Kamis, 19 Januari 2012

Dari Priyayi ke Pegawai Negeri: Sebuah Narasi Sejarah tentang Kemapanan di Indonesia


Semua bangsa yang telah atau sedang mengalami masa transisi pastilah mengalami perubahan sosial dalam masyarakatnya, yang dipengaruhi oleh beberapa gejala dan masalah-masalah berupa perubahan politik, kebudayaan, ekonomi maupun geografisnya. Salah satu gejala atau masalah yang sedang dialami masyarakat Indonesia pada masa ini adalah terjadinya mobilitas sosial yang luar biasa dalam perubahan kedudukan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peranan dan kekuasaan yang nantinya juga ikut menentukan arah dan gerak perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, kita dapat mengamati dan melihat seberapa jauh kekuatan-kekuatan sosial berperan dalam menciptakan golongan-golongan sosial seperti elite, maupun peran elite dalam menjalankan transformasi masyarakatnya menjadi bangsa yang modern.
Apabila kita melihat beberapa tahun lalu, terjadi hal menarik yang berkembang di masyarakat. Terdapat anggapan atau kepercayaan bahwa pada tahun 2014 terjadi pensiunan pegawai negeri secara besar-besaran. Para orang tua mendorong anaknya untuk menjadi pegawai negeri daripada bekerja di sector swasta atau mengembangkan usaha sendiri, karena mereka menganggap orang yang kerjanya bukan sebagai pegawai negeri dianggap rendah derajatnya dan tidak akan sejahtera.Hal ini membuat para lulusan sekolah tingkat atas pada waktu itu mendaftar di perguruan tinggi keguruan. Berbagai jurusan menjadi favorit bagi mahasiswa baru. Mahasiswa yang baru menyelesaikan studinya pun berusaha mendaftar tes calon pegawai. Seperti iseng-iseng berhadiah, setiap tahun tes ini kebanjiran pendaftar meskipun jumlah pendaftar yang lolos sangat terbatas. Jumlah orang yang berstatus pegawai negeri pun akhirnya tak terkendali. Kemudian muncullah isu-isu bahwa banyak pegawai negeri yang tidak menjalankan tugas semestinya, seperti berbelanja di supermarket pada saat jam kerja dengan dalih telah izin kepada atasan, juga ketika pegawai itu mengabdi di bidang pendidikan dengan dalih telah menjadi pegawai negeri, “tugas’nya seolah telah selesai untuk memberikan sumbangan ilmu yang terbaik bagi anak didiknya. Hal inilah yang akhirnya menjadi raport merah bagi Pemerintah, terutama Kementrian Dalam Negeri. Pemerintah pun kewalahan akan isu ini dan semua akhirnya berujung pada moratorium Presiden tentang pembatasan jumlah penerimaan pegawai negeri.
Dari kasus ini kita dapat melihat betapa kuatnya minat masyarakat terhadap hal-hal yang berbau kemapanan. Masyarakat seolah terhipnotis iming-iming dengan adanya gaji tetap dan jaminan di hari tua. dibanding  mengembangkan usaha sendiri/enterpreneurship. Hal ini biasa disebut popular art dimana gejala ini termasuk juga ke dalam representation collectives atau collective conciousness, menurut sosiolog Emile Durkheim. Konsepsi-konsepsi yang berkembang di masyarakat muncul bukan disebabkan oleh fakta individual tetapi sebuah persoalan sosiologis yang akhirnya membentuk fakta sosial, seperti mitos, legenda populer, kepercayaan moral dan sebagainya. Oleh karena itu, dari konsep-konsep inilah berkembang fakta sosial yang mendarah daging dalam memori masyarakat Indonesia.
Hal ini sangat menarik jika kita menarik benang merah jauh ke belakang. Pada masa kerajaan Mataram Islam. Wilayah kerajaan dibagi menjadi beberapa wilayah, yaitu Kuthagara atau Nagara, Nagaragung atau Nagara Agung, Mancanegara, Pesisiran (daerah peri-peri, jika kita memakai istilah Marxis). Kuthagara adalah pusat pemerintahan yang didiami raja. Raja merupakan puncak dari hierarki pemerintahan yang langsung menguasai dan memerintah langsung bangsawan-bangsawan, pembesar dan abdi-abdinya. Seorang raja, betapapun absolut pemerintahannya tetap saja tidak dapat memerintah wilayahnya sendiri dan sangat bergantung pada apa yang sekarang kita kenal dengan istilah alat negara atau birokrasi. Meskipun istilah birokrasi sebenarnya tidak dapat dipakai dalam sistem kerajaan tradisional karena fungsinya yang sangat sederhana. Akan tetapi dalam batasan tertentu kita dapat menggunakannya dalam konteks elit politik atau elit penguasa. Negaragung sendiri diperintah oleh anak-keturunan raja atau penguasa asli yang berada di wilayah itu, yang masa lalu sengaja ditempatkan oleh raja Mataram. Sedangkan wilayah Mancanegara dan Pesisiran dikuasai oleh Bupati-bupati. Para bupati ini disebut juga raja-raja kecil karena ia dapat memerintah langsung wilayah kekuasaannya, mulai dari pembangunan fasilitas-fasilitas tertentu, pengumpulan pajak dan upeti hingga pengerahan tenaga kerja.
Menurut Soemarsaid Moertono dalam bukunya Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa pada Masa Mataram Akhir menegaskan bahwa para bangsawan maupun pembesar-pembesar kerajaan inilah yang biasa disebut golongan priyayi. Kaum priyayi adalah sekelompok kecil yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk membantu memerintah rakyat. Mereka menggunakan asas keturunan dalam menyerahkan status kepemimpinannya. Hal ini ditujukan untuk melanggengkan posisi para priyayi atau bangsawan ini. Namun, yang menjadi patokan penting masuknya seseorang ke dalam kelas priyayi ditentukan oleh seberapa dekat hubungan darah dengan seorang penjabat kerajaan dan kedudukan dalam “dinas” kerajaan. Seorang keturunan priyayi bila tidak memiliki jabatan, tidak dapat disebut priyayi. Sebaliknya seorang anak petani yang mendapat jabatan kecil dan memiliki plungguh dan cacah, tergolong priyayi. Maka tidak heran apabila beberapa keluarga priyayi dalam dua atau tiga generasi tidak memegang jabatan dapat jatuh miskin dan menjadi petani biasa.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan Leslie H. Palmier, yang menyatakan bahwa pada masa itu, priyayi dapat dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu priyayi luhur dan priyayi kecil. Batasnya memang kabur, akan tetapi masih bisa dibedakan. Priyayi luhur adalah priyayi yang sebenarnya, hal ini dapat dilihat dari jabatan ayahnya, asal keturunan orang tua dan istrinya. Priyayi luhur pada khususnya memang memiliki nilai-nilai kultural tersendiri yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Sedangkan priyayi kecil ialah priyayi yang berasal dari rakyat kebanyakan. Mereka tidak harus dan tidak tentu keturunan bupati/bangsawan. Jalan menjadi priyayi pun tidak mudah bagi masyarakat kebanyakan. Kepriyayiannya didapat dari jasa dan kesetiannya pada penguasa. Mereka harus melalui ngawula, suwita, ngenger dan magang, artinya mereka harus mengabdikan diri pada seorang priyayi atau seorang pejabat kerajaan. Setelah beberapa tahun ngenger dan dianggap baik, seseorang yang ngenger itu oleh majikannya dimagangkan di kantornya. Dengan jalan itu, maka terbukalah jalan menjadi seorang priyayi.
Para priyayi dapat dikatakan bangsawan feodal dan tempat kedudukannya diluar komunitas desa. Meskipun bahasa sehari-hari menyamakan priyayi dengan pegawai negeri, tetapi sebenarnya tidak semua pegawai negeri itu priyayi. Hal ini dikarenakan tugasnya yang masih sangat sederhana, seperti penghubung antara raja dan rakyat di daerah, mengumpulkan tenaga kerja, mengumpulkan pajak dan memobilisasi rakyat demi kepentingan kerajaan, maka posisi priyayi pada masa ini lebih tepat disebut elit penguasa daripada birokrasi.
Pada masa kolonialisme pun juga dapat terlihat bagaimana pemerintah Belanda berusaha menciptakan kemapanan bagi pribumi dan menjauhkan dari jiwa wirausaha. Pemerintah kolonial pasca politik Etis mendirikan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi. Tujuan awalnya jelas, yaitu untuk mencerdaskan pribumi/bangsa inlander ini. Akan tetapi tetap saja kenyataannya berbeda, pemerintah berusaha menciptakan pekerja-pekerja kantoran/ambtenaar yang dapat dibayar murah. Mereka dijadikan budak-budak perkantoran yang menggantikan posisi orang-orang Eropa, tetapi tetap saja posisinya tidaklah begitu penting karena cuma sebagai tukang hitung, juru tulis, juru uang, dsb. Mungkin disini akan muncul pertanyaan, mengapa pribumi tidak mengembangkan saja bakat entrepreneurshipnya? Karena zaman dahulu kita sudah menjadi bagian dari perdagangan global? Ya benar, kita tahu bahwa pada abad 16-17 adalah masa dimana terjadi booming perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara (menurut Anthony Reid). Dimana tidak lagi terdapat kekuatan besar (Majapahit) yang menguasai wilayah Asia Tenggara dan menyisakan kekuatan-kekuatan lokal yang bebas dan merdeka dalam melakukan segala hal, salah satunya perdagangan. Akan tetapi setelah kedatangan VOC di Nusantara dan akhirnya mereka menetap, secara drastis jiwa entrepreneurs kita hilang secara perlahan-lahan. Bagaimana tidak, pedagangan bebas yang dilakukan sebelumnya harus diganti dengan perdagangan yang sifatnya monopsoni, yaitu kepada VOC saja, kita dilarang berjualan dengan orang lain. Hal ini semakin diperparah ketika VOC “mengimpor” orang-orang Timur asing ke Nusantara, mereka memposisikan dirinya sebagai perantara bagi VOC dan pribumi, kita seolah dianggap sebagai produsen semata. Semua ini berlanjut hingga masa Sistem Tanam Paksa hingga Liberalisme, pribumi malah seperti buruh/pekerja, pada masa ini banyak industri-industri rumahan yang hancur. Hal inilah yang menghalangi dan akhirnya mematikan jiwa wirausahawan kita, sehingga akhirnya kita seolah “dipaksa” mengisi segmen pegawai setelah pasca politik Etis.
Pada tiga contoh peristiwa diatas terlihat bagaimana “jiwa kemapanan” yang sekarang ada dapat ditelusuri jauh ke belakang. Jiwa kemapanan itu secara tidak sengaja atau bahkan disengaja muncul ke dalam memori kolektif kita. Suatu perjalanan panjang sejarah yang patut kita renungkan. Tidak ada salahnya kita menjadi mapan dalam konteks hidup, tetapi tidak perlu sampai men-judge bahwa menjadi seorang pegawai negeri atau bagian dari birokrat akan menyejahterakan hidup kita. Banyak hal yang perlu dilakukan oleh kita, salah satunya dengan mengasah dan menumbuhkan jiwa wirausaha/entrepreneurs yang akhirnya menciptakan lapangan-lapangan kerja baru bagi masyarakat luas. Setiap orang pasti menginginkan yang terbaik dalam hidupnya, namun ketika melihat jumlah yang masif dalam kasus pegawai negeri,  terlihat begitu naïf bila seolah kita tidak membenarkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman