Semua
bangsa yang telah atau sedang mengalami masa transisi pastilah mengalami
perubahan sosial dalam masyarakatnya, yang dipengaruhi oleh beberapa gejala dan
masalah-masalah berupa perubahan politik, kebudayaan, ekonomi maupun
geografisnya. Salah satu gejala atau masalah yang sedang dialami masyarakat
Indonesia pada masa ini adalah terjadinya mobilitas sosial yang luar biasa
dalam perubahan kedudukan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peranan dan
kekuasaan yang nantinya juga ikut menentukan arah dan gerak perubahan itu
sendiri. Oleh karena itu, kita dapat mengamati dan melihat seberapa jauh
kekuatan-kekuatan sosial berperan dalam menciptakan golongan-golongan sosial
seperti elite, maupun peran elite dalam menjalankan transformasi masyarakatnya
menjadi bangsa yang modern.
Apabila
kita melihat beberapa tahun lalu, terjadi hal menarik yang berkembang di
masyarakat. Terdapat anggapan atau kepercayaan bahwa pada tahun 2014 terjadi
pensiunan pegawai negeri secara besar-besaran. Para orang tua mendorong anaknya
untuk menjadi pegawai negeri daripada bekerja di sector swasta atau mengembangkan
usaha sendiri, karena mereka menganggap orang yang kerjanya bukan sebagai
pegawai negeri dianggap rendah derajatnya dan tidak akan sejahtera.Hal ini
membuat para lulusan sekolah tingkat atas pada waktu itu mendaftar di perguruan
tinggi keguruan. Berbagai jurusan menjadi favorit bagi mahasiswa baru. Mahasiswa
yang baru menyelesaikan studinya pun berusaha mendaftar tes calon pegawai.
Seperti iseng-iseng berhadiah, setiap tahun tes ini kebanjiran pendaftar
meskipun jumlah pendaftar yang lolos sangat terbatas. Jumlah orang yang
berstatus pegawai negeri pun akhirnya tak terkendali. Kemudian muncullah isu-isu
bahwa banyak pegawai negeri yang tidak menjalankan tugas semestinya, seperti
berbelanja di supermarket pada saat jam kerja dengan dalih telah izin kepada
atasan, juga ketika pegawai itu mengabdi di bidang pendidikan dengan dalih
telah menjadi pegawai negeri, “tugas’nya seolah telah selesai untuk memberikan
sumbangan ilmu yang terbaik bagi anak didiknya. Hal inilah yang akhirnya menjadi
raport merah bagi Pemerintah, terutama Kementrian Dalam Negeri. Pemerintah pun
kewalahan akan isu ini dan semua akhirnya berujung pada moratorium Presiden
tentang pembatasan jumlah penerimaan pegawai negeri.
Dari
kasus ini kita dapat melihat betapa kuatnya minat masyarakat terhadap hal-hal
yang berbau kemapanan. Masyarakat seolah terhipnotis iming-iming dengan adanya
gaji tetap dan jaminan di hari tua. dibanding
mengembangkan usaha sendiri/enterpreneurship.
Hal ini biasa disebut popular art
dimana gejala ini termasuk juga ke dalam representation
collectives atau collective conciousness,
menurut sosiolog Emile Durkheim. Konsepsi-konsepsi yang berkembang di
masyarakat muncul bukan disebabkan oleh fakta individual tetapi sebuah
persoalan sosiologis yang akhirnya membentuk fakta sosial, seperti mitos,
legenda populer, kepercayaan moral dan sebagainya. Oleh karena itu, dari
konsep-konsep inilah berkembang fakta sosial yang mendarah daging dalam memori
masyarakat Indonesia.
Hal
ini sangat menarik jika kita menarik benang merah jauh ke belakang. Pada masa
kerajaan Mataram Islam. Wilayah kerajaan dibagi menjadi beberapa wilayah, yaitu
Kuthagara atau Nagara, Nagaragung atau Nagara Agung, Mancanegara, Pesisiran (daerah
peri-peri, jika kita memakai istilah Marxis). Kuthagara adalah pusat pemerintahan yang didiami raja. Raja
merupakan puncak dari hierarki pemerintahan yang langsung menguasai dan
memerintah langsung bangsawan-bangsawan, pembesar dan abdi-abdinya. Seorang
raja, betapapun absolut pemerintahannya tetap saja tidak dapat memerintah
wilayahnya sendiri dan sangat bergantung pada apa yang sekarang kita kenal
dengan istilah alat negara atau birokrasi. Meskipun istilah birokrasi
sebenarnya tidak dapat dipakai dalam sistem kerajaan tradisional karena
fungsinya yang sangat sederhana. Akan tetapi dalam batasan tertentu kita dapat
menggunakannya dalam konteks elit politik atau elit penguasa. Negaragung sendiri diperintah oleh
anak-keturunan raja atau penguasa asli yang berada di wilayah itu, yang masa
lalu sengaja ditempatkan oleh raja Mataram. Sedangkan wilayah Mancanegara dan Pesisiran dikuasai oleh Bupati-bupati. Para bupati ini disebut juga
raja-raja kecil karena ia dapat memerintah langsung wilayah kekuasaannya, mulai
dari pembangunan fasilitas-fasilitas tertentu, pengumpulan pajak dan upeti
hingga pengerahan tenaga kerja.
Menurut
Soemarsaid Moertono dalam bukunya Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa pada
Masa Mataram Akhir menegaskan bahwa para bangsawan maupun pembesar-pembesar
kerajaan inilah yang biasa disebut golongan priyayi.
Kaum priyayi adalah sekelompok kecil yang diberi jabatan atau mendapat mandat
dari raja untuk membantu memerintah rakyat. Mereka menggunakan asas keturunan
dalam menyerahkan status kepemimpinannya. Hal ini ditujukan untuk melanggengkan
posisi para priyayi atau bangsawan
ini. Namun, yang menjadi patokan penting masuknya seseorang ke dalam kelas
priyayi ditentukan oleh seberapa dekat hubungan darah dengan seorang penjabat
kerajaan dan kedudukan dalam “dinas” kerajaan. Seorang keturunan priyayi bila
tidak memiliki jabatan, tidak dapat disebut priyayi. Sebaliknya seorang anak
petani yang mendapat jabatan kecil dan memiliki plungguh dan cacah,
tergolong priyayi. Maka tidak heran apabila beberapa keluarga priyayi dalam dua
atau tiga generasi tidak memegang jabatan dapat jatuh miskin dan menjadi petani
biasa.
Hal
ini juga didukung oleh pernyataan Leslie H. Palmier, yang menyatakan bahwa pada
masa itu, priyayi dapat dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu priyayi luhur dan
priyayi kecil. Batasnya memang kabur, akan tetapi masih bisa dibedakan. Priyayi
luhur adalah priyayi yang sebenarnya, hal ini dapat dilihat dari jabatan
ayahnya, asal keturunan orang tua dan istrinya. Priyayi luhur pada khususnya
memang memiliki nilai-nilai kultural tersendiri yang berbeda dengan masyarakat
kebanyakan. Sedangkan priyayi kecil ialah priyayi yang berasal dari rakyat
kebanyakan. Mereka tidak harus dan tidak tentu keturunan bupati/bangsawan. Jalan
menjadi priyayi pun tidak mudah bagi masyarakat kebanyakan. Kepriyayiannya
didapat dari jasa dan kesetiannya pada penguasa. Mereka harus melalui ngawula,
suwita, ngenger dan magang, artinya mereka harus mengabdikan diri pada seorang
priyayi atau seorang pejabat kerajaan. Setelah beberapa tahun ngenger dan
dianggap baik, seseorang yang ngenger itu oleh majikannya dimagangkan di
kantornya. Dengan jalan itu, maka terbukalah jalan menjadi seorang priyayi.
Para
priyayi dapat dikatakan bangsawan feodal dan tempat kedudukannya diluar
komunitas desa. Meskipun bahasa sehari-hari menyamakan priyayi dengan pegawai
negeri, tetapi sebenarnya tidak semua pegawai negeri itu priyayi. Hal ini
dikarenakan tugasnya yang masih sangat sederhana, seperti penghubung antara
raja dan rakyat di daerah, mengumpulkan tenaga kerja, mengumpulkan pajak dan
memobilisasi rakyat demi kepentingan kerajaan, maka posisi priyayi pada masa
ini lebih tepat disebut elit penguasa daripada birokrasi.
Pada
masa kolonialisme pun juga dapat terlihat bagaimana pemerintah Belanda berusaha
menciptakan kemapanan bagi pribumi dan menjauhkan dari jiwa wirausaha. Pemerintah
kolonial pasca politik Etis mendirikan sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi.
Tujuan awalnya jelas, yaitu untuk mencerdaskan pribumi/bangsa inlander ini.
Akan tetapi tetap saja kenyataannya berbeda, pemerintah berusaha menciptakan
pekerja-pekerja kantoran/ambtenaar
yang dapat dibayar murah. Mereka dijadikan budak-budak perkantoran yang
menggantikan posisi orang-orang Eropa, tetapi tetap saja posisinya tidaklah
begitu penting karena cuma sebagai tukang hitung, juru tulis, juru uang, dsb. Mungkin
disini akan muncul pertanyaan, mengapa pribumi tidak mengembangkan saja bakat entrepreneurshipnya? Karena zaman dahulu
kita sudah menjadi bagian dari perdagangan global? Ya benar, kita tahu bahwa
pada abad 16-17 adalah masa dimana terjadi booming
perdagangan internasional di kawasan Asia Tenggara (menurut Anthony Reid).
Dimana tidak lagi terdapat kekuatan besar (Majapahit) yang menguasai wilayah
Asia Tenggara dan menyisakan kekuatan-kekuatan lokal yang bebas dan merdeka
dalam melakukan segala hal, salah satunya perdagangan. Akan tetapi setelah
kedatangan VOC di Nusantara dan akhirnya mereka menetap, secara drastis jiwa entrepreneurs kita hilang secara
perlahan-lahan. Bagaimana tidak, pedagangan bebas yang dilakukan sebelumnya
harus diganti dengan perdagangan yang sifatnya monopsoni, yaitu kepada VOC
saja, kita dilarang berjualan dengan orang lain. Hal ini semakin diperparah
ketika VOC “mengimpor” orang-orang Timur asing ke Nusantara, mereka
memposisikan dirinya sebagai perantara bagi VOC dan pribumi, kita seolah
dianggap sebagai produsen semata. Semua ini berlanjut hingga masa Sistem Tanam
Paksa hingga Liberalisme, pribumi malah seperti buruh/pekerja, pada masa ini
banyak industri-industri rumahan yang hancur. Hal inilah yang menghalangi dan
akhirnya mematikan jiwa wirausahawan kita, sehingga akhirnya kita seolah
“dipaksa” mengisi segmen pegawai setelah pasca politik Etis.
Pada
tiga contoh peristiwa diatas terlihat bagaimana “jiwa kemapanan” yang sekarang
ada dapat ditelusuri jauh ke belakang. Jiwa kemapanan itu secara tidak sengaja
atau bahkan disengaja muncul ke dalam memori kolektif kita. Suatu perjalanan
panjang sejarah yang patut kita renungkan. Tidak ada salahnya kita menjadi
mapan dalam konteks hidup, tetapi tidak perlu sampai men-judge bahwa menjadi seorang pegawai negeri atau bagian dari
birokrat akan menyejahterakan hidup kita. Banyak hal yang perlu dilakukan oleh
kita, salah satunya dengan mengasah dan menumbuhkan jiwa wirausaha/entrepreneurs yang akhirnya menciptakan
lapangan-lapangan kerja baru bagi masyarakat luas. Setiap orang pasti
menginginkan yang terbaik dalam hidupnya, namun ketika melihat jumlah yang masif
dalam kasus pegawai negeri, terlihat
begitu naïf bila seolah kita tidak membenarkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar