Sabtu, 16 April 2011

Sebuah Cerita dari Sumatera Timur

MARSILAM

Marsilam, seorang saudagar sekaligus petani yang tergolong kaya di kawasan Sumatra timur. Marsilam mempunyai seorang istri yang bernama Saira. Walaupun masih muda, pasangan ini telah dikaruniai empat orang anak, dua putra dan dua putri, dengan selisih umur yang tak jauh berbeda tentunya. Keluarga Marsilam keluarga yang harmonis. Keluarga yang kecukupan dan makmur untuk ukuran masa itu. Marsilam memiliki beberapa lahan yang terbilang cukup luas.

Cobaan memang datang secara tak terduga. Suatu hari, lurah kampung mereka mendatangi rumah keluarga Marsilam. Tentu saja hal itu adalah hal yang tidak biasa. Dan pasti ada maksud tertentu di balik kedatangan sang lurah. Benar saja, lurah tersebut datang dengan membawa perintah dari Pemerintah Kolonial Belanda.


“ Hai kau Marsilam, bukankah kau saudagar yang kaya di kampung ini? Kau juga seorang petani yang memiliki banyak lahan? “

“ Kalau aku menyebut diriku ini seorang yang makmur, berarti aku orang yang sombong. Terserah bagaimana Tuan menyebut diri saya ini. “

“ Seperti yang aku katakan tadi, kau ini orang yang tergolong kaya di kampung ini.”

“ Ya saya bersyukur kalau begitu. Lalu, apa maksud kedatangan Tuan ke rumah saya ini? Apa ada suatu hal yang penting?”

“ Tentu saja ini sangat penting. Ini ada hubungannya dengan Pemerintah Hindia Belanda.”

Perbincangan mereka berhenti sejenak ketika Saira, istri Marsilam menghidangkan jamuan. “ Silakan dinikmati Tuan. Sekadar teh hangat. “ dengan tersenyum Saira mempersilakan tamu suaminya itu.

Tanpa mempedulikan Saira, lurah itu langsung melanjutkan kata – katanya. “ Kau akan menjadi orang yang sangat berjasa bagi Pemerintah Hindia Belanda.”

“ Apa maksud Tuan? Saya tidak mengerti apa yang Tuan bicarakan.”

“ Kau harus menyerahkan beberapa lahanmu untuk dijadikan perkebunan oleh Pemerintah Hindia Belanda.”

“ Kenapa saya harus menyerahkan hasil jerih payah saya tersebut Tuan?”

“ Karena ini perintah dari Pemerintah Hindia Belanda. Kalau kau menolak kau akan dikenai sanksi dan kau akan diusir dari kampung ini.”

“ Apa setega itukah Pemerintah Hindia Belanda?”

“ Sudah, jangan banyak tanya. Kau mau menyerahkan lahanmu atau kau mau mendapat sanksi?”

Akhirnya dengan penuh keterpaksaan Marsilam bersedia menyerahkan hasil jerih payahnya bertahun – tahun itu. Dia mau menandatangani surat – surat yang dibawa oleh lurah, dengan terpaksa tentunya. Marsilam meyerahkan sebagian lahan yang dia miliki.

Ternyata cobaan keluarga Marsilam tak berhenti sampai disitu. Kampung tempat tinggal Marsilam yang damai itu tertimpa wabah cacar air. Wabah cacar air memang sedang melanda beberapa daerah di Sumatra Timur. 

Dan sekarang menerpa penduduk kampung dimana Marsilam tinggal. Wabah mematikan tersebut menyerang anak – anak kebnayakan. Termasuk anak Marsilam juga. Satu per satu anak Marsilam jatuh sakit. Marsilam dan istrinya tidak tega melihat anak – anaknya bertambah parah sakitnya. Marsilam membawa anak – anaknya ke pos penanganan wabah penyakit yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda.Ternyata biaya yang harus dikelurkan cukup banyak. Sampai akhirnya harta mereka habis tinggal lahan yang mereka tempati saja.

“ Bagaimana ini Mas? Harta kita telah habis. Tapi anak – anak kita belum sembuh juga. Kalau harta kita habis, lalu bagaimana hidup kita?”

“ Kamu tenang saja. Harta bisa dicari lagi. Lebih baik kita kehilangan harta daripada kehilangan anak – anak kita.”

“ Lalu bagaimana jika harta kita habis dan anak kita juga tidak tertolong?”

“ Husssshhh, jangan berkata seperti itu. Doakan saja anak – anakmu itu. Mereka pasti bisa sehat lagi.”

Saira menangis meratapi nasib keluarga mereka yang semakin buruk. Kondisi anak – anak mereka juga tak kunjung membaik. Dan mereka berdua harus menerima kenyataan ketika anak kedua mereka akhirnya tak dapat tertolong. Disusul kemudian anak bungsu mereka yang juga tak tertolong. Dua bulan kemudian anak sulung mereka juga menglami hal yang sama dengan adik – adiknya. Dan satu bulan kemudian, satu – satunya anak mereka yang masih hidup juga akhirnya harus meninggalkan mereka berdua. Lengkap sudah penderitaan keluarga Marsilam. Harta habis, anak – anak yang mereka sayangi pun telah tiada.

“ Aku sangat sedih Mas. Anak – anakku semuanya meninggal karena penyakit itu. Kenapa aku tidak meninggal juga, biar aku tetap bisa menemani anak – anakku.” Saira meluapkan kesedihannya.

“ Kamu pikir aku tidak bersedih? Aku juga sangat terpukul dengan kejadian ini. Yang penting kita sekarang harus berjuang untuk hidup kita. Kita tidak boleh terus – terusan bersedih seperti ini.”

“ Terus apa yang harus kita lakukan? Apa yang mesti kita kerjakan? Kita sudah tidak punya lahan lagi.”

“ Aku akan bekerja di perkebunan sebagai kuli kontrak.”

“ Apa kamu yakin Mas? Hanya dengan upah 1 gulden apa bisa mencukupi kebutuhan kita?”

“ Harus bisa.”

“ Ya sudah kalau begitu. Akupun akan mengikutimu bekerja sebagai kuli kontrak. Ini untuk hidup kita berdua.” Marsilam tersenyum mendengar perkataan istrinya yang terakhir itu.

Akhirnya mereka berdua bekerja sebagai kuli kontrak di salah satu perkebunan tembakau milik orang Belanda. Dengan upah sebesar 1 gulden mereka harus bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari – hari. Mereka bekerja setiap hari. Dari pagi – pagi sampai sore menjelang malam. Mereka bekerja sejak proses menanam, merawat tanaman, sampai proses panen. Mereka bekerja setiap hari tanpa pernah mendapat libur.

Marsilam bekerja pada seorang mandor yang bertangan besi. Mandor Indo-Belanda ini sangat terkenal akan kekejamannya. Dia tidak segan – segan memberi hukuman bagi kuli – kuli kontrak yang melakukan pelanggaran. Hukuman bagi kuli – kuli yang melakukan pelanggaran disebut dengan Poenale Sanctie. Poenale Sanctie bagi kuli laki – laki adalah dicambuk, sedangkan bagi wanita adalah kemaluannya dioles dengan lada. Marsilam dituduh menyelundupkan sebagian panen, dia akan dikenai Poenale Sanctie.

“ Berani sekali kau menyelundupkan hasil panen perkebunan.” cerca Sang Mandor bertangan besi itu sambil menyambuk punggung Marsilam.

“ Aku berani bersumpah bukan aku yang melakukan Tuan.”

“ Jika bukan kau, lalu siapa? Istrimu? Kau mau istrimu aku kenai sanksi juga? Kalau kau mau, akan aku olesi kemaluannya dengan bubuk lada. Hahahahahaha…..”

“ Jangan Tuan. Jangan lukai istriku. Dia tidak bersalah. Cukup saya saja yang Tuan kenai sanksi. Hwaaaarrgggggg……” Marsilam mengerang kesakitan.

“ Semakin kau mengerang, aku akan mencambukmu semakin keras. Hahahahaha…….”

Setelah menerima hukuman tersebut, Marsilam jatuh sakit. Namun Marsilam tetap bersikukuh untuk tetap bekerja. Daripada dikenai sanksi yang lebih berat pikirnya. Padahal istrinya sudah melarangnya bekerja, tapi Marsilam tetap teguh dengan pendiriannya itu.

“ Beristirahatlah saja kamu Mas. Biar aku yang bekerja.”

“ Aku akan malu jika aku hanya berdiam diri di rumah, sedangkan istriku harus berpeluh untuk membiayai hidupku.”

“ Tidak apa – apa Mas. Mas kan lagi sakit. Besok kalau sudah sembuh bekerja lagi.”

“ Aku tidak apa – apa. Aku masih kuat bekerja.”

Ternyata kekukuhan tekad Marsilam malah membuat sakitnya bertambah parah. Tentu saja, karena bekerja sebagai kuli kontrak memerlukan tenaga ekstra, sedangkan keadaan Marsilam waktu itu sangat lemah. Akhirnya Marsilam benar – benar jatuh sakit. Dia hanya tergolek di kasur kusam di rumahnya yang mulai reyot. Dia pun dipecat dari perkebunan karena dianggap tak mampu lagi bekerja. Tinggal istrinya yang membanting tulang untuk hidup mereka.

Semakin hari tubuh Marsilam semakin kurus. Keadaan keluarga mereka juga semakin terpuruk. Istri Marsilam sudah tak tahan dengan keadaan ini. Istri Marsilam ingin lari dari keadaan ini. Tapi dia tak tega meninggalkan Marsilam seorang diri.

“ Aku sudah tak tahan lagi dengan keadaan kita Mas. Aku ingin mencari kehidupanku yang baru, kehidupanku yang jauh lebih baik.”

“ Apa kamu tega meninggalkanku sendiri seperti ini Saira?”

Saira tidak bisa menjawab pertanyaan suaminya itu. Saira hanya bisa terdiam dan akhirnya meneteskan air mata.

Namun, sepertinya tekad Saira untuk lari dari keadaan hidup yang sengsara itu sudah kuat. Dia memanfaatkan kecantikan dirinya yang dari dulu belum pudar. Dia rela menjadi seorang Nyai Mandor Perkebunan Teh di daerah yang tak jauh dari rumah mereka. Dan akhirnya dengan penuh keterpaksaan dia harus meninggalkan Marsilam, suami yang dia cintai selama ini, suami yang selalu memperjuangkan hidup mereka, suami yang pernah memberinya kebahagiaan. Dan Marsilam kini hanya teronggok di rumah reyot yang sewaktu – waktu bisa rubuh terkena angin, dan hanya bisa mengharap belas kasihan dari tetangga – tetangganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman