Kamis, 10 November 2011

Paninggaran : Modernitas Bersanding Mitos


http://2.bp.blogspot.com

Perjalanan menuju kecamatan Paninggaran membawa cerita tersendiri bagi saya. Dari dalam bak truk milik pabrik teh Pagilaran, saya melongok ke luar untuk melihat hamparan pohon karet dan teh. Walaupun jalan berkelak-kelok naik turun, tetapi udara segar mampu mengusir migrain yang sedari tadi mengganggu. Semakin lama tubuh saya mulai merasakan perbedaan. Udara sejuk dipadu dengan tetes air dari langit membuat tubuh terasa dingin, hidung pun sudah mulai gatal dan sedikit perih karena pengaruh suhu. Saya mencari jaket kuning yang cukup tebal yang masih ada di dalam tas besar, berharap ini akan mampu menghangatkan tubuh.
Selang beberapa waktu truk mulai berjalan dengan cukup tenang. Jalan yang tadinya berkelak–kelok naik turun sekarang sudah mulai datar –datar saja. Saya melemparkan pandangan ke luar bak truk, plang berwarna putih dan bertuliskan “Kecamatan Paninggaran” terlihat tidak jauh dari truk kami. Itu menandakan tidak beberapa lama lagi kami akan segera tiba di tempat tujuan kami, Paninggaran. Desa Paninggaran ini terletak di sebelah selatan Kota Kabupaten Pekalongan. Dalam bayangan saya semakin menjauhi kota akan semakin banyak sawah, hutan, sungai dan akan semakin sedikit permainan ataupun peralatan yang berbau modern. Tetapi, ternyata saya salah, karena selama perjalanan di antara hamparan pohon karet dan teh saya masih bisa menemukan warnet, tempat bermain biliard dan karaoke di sebuah desa menuju kantor kecamatan. Rumah-rumah pun sudah banyak yang berdinding bagus, bukan lagi dari kayu atau bata merah. Bahkan rumah berkeramik dan berlantai dua berdiri kokoh tidak jauh dari pematang hutan.
Tepat di seberang kantor kecamatan berdiri sebuah pasar yang cukup besar. Banyak angkutan – angkutan umum mulai dari truk, bis umum, doplak[1], sampai ojek juga ada. Rata – rata mereka sedang menunggu penumpang dan barang yang akan dimuat. Tidak jauh dari kantor kecamatan, terdapat sebuah puskesmas yang bersebelahan dengan kantor polisi.
Ada sebuah petilasan yang dikeramatkan oleh masyarakat Paninggaran di depan kantor polisi. Petilasan tersebut merupakan makam seorang tokoh agama yang berjasa bagi desa Paninggaran. Masyarakat sekitar menyebut beliau Mbah Wali Tanduran. Beliau adalah seorang wali yang cukup dihormati. Banyak orang yang mendatangi petilasan tersebut dengan tujuan untuk mengalap berkah. Agami Jawi[2] mengenal banyak sekali tokoh orang keramat. Yang biasanya termasuk adalah antara lain guru-guru agama, tokoh-tokoh historis maupun setengah historis, yang dikenal orang melalui kesusastraan babad, tokoh-tokoh pahlawan dari cerita mitologi yang dikenal melalui pertunjukan wayang dan lain-lain (Koentjaraningrat 1984:325).
Di tengah arus globalisasi yang terus menyusup masuk ke tengah-tengah kehidupan masyarakat Paninggaran, nuansa-nuansa mistis dan religius tetap terasa kental dalam kehidupan masyarakat sekitar. Kegiatan-kegiatan keagamaan tetap dipertahankan oleh masyarakat Paninggaran dari tahun ke tahun. Hal inilah yang mengusik saya untuk mengetahui lebih jauh mengenai kehidupan masyarakat Paninggaran dalam mempertahankan kepercayaan-kepercayaan mereka sehingga tidak tersingkir oleh pengaruh zaman.

A.    Sejarah Paninggaran
Berbicara tentang sejarah desa Paninggaran tidak terlepas dari sosok prabu Siliwangi. Saat itu Prabu Siliwangi[3] berkuasa atas wilayah dari Ujung Kulon hingga Cipamali. Dari salah seorang Prameswarinya yang beragama Islam, yaitu Nyai Putri Subanglarang[4], ia berputra tiga orang : Pangeran Walangsungsang[5]; Nyai Putri Larasantang; dan Raja Sangra. Pangeran Walangsungsang menjadi Satria pengembara mencari guru-guru agama yang dianggapnya memiliki ilmu Islam yang tinggi. Pada saat mengembara di Gunung Merapi, orang-orang tua di sana memberi wejangan “Kalau ingin menemukan guru agama yang baik dan tinggi ilmunya, temui saja Syeh Datuk Kahfi di Pesantren Amparan Jati Cirebon”.
Pangeran Walangsungsang berangkat dari Gunung Merapi ke Cirebon dengan cara jalan memintas. Di setiap persinggahan, Pangeran Walangsungsang mengajarkan berbagai ilmu. Di antaranya ilmu agama Islam, ilmu bertani dan meladang, juga ilmu berburu binatang buas. Ilmu bercocok tanam ini dinamakan mesyarakat dengan sebutan “Tanduran”. Karena Pangeran Walangsungsang tak pernah memberikan nama aslinya (sedang menyamar), sehingga oleh masyarakat dan murid-muridnya, dikenal sebagai “Mbah Wali Tanduran”. Kegemarannya sebagai pemburu binatang buas, sehingga oleh masyarakat setempat dikenal juga sebagai “Paninggaran”. Hingga kini sebutan itu melekat erat dan dijadikan nama desa yang juga kecamatan, yaitu Desa Paninggaran dan Kecamatan Paninggaran[6].
Petilasan Mbah Wali Tanduran yang terletak di depan kantor polisi Paninggaran tersebut sampai saat ini masih ramai pengunjung. Banyak orang yang datang untuk berziarah, mencari berkah, atau sekedar ingin tahu. Menurut masyarakat sekitar, untuk masuk ke dalam petilasan harus dalam keadaan bersih. Selain bersih secara fisik (kalau wanita tidak sedang masa datang bulan) juga bersih dari dalam hati. Tidak boleh ada niatan macam – macam, kalau sampai ada niatan buruk pasti akan terjadi sesuatu.
Ada cerita yang pernah saya dengar mengenai seorang polisi berpangkat yang datang bersama ajudannya memasuki petilasan Mbah Wali Tandur. Saat diperhatikan dari luar petilasan tersebut terlihat seperti sebuah bangunan berwarna putih besar dan megah. Kemudian ketika memasuki petilasan tersebut ajudan tadi tiba – tiba terlempar ke luar petilasan. Setelah ditanyai oleh warga, ternyata ajudan tadi diserang oleh harimau putih. Harimau tadi tiba – tiba muncul dan menyerang melompat ke arahnya sehingga membuatnya terpelanting ke luar petilasan. Tetapi anehnya pada saat itu orang – orang disekitar tidak melihat sosok harimau tersebut.

B.     Kehidupan Modern Dusun Wanasida
Untuk menuju Desa Lumeneng dari kantor kecamatan dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih sepuluh menit dengan mengendarai sepeda motor. Jaraknya tidak terlalu jauh, bahkan ketika harus ditempuh dengan berjalan kaki.  Warga desa Lumeneng yang berjumlah 4.028 yang terdiri dari 1.899 laki – laki dan 2.129 perempuan ini kesemuanya beragama Islam. Desa ini memiliki empat buah masjid dan sebelas langgar, sedangkan untuk fasilitas keagamaan yang lain masih belum tersedia di sini [7]. Hal ini dapat dimaklumi karena kecamatan Paninggaran sendiri masih termasuk dalam wilayah Pekalongan yang dikenal sebagai Kota Pesantren.
Saya tinggal di dusun Wanasida, salah satu dusun yang termasuk kawasan Desa Lumeneng selain dusun Krajan, Dukuh Kulon, Dukuh Tengah, Karangsari, Si Kembang, Jumparang dan Kaliwisnu. Letak dusun – dusun ini saling berdekatan, terlebih dusun Krajan, dukuh Kulon, dukuh Tengah, Karangsari dan Wanasida. Untuk berpindah dari dusun satu ke dusun lain membutuhkan waktu kurang lebih lima belas menit dengan berjalan kaki.
Karena akses dari Wanasida menuju daerah manapun termasuk mudah, tidak heran cukup banyak warga di dusun ini sudah menjadi konsumen pasar modern. Hal ini dapat dilihat dari anak – anak dan remaja yang tinggal disini. Anak – anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah lihai memainkan HP. Sedangkan remaja laki – laki terlihat lebih “modern” dengan gaya dan barang – barang miliknya. Tidak jarang saya menemui remaja laki – laki atau bahkan anak SD dengan style harajuku dan gelang power balance yang banyak dijual di Pasar Paninggaran melingkar di kedua pergelangan tangannya. Sepeda motor yang dimiliki pun sudah tidak bisa lagi dikatakan ketinggalan jaman. Banyak motor – motor matic  seperti Mio dan Scoopy yang sering terlihat melintasi jalan desa. Jangan bayangkan motor – motor ini masih asli seperti dari pabrik. Berbagai asesoris sudah ditambahkan, bahkan beberapa elemen motor sudah diganti. Mulai dari spion, ban dengan ukuran kecil, dan body motor yang sebagian sudah dilepas. Sampai – sampai tidak jarang ketika melewati polisi tidur atau jalan yang berlubang, pengendara motor harus berdiri.
Banyak di antara mereka yang menjadi korban mode-mode yang ada di televisi dan hasil dari pergaulan selama merantau di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Batam. Namun, sayang disayangkan karena hal-hal baru yang mereka adopsi dari kehidupan modern ibu kota ke dalam kehidupan mereka hanya menyulitkan diri mereka sendiri.
Ketika para anak-anak muda sibuk dengan beragam style ibu kota yang penuh dengan hedonisme, para tetua di dusun ini juga berlomba – lomba untuk mengingatkan dan merangkul kembali anak–anak mereka kepada budaya lokal. Jika ada orang atau sekelompok yang mulai menyimpang, melupakan pengajian bersama atau slametan[8], masyarakat sekitar bersama-sama mengingatkan orang tersebut dengan memberi teguran atau menyindir dengan nada bercanda.
Kendali sosial inilah yang menjadi pegangan bagi masyarakat desa Paninggaran untuk tetap bertahan dari tengah arus modernisasi yang terus menyusup masuk ke dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Paninggaran. Sehingga kepercayaan-kepercayaan dan rutinitas spiritual yang selalu mereka lakukan dapat tetap dipertahankan dan tidak boleh ditinggalkan. Seperti upacara Slametan misalnya, menurut Niels Mulder, berangkat dari keyakinan bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keselamatan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan, yaitu perjamuan kerukunan sosio-religius yang diikuti oleh para tetangga bersama dengan para sanak kerabat dan sahabat. Upacara ini dianggap dapat menopang, mempertahankan dan mengembalikan ketertiban dunia ini.[9]

C.    Ritual Tolak Bala Rebo Wekasan
Agama Islam yang diajarkan para Wali pada zaman dahulu dalam pondok-pondok pesantren juga banyak mengandung unsur-unsur mistik, sehingga memudahkan hubungan dengan penduduk yang sejak lama terbiasa dengan konsep-konsep dan pikiran-pikiran mistik (Koentjaraningrat 1984:316). Oleh sebab itu, sampai pada masa ini tidak jarang upacara– pacara keagamaan dipadukan dengan suatu hal yang berbau mistik.
Menurut Geertz, untuk mengekspresikan mistik, orang Jawa memiliki ritus–ritus tertentu sebagai wadah dari mistik tersebut. Ritus – ritus yang paling permukaan dan umum nampak dalam tradisi slametan. Ada beberapa bentuk dari upacara slametan  antara lain : slametan kelahiran, slametan khitanan dan perkawinan, slametan  kematian, slametan berdasarkan penanggalan, slametan desa, dan slametan sela (Murtadho 2002:33).
Di desa Paninggaran, tepatnya di dusun Wanasida, Slametan  juga dilakukan dalam banyak hal. Salah satunya ketika masyarakat dusun akan memulai pembuatan drainase  air bersih. Drainase  ini dibangun di salah satu bagian sungai yang akan dikerjakan oleh pak Bahu (kepala dusun) Slamet dan anak keduanya, Mas Usman. Beberapa hari sebelum pengerjaan, warga berkumpul untuk berdoa bersama mengharap kelancaran pembuatan drainase  air bersih tersebut [10]. Slametan dilakukan dengan membuat kenduri, yaitu nasi tumpeng yang disiapkan dengan lauk lengkap yang kemudian dilanjutkan dengan doa bersama.
Keputusan untuk mengadakan suatu upacara slametan, menurut Koentjaraningrat (1984:347), terkadang diambil dari suatu keyakinan keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan khawatir akan hal – hal yang tidak diinginkan, tetapi kadang juga hanya  merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan yang biasa lakukan suatu masyarakat tertentu.
Pada hari Rabu legi, pagi – pagi sekali warga sudah berjalan beriringan menuju pondok pesantren Lumeneng. Menurut perhitungan, hari itu merupakan hari Rebo Wekasan yang hanya terjadi satu kali dakam satu tahun. Kepercayaan di Lumeneng, ketika satu hari menunjuk pada hari wekasan maka harus dilakukan doa atau pengajian untuk menolak bala. Mereka percaya pada hari tersebut Allah akan menurunkan seribu bala tentara untuk menolong umatnya [11]. Usai pelaksanaan doa bersama, seluruh warga masyarakat Wanasida meminum air yang telah diberi doa agar selamat dari segala malapetaka yang akan datang di kemudian hari.
Berbeda dengan yang terjadi di Wanasida, di dusun Tanggeran perayaan Rebo Wekasan lebih terasa khusus. Beberapa hari sebelum hari Rebo Wekasan, masing-masing warga Tanggeran membuat bubur tolak bala [12], kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga sekitar. Menurut Mbah Karniti, salah satu warga Tanggeran, seluruh keluarga harus memakan bubur tersebut. Tujuannya agar terhindar dari penyakit atau marabahaya yang mengancam keselamatan.
Selain bubur tolak bala, sebelum Rebo wekasan seluruh warga diberi selembar kertas yang berisi doa-doa. Di bagian atas tertulis beberapa ayat Al-Quran, kemudian seperempat bagian bawah kertas juga ditulisi ayat – ayat Al-Quran yang sudah diberi tanda untuk dipotong sesuai garis. Kertas potongan doa tadi dimasukan ke dalam plastik yang kemudiaan dimasukan ke dalam wadar untuk menampung air (semacam bak atau tandon) yang biasa digunakan sehari – hari. Bahkan beberapa sumber air juga dimasuki kertas doa yang sudah dibungkus plastik. Kemudian pada hari pelaksanaan Rebo Wekasan, masyarakat mengadakan upacara mandi dan minum air suci (toya jimat), yaitu air di dalam suatu tempat yang diberi secarik kertas dengan tulisan tujuh buah ayat Al-Qur’an yang dapat diminta kepada seorang pemuka agama. (ibid:366-367).
Selain itu, pada hari pelaksanaan Rebo Wekasan, masyarakat dilarang untuk keluar rumah. Namun, larangan ini tidak banyak yang mengetahui dan sebagian besar masyarakat mengabaikannya. Para sopir doplak, pedagang di pasar Paninggaran dan para siswa tetap saja menjalakan aktifitas seperti biasanya. Tidak ada hari libur khusus pada hari itu untuk yang bersekolah maupun bekerja, walaupun suasana memang terasa lebih sepi. Perubahan seperti ini sangat dimungkinkan karena kebanyakan dari mereka sudah lebih berpikir ke arah pekerjaan, pendapatan, untung dan rugi dibandingkan dengan ritual, malapetaka, dan penyakit.
Saat mendengar adanya larangan seperti itu, saya sempat bertanya kepada bu Wa’ati, isrti pak bahu Tanggeran ketika kami sedang karing [13], Bu, mbenjing mboten angsal medal–medal napa bu? terus menawi ajeng pipis pripun?” (Bu, apa besok tidak boleh keluar–keluar rumah, Bu? Kalau mau buang air kecil bagaimana?). Bingung juga saya membayangkan kalau larangan ini benar–benar diberlakukan bisa kacau urusan ke kamar mandi, karena letak kamar mandi terpisah di belakang rumah. Awalnya ibu hanya tersenyum mendengar pertanyaan saya “Yo ora kai ki mbak. Nyong ora ngerti aturane, nek Muji mangkat sekolah yo berarti ora sah neng njero omah. Ngesuk yo pasaran, mesthi akeh sing maring Paninggaran.” (Ya tidak apa–apa mbak. Saya tidak tahu aturannya, kalau Muji (anak pertama ibu yang sekolah di SMP Paninggaran) berangkat sekolah berarti tidak usah didalam rumah tidak apa – apa. Besok juga pasaran pasti banyak yang pergi ke Paninggaran.)
Memang tidak semua warga mengetahui bagaimana aturan saat hari Rebo wekasan tersebut. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti apa yang disampaikan oleh kiyai dari daerah Kalibening untuk melakukan doa tolak bala dengan dipandu kertas doa yang diperbanyak tanpa mengerti maksud dan tujuannya. Sebenarnya saya ingin menemui kiyai tersebut, namun sayang waktu tidak mencukupi.

D.    Dhanyang lan sing Bahureksa
Seperti yang pernah diceritakan oleh Pak Bahu Slamet, ada sebuah sungai di Lumeneng yang terlihat tenang, tapi konon di bawah sungai tersebut terdapat sebuah pusara air yang dapat menenggelamkan orang–orang yang berada di sekitarnya. Banyak orang yang tertarik untuk menjaring ikan di daerah tersebut karena selain jumlahnya yang cukup banyak, ukurannya juga cukup besar. Bahkan seringkali masyarakat sekitar yang mencari ikan di sana mendapatkan ikan sebesar paha orang dewasa. Masyarakat meyakini bahwa barangsiapa menjaring ikan di daerah tersebut dengan jumlah banyak, tidak lama kemudian orang itu akan meninggal dunia, bisa karena sakit atau meninggal tanpa sebab. Selain itu, jika ada orang yang sudah tersedot ke dalamnya tidak akan pernah ditemukan oleh siapa pun, kecuali oleh orang-orang tertentu saja.
Pernah suatu kejadian salah seorang warga menjaring ikan di sungai tersebut dan mendapatkan hasil yang banyak serta ukurannya cukup besar. Beberapa hari setelah itu, saat sedang tidur beliau bermimpi didatangi seorang wanita cantik dengan latar belakang sungai tempatnya menangkap ikan beberapa hari yang lalu. Dalam mimpi tersebut wanita tadi berkata “Gandheng kowe wis njupuk pitik–pitik sing wis tak openi, saiki aku arep njaluk ijol!” (Berhubung kamu sudah mengambil ayam–ayam yang sudah saya pelihara sekarang saya meminta gantinya).
Setelah mendapat mimpi tersebut orang tersebut mendadak sakit hingga tidak bisa beranjak dari tempat tidur selama berhari–hari. Kemudian beliau bertekad untuk kembali ke sungai dan meminta maaf kepada sing bahureksa (sosok mistis penunggu suatu tempat tertentu) sungai tersebut dan berjanji akan mengingatkan orang-orang agar tidak mengambil ikan–ikan di daerah itu. Ketika ada seorang penduduk yang mencoba melanggar meskipun sudah diingatkan, beberapa hari kemudian orang tersebut meninggal dunia. Mulai saat itu warga menjadi tidak berani bermain di tempat tersebut, terlebih mengambil ikan–ikan yang ada.[14]
Dalam sistem keyakinan Agami Jawi mengenal roh–roh, baik nenek-moyang atau kerabat yang telah meninggal, maupun di luar dari itu, seperti dhanyang, bahureksa, sing ngemong dan widadari. Dhanyang adalah roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat (yaitu desa, dukuh atau kampung); bahureksa adalah penjaga tempat–tempat tertentu, seperti bangunan umum, suatu sumur tua, suatu tempat tertentu di dalam hutan, tikungan sebuah sungai, sebuah pohon beringin tua, sebuah gua dan sebagainya (ibid: 338-339). Hal-hal seperti inilah yang secara tidak langsung mengendalikan perilaku suatu masyarakat. Meskipun tidak ada aturan tertulis tetapi kejadian–kejadian yang pernah terjadi atau hanya sekedar cerita yang tidak dikatehui dari mana sumbernya, dapat menahan seseorang atau suatu masyarakt dari suatu perilaku buruk.
E.     Kesimpulan
Arus globalisasi dan modernisasi yang terus berkembang tidak melunturkan kepercayaan-kepercayaan mistis di desa Lumeneng. Ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan terhadap keberadaan makhluk astral yang tak kasat mata masih dipegang erat oleh  masyarakat sekitar. Mereka masih mengkaitkan kehidupan sehari–hari dengan keberadaan roh nenek moyang. Beberapa ritual yang kerap kali dilaksanakan menjadi salah satu kontrol sosial yang kuat untuk menjaga masyarakat dari perilaku yang tidak terpuji. Selain itu, ritual-ritual tersebut dapat membantu mereka mengingat bahwa di dunia ini masih ada yang lebih berkuasa di atas manusia.
Ritual dan kepercayaan tersebut juga mampu membantu menyelaraskan kehidupan manusia dengan sesama manusia maupun manusia dengan alam. Namun, tidak semua warga Desa Lumeneng mengerti secara penuh maksud dan tujuan dari pelaksanaan ritual-ritual tersebut. Mereka hanya mengikuti apa yang sudah ada tanpa mempelajari atau berusaha mengerti apa latar belakang dan tujuan dari ritual-ritual tersebut diadakan. Akan menjadi lebih baik bila masyarakat mendapatkan pengertian mengenai apa yang mereka lakukan. Dengan mengetahui apa yang menjadi dasar dan kegunaannya mereka akan melakukan itu dengan sepenuh hati dan lebih memiliki kesadaran.
  
F.     Daftar Pustaka

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Murtadho, M.2002. Islam Jawa : Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.



[1] Salah satu alat transportasi yang sering digunakan warga. Kendaraan ini adalah mobil dengan bak terbuka yang diberi tambahan besi penyangga. Besi ini berfungsi sebagai tiang penyangga terpal ketika hujan dan sebagai pengaman (karena seringkali mobil ini mengangkut melebihi kapasitas) selain itu dapat juga digunakan sebagai pegangan.
[2] Agami Jawi : Suatu kompleks keyakinan dan konsep – konsep Hindu-Buddha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu dan diaku sebagai agama Islam. (Koentjaraningrat 1984:312).
[3] Sri Baduga Maharaja atau dikenal sebagai Prabu Siliwangi adalah penguasa Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan Pajajaran (Bogor sekarang), pada abad ke 15 Masehi.
[4] Nyai Putri Subanglarang adalah murid Syeh Quro dari Pesantren Pondok Quro Pura Dalem Karawang.
[5] Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuana, atau Haji Abdullah Iman atau menurut cerita rakyat Paninggaran, disebut juga sebagai Mbah Wali Tanduran, yang mendirikan kerajaan Islam Cirebon.
[6] Data sekunder diambil dari data kecamatan tahun 2009  Silsilah Mbah Wali Tanduran.
[7] Data sekunder dari Daftar Isian Potensi Desa kecamatan Paninggaran tahun 2009.
[8] Seperti yang pernah dinyatakan oleh C.Geerz  Slametan atau Wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya (Koentjaraningrat 1984:344).
[9] M.Murtadho. Islam Jawa Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan tahun 2002 hlm 16-17.
[10] Wawancara dengan Mak Cukup, dirumahnya dusun Wanasida pada hari Sabtu 22 Januari 2011.
[11] Wawancara dengan Mak Cukup di rumahnya di dusun Wanasida pada hari Minggu.
[12] Bentuknya mirip dengan jenang abang putih yang disediakan pada saat perayaan slametan weton orang Jawa.
[13] Istilah untuk menghangatkan tubuh. Bisa dengan berjemur dibawah sinar matahari atau duduk di depan perapian. Tetapi, kebiasaan warga di sini adalah duduk bersama di depan perapian. Selain untuk menghangatkan tubuh pada saat karing ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengadakan interaksi dan menjalin hubungan lebih dekat lagi dengan sesama anggota keluarga maupun dengan orang lain..
[14]Wawancara dengan Pak Slamet (Bahu Wanasida) Minggu 30 Januari 2011 pukul 20.00 di rumah Mak Cukup di dusun Wanasida.

@nisitagudela

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman