Kamis, 19 Januari 2012

Cultuur Stelsel di Indonesia


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Inti Permasalahan
          Penulisan sejarah dengan basis disiplin ilmu ekonomi di Indonesia bagi sebagian sejarawan masih merupakan sesuatu yang asing, meskipun sejarah ekonomi telah banyak diajarkan di Universitas-universitas di Indonesia. Meskipun sejarah ekonomi telah lama ditulis orang jauh sebelumnya, di Barat sendiri sejarah ekonomi baru mendapat tempat pada tahun 1910-an.[1]
Sejarah ekonomi adalah sejarah yang mempelajari manusia sebagai pelaku ekonomi yang menggunakan faktor-faktor ekonomi untuk mendapatkan kesejahteraan, sepanjang manusia menggunakan faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan baik pada tingkat desa hingga kota maka dapat digolongkan dalam sejarah ekonomi. Salah satunya ialah sejarah ekonomi yang mengangkat tema tentang perubahan-perubahan di desa Jawa pada masa Tanam Paksa.
          Periode pemerintahan Van der Capellen di Hindia Timur sangat tidak memuaskan Pemerintah di Belanda. Produksi tanaman ekspor mengalami penyusutan yang berarti, kebijakan kepemilikan tanah yang gagal dan kebijakan reaksioner Van der Capellen yang berakibat sangat buruk. Selain itu permasalahan ditambah lagi akibat Pemerintah Hindia Belanda yang sibuk mengurusi urusan dalam negeri Vorstenlanden yang akhirnya menyeret Pemerintah Hindia Belanda jatuh kedalam perang Jawa yang dikobarkan oleh Dipanegara, seorang pangeran dari Yogyakarta. Hal ini membuat kas di Hindia Belanda kosong melompong dan disatu sisi tidak ada pemasukan sama sekali. Pengeluarannya sendiri mencapai 24 juta gulden setahun, melebihi pengeluaran di Negeri Belanda.[2]
          Negeri Belanda pun juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu perekonomian koloninya ini, kas Negeri Belanda pun juga kosong sedangkan utang semakin membengkak sebab mereka juga sedang menghadapi pemberontakan yang dilakukan bangsa Belgia yang menginginkan kemerdekaan. Perang di wilayah ini pun berlangsung selama 9 tahun.
Van den Bosch bukanlah orang yang baru dalam mengenal Hindia Belanda. Dirinya pernah datang kesini pada masa Daendles dan diusir oleh Jenderal Guntur itu karena perbedaan paham. Kemudian ia dikirim ke Hindia Barat oleh raja Belanda (pasca perang Belanda-Belgia) untuk menjalankan misi khusus. Sepulangnya dari sana, dirinya mendapatkan perintah untuk mengorganisasi struktur ekonomi di Hindia Timur atau Hindia Belanda.[3]
Van den Bosch tidak pernah percaya pada pandangan Hogendorp bahwa petani Jawa terlalu malas untuk mengejar keuntungannya sendiri. Dirinya yakin bahwa orang pribumi hanya butuh bantuan untuk memberikan pengetahuan dalam mencapai keuntungan dalam kemajuan ekonomi. Mereka harus dibimbing oleh penguasa untuk bekerja, apabila tidak mau mereka harus dipaksa untuk bekerja. Oleh karena itu pemerintah berkewajiban ”mengorganisasikan pertanian Jawa untuk mengangkatnya lebih unggul. Inilah pemikiran awal Van den Bosch tentang cultuurstelsel.
Ketika Van den Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830, pemikiran Van den Bosch tentang cultuurstelsel[4] sebenarnya tidak pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi tampaknya sistem ini didasarkan pada suatu prinsip umum yang sangat sederhana. Menurutnya, desa-desa di Jawa berutang pajak tanah pada pemerintah sebesar 40% dari hasil panen utama desa-desa itu. Rencana Van den Bosch ialah bahwa desa-desa harus menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor (nila, tembakau, kopi dan tebu). Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai harga yang sudah ditentukan. Dengan seperti ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak dalam bentuk uang, tapi cukup dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun apabila pajaknya telah tercukupi, maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan apabila tidak terjadi surplus dan pajak tanah belum mencukupi, maka kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja di ladang.[5]
Dalam teorinya juga, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Lebih dari 100.000 orang bekerja untuk pemerintah. Dengan cara demikian orang Jawa dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dari sebelumnya dengan jumlah pekerjaan yang sama atau berpenghasilan sama dengan kerja lebih sedikit. Desa akan tetap memiliki tanah yang lebih luas dalam pengerjaannya, dan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai. Disisi lain pemerintah mendapatkan tanaman ekspor yang murah harganya.[6]
Berdasarkan latar belakang di atas, maka akan muncul inti atau pokok permasalahan dan inti pertanyaan penelitian, yaitu Dalam hal apakah dan sejauh manakah dapat dikatakan terjadi perubahan penting di pedesaan Jawa pada masa Tanam Paksa?

PEMBAHASAN 
A.  Sistem Tanam Paksa: Sebuah Teori
Ketika Van den Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830, pemikiran Van den Bosch tentang cultuurstelsel sebenarnya tidak pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi tampaknya sistem ini didasarkan pada suatu prinsip umum yang sangat sederhana. Menurutnya, desa-desa di Jawa berutang pajak tanah pada pemerintah sebesar 40% dari hasil panen utama desa-desa itu. Rencana Van den Bosch ialah bahwa desa-desa harus menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor (nila, tembakau, kopi dan tebu)[1] dan seperlima dari waktu kerja para petani dewasa.[2] Pada intinya, sistem baru yang diperkenalkan ini secara parsial menggantikan sistem pajak tanah yang dikenalkan Raffles, meskipun pada prakteknya dua sistem ini selalu digabungkan.[3] Sang Gubernur Jenderal mengklaim bahwa alih- mengambil duaperlima hasil panen dalam bentuk uang. Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai harga yang sudah ditentukan.
Dengan seperti ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak tanah dalam bentuk uang, tapi cukup dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun apabila pajaknya telah tercukupi, maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan apabila tidak terjadi surplus dan pajak tanah belum mencukupi, maka kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja di ladang atau menggunakan sumber pendapatan lainnya. Akan tetapi pemerintah dapat meminta tenaga kerja dari penduduk desa untuk menjadi pekerja pabrik dimana hasil panennya diolah.[4]
Van den Bosch merasa bahwa dengan sistem seperti ini, setiap pihak akan mendapatkan keuntungan. Desa akan memiliki tanah yang lebih luas untuk digunakan sendiri, selain itu desa akan mendapatkan penghasilan yang sifatnya tetap dalam bentuk uang tunai. Selain itu dirinya mengklaim dapat mempekerjakan lebih dari 100.000 orang sehingga orang Jawa mendapatkan gaji yang lebih besar daripada sebelumnya dengan jumlah pekerjaan yang sama atau mendapatkan gaji yang sama tetapi dengan jumlah pekerjaan yang lebih sedikit. Di lain pihak, pemerintah juga diuntungkan dengan harga panen tanaman ekspor yang sangat murah dan meningkatkan pendapatan armada pengangkutan jalur laut Negeri Belanda NHM. Semua kesepakatan mengenai sawah ladang, tenaga kerja, dan pengiriman dibuat berdasarkan kontrak bebas antara pejabat pemerintah dan kepala desa. Van den Bosch juga mengklaim bahwa dalam waktu kurang dari 4 tahun wilayah koloni Hindia Belanda akan tentram, menutup dan mengisi kekosongan kas negara dan wilayah koloni, meningkatkan produksi tanaman ekspor dan memaksimalkan pendayagunaan tanah dan meningkatkan perdagangan.[5]
 
B.   Pelaksanaan, Penyelewengan dan Dampak Sistem Tanam Paksa
Cultuurstelsel mulai direalisasikan, pemerintah memerintahkan semua pejabatnya (orang Eropa dan bangsawan pribumi) untuk mempromosikan kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian tersebut, tapi tanpa menuntut suatu yang berlebihan. Meskipun sistem ini didasarkan pada suatu pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan (sukarela). Akan tetapi dalam prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan akhirnya terjadi penyelewengan dimana-mana[6], seolah Jawa merupakan perkebunan besar milik pemerintah dan patut dieksploitasi.[7] Teori Van den Bosch tentang keuntungan semua pihak berubah menjadi suatu peristiwa pemerasan berskala besar.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, sistem administrasi di Jawa memasukkan orang Eropa pada struktur pemerintahan desa, hal ini disebabkan kebijakan baru dari Negeri Belanda. Mereka ini lazim disebut opziener[8] atau ”pengontrol” pada masa Sistem Tanam Paksa berlangsung. Mereka bekerjasama dengan para bupati dalam mengerahkan tenaga kerja lokal. Selain itu tugas mereka mengurusi pertanian pemerintah dan juga mengawasi administrasi para bupati dan bawahan-bawahannya. Para pengontrol ini berhak menghadiri pertemuan bulanan yang dilakukan bupati sampai kepala desa. Hal ini memperlihatkan betapa jauhnya peran pemerintah kolonial dalam struktur tradisional pedesaan, terlihat dari kehadiran para pejabat kolonial dan menunjukkan kepada rakyat Jawa biasa bahwa kehidupan sehari-hari mereka digerakkan oleh pemerintah kolonial di Batavia.[9] Sedangkan para bupati diperkuat kedudukannya untuk mengembalikan peran para bupati dan bawahannya agar dihargai oleh para penduduknya.
Dalam hal perekonomian pertanian, terjadi banyak penyelewengan dalam pembagian tanah untuk penanaman tanaman ekspor. Di beberapa desa, pengambilan tanah bisa mencapai sepertiga dari luas tanah yang seharusnya hanya seperlima saja. Bahkan di sebuah desa pengambilan tanah bisa mencapai separuh tanah garapan dengan alasan untuk irigasi.[10] Hal ini membuat banyak petani yang kehilangan lahan garapannya. Mereka tidak lagi menanam tanaman pangan tetapi hanya tanaman ekspor. Dengan fenomena seperti ini maka banyak terjadi intensifikasi pertanian[11] tetapi tidak didukung oleh tekhnologi yang modern. Pemerintah seolah-olah atau bahkan tidak sama sekali memikirkan kesejahteraan petani yang ada di pedesaan. Ketika masa panen tebu selesai, tanah tidak dibersihkan oleh penggarap sehingga petani harus menanam membersihkan dahulu sebelum ditanami padi. Hal ini membuat masa penanaman padi lebih pendek dan varietasnya menurun drastis. Sehingga berdampak pada kelaparan di beberapa daerah, seperti Demak, beberapa wilayah di Cirebon, dan Grobogan.
Tanaman berskala ekspor banyak ditanam di wilayah Pulau Jawa, sedangkan dalam penanamannya pun dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan membutuhkan perawatan yang ekstra, sehingga dalam pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja yang besar. Para kepala desa berperan disini untuk mencari pekerja yang murah. Petani-petani seolah dipaksa menanam tanaman ekspor ini dengan alih-alih ”membantu” perekonomian desa. Para kepala desa memberikan uang muka kepada petani agar mereka mau bekerja untuk pemerintah.[12] Akan tetapi dalam kenyataannya, pembayaran sering terlambat akibat uang hanya berhenti pada tingkat hierarki tradisional. Petani tak lagi mendapat pendapatan yang tetap dan sedikit sekali. Hal ini membuat banyak petani-petani pergi keluar desanya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak seperti bekerja di pabrik-pabrik.
Suatu fenomena yang mencengangkan pada masa ini adalah meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa pada paroh abad ke XIX. Populasi meningkat dari 6 juta menjadi 9,5 juta penduduk.[13] Hal ini terjadi karena pendapatan penduduk yang sangat terbatas. Sehingga untuk membuat dapur rumah tetap mengepul, maka para petani ”memproduksi” anak agar nantinya dapat membantu perekonomian keluarga. Selain itu menurut Geertz, pembengkakan penduduk ini disebabkan oleh pendeknya siklus kesuburan ibu-ibu petani dan disisi lain mereka juga keluar dari tugasnya dirumah untuk membantu suami mendapatkan upah di sawah.
Van den Bosch merasa bahwa dengan Sistem Tanam Paksa, setiap pihak akan mendapatkan keuntungan yang sama. Meskipun sistem ini didasarkan pada suatu pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan (sukarela). Akan tetapi dalam prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan akhirnya terjadi penyelewengan dimana-mana.[1]
Dalam hal perekonomian pertanian, terjadi banyak penyelewengan dalam pembagian tanah untuk penanaman tanaman ekspor. Mereka tidak lagi menanam tanaman pangan tetapi hanya tanaman ekspor. Dengan fenomena seperti ini maka banyak terjadi intensifikasi pertanian tetapi tidak didukung oleh tekhnologi yang modern. Tanah garapan untuk penanaman tanaman pokok semakin sedikit, dan waktu pengerjaannya terbatas sehingga pada tahun 1840 terjadi bencana kelaparan di daerah Demak, Grobogan dan beberapa wilayah Cirebon.
 
KESIMPULAN 
Tanaman berskala ekspor banyak ditanam di wilayah Pulau Jawa, sedangkan dalam penanamannya pun dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan membutuhkan perawatan yang ekstra, sehingga dalam pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja yang besar. Akan tetapi dalam kenyataannya, pembayaran sering terlambat akibat uang hanya berhenti pada tingkat hierarki tradisional. Petani tak lagi mendapat pendapatan yang tetap dan sedikit sekali. Hal ini membuat banyak petani-petani pergi keluar desanya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak seperti bekerja di pabrik-pabrik.
Suatu fenomena yang mencengangkan pada masa ini adalah meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa pada paroh abad ke XIX. Hal ini terjadi karena pendapatan penduduk yang sangat terbatas. Sehingga untuk membuat dapur rumah tetap mengepul, maka para petani ”memproduksi” anak agar nantinya dapat membantu perekonomian keluarga.
Pada kenyataannya sistem yang digunakan ini tidak memberikan manfaat yang berarti bagi perekonomian desa. Bahkan merusak tatanan struktur mulai dari administrasi, ekonomi dan sebagainya. Banyak orang yang berpindah dari desa ke kota dengan harapan penghidupan yang layak tetapi nantinya hanya akan membuat kantong-kantong kemiskinan baru di perkotaan. Selain itu juga terjadi wabah kelaparan di beberapa wilayah di Jawa akibat minimnya penanaman tanaman pokok dan sebagainya. Akan tetapi disatu sisi kita melihat bagaimana uang dapat menjadi alat tukar di pedesaan. Selain itu penduduk pribumi juga bisa mengenali jenis-jenis tanaman ekspor.


[1] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), : 261.

[1] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), : 260.

[2] Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 1: Batas – batas Pembaratan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), : 75.

[3] W. F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), : 44.
[4] Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2008), : 325.

[5] J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), : 127.
[6] M. C. Ricklefs, op.cit., : 261.

[7] Bernard H.M Vlekke, op.cit.

[8] Nama lain dari “sersan kopi”. Mereka pada masa Kompeni bertugas untuk mengontrol produksi dan penyerahan wajib tanaman kopi di daerah Priangan.

[9]  M. C. Ricklefs, loc.cit., : 262.
[10] J.S Furnivall, op.cit., : 146.

[11] Lahan pertanian yang terbatas di pedesaan tetapi dikerjakan oleh banyak tenaga kerja, cepat atau lambat akan terjadi suatu pemiskinan bersama.

[12] Fotokopi materi Sejarah Ekonomi Indonesia. Penulis Robert van Niel dengan judul “Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Indonesia”.

[13] J.S Furnivall, op.cit.

[1] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), : 93.
[2] Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2008), : 319.

[3] Ibid, : 323.

[4] Cultuurstelsel  atau ”Sistem Budi Daya”, oleh Orang Indonesia diingat sebagai ”Sistem Tanam Paksa.
[5]  J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), : 126.

[6] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), : 261.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman