http://2.bp.blogspot.com |
Perjalanan
menuju kecamatan Paninggaran membawa cerita tersendiri bagi saya. Dari dalam
bak truk milik pabrik teh Pagilaran, saya melongok ke luar untuk melihat
hamparan pohon karet dan teh. Walaupun jalan berkelak-kelok naik turun, tetapi
udara segar mampu mengusir migrain yang sedari tadi mengganggu. Semakin lama tubuh
saya mulai merasakan perbedaan. Udara sejuk dipadu dengan tetes air dari langit
membuat tubuh terasa dingin, hidung pun sudah mulai gatal dan sedikit perih
karena pengaruh suhu. Saya mencari jaket kuning yang cukup tebal yang masih ada
di dalam tas besar, berharap ini akan mampu menghangatkan tubuh.
Selang
beberapa waktu truk mulai berjalan dengan cukup tenang. Jalan yang tadinya
berkelak–kelok naik turun sekarang sudah mulai datar –datar saja. Saya
melemparkan pandangan ke luar bak truk, plang berwarna putih dan bertuliskan
“Kecamatan Paninggaran” terlihat tidak jauh dari truk kami. Itu menandakan
tidak beberapa lama lagi kami akan segera tiba di tempat tujuan kami,
Paninggaran. Desa Paninggaran ini terletak di sebelah selatan Kota Kabupaten
Pekalongan. Dalam bayangan saya semakin menjauhi kota akan semakin banyak
sawah, hutan, sungai dan akan semakin sedikit permainan ataupun peralatan yang
berbau modern. Tetapi, ternyata saya salah, karena selama perjalanan di antara
hamparan pohon karet dan teh saya masih bisa menemukan warnet, tempat bermain
biliard dan karaoke di sebuah desa menuju kantor kecamatan. Rumah-rumah pun
sudah banyak yang berdinding bagus, bukan lagi dari kayu atau bata merah.
Bahkan rumah berkeramik dan berlantai dua berdiri kokoh tidak jauh dari
pematang hutan.
Tepat
di seberang kantor kecamatan berdiri sebuah pasar yang cukup besar. Banyak
angkutan – angkutan umum mulai dari truk, bis umum, doplak[1],
sampai ojek juga ada. Rata – rata mereka sedang menunggu penumpang dan barang
yang akan dimuat. Tidak jauh dari kantor kecamatan, terdapat sebuah puskesmas
yang bersebelahan dengan kantor polisi.
Di
tengah arus globalisasi yang terus menyusup masuk ke tengah-tengah kehidupan
masyarakat Paninggaran, nuansa-nuansa mistis dan religius tetap terasa kental
dalam kehidupan masyarakat sekitar. Kegiatan-kegiatan keagamaan tetap
dipertahankan oleh masyarakat Paninggaran dari tahun ke tahun. Hal inilah yang
mengusik saya untuk mengetahui lebih jauh mengenai kehidupan masyarakat
Paninggaran dalam mempertahankan kepercayaan-kepercayaan mereka sehingga tidak
tersingkir oleh pengaruh zaman.
A.
Sejarah Paninggaran
Berbicara
tentang sejarah desa Paninggaran tidak terlepas dari sosok prabu Siliwangi. Saat
itu Prabu Siliwangi[3]
berkuasa atas wilayah dari Ujung Kulon hingga Cipamali. Dari salah seorang
Prameswarinya yang beragama Islam, yaitu Nyai Putri Subanglarang[4],
ia berputra tiga orang : Pangeran Walangsungsang[5];
Nyai Putri Larasantang; dan Raja Sangra. Pangeran Walangsungsang menjadi Satria
pengembara mencari guru-guru agama yang dianggapnya memiliki ilmu Islam yang
tinggi. Pada saat mengembara di Gunung Merapi, orang-orang tua di sana memberi wejangan
“Kalau ingin menemukan guru agama yang baik dan tinggi ilmunya, temui saja
Syeh Datuk Kahfi di Pesantren Amparan Jati Cirebon”.
Pangeran
Walangsungsang berangkat dari Gunung Merapi ke Cirebon dengan cara jalan
memintas. Di setiap persinggahan, Pangeran Walangsungsang mengajarkan berbagai
ilmu. Di antaranya ilmu agama Islam, ilmu bertani dan meladang, juga ilmu
berburu binatang buas. Ilmu bercocok tanam ini dinamakan mesyarakat dengan sebutan
“Tanduran”. Karena Pangeran
Walangsungsang tak pernah memberikan nama aslinya (sedang menyamar), sehingga
oleh masyarakat dan murid-muridnya, dikenal sebagai “Mbah Wali Tanduran”.
Kegemarannya sebagai pemburu binatang buas, sehingga oleh masyarakat setempat
dikenal juga sebagai “Paninggaran”. Hingga kini sebutan itu melekat erat dan
dijadikan nama desa yang juga kecamatan, yaitu Desa Paninggaran dan Kecamatan
Paninggaran[6].
Petilasan
Mbah Wali Tanduran yang terletak di depan kantor polisi Paninggaran tersebut
sampai saat ini masih ramai pengunjung. Banyak orang yang datang untuk
berziarah, mencari berkah, atau sekedar ingin tahu. Menurut masyarakat sekitar,
untuk masuk ke dalam petilasan harus dalam keadaan bersih. Selain bersih secara
fisik (kalau wanita tidak sedang masa datang bulan) juga bersih dari dalam
hati. Tidak boleh ada niatan macam – macam, kalau sampai ada niatan buruk pasti
akan terjadi sesuatu.
Ada
cerita yang pernah saya dengar mengenai seorang polisi berpangkat yang datang
bersama ajudannya memasuki petilasan Mbah Wali Tandur. Saat diperhatikan dari
luar petilasan tersebut terlihat seperti sebuah bangunan berwarna putih besar
dan megah. Kemudian ketika memasuki petilasan tersebut ajudan tadi tiba – tiba
terlempar ke luar petilasan. Setelah ditanyai oleh warga, ternyata ajudan tadi
diserang oleh harimau putih. Harimau tadi tiba – tiba muncul dan menyerang
melompat ke arahnya sehingga membuatnya terpelanting ke luar petilasan. Tetapi
anehnya pada saat itu orang – orang disekitar tidak melihat sosok harimau
tersebut.
B.
Kehidupan Modern Dusun
Wanasida
Untuk
menuju Desa Lumeneng dari kantor kecamatan dapat ditempuh dengan waktu kurang
lebih sepuluh menit dengan mengendarai sepeda motor. Jaraknya tidak terlalu
jauh, bahkan ketika harus ditempuh dengan berjalan kaki. Warga desa
Lumeneng yang berjumlah 4.028 yang terdiri dari 1.899 laki – laki dan 2.129
perempuan ini kesemuanya beragama Islam. Desa ini memiliki empat buah masjid
dan sebelas langgar, sedangkan untuk fasilitas keagamaan yang lain masih belum
tersedia di sini [7].
Hal ini dapat dimaklumi karena kecamatan Paninggaran sendiri masih termasuk
dalam wilayah Pekalongan yang dikenal sebagai Kota Pesantren.
Saya
tinggal di dusun Wanasida, salah satu dusun yang termasuk kawasan Desa Lumeneng
selain dusun Krajan, Dukuh Kulon, Dukuh Tengah, Karangsari, Si Kembang,
Jumparang dan Kaliwisnu. Letak dusun – dusun ini saling berdekatan, terlebih
dusun Krajan, dukuh Kulon, dukuh Tengah, Karangsari dan Wanasida. Untuk
berpindah dari dusun satu ke dusun lain membutuhkan waktu kurang lebih lima
belas menit dengan berjalan kaki.
Karena
akses dari Wanasida menuju daerah manapun termasuk mudah, tidak heran cukup
banyak warga di dusun ini sudah menjadi konsumen pasar modern. Hal ini dapat
dilihat dari anak – anak dan remaja yang tinggal disini. Anak – anak yang masih
duduk di bangku sekolah dasar sudah lihai memainkan HP. Sedangkan remaja laki –
laki terlihat lebih “modern” dengan gaya dan barang – barang miliknya. Tidak
jarang saya menemui remaja laki – laki atau bahkan anak SD dengan style harajuku
dan gelang power balance yang banyak dijual di Pasar Paninggaran
melingkar di kedua pergelangan tangannya. Sepeda motor yang dimiliki pun sudah
tidak bisa lagi dikatakan ketinggalan jaman. Banyak motor – motor matic seperti
Mio dan Scoopy yang sering terlihat melintasi jalan desa. Jangan bayangkan
motor – motor ini masih asli seperti dari pabrik. Berbagai asesoris sudah
ditambahkan, bahkan beberapa elemen motor sudah diganti. Mulai dari spion, ban
dengan ukuran kecil, dan body motor yang sebagian sudah dilepas. Sampai
– sampai tidak jarang ketika melewati polisi tidur atau jalan yang berlubang,
pengendara motor harus berdiri.
Banyak
di antara mereka yang menjadi korban mode-mode yang ada di televisi dan hasil
dari pergaulan selama merantau di beberapa kota besar seperti Jakarta dan
Batam. Namun, sayang disayangkan karena hal-hal baru yang mereka adopsi dari
kehidupan modern ibu kota ke dalam kehidupan mereka hanya menyulitkan diri
mereka sendiri.
Ketika
para anak-anak muda sibuk dengan beragam style
ibu kota yang penuh dengan hedonisme, para tetua di dusun ini juga berlomba –
lomba untuk mengingatkan dan merangkul kembali anak–anak mereka kepada budaya
lokal. Jika ada orang atau sekelompok yang mulai menyimpang, melupakan
pengajian bersama atau slametan[8],
masyarakat sekitar bersama-sama mengingatkan orang tersebut dengan memberi
teguran atau menyindir dengan nada bercanda.
Kendali
sosial inilah yang menjadi pegangan bagi masyarakat desa Paninggaran untuk
tetap bertahan dari tengah arus modernisasi yang terus menyusup masuk ke dalam
kehidupan sosial budaya masyarakat Paninggaran. Sehingga
kepercayaan-kepercayaan dan rutinitas spiritual yang selalu mereka lakukan
dapat tetap dipertahankan dan tidak boleh ditinggalkan. Seperti upacara Slametan
misalnya, menurut Niels Mulder, berangkat dari keyakinan bahwa tujuan hidup
adalah untuk mendapatkan keselamatan,
maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan, yaitu perjamuan
kerukunan sosio-religius yang diikuti oleh para tetangga bersama dengan
para sanak kerabat dan sahabat. Upacara ini dianggap dapat menopang,
mempertahankan dan mengembalikan ketertiban dunia ini.[9]
C.
Ritual Tolak Bala Rebo
Wekasan
Agama
Islam yang diajarkan para Wali pada zaman dahulu dalam pondok-pondok pesantren juga banyak mengandung unsur-unsur
mistik, sehingga memudahkan hubungan dengan penduduk yang sejak lama terbiasa dengan
konsep-konsep dan pikiran-pikiran mistik (Koentjaraningrat 1984:316). Oleh
sebab itu, sampai pada masa ini tidak jarang upacara– pacara keagamaan
dipadukan dengan suatu hal yang berbau mistik.
Menurut
Geertz, untuk mengekspresikan mistik, orang Jawa memiliki ritus–ritus tertentu
sebagai wadah dari mistik tersebut. Ritus – ritus yang paling permukaan dan
umum nampak dalam tradisi slametan. Ada beberapa bentuk dari upacara slametan
antara lain : slametan kelahiran, slametan khitanan dan
perkawinan, slametan kematian, slametan berdasarkan
penanggalan, slametan desa, dan slametan sela (Murtadho 2002:33).
Di desa Paninggaran, tepatnya di dusun Wanasida, Slametan
juga dilakukan dalam banyak hal. Salah satunya ketika
masyarakat dusun akan memulai pembuatan drainase air bersih. Drainase ini dibangun di
salah satu bagian sungai yang akan dikerjakan oleh pak Bahu (kepala dusun)
Slamet dan anak keduanya, Mas Usman. Beberapa hari sebelum pengerjaan, warga
berkumpul untuk berdoa bersama mengharap kelancaran pembuatan drainase air
bersih tersebut [10]. Slametan
dilakukan dengan membuat kenduri,
yaitu nasi tumpeng yang disiapkan dengan lauk lengkap yang kemudian dilanjutkan
dengan doa bersama.
Keputusan
untuk mengadakan suatu upacara slametan, menurut Koentjaraningrat (1984:347), terkadang diambil dari
suatu keyakinan keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan khawatir akan
hal – hal yang tidak diinginkan, tetapi kadang juga hanya merupakan suatu
kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan yang biasa
lakukan suatu masyarakat tertentu.
Pada
hari Rabu legi, pagi – pagi
sekali warga sudah berjalan beriringan menuju pondok pesantren Lumeneng.
Menurut perhitungan, hari itu merupakan hari Rebo Wekasan yang hanya
terjadi satu kali dakam satu tahun. Kepercayaan di Lumeneng, ketika satu hari
menunjuk pada hari wekasan maka harus dilakukan doa atau pengajian untuk
menolak bala. Mereka percaya pada hari tersebut Allah akan menurunkan seribu
bala tentara untuk menolong umatnya [11]. Usai pelaksanaan doa bersama, seluruh
warga masyarakat Wanasida meminum air yang telah diberi doa agar selamat dari
segala malapetaka yang akan datang di kemudian hari.
Berbeda
dengan yang terjadi di Wanasida, di dusun Tanggeran perayaan Rebo Wekasan lebih
terasa khusus. Beberapa hari sebelum hari Rebo Wekasan, masing-masing warga Tanggeran membuat
bubur tolak bala
[12], kemudian
dibagi-bagikan kepada para tetangga sekitar. Menurut Mbah Karniti, salah
satu warga Tanggeran, seluruh keluarga harus memakan bubur tersebut. Tujuannya
agar terhindar dari penyakit atau marabahaya yang mengancam keselamatan.
Selain
bubur tolak bala, sebelum Rebo wekasan seluruh warga diberi selembar kertas
yang berisi doa-doa. Di bagian atas tertulis beberapa ayat Al-Quran, kemudian
seperempat bagian bawah kertas juga ditulisi ayat – ayat Al-Quran yang sudah
diberi tanda untuk dipotong sesuai garis. Kertas potongan doa tadi dimasukan ke
dalam plastik yang kemudiaan dimasukan ke dalam wadar untuk menampung air (semacam
bak atau tandon) yang biasa digunakan sehari – hari. Bahkan beberapa sumber air
juga dimasuki kertas doa yang sudah dibungkus plastik. Kemudian pada hari pelaksanaan Rebo Wekasan, masyarakat mengadakan upacara mandi dan minum air
suci (toya jimat), yaitu air di dalam suatu tempat yang diberi secarik
kertas dengan tulisan tujuh buah ayat Al-Qur’an yang dapat diminta kepada
seorang pemuka agama. (ibid:366-367).
Selain
itu, pada hari pelaksanaan Rebo Wekasan, masyarakat
dilarang untuk keluar rumah. Namun, larangan ini tidak banyak yang mengetahui
dan sebagian besar masyarakat mengabaikannya. Para sopir doplak,
pedagang di pasar Paninggaran dan para siswa tetap saja menjalakan aktifitas
seperti biasanya. Tidak ada hari libur khusus pada hari itu untuk yang bersekolah
maupun bekerja, walaupun suasana memang terasa lebih sepi. Perubahan seperti
ini sangat dimungkinkan karena kebanyakan dari mereka sudah lebih berpikir ke
arah pekerjaan, pendapatan, untung dan rugi dibandingkan dengan ritual,
malapetaka, dan penyakit.
Saat
mendengar adanya larangan seperti itu, saya sempat bertanya kepada bu Wa’ati,
isrti pak bahu Tanggeran ketika kami sedang karing [13], “Bu, mbenjing mboten angsal
medal–medal napa bu? terus menawi ajeng pipis pripun?” (Bu, apa besok tidak
boleh keluar–keluar rumah, Bu? Kalau mau buang air kecil bagaimana?). Bingung
juga saya membayangkan kalau larangan ini benar–benar diberlakukan bisa kacau
urusan ke kamar mandi, karena letak kamar mandi terpisah di belakang rumah.
Awalnya ibu hanya tersenyum mendengar pertanyaan saya “Yo ora kai ki mbak.
Nyong ora ngerti aturane, nek Muji mangkat sekolah yo berarti ora sah neng
njero omah. Ngesuk yo pasaran, mesthi akeh sing maring Paninggaran.” (Ya
tidak apa–apa mbak. Saya tidak tahu aturannya, kalau Muji (anak pertama ibu
yang sekolah di SMP Paninggaran) berangkat sekolah berarti tidak usah didalam
rumah tidak apa – apa. Besok juga pasaran pasti banyak yang pergi ke
Paninggaran.)
Memang
tidak semua warga mengetahui bagaimana aturan saat hari Rebo wekasan tersebut.
Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti apa yang disampaikan oleh kiyai dari
daerah Kalibening untuk melakukan doa tolak bala dengan dipandu kertas doa yang
diperbanyak tanpa mengerti maksud dan tujuannya. Sebenarnya saya ingin menemui kiyai tersebut, namun sayang
waktu tidak mencukupi.
D.
Dhanyang lan sing
Bahureksa
Seperti
yang pernah diceritakan oleh Pak Bahu Slamet, ada sebuah sungai di Lumeneng
yang terlihat tenang, tapi konon di bawah sungai tersebut terdapat sebuah
pusara air yang dapat menenggelamkan orang–orang yang berada di sekitarnya.
Banyak orang yang tertarik untuk menjaring ikan di daerah tersebut karena selain
jumlahnya yang cukup banyak, ukurannya juga cukup besar. Bahkan seringkali
masyarakat sekitar yang mencari ikan di sana mendapatkan ikan sebesar paha
orang dewasa. Masyarakat meyakini bahwa barangsiapa menjaring ikan di daerah
tersebut dengan jumlah banyak, tidak lama kemudian orang itu akan meninggal
dunia, bisa karena sakit atau meninggal tanpa sebab. Selain itu, jika ada orang
yang sudah tersedot ke dalamnya tidak akan pernah ditemukan oleh siapa pun, kecuali
oleh orang-orang tertentu saja.
Pernah
suatu kejadian salah seorang warga menjaring ikan di sungai tersebut dan
mendapatkan hasil yang banyak serta ukurannya cukup besar. Beberapa hari
setelah itu, saat sedang tidur beliau bermimpi didatangi seorang wanita cantik
dengan latar belakang sungai tempatnya menangkap ikan beberapa hari yang lalu.
Dalam mimpi tersebut wanita tadi berkata “Gandheng kowe wis njupuk pitik–pitik
sing wis tak openi, saiki aku arep njaluk ijol!” (Berhubung kamu sudah
mengambil ayam–ayam yang sudah saya pelihara sekarang saya meminta gantinya).
Setelah
mendapat mimpi tersebut orang tersebut mendadak sakit hingga tidak bisa
beranjak dari tempat tidur selama berhari–hari. Kemudian beliau bertekad untuk
kembali ke sungai dan meminta maaf kepada sing bahureksa (sosok mistis penunggu suatu tempat
tertentu) sungai tersebut dan berjanji akan mengingatkan orang-orang
agar tidak mengambil ikan–ikan di daerah itu. Ketika ada seorang penduduk yang
mencoba melanggar meskipun sudah diingatkan, beberapa hari kemudian orang
tersebut meninggal dunia. Mulai saat itu warga menjadi tidak berani bermain di tempat
tersebut, terlebih mengambil ikan–ikan yang ada.[14]
Dalam
sistem keyakinan Agami Jawi mengenal roh–roh, baik nenek-moyang atau
kerabat yang telah meninggal, maupun di luar dari itu, seperti dhanyang,
bahureksa, sing ngemong dan widadari. Dhanyang adalah roh
yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat (yaitu desa, dukuh atau kampung);
bahureksa adalah penjaga tempat–tempat tertentu, seperti bangunan umum,
suatu sumur tua, suatu tempat tertentu di dalam hutan, tikungan sebuah sungai,
sebuah pohon beringin tua, sebuah gua dan sebagainya (ibid: 338-339). Hal-hal seperti inilah yang secara tidak langsung
mengendalikan perilaku suatu masyarakat. Meskipun tidak ada aturan tertulis
tetapi kejadian–kejadian yang pernah terjadi atau hanya sekedar cerita yang
tidak dikatehui dari mana sumbernya, dapat menahan seseorang atau suatu
masyarakt dari suatu perilaku buruk.
E.
Kesimpulan
Arus
globalisasi dan modernisasi yang terus berkembang tidak melunturkan
kepercayaan-kepercayaan mistis di desa Lumeneng. Ritual-ritual dan
kepercayaan-kepercayaan terhadap keberadaan makhluk astral yang tak kasat mata
masih dipegang erat oleh masyarakat
sekitar. Mereka masih mengkaitkan kehidupan sehari–hari dengan keberadaan roh
nenek moyang. Beberapa ritual yang kerap kali dilaksanakan menjadi salah satu
kontrol sosial yang kuat untuk menjaga masyarakat dari perilaku yang tidak
terpuji. Selain itu, ritual-ritual tersebut dapat membantu mereka mengingat
bahwa di dunia ini masih ada yang lebih berkuasa di atas manusia.
Ritual
dan kepercayaan tersebut juga mampu membantu menyelaraskan kehidupan manusia
dengan sesama manusia maupun manusia dengan alam. Namun, tidak semua warga Desa
Lumeneng mengerti secara penuh maksud dan tujuan dari pelaksanaan ritual-ritual
tersebut. Mereka hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa mempelajari atau
berusaha mengerti apa latar belakang dan tujuan dari ritual-ritual tersebut
diadakan. Akan menjadi lebih baik bila masyarakat mendapatkan pengertian
mengenai apa yang mereka lakukan. Dengan mengetahui apa yang menjadi dasar dan
kegunaannya mereka akan melakukan itu dengan sepenuh hati dan lebih memiliki
kesadaran.
F.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Murtadho,
M.2002. Islam Jawa : Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan. Yogyakarta:
Lapera Pustaka Utama.
[1] Salah
satu alat transportasi yang sering digunakan warga. Kendaraan ini adalah mobil
dengan bak terbuka yang diberi tambahan besi penyangga. Besi ini berfungsi
sebagai tiang penyangga terpal ketika hujan dan sebagai pengaman (karena
seringkali mobil ini mengangkut melebihi kapasitas) selain itu dapat juga
digunakan sebagai pegangan.
[2] Agami Jawi : Suatu kompleks keyakinan
dan konsep – konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur
menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. (Koentjaraningrat 1984:312).
[3] Sri
Baduga Maharaja atau dikenal sebagai Prabu Siliwangi adalah penguasa Kerajaan
Pajajaran yang beribukota di Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), pada abad ke 15
Masehi.
[5]
Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuana, atau Haji Abdullah Iman atau menurut
cerita rakyat Paninggaran, disebut juga sebagai Mbah Wali Tanduran, yang mendirikan kerajaan Islam Cirebon.
[8] Seperti
yang pernah dinyatakan oleh C.Geerz Slametan atau Wilujengan adalah
suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara
dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi
khususnya (Koentjaraningrat 1984:344).
[12]
Bentuknya mirip dengan jenang abang putih yang disediakan pada saat
perayaan slametan weton orang Jawa.
[13]
Istilah untuk menghangatkan tubuh. Bisa dengan berjemur dibawah sinar matahari
atau duduk di depan perapian. Tetapi, kebiasaan warga di sini adalah duduk
bersama di depan perapian. Selain untuk menghangatkan tubuh pada saat karing
ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengadakan interaksi dan menjalin
hubungan lebih dekat lagi dengan sesama anggota keluarga maupun dengan orang
lain..
[14]Wawancara
dengan Pak Slamet (Bahu Wanasida) Minggu 30 Januari 2011 pukul 20.00 di rumah
Mak Cukup di dusun Wanasida.
@nisitagudela
Tidak ada komentar:
Posting Komentar