PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Inti Permasalahan
Penulisan sejarah dengan basis
disiplin ilmu ekonomi di Indonesia bagi sebagian sejarawan masih merupakan
sesuatu yang asing, meskipun sejarah ekonomi telah banyak diajarkan di Universitas-universitas
di Indonesia. Meskipun sejarah ekonomi telah lama ditulis orang jauh
sebelumnya, di Barat sendiri sejarah ekonomi baru mendapat tempat pada tahun
1910-an.[1]
Sejarah
ekonomi adalah sejarah yang mempelajari manusia sebagai pelaku ekonomi yang
menggunakan faktor-faktor ekonomi untuk mendapatkan kesejahteraan, sepanjang
manusia menggunakan faktor ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan baik pada tingkat
desa hingga kota maka dapat digolongkan dalam sejarah ekonomi. Salah satunya
ialah sejarah ekonomi yang mengangkat tema tentang perubahan-perubahan di desa
Jawa pada masa Tanam Paksa.
Periode pemerintahan Van der Capellen
di Hindia Timur sangat tidak memuaskan Pemerintah di Belanda. Produksi tanaman
ekspor mengalami penyusutan yang berarti, kebijakan kepemilikan tanah yang
gagal dan kebijakan reaksioner Van der Capellen yang berakibat sangat buruk.
Selain itu permasalahan ditambah lagi akibat Pemerintah Hindia Belanda yang
sibuk mengurusi urusan dalam negeri Vorstenlanden yang akhirnya menyeret Pemerintah
Hindia Belanda jatuh kedalam perang Jawa yang dikobarkan oleh Dipanegara,
seorang pangeran dari Yogyakarta. Hal ini membuat kas di Hindia Belanda kosong
melompong dan disatu sisi tidak ada pemasukan sama sekali. Pengeluarannya
sendiri mencapai 24 juta gulden setahun, melebihi pengeluaran di Negeri
Belanda.[2]
Negeri Belanda pun juga tak bisa
berbuat banyak untuk membantu perekonomian koloninya ini, kas Negeri Belanda
pun juga kosong sedangkan utang semakin membengkak sebab mereka juga sedang
menghadapi pemberontakan yang dilakukan bangsa Belgia yang menginginkan
kemerdekaan. Perang di wilayah ini pun berlangsung selama 9 tahun.
Van
den Bosch bukanlah orang yang baru dalam mengenal Hindia Belanda. Dirinya
pernah datang kesini pada masa Daendles dan diusir oleh Jenderal Guntur itu
karena perbedaan paham. Kemudian ia dikirim ke Hindia Barat oleh raja Belanda
(pasca perang Belanda-Belgia) untuk menjalankan misi khusus. Sepulangnya dari
sana, dirinya mendapatkan perintah untuk mengorganisasi struktur ekonomi di
Hindia Timur atau Hindia Belanda.[3]
Van
den Bosch tidak pernah percaya pada pandangan Hogendorp bahwa petani Jawa
terlalu malas untuk mengejar keuntungannya sendiri. Dirinya yakin bahwa orang
pribumi hanya butuh bantuan untuk memberikan pengetahuan dalam mencapai
keuntungan dalam kemajuan ekonomi. Mereka harus dibimbing oleh penguasa untuk
bekerja, apabila tidak mau mereka harus dipaksa untuk bekerja. Oleh karena itu
pemerintah berkewajiban ”mengorganisasikan pertanian Jawa untuk mengangkatnya
lebih unggul. Inilah pemikiran awal Van den Bosch tentang cultuurstelsel.
Ketika
Van den Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830, pemikiran Van den Bosch tentang
cultuurstelsel[4]
sebenarnya tidak pernah dirumuskan secara tertulis, tetapi tampaknya sistem ini
didasarkan pada suatu prinsip umum yang sangat sederhana. Menurutnya, desa-desa
di Jawa berutang pajak tanah pada pemerintah sebesar 40% dari hasil panen utama
desa-desa itu. Rencana Van den Bosch ialah bahwa desa-desa harus menyisihkan
seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor (nila, tembakau, kopi dan tebu).
Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai harga yang
sudah ditentukan. Dengan seperti ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak
dalam bentuk uang, tapi cukup dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun
apabila pajaknya telah tercukupi, maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan
apabila tidak terjadi surplus dan pajak tanah belum mencukupi, maka
kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja di ladang.[5]
Dalam
teorinya juga, setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Lebih
dari 100.000 orang bekerja untuk pemerintah. Dengan cara demikian orang Jawa
dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dari sebelumnya dengan jumlah
pekerjaan yang sama atau berpenghasilan sama dengan kerja lebih sedikit. Desa
akan tetap memiliki tanah yang lebih luas dalam pengerjaannya, dan mendapatkan
penghasilan dalam bentuk tunai. Disisi lain pemerintah mendapatkan tanaman
ekspor yang murah harganya.[6]
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka akan muncul inti atau pokok permasalahan dan inti
pertanyaan penelitian, yaitu Dalam hal apakah dan sejauh manakah dapat
dikatakan terjadi perubahan penting di pedesaan Jawa pada masa Tanam Paksa?
A. Sistem
Tanam Paksa: Sebuah Teori
Ketika Van den Bosch mendarat di Jawa pada tahun 1830,
pemikiran Van den Bosch tentang cultuurstelsel sebenarnya tidak pernah
dirumuskan secara tertulis, tetapi tampaknya sistem ini didasarkan pada suatu
prinsip umum yang sangat sederhana. Menurutnya, desa-desa di Jawa berutang
pajak tanah pada pemerintah sebesar 40% dari hasil panen utama desa-desa itu.
Rencana Van den Bosch ialah bahwa desa-desa harus menyisihkan seperlima
tanahnya untuk ditanami tanaman ekspor (nila, tembakau, kopi dan tebu)[1] dan seperlima dari waktu kerja para petani dewasa.[2] Pada intinya, sistem baru yang diperkenalkan ini secara
parsial menggantikan sistem pajak tanah yang dikenalkan Raffles, meskipun pada
prakteknya dua sistem ini selalu digabungkan.[3] Sang
Gubernur Jenderal mengklaim bahwa alih- mengambil duaperlima hasil panen dalam
bentuk uang. Tanaman ekspor ini dijual kepada pemerintah Hindia Belanda sesuai
harga yang sudah ditentukan.
Dengan seperti ini, desa tidak perlu lagi membayar pajak
tanah dalam bentuk uang, tapi cukup dengan hasil panen. Surplus tanaman apapun
apabila pajaknya telah tercukupi, maka akan diambil desa sendiri. Sedangkan
apabila tidak terjadi surplus dan pajak tanah belum mencukupi, maka
kekurangannya dapat diganti dengan jam kerja di ladang atau menggunakan sumber
pendapatan lainnya. Akan tetapi pemerintah dapat meminta tenaga kerja dari
penduduk desa untuk menjadi pekerja pabrik dimana hasil panennya diolah.[4]
Van den Bosch merasa bahwa dengan sistem seperti ini,
setiap pihak akan mendapatkan keuntungan. Desa akan memiliki tanah yang lebih
luas untuk digunakan sendiri, selain itu desa akan mendapatkan penghasilan yang
sifatnya tetap dalam bentuk uang tunai. Selain itu dirinya mengklaim dapat
mempekerjakan lebih dari 100.000 orang sehingga orang Jawa mendapatkan gaji
yang lebih besar daripada sebelumnya dengan jumlah pekerjaan yang sama atau
mendapatkan gaji yang sama tetapi dengan jumlah pekerjaan yang lebih sedikit.
Di lain pihak, pemerintah juga diuntungkan dengan harga panen tanaman ekspor
yang sangat murah dan meningkatkan pendapatan armada pengangkutan jalur laut
Negeri Belanda NHM. Semua kesepakatan mengenai sawah ladang, tenaga kerja, dan
pengiriman dibuat berdasarkan kontrak bebas antara pejabat pemerintah dan
kepala desa. Van den Bosch juga mengklaim bahwa dalam waktu kurang dari 4 tahun
wilayah koloni Hindia Belanda akan tentram, menutup dan mengisi kekosongan kas
negara dan wilayah koloni, meningkatkan produksi tanaman ekspor dan
memaksimalkan pendayagunaan tanah dan meningkatkan perdagangan.[5]
B.
Pelaksanaan, Penyelewengan dan Dampak Sistem Tanam Paksa
Cultuurstelsel mulai
direalisasikan, pemerintah memerintahkan semua pejabatnya (orang Eropa dan
bangsawan pribumi) untuk mempromosikan kebijakan pemerintah dalam bidang
pertanian tersebut, tapi tanpa menuntut suatu yang berlebihan. Meskipun sistem
ini didasarkan pada suatu pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan
(sukarela). Akan tetapi dalam prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan
akhirnya terjadi penyelewengan dimana-mana[6], seolah
Jawa merupakan perkebunan besar milik pemerintah dan patut dieksploitasi.[7] Teori
Van den Bosch tentang keuntungan semua pihak berubah menjadi suatu peristiwa
pemerasan berskala besar.
Untuk pertama
kalinya dalam sejarah kolonialisme di Nusantara, sistem administrasi di Jawa
memasukkan orang Eropa pada struktur pemerintahan desa, hal ini disebabkan
kebijakan baru dari Negeri Belanda. Mereka ini lazim disebut opziener[8] atau
”pengontrol” pada masa Sistem Tanam Paksa berlangsung. Mereka bekerjasama
dengan para bupati dalam mengerahkan tenaga kerja lokal. Selain itu tugas
mereka mengurusi pertanian pemerintah dan juga mengawasi administrasi para
bupati dan bawahan-bawahannya. Para pengontrol ini berhak menghadiri pertemuan
bulanan yang dilakukan bupati sampai kepala desa. Hal ini memperlihatkan betapa
jauhnya peran pemerintah kolonial dalam struktur tradisional pedesaan, terlihat
dari kehadiran para pejabat kolonial dan menunjukkan kepada rakyat Jawa biasa
bahwa kehidupan sehari-hari mereka digerakkan oleh pemerintah kolonial di
Batavia.[9]
Sedangkan para bupati diperkuat kedudukannya untuk mengembalikan peran para
bupati dan bawahannya agar dihargai oleh para penduduknya.
Dalam hal
perekonomian pertanian, terjadi banyak penyelewengan dalam pembagian tanah
untuk penanaman tanaman ekspor. Di beberapa desa, pengambilan tanah bisa
mencapai sepertiga dari luas tanah yang seharusnya hanya seperlima saja. Bahkan
di sebuah desa pengambilan tanah bisa mencapai separuh tanah garapan dengan
alasan untuk irigasi.[10] Hal ini
membuat banyak petani yang kehilangan lahan garapannya. Mereka tidak lagi
menanam tanaman pangan tetapi hanya tanaman ekspor. Dengan fenomena seperti ini
maka banyak terjadi intensifikasi pertanian[11] tetapi
tidak didukung oleh tekhnologi yang modern. Pemerintah seolah-olah atau bahkan
tidak sama sekali memikirkan kesejahteraan petani yang ada di pedesaan. Ketika
masa panen tebu selesai, tanah tidak dibersihkan oleh penggarap sehingga petani
harus menanam membersihkan dahulu sebelum ditanami padi. Hal ini membuat masa
penanaman padi lebih pendek dan varietasnya menurun drastis. Sehingga berdampak
pada kelaparan di beberapa daerah, seperti Demak, beberapa wilayah di Cirebon,
dan Grobogan.
Tanaman berskala
ekspor banyak ditanam di wilayah Pulau Jawa, sedangkan dalam penanamannya pun
dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan membutuhkan perawatan yang ekstra,
sehingga dalam pengerjaannya membutuhkan tenaga kerja yang besar. Para kepala
desa berperan disini untuk mencari pekerja yang murah. Petani-petani seolah
dipaksa menanam tanaman ekspor ini dengan alih-alih ”membantu” perekonomian
desa. Para kepala desa memberikan uang muka kepada petani agar mereka mau
bekerja untuk pemerintah.[12] Akan
tetapi dalam kenyataannya, pembayaran sering terlambat akibat uang hanya
berhenti pada tingkat hierarki tradisional. Petani tak lagi mendapat pendapatan
yang tetap dan sedikit sekali. Hal ini membuat banyak petani-petani pergi
keluar desanya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih layak seperti bekerja
di pabrik-pabrik.
Suatu fenomena
yang mencengangkan pada masa ini adalah meningkatnya jumlah penduduk di Pulau
Jawa pada paroh abad ke XIX. Populasi meningkat dari 6 juta menjadi 9,5 juta
penduduk.[13]
Hal ini terjadi karena pendapatan penduduk yang sangat terbatas. Sehingga untuk
membuat dapur rumah tetap mengepul, maka para petani ”memproduksi” anak agar
nantinya dapat membantu perekonomian keluarga. Selain itu menurut Geertz,
pembengkakan penduduk ini disebabkan oleh pendeknya siklus kesuburan ibu-ibu
petani dan disisi lain mereka juga keluar dari tugasnya dirumah untuk membantu
suami mendapatkan upah di sawah.
Van den Bosch merasa bahwa dengan Sistem Tanam Paksa,
setiap pihak akan mendapatkan keuntungan yang sama. Meskipun sistem ini
didasarkan pada suatu pemaksaan kerja tetapi tidak ada unsur penindasan
(sukarela). Akan tetapi dalam prakteknya teori ini tidak pernah dijalankan dan
akhirnya terjadi penyelewengan dimana-mana.[1]
Dalam hal perekonomian pertanian, terjadi banyak
penyelewengan dalam pembagian tanah untuk penanaman tanaman ekspor. Mereka
tidak lagi menanam tanaman pangan tetapi hanya tanaman ekspor. Dengan fenomena
seperti ini maka banyak terjadi intensifikasi pertanian tetapi tidak didukung
oleh tekhnologi yang modern. Tanah garapan untuk penanaman tanaman pokok
semakin sedikit, dan waktu pengerjaannya terbatas sehingga pada tahun 1840
terjadi bencana kelaparan di daerah Demak, Grobogan dan beberapa wilayah
Cirebon.
KESIMPULAN
Tanaman berskala ekspor banyak ditanam di wilayah Pulau
Jawa, sedangkan dalam penanamannya pun dibutuhkan waktu yang tidak sedikit dan
membutuhkan perawatan yang ekstra, sehingga dalam pengerjaannya membutuhkan
tenaga kerja yang besar. Akan tetapi dalam kenyataannya, pembayaran sering
terlambat akibat uang hanya berhenti pada tingkat hierarki tradisional. Petani
tak lagi mendapat pendapatan yang tetap dan sedikit sekali. Hal ini membuat
banyak petani-petani pergi keluar desanya untuk mendapatkan penghasilan yang
lebih layak seperti bekerja di pabrik-pabrik.
Suatu fenomena yang mencengangkan pada masa ini adalah
meningkatnya jumlah penduduk di Pulau Jawa pada paroh abad ke XIX. Hal ini
terjadi karena pendapatan penduduk yang sangat terbatas. Sehingga untuk membuat
dapur rumah tetap mengepul, maka para petani ”memproduksi” anak agar nantinya
dapat membantu perekonomian keluarga.
Pada kenyataannya sistem yang digunakan ini tidak
memberikan manfaat yang berarti bagi perekonomian desa. Bahkan merusak tatanan
struktur mulai dari administrasi, ekonomi dan sebagainya. Banyak orang yang
berpindah dari desa ke kota dengan harapan penghidupan yang layak tetapi
nantinya hanya akan membuat kantong-kantong kemiskinan baru di perkotaan.
Selain itu juga terjadi wabah kelaparan di beberapa wilayah di Jawa akibat minimnya
penanaman tanaman pokok dan sebagainya. Akan tetapi disatu sisi kita melihat
bagaimana uang dapat menjadi alat tukar di pedesaan. Selain itu penduduk
pribumi juga bisa mengenali jenis-jenis tanaman ekspor.
[1] M. C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern:
1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), : 260.
[2] Denys
Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian
1: Batas – batas Pembaratan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), :
75.
[3] W. F.
Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam
Transisi: Studi Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), : 44.
[4] Bernard H.M
Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia,
(Jakarta: Freedom Institute, 2008), : 325.
[5] J.S
Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang
Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009), : 127.
[6] M. C.
Ricklefs, op.cit., : 261.
[7] Bernard H.M
Vlekke, op.cit.
[8] Nama lain
dari “sersan kopi”. Mereka pada masa Kompeni bertugas untuk mengontrol produksi
dan penyerahan wajib tanaman kopi di daerah Priangan.
[10] J.S
Furnivall, op.cit., : 146.
[11]
Lahan
pertanian yang terbatas di pedesaan tetapi dikerjakan oleh banyak tenaga kerja,
cepat atau lambat akan terjadi suatu pemiskinan bersama.
[12] Fotokopi
materi Sejarah Ekonomi Indonesia. Penulis Robert van Niel dengan judul “Warisan
Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Indonesia”.
[13] J.S
Furnivall, op.cit.
[2]
Bernard
H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia,
(Jakarta: Freedom Institute, 2008), : 319.
[4] Cultuurstelsel atau ”Sistem Budi
Daya”, oleh Orang Indonesia diingat sebagai ”Sistem Tanam Paksa.
[5] J.S Furnivall, Hindia
Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009),
: 126.
[6] M. C.
Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern:
1200-2008, (Jakarta: Serambi, 2008), : 261.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar