Oleh : Fajar Riadi
![]() |
Perkebunan Tembakau Deli, 1938. Foto : KITLV |
Pada 1902,
J. van den Brand, seorang pengacar di Medan, menulis buku ringkas berjudul De Milluoenen uit Deli. Dia menyajikan
gambaran rinci tentang derita para kuli yang disiksa maian pengusaha Belanda di
Perkebunan Deli, Sumatera Timur. Kisah yag ditulis van den Brand tersebar luas
dan menantik kemarahan orang-orang di Negeri Belanda. Mereka menganggap pilitik
etis yang digembar-gemborkan pemerintahannya di Hinda Belanda hanya isapan jempol
belaka. Deli pernah menjadi pusat perkebunan, utamanya tembakau. Adalah Jacobus
Nienhuijs – seorang pegawai firma JF van Leewen di Suarabaya – yang memulainya
setelah dia mendapat konsesi tanah cuma-cuma dari Sultan Deli. Nienhuijs mencoba
menanam tembakau dan ternyata ketika dipanen pada 1865 menghasilkan tembakau
bermutu baik.
Mohammad
Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe:
Dengan Derita dan Kemarahannya menyebut tembakau hasil kebun Nienhuijs laku
149 sen per setengah kilogram, tergolong tinggi pada masa itu. Maka para
investor dari perusahan-perusahaan besar berduyun-duyun menanamkan modalnya
keapda Nienhuijs.
Perusahaan besar
butuh banyak tenaga kerja. Perusahaan menggaet masyarakat setempat, namun
banyak yang menolak karena meningkatnya perusahaan Belanda akan menghalangi
perkebunan rakyat. Lagipula sebagian besar rakyat tak sependapat dengan
keputusan Sultan Deli memberikan konsesi lahan yang merupakan tanah ulayat dan
bertahun-tahun sebelumnya telah mereka garap.
Perusahaan ula-mula
mengambil orang-orang Tionghoa dari Peanng dan Singapura, menyusul kemudian
didatangkan orang-orang Jawa karena kebutuhan kuli semakin meningkat. Untuk mengatur
para kuli yang berjumlah ratusan, pemerintah menerbitkan Koeli Ordonantie. Munculnya berkala, dari yang pertama Staatsblad
No 133 tahun 1880 sampai Staatsblad No. 1915.
Dalam butir-butir
ordonansi tersebut tertuang aturan para kuli tidak boleh membangkan perintah
perusahaan. Siapapun kuli yang melarikan diri dari perkebunan akan dikjar
polisi berpekbunan dan jika tertengkap akan dikembaliken ke perkebunan. Mereka juga
akan dihukum, misalnya kerja paksa tanpa dibayar atau perpanjangan kontrak. Butir-butir
hukuman ini dikenal dengan Poenale
Sanctie (Sanksi Pidana). Sema kuli dianggap menyetujui ordonansi itu meski
kebanyakan dari mereka buta huruf.
Pekerjaan para
kuli sungguh berat. Jam kerja mereka bisa sampai 10 jam sehari dengan gaji
sangat kecil. Tak heran banyak kuli mencoba melarikan diri, melakukan
pencurian, dan menyerang mandor yang enggan menaikkan gaji. Mereka yang berbuat
onar dihukum berat. Hukuman bagi para kuli digambarkan van den Brand. “Mereka
diseret kkuda dengan tangan terikat, dicambuk engan daun jelantang kemudian
disiram air, digantung, ditusuk bagian bawah kukunya dengan serpihan bambu, dan
untuk kuli perempuan – maaf – digosok kemaluannya dengan merica halus,”
tulisnya dalam De Millioenen uit Deli.
“Dengan
mencap mereka (kuli) sebagai binatang dan dengan mengingkari sifat-sifat
manusia yang paling elementer, setiap perlakuan terhadap mereka dapat dianggap
legal, serta sama sakali tidak perlau mempertanggungjawabkannya keapda
pemerintah,” tulis Jan Breman dalam Koeli,
Planters en Koloniale Politiek. Meski
demikian, pengusaha punya berbagai cara untuk menahan kuli-kuli “setia” kepada
perusahaan. Ketika hari gajian tiba, pada malam harinya digelar pesta. Di tengah-tengah
keramaian ini kulia biasa berjudi dan ke tempat pelacuran. Cara ini ampuh
menguras kantong kuli yang baru saja terisi. Setelah kehabisan uang, terpaksa
mereka menandatangani kontrak kerja yang baru disodorkan perusahaan. Kebiasaan ini
berlangsung terus-menerus. Disebabkan menulis De Millioenen ui Deli yang menyibak
tabir kekejaman orag Eropa di Deli, van den Brand dimusuhi orang-orang Belanda,
terutama para pengusaha. Begitu bencinya para pengusaha tersebut kepada van den
Brand, mereka membuat iklan di koran bahwa mereka tidak punya hubungan dengan
van den Brand.
Perang dunia
I membuat jalur pengangkutan tembakau ke Eropa rawan dilintasi. Peran membuat
daya beli negara-negara konsumen tembakau merosot tajam. Keadaan ini membuat
perusahaan perkebunan di Deli memangkas biaya produksi. Pilihannya ialah
mengurangi jumlah kuli. Padahal di dalam ordonansi disebutkan para kuli tak
boleh diputus sebelum jatuh tenggat kntrak. Jalan satu-satunya adalah menghapus
ordonansi tersebut. Koeli Ordonantie dihapus pemerintah Hindia Belanda pada 1915. Banyak
kuli yang kembali ke kampung halamannya, tak sedikit yang memutuskan untuk tetap
tinggal di Sumatera Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar