Tok..tok..tok..!!
Pagi-pagi sekali pintu kamar kosku ada yang mengetuk dengan
keras. Entah siapa pagi-pagi minggu begini membangunkanku. Paling males kalau
hari minggu harus bangun pagi-pagi. Biasanya seusai sholat subuh, aku kembali
menyelinap di balik sarung, memeluk guling, kemudian pergi melanjutkan mimpi
yang tertunda dan kembali saat matahari di atas ubun-ubun. Aku mengeluh.
Mengganggun orang tidur saja.
“Lamda…” Seorang perempuan memanggilku dari balik pintu. Itu
suara ibu kos.
“Iya, Bu,” sahutku dari balik sarung. Mengucek mata.
Memaksakan diri untuk bangkit dan membuka pintu. Mimpi yang tertunda kembali
ditunda untuk waktu yang tidak terbatas.
“Kamu sudah bangun kan?” tanya Ibu Linda, Ibu kosku.
“Iya, Bu. Sudah kok.”
Aku membuka pintu. Bu Linda berada di depan pintu kamarku
tersenyum.
“Maaf sudah mengganggumu pagi-pagi gini,”
Aku tersenyum, menyembunyikan raut wajah sedikit sebal.
“Iya, bu, nggak apa-apa kok. Ehmm.. ada apa ya, kok tumben pagi-pagi gini
membangunkan saya?”
“Iya, Ibu mau minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa ya, Bu?”
“Anak Ibu hari ini pulang. Ibu minta tolong sama kamu jemput
dia di stasiun ya? Katanya pagi-pagi sekali keretanya sudah sampai di stasiun
Tugu. Kamu pake motor ibu saja. Kamu bisa naik motor kan?”
“Ow, iya, Bu. Saya bisa kok. Sebentar ya, Bu, saya cuci muka
dulu.”
“Iya. Ibu tunggu di ruang depan ya.”
Aku tersenyum mengangguk, “Baik, Bu.”
Setelah membersihkan diri seadanya, aku menuju ruang tengah.
Ibu kos sedang mengeluarkan sepeda motor matic
hitamnya, dan memarkirkan di halaman.
“Maaf, Bu. Saya kan belum pernah bertemu dengan anak ibu.
Gimana nanti kalau saya salah orang?” Sebuah pertanyaan bodoh itu begitu saja
terlontar dari mulutku.
Ibu kos tersenyum. Mungkin menyayangkan kenapa kampusku mau
menerima mahasiswa sebodoh ini. Aku kikuk menanggapi senyum ibu kos.
“Kamu bawa Hp kan? Ini kamu catet nomor anak Ibu. Tadi ibu
sudah bilang kok kalau kamu yang jemput dia.” Ibu kos menyodorkan Hpnya. Sebaris
nomor dan nama tertera di layar Hpnya. Luthfi. Itu nama anaknya.
Aku tertawa dalam hati, menertawakan kebodohanku sendiri.
“Ow, iya ya. hehehe”
“Ow, iya. Sekarang keretanya sudah sampai di Kulonprogo,
mungkin setengah jam lagi sampai stasiun Tugu. Lebih baik kamu cepat berangkat,
biar nanti lebih mudah mencarinya,” Ibu kos mengingatkan.
“Baik, Bu.”
Aku langsung bergegas menuju stasiun kota. Jarak dari kos ke
stasiun tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit kalau hari umum. Tapi kalau
hari minggu begini mungkin bisa lebih cepat karena jalanan pasti lebih lengang
dari hari biasa.
Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di halaman parkir
stasiun. Aku mengirim sms ke Luthfi, memberitahukan kalau aku sudah sampai di
stasiun.
Mas Luthfi, saya Lamda. Ibu minta saya utk
jemput mas Luthfi. Saya sudah sampai di halaman parkir. Saya tunggu di pintu
keluar ya?
Terkirim!
Sesaat kemudian dering Hpku berbunyi. Sms masuk. Dari
Luthfi.
Ok. Makasih
Singkat, padat, dan hemat.
Sambil menunggu, aku berjalan-jalan di sekitar stasiun
sambil memerhatikan arsitektur bangunan ini. Aku baru beberapa kali ke stasiun
kota. Meskipun sering naik kereta api setiap pulang kampung, tapi jarang sekali
naik dari stasiun Tugu. Biasanya aku naik dari stasiun Lempuyangan. Di sini
kereta yang berangkat semuanya kelas bisnis dan eksekutif. Kalau di Lempuyangan
hanya kelas ekonomi saja, wajar kalau aku tidak pernah naik dari stasiun ini.
Kata orang, stasiun ini sudah berdiri sejak masa penjajahan
Belanda dulu. Mungkin sekarang umurnya sudah mencapai dua ratus tahun lebih. Jika
melihat arsitekturnya, jelas sekali terlihat sentuhan arsitektur Eropa yang
terdapat di bangunan ini. Agar tetap menjaga nuansa Eropa dalam bangunan ini,
tidak dilakukan pemugaran yang berlebih pada bangunan ini, hanya bagian-bagian
tertentu saja yang dicat agar terlihat bersih dan terawat.
Pada bagian dalam gedung juga tidak ada yang berubah. Jam
yang ada di peron juga masih berupa jam kuno yang berukuran bulat besar seperti
yang terdapat di stasiun kereta uap yang pernah kulihat di Ambarawa. Yang
berbeda dari stasiun ini adalah minimarket dan restoran yang terdapat di dalam
stasiun. Ada juga di beberapa sudut bangunan, mesin-mesin ATM dari berbagai
bank.
Tiba-tiba Hpku berdering. Sms dari anak ibu kos.
Mas dimana? Saya sudah di depan stasiun.
Masya Allah!
Saking asyiknya mengamati bangunan kuno stasiun, aku lupa kalau anak Ibu kos
itu sudah menungguku di pintu masuk stasiun. Padahal aku sendiri yang bilang
mau menunggunya di pintu depan.
Iya, maaf mas. Saya segera ke sana.
Aku segera keluar dari bangunan kuno stasiun. Sampai di
pintu masuk, aku mencari-cari anak ibu kosku tersebut. Tetapi, tidak ada
siapa-siapa di sana. Hanya orang-orang yang hilir masuk keluar stasiun, dan
seorang wanita muda, lebih muda dariku sepertinya, yang sedang berdiri di pojok
gedung stasiun. Lumayan cantik. Wajah bulat yang dibalut jilbab putih dengan
model remaja sekarang, kaos putih panjang dan rok besar berwarna biru tua. hmm…
aku tidak tahu style sih, tapi Aku
yakin semua orang yang melihatnya berkata kalau dia cantik.
Ah, sudahlah. Masih ada tanggung jawab sekarang yang harus
kuselesaikan sekarang. Anak majikanku, kemana dia? Bisa-bisa aku diusir dari
kos gara-gara anaknya pulang karena terlalu lama menungguku. Aku mencari di
sekeliling pintu masuk, tetapi tidak ada. Begitu juga di dalam. Berulang kali
aku berkeliling, tetap saja tidak kutemukan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Kebodohanku. Bagaimana aku bisa menemukan dia kalau bertemu saja tidak pernah.
Bagaimana aku tahu wajah dan rupanya. Lebih baik aku telpon saja.
Belum sempat aku menekan tombol Hpku, tiba-tiba Hpku berdering
kencang. Sebuah panggilan. Dari Luthfi.
“Hallo Assalamualaikum. Mas dimana? Kok saya cari di depan
stasiun tidak ada?” cerocosku.
“Waalaikumsalam. Saya dari tadi di depan stasiun nungguin
mas,” jawab suara di seberang.
Aku terdiam, sedikit terkejut. Ternyata Luthfi itu wanita,
bukan laki-laki.
“E.. ee.. iya, maaf, Mba. Saya ke sana sekarang,” jawabku
terbata seraya berlari ke depan stasiun, melihat ke pojok gedung stasiun tempat
dimana wanita yang aku lihat tadi berdiri. Benar saja. Wanita itu masih di
sana. Sedang menelpon seseorang. Aku menghampirinya. Wanita itu memandang ke
arahku. Melihatku sedang memegang Hp, ia langsung mengetahui kalau aku adalah
anak kos yang diminta Ibunya menjemputnya.
“Mba Luthfi ya?” sapaku. Ia tersenyum.
“Iya, benar. Mas Lamda ya?” balasnya.
Kemudian aku mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. Ia
menyambutnya. Aku dan dia saling melempar senyum.
“Maaf mba, saya kira mba itu laki-laki, makanya dari tadi
saya keluar masuk terus nyariin, hehehe,” jelasku.
“Iya, nggak apa-apa kok mas. Masa saya dibilang laki-laki
sih?”
“Yaudah, kita langsung ke rumah aja. Mbak pasti capek, biar
langsung bisa istirahat. Ibu juga udah nunggu di rumah.”
Ia tersenyum mengangguk.
“Yaudah, barang-barangnya mana, biar saya bawa?”
“Nggak usah, saya cuma bawa ini kok.” Ia menunjukkan satu
koper kecil dan tas ransel yang ia pakai.
“Biar saya bawa aja. Mbak pasti capek banget.”
“Makasih mas.”
“Iya, sama-sama.”
**Bersambung...**
Nb. Di edisi pertama diunggah dengan judul "Suatu Sore ketika Aku Mengenalmu #1". Mulai edisi 2 dan selanjutnya menggunakan judul "Catatan Jomblo Galau". terima kasih.
aku suka stasiun.
BalasHapusmasih ada hubungannya gak sama yang suatu sore aku mengenalmu cerita selanjutnya? padahal judulnya bagus yang suatu sore aku mengenalmu. hehe
ada... tokohnya sama.. ntar ujungnya juga sama.. baca aja, masih panjang.. hehe
BalasHapusiya, judul revisinya gak lebih greget dari judul pertama.
BalasHapus