google.co.id |
Aku tidak punya cukup kemampuan
untuk mewujudkan satu mimpi yang selama ini kupeluk. Tidak semua menyukai
mimpiku, termasuk salah seorang yang kuharapkan dapat memberikan dukungannya
terhadap mimpiku, Ayah. Selama ini aku hanya berjalan sendirian menatap samar
masa depanku. Keyakinan terhadap hari yang baik ketika mimpi itu terwujud
itulah yang membuatku mampu bertahan. Terkadang, aku sering mempertanyakan
kepada diriku sendiri, apakah benar mimpi bisa menjadi terwujud? Dan ketika itu
terjadi, seakan-akan aku berada dalam lingkaran gelap tanpa ujung. Saat aku
tersadar, aku mendapati diriku sendiri di bawah warna kuning matahari senja di
ujung pantai selatan. Parangtritis.
Namaku Tariadi, kau bisa
memanggilku Tari atau Yadi. Aku tinggal di salah satu desa di Bantul. Sejak
peristiwa 27 Mei 2006 lalu, aku hanya tinggal bersama Ayahku di sebuah rumah
pemberian seorang wanita. Mereka memberi kami rumah, makanan, harta benda, dan
uang tetapi dengan syarat kami harus memberikan keyakinan kami. Ayahku setuju.
Begitu mudah ia memberi harga kepada keyakinan yang sejak dulu kami peluk dan
yakini dengan sebuah rumah, segenggam beras dan beberapa harta benda. Mungkin
karena keyakinan itu bukan dari pencarian hati, tetapi hanya berupa warisan
turun temurun dari keluarga kami. Saban minggu, wanita itu datang menjenguk
ayah yang sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa dengan membawa bahan makanan,
dan sedikit uang untuk ayah dan aku. Tapi aku tidak pernah mau mengambilnya,
begitu juga makanan dan keyakinan baru yang dibawanya.
Seumur hidup, inilah saat pertama
kali aku menentang perintah ayahku. Sejak kecil, aku tidak pernah berani
berkata tidak terhadap pilihannya.
Aku takut. Aku tahu, apa yang ia katakan itu benar dan baik untukku, walaupun
aku tidak menyukainya.
“Yad, ikutlah kepada ayah. Apa
yang dikatakan tante itu benar, kita akan mendapatkan kebahagiaan bersamanya,”
kata ayah malam itu.
Aku hanya diam. Tidak berani
berkata apa-apa. Tapi ayah sudah tahu, bahwa diamku berarti penolakan terhadap
tawarannya.
“Yad, hidup kita akan lebih baik.
Kau tidak perlu susah payah mengejar mimpimu itu. Belum tentu ada kebaikan di
sana. Zaman sekarang lebih baik hidup dengan realistis, mimpi tidak menjamin
hidupmu akan bahagia,” sambungnya.
“Setidaknya aku bahagia punya
mimpi. ” kataku singkat. Aku beranjak pergi meninggalkan ayah sendiri di ruang
tengah.
Aku tahu sikapku sangat
mengecewakannya. Aku juga tidak pernah berniat akan mengecewakannya, terlebih
lagi menentang kemauannya. Tapi kali ini yang bermain bukanlah diriku, tetapi
hati kecilku. Dialah yang belakangan selalu mengandalikan diriku secara penuh,
terutama sejak ayah mengenal wanita itu. Hatiku juga yang terus-menerus
memberikan motivasi kecil kepadaku untuk selalu yakin dengan apa yang kupegang
saat ini.
***
Suara ombak berderu kencang.
Angin laut memainkan rambutku lembut. Malam ini langit parangtritis terlihat
cerah. Bintang gemintang berhamburan di atas langit biru, berkerlip seperti
lampu-lampu kota yang dilihat dari ketinggian. Aku selalu ke sini setiap malam.
Menenangkan diri yang semakin hari selalu diliputi kegundahan dengan melihat
gugusan bintang-bintang bersinar terang di langit sana. Satu bintang yang
selalu kupandangi yang terlihat lebih terang di antara yang lainnya. Aku tidak
tahu apa nama bintang itu, bahkan aku tidak tahu apakah itu bintang atau
planet. Yang jelas, hatiku selalu merasa tenang setiap kali aku melihat bintang
itu. Mimpiku selalu kusandingkan dengan bintang tersebut, berharap kelak
mimpiku akan secerah bintang itu.
Seketika aku teringat tentang
ayah. Cepat-cepat aku mengusirnya. Aku tidak mau memikirkan dia sekarang.
Bukankah aku di sini untuk menghindar darinya? Tetapi, aku tidak bisa. Semakin
aku berlari menjauh, semakin dekat bayangnya di pelupuk mataku. Dan aku semakin
merasa bersalah karena telah mengecewakannya. Kenapa aku tidak menuruti
kata-katanya saja, ikut dengan wanita itu? Hidup berkecukupan, tidak perlu lagi
pagi-pagi ke pasar menjadi buruh serabutan. Mungkin benar kata ayah, zaman
sekarang lebih baik hidup realistis, mimpi tidak pernah bisa memberimu makanan,
apalagi hidup. “Jangan sampai kau menuhankan mimpimu, hingga kau mengecewakan
ayahmu,” kata ayah suatu waktu.
Aku terdiam. Pikiranku semakin kacau. Deru ombak
semakin kencang terdengar dari bibir pantai. Desau angin tak lagi lembut
membelai helai-helai rambutku. Semakin jauh melangkah, aku semakin tidak tahu
dimana posisiku sekarang, dan kemana lagi kaki ini harus aku langkahkan.
“Mimpi itu omong kosong. Hanya
orang-orang yang tidak berani melihat kenyataan saja yang percaya dengan
mimpi,” ucap ayah lagi suatu malam ketika aku baru pulang. Ia memanggilku, dan
mengajakku berbicara lagi. Masih masalah yang sama.
“Hidupmu saat ini, hari ini.
Berbuatlah apa yang bisa kamu lakukan untuk hidupmu hari ini. Bukan untuk ayah,
tante itu, atau siapa pun. Tapi untuk hidupmu, kebahagiaanmu sendiri. Tidak
perlu Kamu bersusah payah memikirkan orang lain dengan mimpimu. Kamu tidak
pernah tahu kapan mimpi itu bisa terwujud, kapan ia akan menjadi sesuatu yang
muncul dalam kehidupan nyata. Kamu tidak pernah tahu apakah waktumu masih ada
hingga mimpi-mimpimu itu menjadi nyata.” Aku hanya terdiam. Menunduk.
Ayah menarik nafas, dan
menghembuskannya. Ada getar dalam desah yang keluar. Tatapannya melunak.
Gurat-gurat wajahnya terlihat semakin jelas, lelah memikirkan beban hidupnya.
“Ayah tidak menginginkan apa-apa
darimu. Dan ayah juga tidak bisa memberikan apa-apa untukmu. Ayah hanya ingin
kamu tetap menjadi anakku, apapun keyakinanmu, apapun jalan yang kamu pilih,
apapun cerita yang kamu tuliskan dalam buku hidupmu.”
Ayah tergopoh berdiri dari
duduknya. Sambil bertumpu pada tongkat penyangga, ia berjalan masuk ke
kamarnya. Aku masih duduk di kursi ruang tamu. Mataku terus memandanginya
berjalan meninggalkanku, hingga punggungnya hilang di balik pintu kamar. Sedang
pikiranku tengah berkelana entah kemana, mencari jejak dalam langkah-langkah
kosong. Berbisik dalam bias-bias suara yang tak bergaung. Meraba catatan mimpi
yang aku torehkan dalam lembaran-lembaran kehidupan dengan tinta warna-warni.
Indah di sana.
Aku bangkit dari kursiku.
Menuntun sepeda tuaku keluar rumah. Kemudian pergi menerobos hening malam. Maaf
ayah, aku harus lari. Lari darimu, lari dari mimpi, dan lari dari hidup.
cape Di kalo lari..hahaha... mending mengendarai motor, sepeda atau mobil.
BalasHapusBagi saya melarikan diri, tidak akan menyelesaikan masalah.. si Yadi ternyata hanya seorang pemimpi, tapi tak ada niat dari dirinya untuk mimpi itu sendiri.
sampe cerpen ini, aku masih suka dengan gaya penceritaanmu Jo. entah kenapa alurnya selalu ngalir santai, dan aku selalu bingung mau komen di sebelah mana. mungkin karena kemampuan kritikku masih kuran banget.
BalasHapustapi, dari awal sampe akhir si Tariyadi nguprek aja sama mimpi, kok malah ga disebutin mimpinya apa. jadi kesannya cerita ini kosong. ya, walaupun emang ada banyak banget petuah penting yang disisipkan di cerpen ini, tapi ke-tiada-an keterangan mimpi apa sih sebenernya yang dikejer Yadi, menjadikan cerpen ini gregetnya ilang. padahal di awal udah bagus tuh nampilin scara frontal tentang dimana sikap ayahnya. hehe
oya, aku juga setuju sama komentarnya mas-mas yang di atasku. terutama komentar bagian akhir.hhe
BalasHapustuko : hahahahh... enakan naek andong, bisa sekalian ngojek. hehe... emang sih, karena tekadnya ga sebesar mimpinya.
BalasHapusdesta : iya sih, banyak banget yang ngasih komen kaya gitu. Mungkin, karena paradigma kita kebanyakan terfokus sama mimpi, jadi setiap ada kalimat mimpi yg kita kejar "mimpinya apa sih?". padahal, ada banyak hal yg bisa lebih berarti dari mimpi, dan ada banyak hal yang lebih menarik dari mimpi.
cerpen ini punya caranya sendiri untuk menjelaskan maksudnya, hehehehe...
makasih yo mpok...