Senin, 21 November 2011

Catatan Jomblo Galau#2


Tok..tok..tok..!!
Pagi-pagi sekali pintu kamar kosku ada yang mengetuk dengan keras. Entah siapa pagi-pagi minggu begini membangunkanku. Paling males kalau hari minggu harus bangun pagi-pagi. Biasanya seusai sholat subuh, aku kembali menyelinap di balik sarung, memeluk guling, kemudian pergi melanjutkan mimpi yang tertunda dan kembali saat matahari di atas ubun-ubun. Aku mengeluh. Mengganggun orang tidur saja.
“Lamda…” Seorang perempuan memanggilku dari balik pintu. Itu suara ibu kos.
“Iya, Bu,” sahutku dari balik sarung. Mengucek mata. Memaksakan diri untuk bangkit dan membuka pintu. Mimpi yang tertunda kembali ditunda untuk waktu yang tidak terbatas.
“Kamu sudah bangun kan?” tanya Ibu Linda, Ibu kosku.
“Iya, Bu. Sudah kok.”
Aku membuka pintu. Bu Linda berada di depan pintu kamarku tersenyum.
“Maaf sudah mengganggumu pagi-pagi gini,”
Aku tersenyum, menyembunyikan raut wajah sedikit sebal. “Iya, bu, nggak apa-apa kok. Ehmm.. ada apa ya, kok tumben pagi-pagi gini membangunkan saya?”
“Iya, Ibu mau minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa ya, Bu?”
“Anak Ibu hari ini pulang. Ibu minta tolong sama kamu jemput dia di stasiun ya? Katanya pagi-pagi sekali keretanya sudah sampai di stasiun Tugu. Kamu pake motor ibu saja. Kamu bisa naik motor kan?”
“Ow, iya, Bu. Saya bisa kok. Sebentar ya, Bu, saya cuci muka dulu.”
“Iya. Ibu tunggu di ruang depan ya.”
Aku tersenyum mengangguk, “Baik, Bu.”
Ibu kos pergi, aku menutup pintu kamar, merebahkan tubuhku di atas kasur sejenak. Menjemput anak ibu kos? Anaknya yang mana ya? Setahuku Ibu kos punya dua anak yang tinggal di luar kota. Tapi aku tidak tahu yang mana anaknya, bertemu juga belum pernah. Bagaimana nanti bisa ketemu? Jangan-jangan nanti aku bisa bawa anak orang.
Setelah membersihkan diri seadanya, aku menuju ruang tengah. Ibu kos sedang mengeluarkan sepeda motor matic hitamnya, dan memarkirkan di halaman.
“Maaf, Bu. Saya kan belum pernah bertemu dengan anak ibu. Gimana nanti kalau saya salah orang?” Sebuah pertanyaan bodoh itu begitu saja terlontar dari mulutku.
Ibu kos tersenyum. Mungkin menyayangkan kenapa kampusku mau menerima mahasiswa sebodoh ini. Aku kikuk menanggapi senyum ibu kos.
“Kamu bawa Hp kan? Ini kamu catet nomor anak Ibu. Tadi ibu sudah bilang kok kalau kamu yang jemput dia.” Ibu kos menyodorkan Hpnya. Sebaris nomor dan nama tertera di layar Hpnya. Luthfi. Itu nama anaknya.
Aku tertawa dalam hati, menertawakan kebodohanku sendiri. “Ow, iya ya. hehehe”
“Ow, iya. Sekarang keretanya sudah sampai di Kulonprogo, mungkin setengah jam lagi sampai stasiun Tugu. Lebih baik kamu cepat berangkat, biar nanti lebih mudah mencarinya,” Ibu kos mengingatkan.
“Baik, Bu.”
Aku langsung bergegas menuju stasiun kota. Jarak dari kos ke stasiun tidak terlalu jauh, sekitar dua puluh menit kalau hari umum. Tapi kalau hari minggu begini mungkin bisa lebih cepat karena jalanan pasti lebih lengang dari hari biasa.
Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di halaman parkir stasiun. Aku mengirim sms ke Luthfi, memberitahukan kalau aku sudah sampai di stasiun.
Mas Luthfi, saya Lamda. Ibu minta saya utk jemput mas Luthfi. Saya sudah sampai di halaman parkir. Saya tunggu di pintu keluar ya?
Terkirim!
Sesaat kemudian dering Hpku berbunyi. Sms masuk. Dari Luthfi.
Ok. Makasih
Singkat, padat, dan hemat.
Sambil menunggu, aku berjalan-jalan di sekitar stasiun sambil memerhatikan arsitektur bangunan ini. Aku baru beberapa kali ke stasiun kota. Meskipun sering naik kereta api setiap pulang kampung, tapi jarang sekali naik dari stasiun Tugu. Biasanya aku naik dari stasiun Lempuyangan. Di sini kereta yang berangkat semuanya kelas bisnis dan eksekutif. Kalau di Lempuyangan hanya kelas ekonomi saja, wajar kalau aku tidak pernah naik dari stasiun ini.
Kata orang, stasiun ini sudah berdiri sejak masa penjajahan Belanda dulu. Mungkin sekarang umurnya sudah mencapai dua ratus tahun lebih. Jika melihat arsitekturnya, jelas sekali terlihat sentuhan arsitektur Eropa yang terdapat di bangunan ini. Agar tetap menjaga nuansa Eropa dalam bangunan ini, tidak dilakukan pemugaran yang berlebih pada bangunan ini, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dicat agar terlihat bersih dan terawat.
Pada bagian dalam gedung juga tidak ada yang berubah. Jam yang ada di peron juga masih berupa jam kuno yang berukuran bulat besar seperti yang terdapat di stasiun kereta uap yang pernah kulihat di Ambarawa. Yang berbeda dari stasiun ini adalah minimarket dan restoran yang terdapat di dalam stasiun. Ada juga di beberapa sudut bangunan, mesin-mesin ATM dari berbagai bank.
Tiba-tiba Hpku berdering. Sms dari anak ibu kos.
Mas dimana? Saya sudah di depan stasiun.
Masya Allah! Saking asyiknya mengamati bangunan kuno stasiun, aku lupa kalau anak Ibu kos itu sudah menungguku di pintu masuk stasiun. Padahal aku sendiri yang bilang mau menunggunya di pintu depan.
Iya, maaf mas. Saya segera ke sana.
Aku segera keluar dari bangunan kuno stasiun. Sampai di pintu masuk, aku mencari-cari anak ibu kosku tersebut. Tetapi, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya orang-orang yang hilir masuk keluar stasiun, dan seorang wanita muda, lebih muda dariku sepertinya, yang sedang berdiri di pojok gedung stasiun. Lumayan cantik. Wajah bulat yang dibalut jilbab putih dengan model remaja sekarang, kaos putih panjang dan rok besar berwarna biru tua. hmm… aku tidak tahu style sih, tapi Aku yakin semua orang yang melihatnya berkata kalau dia cantik.
Ah, sudahlah. Masih ada tanggung jawab sekarang yang harus kuselesaikan sekarang. Anak majikanku, kemana dia? Bisa-bisa aku diusir dari kos gara-gara anaknya pulang karena terlalu lama menungguku. Aku mencari di sekeliling pintu masuk, tetapi tidak ada. Begitu juga di dalam. Berulang kali aku berkeliling, tetap saja tidak kutemukan. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Kebodohanku. Bagaimana aku bisa menemukan dia kalau bertemu saja tidak pernah. Bagaimana aku tahu wajah dan rupanya. Lebih baik aku telpon saja.
Belum sempat aku menekan tombol Hpku, tiba-tiba Hpku berdering kencang. Sebuah panggilan. Dari Luthfi.
“Hallo Assalamualaikum. Mas dimana? Kok saya cari di depan stasiun tidak ada?” cerocosku.
“Waalaikumsalam. Saya dari tadi di depan stasiun nungguin mas,” jawab suara di seberang.
Aku terdiam, sedikit terkejut. Ternyata Luthfi itu wanita, bukan laki-laki.
“E.. ee.. iya, maaf, Mba. Saya ke sana sekarang,” jawabku terbata seraya berlari ke depan stasiun, melihat ke pojok gedung stasiun tempat dimana wanita yang aku lihat tadi berdiri. Benar saja. Wanita itu masih di sana. Sedang menelpon seseorang. Aku menghampirinya. Wanita itu memandang ke arahku. Melihatku sedang memegang Hp, ia langsung mengetahui kalau aku adalah anak kos yang diminta Ibunya menjemputnya.
“Mba Luthfi ya?” sapaku. Ia tersenyum.
“Iya, benar. Mas Lamda ya?” balasnya.
Kemudian aku mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. Ia menyambutnya. Aku dan dia saling melempar senyum.
“Maaf mba, saya kira mba itu laki-laki, makanya dari tadi saya keluar masuk terus nyariin, hehehe,” jelasku.
“Iya, nggak apa-apa kok mas. Masa saya dibilang laki-laki sih?”
“Yaudah, kita langsung ke rumah aja. Mbak pasti capek, biar langsung bisa istirahat. Ibu juga udah nunggu di rumah.”
Ia tersenyum mengangguk.
“Yaudah, barang-barangnya mana, biar saya bawa?”
“Nggak usah, saya cuma bawa ini kok.” Ia menunjukkan satu koper kecil dan tas ransel yang ia pakai.
“Biar saya bawa aja. Mbak pasti capek banget.”
“Makasih mas.”
“Iya, sama-sama.”
**Bersambung...**

Nb. Di edisi pertama diunggah  dengan judul "Suatu Sore ketika Aku Mengenalmu #1". Mulai edisi 2 dan selanjutnya menggunakan judul "Catatan Jomblo Galau". terima kasih.

3 komentar:

  1. aku suka stasiun.
    masih ada hubungannya gak sama yang suatu sore aku mengenalmu cerita selanjutnya? padahal judulnya bagus yang suatu sore aku mengenalmu. hehe

    BalasHapus
  2. ada... tokohnya sama.. ntar ujungnya juga sama.. baca aja, masih panjang.. hehe

    BalasHapus
  3. iya, judul revisinya gak lebih greget dari judul pertama.

    BalasHapus

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman