Yang lagi pada demam bola, ada satu cerita nih. Tapi agak sedikit imajinatif alias ngayal. Nggak apa-apa deh, biar ngayal, asal bahagia, daripada nyata susah tertawa? Lho, nggak nyambung. Biarin.. hahha. Monggo dibaca aja ceritanya
Bang Bodan
http://duasatumovie.blogspot.com |
“Semalem nonton tsubasa nggak?” tanya Dadan sepulang sekolah.
“Iya, wah, keren banget tendangannya. Gawang Wakasimatsu akhirnya jebol juga sama tendangan jarak jauhnya Tsubasa,” aku menanggapi. “kalau punya tendangan kayak dia, pasti keren banget. Bisa-bisa aku jadi pemain bola terkenal, hehehe.” Tersenyum, seraya membayangkan keajaiban tersebut benar-benar terjadi kepadaku.
“Huuu.. ngayal,” timpal Badun. Yang lain ikut menyoraki. Aku hanya tersenyum, masih asyik dengan khayalanku.
“Tapi gawangnya wakabayasi jebol juga sama tendangan elangnya Hyuga,” Didin menambahi.
“Tapi ntar akhirnya timnya Tsubasa juga yang menang. Masa jagoannya kalah,” kataku membela diri.
“Yeee.. mana bisa. Koziro Hyuga dan kawan-kawan yang menang. Enak aja,” Didin menimpali.
“Sok tahu nih kalian berdua, nanti tuh hasilnya seri, kalo nggak salah 2-2,” kali ini Titin angkat bicara, menengahi perseteruan antara aku dan Didin yang mendukung tim unggulan kami masing-masing.
“Tahu darimana kamu?” tanyaku penasaran.
“Yeee.. itu tuh udah diulang-ulang terus ya.. kalian aja yang telat nontonnya. Tsubasa kan film lama banget.”
Aku, Didin, dan yang laen hanya meng-O secara bersamaan. Titin hanya melengos melihat ekspresi kami yang terlihat bodoh.
“Eh, ntar sore ada sepak bola kan di lapangan perkebunan?” Titin mengingatkan.
“Ow, iya... aku juga denger semalem abangku bilang kalo ada pertandingan nanti sore di lapangan perkebunan,” kataku teringat pembicaraan abang dengan temannya sehabis magrib di masjid kamarin.
“Mana sama mana yang tanding?” tanya Badun.
“Gawang sana sama gawang sini,” celetukku.
“Anak ayam juga tahu. Maksudku tim mana yang tanding, DODOL!” ujar Badung geram.
“Aku nggak tahu. Kayaknya tim perkebunan, tapi nggak tahu sama mana.”
“Nonton yuukk?” ajakku.
“Woi... Kerbaumu mau ditaruh mana? Aku nggak mau kalo di suruh jagain lagi, ntar ilang lagi kayak waktu kalian nonton bola di lapangan perkebunan minggau kemarin, kau jaga sendirian. Kerbaunya pada lari entah kemana,”
“Hehehe.. nggak lama kok. Ntar kalau ada apa-apa tanggung jawab kami,”
Titin hanya cemberut karena kali ini dia harus menjagakan kerbau kami lagi selama kami nonton pertandingan bola.
***
Sore ini seperti yang dikatakan bang Abdu kemarin magrib tim sepak bola perekebunan akan bertanding kembali melawan tim kecamatan. Dan kali ini, untuk kesekian kalinya aku, Didin, Badun, Budi dan Ardan menonton pertandingan bola di lapangan perkebunan setelah berhasil membujuk Titin untuk menjagakan kerbau-kerbau kami. Kali ini Dadan tidak ikut kami, ia lebih memilih menjaga kerbaunya bersama Titin. Mungkin dia ingin PDKT sama Titin. Tapi, untuk anak seusia kami belum begitu mengenal dengan yang namanya cinta dan pacaran, kecuali cinta monyet. Ah, terlalu jauh untuk memikirkan hal itu. Mungkin Dadan tidak enak hati kalau membiarkan Titin menjaga kerbau-kerbau kami sendirian.
Sehabis ashar kami berempat berjalan ke lapangan perkebunan. Tidak terlalu jauh memang, hanya sekitar satu kilometer dari tempat kami mengangon kerbau-karbau kami di kebun kelapa sawit milik perkebunan. Sepanjang perjalanan menuju ke lapangan, perbincangan kami tidak terlepas dari film kartun sepakbola favorit kami, Tsubatsa, dan membayangkan jika Tsubatsa ikut bertanding bersama tim perkebunan di pertandingan nanti.
Ketika kami sampai di lapangan perkebunan, pertandingan sudah berlangsung lima belas menit. Kami langsung mencari posisi strategis agar bisa melihat jelas pertandingan ini sekaligus agar aku tidak ketahuan Bang Abdu karena meninggalkan kerbau-kerbau kami demi menonton sepak bola. Selama lima belas menit berlangsung, tim perkebunan ketinggalan satu angka dari tim kecamatan. Pertandingan berlangsung seru. Meski tertinggal satu angka, tim perkebunan terlihat terus menerus melakukan serangan ke kubu lawan. Kerja sama antara bang Bodan dan bang Nadi membuat tim kecamatan kewalahan. Pasalnya, sejak tadi mereka berdua mengobrak-abrik pertahan belakang tim kecamatan hingga nyaris mencetak gol. Namun, sayang. Penjaga gawang tim kecamatan cukup tangguh. Beberapa kali tembakan bang Nadi dengan mudah di tepis olehnya. Padahal bang posisi bang Nadi sudah cukup menguntungkan, tetapi ternyata penjaga gawang tersebut lebih beruntung. Badannya yang tinggi dan terlihat gagah, membuatnya begitu mudah bergerak ke sana ke mari untuk mengamankan gawangnya dari tembakan lawan.
Babak pertama pertandingan antara tim perkebunan melawan tim kecamatan berakhir. Tim perkebunan masih tertinggal satu angka dari tim kecamatan. Sepertinya memang sedikit agak berat melawan tim kecamatan yang sekarang, terutama penjaga gawang mereka, berbeda sekali dengan yang dulu. Dari tadi orang-orang di sekitarku terus membicarakan kehebatan kiper tim kecamatan yang sangat sulit di bobol oleh bang Bodan dan bang Nadi, duet andalan tim perkebunan. Padahal umpan-umpan mereka cukup matang dan tembakan mereka sangat akurat. Tetapi, tidak satupun yang berhasil menembus pertahanan penjaga gawang tim kecamatan.
Babak kedua sudah di mulai. Sepertinya tidak ada perbedaan dari kombinasi permainan tim perkebunan di babak kedua ini. Bang Bodan dan bang Nadi masih menjadi andalan di posisi gelandang. Ada beberapa pemain yang digantikan, tetapi aku tidak tahu siapa. Yang aku kenal dari tim perkebunan cuma bang Bodan sama bang Nadi, karena mereka yang paling hebat di tim perkebunan. Selain itu, rumah mereka juga nggak begitu jauh dari rumahku. Makanya aku kenal mereka.
Penonton bersorak-sorai ketika bang Bodan menggiring bola. Dua-tiga lawan sudah berhasil ia lewati. Gerakannya lincah, menggocek bola tanpa ada yang mampu merebutnya dari cengkramannya. Tak lama kemudian, bola dioper ke bang Nadi. Dengan sigap bang Nadi menerimanya dan langsung mencengkram kuat di kakinya agar tidak di rebut musuh. Ia mulai menggocek dengan cekatan. Melewati satu demi satu lawan yang menghadang. Jarak antara dia dengan gawang kiper “wakashimatsu” hanya berjarak beberapa meter, tetapi sulit jika harus menshoot langsung dari posisinya. Tidak jauh darinya, bang Bodan sudah siap di posisi strategis untuk mengeksekusi umpan yang diberikan bang Nadi.
Bang Nadi tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan lincah ia menggiring bola masuk ke daerah kotak putih. Membuat jarak antara dia dan si kiper wakashimatsu semakin dekat. Ketika posisinya hanya beberapa meter dari sang “kiper karate” tersebut, ia menshoot bolah ke arah pojok mistar gawang. Agak tinggi, berharap bisa melewati tubuh sang kiper karena dibelakang kiper, bang Bodan sudah bersiap untuk menciptakan gol pertama untuk tim perkebunan. Sorak sorai penonton tertahan menyaksikan detik demi detik terciptanya gol pertama tim perkebunan. Mereka semua antusias menyaksikan gol indah yang dihasilkan oleh pasangan emas tim perkebunan. Antusias penonton sama seperti antusias bang Bodan yang ingin segera mengeksekusi bola yang sepersekian detik lagi akan tiba di hadapannya. Namun sayang, taktik bang Nadi lagi-lagi dapat dilumpuhkan oleh kiper tim kecamatan. Saat bola bergulir di atas kepalanya, ia melompat dan berhasil menepis bola yang dipersiapkan untuk dieksekusi bang Bodan. Bola pun terlempar keluar melewati mistar gawang. Tim perkebunan mendapat kesempatan off side.
Hasil tersebut jelas saja membuat para penonton dan pemain merasa kecewa. Tetapi, ada satu fakta yang terjadi, semuanya, baik penonton, maupun para pemain dari kedua tim mengakui bahwa penjaga gawang yang hebat. Dan aku benar-benar melihat wakashimatsu di dalam dirinya.
Melihat kegagalan demi kegagalan yang dialami tim perkebunan, terutama bang Bodan dan bang Nadi membobol gawang tim kecamatan, membuatku berpikir, ternyata Tsubatsa belum datang membantu tim perkebunan. Kemana dia? Semestinya dia belum ada di sini, membantu tim perkebunan karena Wakashimatsu sudah datang membantu tim kecamatan.
Setelah kegagalan terakhir tadi, semangat tim perkebunan terlihat melemah. Serangan mereka tidak segencar sebelumnya. Jangan sampai tim perkebunan kalah. Mungkin sudah saatnya aku masuk membantu tim perkebunan. Yah, aku akan masuk. Aku tidak bisa diam saja melihat mereka kewalahan menghadapi tim lawan yang mendapat kekuatan dari Wakashimatsu. Aku juga harus masuk membantu mereka. Aku akan membobol gawang Wakashimatsu seperti ketika dia menjaga gawang Mewa.
Aku beranjak dari dudukku dan bergabung bersama pemain yang lain. Permainan dimulai lagi. Aku, bang Bodan, dan bang Nadi bekerja sama membuat serangan kembali. Bang Bodan berhasil melewati beberapa pemain lawan. Bola dioper ke bang Nadi. Yang dituju langsung dengan sigap menggocek bola, melewati beberapa lawan. Kemudian mengembalikan kepada bang Bodan. Setelah mempersempit jarak ke gawang, bang Bodan dan bang Nadi mengambil posisi siap di sekitar gawang. Sedikit kesulitan karena para pemain belakang tim kecamatan berusaha menahan posisinya. Tetapi, itu semua berhasil ia hadapi. Posisi bang Bodan hanya beberapa meter saja dengan gawang. Di belakang sang penjaga gawang, bang Nadi sudah bersiap. Penjaga gawang itu menyadarinya. Tetapi, ia tidak gentar sedikit pun. Ia terus bersikap waspada dengan apapun kemungkinan yang terjadi.
Bang Bodan menshoot bola. Penjaga gawang itu sudah siap dengan serangan ini. Ia menyangka apa yang terjadi tadi akan terulang lagi. Namun sayang, dugaannya salah besar. Karena kali ini yang dimaksud oleh bang Bodan bukanlah bang Nadi yang sudah siap di sudut gawang, melainkan aku yang sedari tadi sudah siap dengan posisi menembak.
“Sekarang giliranmu!” seru bang Bodan kepadaku.
Saat bola itu sampai kepadaku, aku langsung menggunakan tendangan andalanku, tendangan jarak jauh Tsubatsa! Bola melambung tinggi seakan-akan hendak membelah langit. Sesaat kemudian, bola itu menukik tajam seperti elang yang hendak menerkam mangsanya dan langsung membobol gawang sang penjaga gawang “Wakashimatsu”. Gol pun tercipta. Satu angka untuk tim perkebunan. Tak lama kemudian pluit tanda berakhirnya pertandingan melengking keras.
“Woi, balik yook,” teriak Badung.
Aku tersentak. Melihat sekeliling dengan tampang bingung karena menyadari bahwa aku masih duduk di pojok lapangan bersama teman-temanku.
“Kok udah?” tanyaku polos.
“Lha, mau ngapain lagi di sini. Udah selesai kok,” jawab Badun.
“Berapa hasilnya. Menang mana?” tanyaku lagi. Polos.
“Seri. 1-1,” jawabnya lagi. Menahan sebal.
“Sapa yang ngegolkan?”
“Kamu tuh dari tadi ngapain aja? Mesti ngayal lagi. Yang ngegolkan sapa lagi kalau bukan bang Bodan,” jelasnya kesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar