”, Anne Booth et
al. (eds.), Sejarah Ekonomi
Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 399-434
·
Howard Dick, “Munculnya Ekonomi Nasional, 1808-1900”, J. Th. Linblad (ed.), Fpndasi Historis Ekonomi Indonesia.
Yogyakarta: Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002, hal. 24-62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar