Rabu, 05 Juni 2013

Derita Kuli di Tanah Deli


Oleh : Fajar Riadi

Perkebunan Tembakau Deli, 1938. Foto : KITLV


Pada 1902, J. van den Brand, seorang pengacar di Medan, menulis buku ringkas berjudul De Milluoenen uit Deli. Dia menyajikan gambaran rinci tentang derita para kuli yang disiksa maian pengusaha Belanda di Perkebunan Deli, Sumatera Timur. Kisah yag ditulis van den Brand tersebar luas dan menantik kemarahan orang-orang di Negeri Belanda. Mereka menganggap pilitik etis yang digembar-gemborkan pemerintahannya di Hinda Belanda hanya isapan jempol belaka. Deli pernah menjadi pusat perkebunan, utamanya tembakau. Adalah Jacobus Nienhuijs – seorang pegawai firma JF van Leewen di Suarabaya – yang memulainya setelah dia mendapat konsesi tanah cuma-cuma dari Sultan Deli. Nienhuijs mencoba menanam tembakau dan ternyata ketika dipanen pada 1865 menghasilkan tembakau bermutu baik.

Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya menyebut tembakau hasil kebun Nienhuijs laku 149 sen per setengah kilogram, tergolong tinggi pada masa itu. Maka para investor dari perusahan-perusahaan besar berduyun-duyun menanamkan modalnya keapda Nienhuijs.
Perusahaan besar butuh banyak tenaga kerja. Perusahaan menggaet masyarakat setempat, namun banyak yang menolak karena meningkatnya perusahaan Belanda akan menghalangi perkebunan rakyat. Lagipula sebagian besar rakyat tak sependapat dengan keputusan Sultan Deli memberikan konsesi lahan yang merupakan tanah ulayat dan bertahun-tahun sebelumnya telah mereka garap.

Perusahaan ula-mula mengambil orang-orang Tionghoa dari Peanng dan Singapura, menyusul kemudian didatangkan orang-orang Jawa karena kebutuhan kuli semakin meningkat. Untuk mengatur para kuli yang berjumlah ratusan, pemerintah menerbitkan Koeli Ordonantie. Munculnya berkala, dari yang pertama Staatsblad No 133 tahun 1880 sampai Staatsblad No. 1915.

Dalam butir-butir ordonansi tersebut tertuang aturan para kuli tidak boleh membangkan perintah perusahaan. Siapapun kuli yang melarikan diri dari perkebunan akan dikjar polisi berpekbunan dan jika tertengkap akan dikembaliken ke perkebunan. Mereka juga akan dihukum, misalnya kerja paksa tanpa dibayar atau perpanjangan kontrak. Butir-butir hukuman ini dikenal dengan Poenale Sanctie (Sanksi Pidana). Sema kuli dianggap menyetujui ordonansi itu meski kebanyakan dari mereka buta huruf.

Pekerjaan para kuli sungguh berat. Jam kerja mereka bisa sampai 10 jam sehari dengan gaji sangat kecil. Tak heran banyak kuli mencoba melarikan diri, melakukan pencurian, dan menyerang mandor yang enggan menaikkan gaji. Mereka yang berbuat onar dihukum berat. Hukuman bagi para kuli digambarkan van den Brand. “Mereka diseret kkuda dengan tangan terikat, dicambuk engan daun jelantang kemudian disiram air, digantung, ditusuk bagian bawah kukunya dengan serpihan bambu, dan untuk kuli perempuan – maaf – digosok kemaluannya dengan merica halus,” tulisnya dalam De Millioenen uit Deli.

“Dengan mencap mereka (kuli) sebagai binatang dan dengan mengingkari sifat-sifat manusia yang paling elementer, setiap perlakuan terhadap mereka dapat dianggap legal, serta sama sakali tidak perlau mempertanggungjawabkannya keapda pemerintah,” tulis Jan Breman dalam Koeli, Planters en Koloniale Politiek. Meski demikian, pengusaha punya berbagai cara untuk menahan kuli-kuli “setia” kepada perusahaan. Ketika hari gajian tiba, pada malam harinya digelar pesta. Di tengah-tengah keramaian ini kulia biasa berjudi dan ke tempat pelacuran. Cara ini ampuh menguras kantong kuli yang baru saja terisi. Setelah kehabisan uang, terpaksa mereka menandatangani kontrak kerja yang baru disodorkan perusahaan. Kebiasaan ini berlangsung terus-menerus. Disebabkan  menulis De Millioenen ui Deli yang menyibak tabir kekejaman orag Eropa di Deli, van den Brand dimusuhi orang-orang Belanda, terutama para pengusaha. Begitu bencinya para pengusaha tersebut kepada van den Brand, mereka membuat iklan di koran bahwa mereka tidak punya hubungan dengan van den Brand.

Perang dunia I membuat jalur pengangkutan tembakau ke Eropa rawan dilintasi. Peran membuat daya beli negara-negara konsumen tembakau merosot tajam. Keadaan ini membuat perusahaan perkebunan di Deli memangkas biaya produksi. Pilihannya ialah mengurangi jumlah kuli. Padahal di dalam ordonansi disebutkan para kuli tak boleh diputus sebelum jatuh tenggat kntrak. Jalan satu-satunya adalah menghapus ordonansi tersebut. Koeli Ordonantie dihapus pemerintah Hindia Belanda pada 1915. Banyak kuli yang kembali ke kampung halamannya, tak sedikit yang memutuskan untuk tetap tinggal di Sumatera Timur. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman