![]() |
sumber google.com |
Banyak
orang yang berambisi mendapatkan apa yang ia impikan. Mereka yang gigih pasti
dapat menggapai apa yang diinginkan. Ambisi dimiliki oleh orang-orang yang
punya jiwa keras pantang menyerah, semangat yang tidak pernah padam. Mereka
punya fokus tujuan yang jelas, dan perencanaan yang matang. Semangat mereka
seperti gas bumi abadi yang tidak pernah habis hingga mereka mati, selalu
menyulutkan api semangat. Mereka belajar dari kegagalan yang mereka alami,
keberhasilan orang lain, untuk menggapai keberhasilan mereka sendiri. Kepuasan
hampir tidak ada dalam kamus hidup mereka. Karena kepuasan hanya akan membuat
mereka terlena, dan kelenaan mirip seperti air yang memadamkan api semangat
mereka. Itu sebabnya mereka diajarkan untuk tidak mengenal arti kepuasan.
Tantangan
adalah makanan yang membuat mereka hidup. Jika tidak ada tantangan, sama saja
membunuh mereka secara perlahan. Tanpa tantangan, hidup mereka monoton.
Kemonotonan menghapus semangat, dan akhirnya membunuh ambisi, yang sama saja,
membunuh mereka. Para ambisioner selalu mencari tantangan. Apapun itu. Tapi
entah dengan ketidakpastian, apakah mereka tertantang atau tidak.
Para
ambisoner adalah pembelajar yang baik. Mereka belajar dari segala hal yang ada
di depan mereka, kegagalan, keberhasilan orang lain, sejarah, termasuk
tantangan.
Tetapi ada
kalanya para ambisioner lemah. Yaitu ketika ambisi telah memerangkapnya.
Hidupnya diisi dengan segala ambisi-ambisi yang selalu ingin ia taklukkan
hingga terkadang mereka lupa untuk menikmati apa yang telah mereka raih. Lupa
memperhatikan sekelilingnya, orang-orang sekitarnya karena hidupnya terfokus
dengan ambisi-ambisi, dengan tantangan, dengan target-target pencapaian yang
tidak akan pernah habis. Seringkali kesadaran mereka akan hal tersebut datang
pada masa akhir, ketika mereka tergolak di rumah sakit dengan selang panjang
yang menyambung nyawanya. Hati mereka kering, kesepian, hanya suster berpakaian
putih-putih yang sesekali menemaninya.
![]() |
sumber google.com |
Di samping
para ambisioner, ada para penerima. Mereka adalah orang-orang dengan rasa syukur
tertinggi dan sabar yang melebihi batas. Mereka menerima apa pun yang mereka
dapatkan. Bagi mereka, penerimaan adalah ungkapan rasa syukur atas apa yang
telah diberikan. Mereka memiliki ambisi, visi-misi, impian dan cita-cita,
tetapi mereka lebih menerima realitas. Bagi mereka, tidak semua kenikmatan yang
mereka rasakan saat ini juga diraskan oleh orang kebanyakan. Mereka menikmati
itu. Tidak peduli dengan mimpi-mimpi dan ambisi jika tujuan akhirnya ingin
mereka dapatkan adalah kebahagiaan. Letak kebahagiaan adalah penerimaan.
Menurut
mereka, jika kita mampu menerima apa yang telah diberikan kepada kita, itu
tandanya kita sudah mendekati kebahagiaan. Kenapa hanya mendekati? Menurut
mereka, tahap selanjutnya dari penerimaan adalah ikhlas. Kalau sudah sampai di
sini, itu berarti kita sudah bahagia. Penerima dengan ikhlas apa yang diberikan
walaupun itu bukan harapan awal kita, saat itulah kita telah mencapai
kebahagiaan hidup.
Tantangan
bagi para Penerima adalah pelengkap, terkadang mereka menginginkan tetapi tidak
terlalu membutuhkan. Bagi mereka, jika ada yang tanpa risiko, kenapa harus
mencari risiko? Lebih lagi dengan ketidakpastian, tidak akan mereka ambil.
Seperti
para ambisioner, para Penerima juga menjadi lemah. Mereka lemah dengan terus
menerima. Tidak semua keadaan bisa diterima oleh hati mereka. Ketika hati
mereka tidak mampu menerimanya, keikhlasan juga tidak didapat. Secara otomatis
kebahagiaan yang menjadi tujuan mereka juga tidak bisa mereka rasakan. Mereka
hidup para penyesalan dan kekesalan karena tidak pernah memperjuangkan
keinginannya sendiri.
Tidak semua
hal bisa diterima, terutama jika hal tersebut bertentangan dengan kehendak
hati. Hati yang tidak bisa menerima tidak akan dapat memperoleh keikhlasan, dan
penerimaan yang tidak disertai keikhlasan tidak akan dapat meraih kebahagiaan.
Tapi, di antara keduanya, ada juga yang secara cermat membaginya secara merata.
25 Juli 2013
Ardian Justo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar