Sastra peranakan Tionghoa berkembang di luar lembaga resmi penerbit Balai Pustaka. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, karya sastra non-Balai Pustaka disebut sebagai karya sastra yang tidak resmi, terpinggirkan, termarginalkan, dan terlarang untuk dibaca oleh siswa sekolah. Alasannya, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa yang ‘rusak’ karena mencampurkan bahasa Melayu dengan bahasa Cina/ Tionghoa, Jawa, dan bahkan dengan kosa kata bahasa Belanda. Pemerintah kolonial Belanda dan pejabat Balai Pustaka saat itu menamakan bahasa jenis ini sebagai bahasa Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar. Namun, bahasa Melayu seperti itu justru dikenal sebagai bahasa kerja dan bahasa pergaulan, atau lingua franca yang sangat dekat di hati rakyat. Oleh karena itu, sastra jenis ini dikenal sebagai sastra rakyat yang terus ditulis, diproduksi, dan dibaca olehh masyarakat luas pada masa itu. Setelah merdeka, bangsa Indonesia memandang bahwa bentuk bahasa Melayu Tionghoa adalah sebuah keragaman budaya dan bentuk kreativitas untuk mempertahankan jati diri dan identitas. Karya sastra peranakan tersebut kini sangat diminati para peneliti sebagai bagian dari pelopor pertumbuhan dan kejayaan kesusasteraan Indonesia.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar