Sabtu, 19 November 2011

Kosong


google.co.id

Aku tidak punya cukup kemampuan untuk mewujudkan satu mimpi yang selama ini kupeluk. Tidak semua menyukai mimpiku, termasuk salah seorang yang kuharapkan dapat memberikan dukungannya terhadap mimpiku, Ayah. Selama ini aku hanya berjalan sendirian menatap samar masa depanku. Keyakinan terhadap hari yang baik ketika mimpi itu terwujud itulah yang membuatku mampu bertahan. Terkadang, aku sering mempertanyakan kepada diriku sendiri, apakah benar mimpi bisa menjadi terwujud? Dan ketika itu terjadi, seakan-akan aku berada dalam lingkaran gelap tanpa ujung. Saat aku tersadar, aku mendapati diriku sendiri di bawah warna kuning matahari senja di ujung pantai selatan. Parangtritis.

Namaku Tariadi, kau bisa memanggilku Tari atau Yadi. Aku tinggal di salah satu desa di Bantul. Sejak peristiwa 27 Mei 2006 lalu, aku hanya tinggal bersama Ayahku di sebuah rumah pemberian seorang wanita. Mereka memberi kami rumah, makanan, harta benda, dan uang tetapi dengan syarat kami harus memberikan keyakinan kami. Ayahku setuju. Begitu mudah ia memberi harga kepada keyakinan yang sejak dulu kami peluk dan yakini dengan sebuah rumah, segenggam beras dan beberapa harta benda. Mungkin karena keyakinan itu bukan dari pencarian hati, tetapi hanya berupa warisan turun temurun dari keluarga kami. Saban minggu, wanita itu datang menjenguk ayah yang sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa dengan membawa bahan makanan, dan sedikit uang untuk ayah dan aku. Tapi aku tidak pernah mau mengambilnya, begitu juga makanan dan keyakinan baru yang dibawanya.

Seumur hidup, inilah saat pertama kali aku menentang perintah ayahku. Sejak kecil, aku tidak pernah berani berkata tidak terhadap pilihannya. Aku takut. Aku tahu, apa yang ia katakan itu benar dan baik untukku, walaupun aku tidak menyukainya.

“Yad, ikutlah kepada ayah. Apa yang dikatakan tante itu benar, kita akan mendapatkan kebahagiaan bersamanya,” kata ayah malam itu.

Aku hanya diam. Tidak berani berkata apa-apa. Tapi ayah sudah tahu, bahwa diamku berarti penolakan terhadap tawarannya.

“Yad, hidup kita akan lebih baik. Kau tidak perlu susah payah mengejar mimpimu itu. Belum tentu ada kebaikan di sana. Zaman sekarang lebih baik hidup dengan realistis, mimpi tidak menjamin hidupmu akan bahagia,” sambungnya.

“Setidaknya aku bahagia punya mimpi. ” kataku singkat. Aku beranjak pergi meninggalkan ayah sendiri di ruang tengah.

Aku tahu sikapku sangat mengecewakannya. Aku juga tidak pernah berniat akan mengecewakannya, terlebih lagi menentang kemauannya. Tapi kali ini yang bermain bukanlah diriku, tetapi hati kecilku. Dialah yang belakangan selalu mengandalikan diriku secara penuh, terutama sejak ayah mengenal wanita itu. Hatiku juga yang terus-menerus memberikan motivasi kecil kepadaku untuk selalu yakin dengan apa yang kupegang saat ini.
***

Suara ombak berderu kencang. Angin laut memainkan rambutku lembut. Malam ini langit parangtritis terlihat cerah. Bintang gemintang berhamburan di atas langit biru, berkerlip seperti lampu-lampu kota yang dilihat dari ketinggian. Aku selalu ke sini setiap malam. Menenangkan diri yang semakin hari selalu diliputi kegundahan dengan melihat gugusan bintang-bintang bersinar terang di langit sana. Satu bintang yang selalu kupandangi yang terlihat lebih terang di antara yang lainnya. Aku tidak tahu apa nama bintang itu, bahkan aku tidak tahu apakah itu bintang atau planet. Yang jelas, hatiku selalu merasa tenang setiap kali aku melihat bintang itu. Mimpiku selalu kusandingkan dengan bintang tersebut, berharap kelak mimpiku akan secerah bintang itu.

Seketika aku teringat tentang ayah. Cepat-cepat aku mengusirnya. Aku tidak mau memikirkan dia sekarang. Bukankah aku di sini untuk menghindar darinya? Tetapi, aku tidak bisa. Semakin aku berlari menjauh, semakin dekat bayangnya di pelupuk mataku. Dan aku semakin merasa bersalah karena telah mengecewakannya. Kenapa aku tidak menuruti kata-katanya saja, ikut dengan wanita itu? Hidup berkecukupan, tidak perlu lagi pagi-pagi ke pasar menjadi buruh serabutan. Mungkin benar kata ayah, zaman sekarang lebih baik hidup realistis, mimpi tidak pernah bisa memberimu makanan, apalagi hidup. “Jangan sampai kau menuhankan mimpimu, hingga kau mengecewakan ayahmu,” kata ayah suatu waktu.

Aku  terdiam. Pikiranku semakin kacau. Deru ombak semakin kencang terdengar dari bibir pantai. Desau angin tak lagi lembut membelai helai-helai rambutku. Semakin jauh melangkah, aku semakin tidak tahu dimana posisiku sekarang, dan kemana lagi kaki ini harus aku langkahkan.

“Mimpi itu omong kosong. Hanya orang-orang yang tidak berani melihat kenyataan saja yang percaya dengan mimpi,” ucap ayah lagi suatu malam ketika aku baru pulang. Ia memanggilku, dan mengajakku berbicara lagi. Masih masalah yang sama.

“Hidupmu saat ini, hari ini. Berbuatlah apa yang bisa kamu lakukan untuk hidupmu hari ini. Bukan untuk ayah, tante itu, atau siapa pun. Tapi untuk hidupmu, kebahagiaanmu sendiri. Tidak perlu Kamu bersusah payah memikirkan orang lain dengan mimpimu. Kamu tidak pernah tahu kapan mimpi itu bisa terwujud, kapan ia akan menjadi sesuatu yang muncul dalam kehidupan nyata. Kamu tidak pernah tahu apakah waktumu masih ada hingga mimpi-mimpimu itu menjadi nyata.” Aku hanya terdiam. Menunduk.

Ayah menarik nafas, dan menghembuskannya. Ada getar dalam desah yang keluar. Tatapannya melunak. Gurat-gurat wajahnya terlihat semakin jelas, lelah memikirkan beban hidupnya.

“Ayah tidak menginginkan apa-apa darimu. Dan ayah juga tidak bisa memberikan apa-apa untukmu. Ayah hanya ingin kamu tetap menjadi anakku, apapun keyakinanmu, apapun jalan yang kamu pilih, apapun cerita yang kamu tuliskan dalam buku hidupmu.”

Ayah tergopoh berdiri dari duduknya. Sambil bertumpu pada tongkat penyangga, ia berjalan masuk ke kamarnya. Aku masih duduk di kursi ruang tamu. Mataku terus memandanginya berjalan meninggalkanku, hingga punggungnya hilang di balik pintu kamar. Sedang pikiranku tengah berkelana entah kemana, mencari jejak dalam langkah-langkah kosong. Berbisik dalam bias-bias suara yang tak bergaung. Meraba catatan mimpi yang aku torehkan dalam lembaran-lembaran kehidupan dengan tinta warna-warni. Indah di sana.
Aku bangkit dari kursiku. Menuntun sepeda tuaku keluar rumah. Kemudian pergi menerobos hening malam. Maaf ayah, aku harus lari. Lari darimu, lari dari mimpi, dan lari dari hidup.

4 komentar:

  1. cape Di kalo lari..hahaha... mending mengendarai motor, sepeda atau mobil.
    Bagi saya melarikan diri, tidak akan menyelesaikan masalah.. si Yadi ternyata hanya seorang pemimpi, tapi tak ada niat dari dirinya untuk mimpi itu sendiri.

    BalasHapus
  2. sampe cerpen ini, aku masih suka dengan gaya penceritaanmu Jo. entah kenapa alurnya selalu ngalir santai, dan aku selalu bingung mau komen di sebelah mana. mungkin karena kemampuan kritikku masih kuran banget.
    tapi, dari awal sampe akhir si Tariyadi nguprek aja sama mimpi, kok malah ga disebutin mimpinya apa. jadi kesannya cerita ini kosong. ya, walaupun emang ada banyak banget petuah penting yang disisipkan di cerpen ini, tapi ke-tiada-an keterangan mimpi apa sih sebenernya yang dikejer Yadi, menjadikan cerpen ini gregetnya ilang. padahal di awal udah bagus tuh nampilin scara frontal tentang dimana sikap ayahnya. hehe

    BalasHapus
  3. oya, aku juga setuju sama komentarnya mas-mas yang di atasku. terutama komentar bagian akhir.hhe

    BalasHapus
  4. tuko : hahahahh... enakan naek andong, bisa sekalian ngojek. hehe... emang sih, karena tekadnya ga sebesar mimpinya.

    desta : iya sih, banyak banget yang ngasih komen kaya gitu. Mungkin, karena paradigma kita kebanyakan terfokus sama mimpi, jadi setiap ada kalimat mimpi yg kita kejar "mimpinya apa sih?". padahal, ada banyak hal yg bisa lebih berarti dari mimpi, dan ada banyak hal yang lebih menarik dari mimpi.
    cerpen ini punya caranya sendiri untuk menjelaskan maksudnya, hehehehe...

    makasih yo mpok...

    BalasHapus

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman