Bongkar-bongkar file lama, ternyata nemuin banyak
tulisan-tulisan iseng dan aneh yang nggak jelas. Hahaha. Salah satunya cerita
ini nih, tentang imajinasi anak kecil. Bener-bener imajinatif banget deh
ceritanya. Monggo dibaca aja ya…
Kisah Pangeran Pedang Naga
http://w29.indonetwork.co.id |
“Kita harus menyusun strategi untuk
menyelamatkan tuan putri,” kataku setengah berbisik.
Di tempat persembunyian, aku – sang
Pangeran Pedang Naga –, Budi – Pangeran Biru –, Didin – Ksatria Kuda Putih –
dan Badun – Manusia Sakti Berperut Besar – tengah menyusun rencana untuk
menyelamatkan putri Rukam yang disandera oleh Bagong sang Monster Ruba dan
kelompoknya. Sejak tadi kami sudah bertarung habis-habisan melawan pasukan
berkuda Monster Ruba. Kami sangat kelelahan, tidak banyak tenaga yang tersisah.
Begitu juga Pangeran Biru, Ksatria Kuda Putih dan Manusia Sakti Berperut Besar
sudah kelelahan dan terluka. Jika kami menyerbu markas mereka secara langsung,
kami tidak yakin akan mampu mengalahkan Monster Ruba. Ia sangat Kuat. Belum
lagi Manusia Laba-laba, Panglimanya yang terkenal kebal senjata dan gerakannya
sangat cepat dan prajuritnya yang begitu banyak, jika tidak menyusun strategi
dengan matang, bisa-bisa nyawa putri rukam terancam bahaya.
“Kita tidak mungkin bisa melawan
mereka dengan kondisi kita seperti ini. Apa ada di antara kalian yang punya
strategi jitu untuk mengalahkan Monster Ruba dan Manusia Labalaba?” kataku.
“Aku masih punya seratus anak panah
sakti. Setiap anak panah bisa menghabisi seratus prajuritnya,” Pangeran Biru
memberikan solusi.
“Palu raksasaku bisa membuat
goncangan besar. Aku yakin bisa membuat mereka kebingungan,” manusia sakti
Berperut besar manambahkan.
“Lukaku tidak terlalu parah. Aku
akan melawan manusia laba-laba dengan pedang putihku,” kali ini Ksatria Kuda
Putih memberikan pendapatnya.
“Baiklah. Aku punya rencana.
Pertama-tama, Manusia Sakti. Tugasmu membuat mereka kebingungan dengan Palu
raksasamu.” Manusia Sakti mengangguk mengerti. “Kemudian Pangeran Biru.”
Pangeran Biru bersiap mendengarkan perintahku. “Waktu mereka kebingungan,
tugasmu mengahbisi prajurit-prajurit Monster Ruba dengan panah saktimu.”
“Siap!” kata Pangeran Biru
semangat.
“Sekarang kamu, Ksatria Kuda
Putih.” Ksatria Kuda putih memperhatikanku serius.
“Kamu dan aku langsung masuk ke
dalam dan melawan Manusia Labalaba. Ingat, dia sangat cepat dan tangguh. Kita harus
hati-hati,” kataku mengingatkan.
“Baik. Saya mengerti,” seru Ksatria
Kuda Putih mantap.
“Setelah semuanya berhasil kita
kalahkan, Kita semua akan berhadapan dengan Monster Ruba. Baiklah, ayo kita
mulai sekarang!” seruku.
Manusia Sakti maju terlebih dahulu,
mengambil posisi menyerang dengan Palu Raksasanya. Kemudian di belakangnya
Pangeran Biru mengikuti, bersiap dengan seratus anak panah saktinya.
“Aku siap. Lakukanlah segera,”
jawab pangeran Biru.
“Baiklah,”
Setelah mengumpulkan tenaga dari
seluruh alam, ia kemudian mengangkat palu saktinya tinggi-tinggi. Palunya
mengeluarkan cahaya merah kekukining-kuningan yang menyilaukan. Kemudian dengan
sekuat tenaga ia menghentakkan palunya ke tanah. Dengan serta merta bumi
bergoncang hebat, tanah terbelah, langit menjadi sangat pekat seakan-akan telah
terjadi kiamat.
Markas Monster Ruba bergoncang
hebat, para prajuritnya yang keluar karena mengetahui kedatangan manusia sakti
dan pangeran biru saling bertabrakan satu sama lain, sebagian yang lain
terjatuh ke tanah karena goncangan palu raksasa manusia Sakti.
Melihat para prajurit Monster Ruba
yang kehilangan keseimbangan, pangeran biru langsung melepaskan anak panahnya.
Menakjubkan melihat anak-anak panah tersebut meluncur. Bahaya biru bersinar
sangat terang menerangan setiap anak panah tersebut meluncur. anak panah yang
dilepaskan semakin jauh semakin banyak, seperti kerumunan tawon yang siap
menyerang orang yang mengganggu sarangnya. Dari masing-masing anak panah itu
keluar seratus anak panah lainnya, sehingga anak panah tersebut menjadi sangat
banyak menyerang prajurit Monster Ruba. Dengan sekejap anak panah pangeran biru
merobohkan seluruh prajurit monster Ruba yang ada diluar. Mereka mati dengan
puluhan anak panah yang menancap di seluruh tubuhnya.
Manusia Sakti dan Pangeran biru
terus masuk melawan semua prajurit yang masih tersisa di dalam.
“Sekarang giliran kita, Ksatria
Kuda putih, apa kamu sudah siap?” tanyaku seraya terus mengawasi perkembangan
dari usaha Manusia Sakti dan Pangeran Biru.
“Aku sudah siap, Pangeran.” Seru
Ksatria Kuda Putih.
“Baiklah, ayo sekarang kita
serang.”
“Kyaaaaaa....” seruku dan Ksatria
Kuda Putih secara bersamaan.
Kami berdua langsung masuk ke dalam
ruang dimana terdapat Manusia Labalaba yang sedang mengawasi keamanan sekitar
markasnya dari dalam sekaligus menjaga putri Rukam.
“Hahaha.... apa kalian pikir kalian
bisa mengalahkan aku, hah!” kata Manusia Labalaba dengan penuh percaya diri.
“Kalau begitu, bersiaplah untuk merima seranganku. Kyaaaaaa.... ”
Pertempuran sengit antara aku,
Ksatria Kuda Putih dan Manusia Labalaba terjadi. Dugaanku benar, ia terlalu
tangguh untuk dilawan seorang diri. Tetapi, dengan berkerja sama seperti itu,
aku dan Ksatria Kuda Putih pasti bisa mengalahkannya. Gerakannya cepat,
melompat, berlari ke sana ke mari, membuat kami berdua kesusahan untuk
menyerangnya. Sebaliknya, ia begitu leluasa menyerang kami. Ketika Manusia
labalaba bergerak cepat, aku mengambil posisi menyerang seraya berkonsentrasi
penuh dengan memusatkan tenaga dalam di pedang nagaku. Begitu juga dengan
Ksatria Kuda Putih, ia tampak serius, matanya tak lepas mengawasi pergerakan
manusia labalaba, meskipun cepat, kami pasti bisa menghentikannya.
Ksatria Kuda Putih menancapkan
pedangnya ke tanah sehingga dengan seketika bumi terbelah menjadi dua. Tetapi,
ternyata manusia labalaba tidak terpengaruh dengan serangannya karena dia mampu
bergerak kemana saja. Ia melompat, berjalan di atas dinding dengan cepat,
secepat kilat. Tetapi, tanpa ia sadari, aku justru mendapatkan ide untuk dapat
mengalahkannya. Dengan membelah bumi, daerah geraknya menjadi terbatas.
Sekarang ia hanya bergerak di atas. Ini memudahkanku untuk segera menghabisinya
karena ruang geraknya yang semakin sempit sehingga lebih memudahkanku.
Ketika sudah dapat membaca
gerakkannya, aku bersiap melakukan serangan terakhirku untuk segera
mengalahkannya.
“Terimalah serangan Pedang Naga
dari Laut Timur... Kyaaaaaaa..... !!! ” aku melompat seraya menyabetkan
pedangku ke arahnya.
“Aduh!” terdengar teriakan
kesakitan. “Kamu mukulnya beneran. Sakit tauk!” kata Dana sewot. Tangannya
memegang kepalanya yang aku pukul dengan ‘pedang’ku seraya menahan sakit.
Aku hanya bisa tersenyum bodoh
seperti orang tak bersalah, dan cepat-cepat meminta maaf sebelum keadaan
berubah. “Hehehe.. maaf, maaf.. terlalu semangat tadi itu. Maaf ya,” kataku
polos.
Dana masih memasang muka sebel.
Sepertinya aku tadi kelewatan memukulnya. Terlalu semangat menjadi seorang Pangeran.
Hehehe.
“Woi, udah yuk. Kerbaunya udah jauh
tuh,” seru Titin mengingatkan. Karena keasyikan bermain, kami sering lupa
dengan kerbau-kerbau kami. Beberapa kali, bahkan sering kali, kami harus pulang
hampir magrib karena harus mencari anak kerbau kami yang terpisah dari
induknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar