Jumat, 13 April 2018

Menerima Diri Menjadi Introvert

sumber: thesecretintrovert.com



Salah seorang teman pernah curhat bagaimana susahnya dia mencari teman. Kadang dia iri melihat teman-temannya yang lain ngumpul dengan teman-temannya, rame, seru. Tapi buat dia, ketemu satu temen buat makan bareng aja kadang susah. Sering juga bertanya dalam diri, apa yang salah ya, kok kayaknya mereka pada takut temenan sama aku?

Aku seperti melihat diriku ketika dia bercerita. Bukan, bukan soal jodoh, tapi yang ia alami pun aku mengalami hal yang sama. Pergaulan jadi masalah terbesarku bahkan hingga usiaku sekarang. Dalam lingkungan yang ramai, kelompok organisasi yang terlihat solid, tapi aku juga masih sering merasa kesepian. Seringkali merasa kalau keberadaanku seperti tak kasat mata, ada nggak ada aku ya sama aja, nggak berpengaruh apapun.

Aku introvert. Tulisan ini juga ingin bercerita bagaimana seorang introvert menjalani kesehariannya. Memang gak ada yang penting barangkali dengan hidupku, tapi aku ingin menjelaskan hal yang mungkin berbeda dengan apa yang kebanyakan orang tau tentang introvert.

Apa sih introvert itu?

Jika aku bertanya, apa yang kalian tau tentang introvert? Pemalu, anti sosial, menutup diri dan suka menyendiri? Sebagian besar orang mendeskripsikan introvert seperti itu. Padahal tidak semuanya benar. Suka menyendiri mungkin benar, karena kebanyakan introvert lebih suka menghabiskan waktu sendiri mendengarkan musik kesukaan atau membaca buku di dalam kamar atau suatu tempat yang jauh dari keramaian. Terutama ketika energi mereka menipis dan mereka menjadi moody.

Introvert dan ekstrovert, menurut Marti Olsen Laney, Psy.D dalam bukunya Introvert Advantage adalah tempramen bawaan setiap orang sejak lahir, dan itu melekat kepada seseorang seumur hidupnya. Sepertiga penduduk dunia adalah introvert dan duapertiga sisanya adalah ekstrovert. Banyak tokoh-tokoh dunia yang merupakan seorang introvert, seperti Enstein. Kedua tempramen ini sangat bergantung dengan energi dari orang tersebut, dan energi tersebut juga sangat berpengaruh terhadap lingkungannya. Energi ini bisa juga kita ibaratkan sebagai mood. 

Jika diibaratkan batrai, introvert adalah batrai rechargeable, artinya dia butuh tempat dan waktu khusus untuk mengisi energinya. Sedangkan ekstrovert bisa diibaratkan batrai solarsel yang membutuhkan lingkungan luar untuk mengisi tenaganya, sama seperti ekstrovert yang butuh orang-orang, kelompok, atau komunitasnya untuk mengembalikan energinya.

Jika introvert dalam kondisi energi yang terisi penuh, artinya moodnya sedang baik ia bisa sangat ceria, suka bercerita, becanda dan jadi pusat perhatian laiknya ekstrovert. Image pemalu dan anti sosial seakan hilang darinya.  Ketika membahas sesuatu yang mereka kuasai atau apa yang memang sudah disiapkan, mereka akan tampil sangat gemilang yang bisa bikin banyak orang takjub.

Tetapi ketika energinya menipis, wajah murung seperti cewek pms dengan mood berantakan terlihat jelas seakan membuat orang di sekitarnya lebih baik menjauh. Kondisinya pun mudah lelah, ketika kumpul dengan teman-teman seakan sangat menjemukan dan membuat mereka ingin cepat-cepat menghindar dari keramaian dan mencari tempat yang lebih tenang. Kondisi ini yang kadang membuat kebanyakan orang dengan karakter introvert serba salah. Di satu sisi mereka ingin ikut kumpul dan bergaul, tapi di sisi lain swing mood membuat mereka sangat tidak nyaman berada dalam lingkungan keramaian. Seringkali kondisi ketidaknyamanan mereka juga mempengaruhi lingkungan mereka. Sikap yang nyebelin dan kata-kata yang nyakitin juga sering muncul dari mereka. Inilah yang akhirnya membuat banyak introvert akhirnya dijauhi.

Introvert perlu kenal diri mereka

Menerima diri dengan tempramen introvert itu penting. Setiap orang harus mengenal diri mereka sendiri lebih dari siapapun, terutama mereka yang terlahir sebagai introvert. Tidak ada yang salah menjadi introvert, itu bukan sebuah kecacatan lahir. Hanya saja kita perlu mengenal siapa diri kita, mengetahui kelebihan dan kekurangan diri sendiri, hobi, passion, bahkan tentang apa itu introvert.

Aku bukan ingin promosi buku Introvert Advantage, tapi setelah baca buku itu membuatku punya pandangan berbeda tentang diriku sendiri, juga sebagai seorang introvert. Aku lupa kapan tepatnya buku ini aku baca, mungkin sekitar menjelang akhir kuliah. Aku bukan tidak bergaul, di SMA aku ikut beberapa organisasi bahkan menjadi kordinator bidang, juga magang di majalah pelajar hingga menjadi pimpinan redaksi. Angkatanku sewaktu SMA pun dikenal sangat solid, tapi aku pribadi nggak merasakan menjadi bagian kesolidan itu. Masalahnya sederhana, aku nggak suka ikut kumpul-kumpul dengan mereka. Hal yang sama dan akar permasalahan yang kurang lebih sama pun terjadi hingga aku kuliah, ketika ikut dalam UKM kampus dan lingkungan angkatan. Aku seperti orang yang tidak punya kubu, artinya nggak punya temen nongkrong bareng, kemana-mana lebih sering sendirian. Tetapi hubungan dengan teman-teman dan lingkungan organisasi tetap baik.

Bukannya udah tau masalahnya cuma karena nggak ikut kumpul, kenapa nggak dilakukan, kan tinggal ikut aja? Iya bener. Aku bukan nggak mau ikut kumpul dengan mereka, tapi kadang nggak suka tempat rame, nggak nyaman, dalam beberapa kondisi lebih sering diem dan menyimak guyonan mereka yang aku nggak paham. Itu lah yang sering membuatku lebih suka nggak ikutan, karena ada nggak ada aku juga nggak ngaruh. Sedih ya.

Akhirnya aku mencoba mengenal siapa diriku sendiri, apa yang aku ingin dan butuhkan, dan dari buku ini aku juga menjadi tau banyak hal tentang introvert. Aku menerima diriku sebagai seorang introvert. Setelah saat itu, aku merasakan banyak hal dalam diriku pribadi, dan ternyata juga berpengaruh kepada pandangan orang lain terhadapku.


Menjadi pribadi yang bebas

sumber

Aku tidak tau jelas dimana perubahan itu dimulai, tapi memanjangkan rambut hingga sebahu kuanggap sebagai fase menjadi pribadi yang lebih bebas dan percaya diri, yang nggak lagi sibuk memikirkan kenapa aku nggak punya temen dan selalu dianggap nggak ada. Aku merasakan kenyamanan menjadi diri sendiri ketika rambutku panjang. Meleburkan diri dalam aktivitas mendaki gunung, traveling juga fotografi, dan masih tetap bisa lulus kuliah dalam waktu empat tahun. Setelah lulus, sementara teman-teman yang lain sibuk mencari pekerjaan, aku memutuskan untuk traveling selama setahun ke Indonesia timur. Aku menganggapnya sebagai me time. Aku nggak peduli dengan banyak omongan orang yang bilang aku nggak bakal susah dapet kerjaan karena masa-masa fresh grad akan hilang setelah enam bulan setelah lulus, dan tersaingi dengan lulusan-lulusan baru.  Aku nggak peduli, aku melakukan apa yang kuinginkan, terlebih lagi aku tau alasan kenapa aku melakukannya.

Rencana traveling ke Indonesia timurku pun berjalan. Memang tidak bener-bener murni traveling karena aku ikut lembaga survey di daerah jawa timur selama dua bulan, kemudian program Ekspedisi NKRI dari Kopassus selama empat bulan di Ternate dan Halmahera Barat. Aku sangat bersyukur dengan apa yang aku jalani dan dapatkan dari pengalaman yang aku jalani selama setahun. Benar-benar di luar ekspektasiku.

Setelah setahun fase me time, aku mulai mencari pekerjaan di perusahaan dan bidang yang sesuai passionku. Beberapa bulan kemudian aku diterima kerja sesuai bidang dan perusahaan yang aku inginkan. 

Banyak perubahan yang aku rasakan ketika menerima diri sebagai introvert, dan mengetahui tentang karakter tempramen tersebut. Kepercayaan diri itu menjadi bekal untuk menghadapi lingkungan yang selalu menuntut untuk menjadi esktrovert. Contohnya ketika kecil, bagaimana orangtua selalu menyuruh anaknya yang lebih suka di rumah untuk keluar main dengan temannya, atau orang tua yang suka membandingkan anaknya dengan anak orang lain yang lebih ramah dan periang.

Menerima diri menjadi seorang introvert, pun membuatku mengetahui kebutuhan dan keinginanku yang akhirnya mengarahkanku kepada passion. Katanya, beruntunglah orang-orang yang menemukan passion dan hidup bersamanya. Aku mengamini itu. Walaupun dengan catatan, memilih hidup bersama passionmu itu artinya memilih jalan hidup yang berkali-kali lipat lebih keras daripada orang yang tidak memilih passion sebagai jalan hidupnya.*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman