Keberadaanku
di Pare sebenernya sudah selesai. Tetapi masih ada beberapa cerita yang belum
sempat tertuliskan, terutama tentang Shey dan beberapa kisah cinlok yang
terjadi selama tiga minggu keberadaanku di Pare. Sebelum berangkat, temenku
pernah mengingatkan untuk berhati-hati dengan penyakit khas Pare. Aku
penasaran. Mungkin terlalu lugu atau sok serius, aku menganggap penyakit khas
Pare itu seperti wabah penyakit pada umumnya. Waktu kutanya ke temanku, dia
bilang “Cinlok!”.
Wajar saja
kalau dikatakan kalau “Cinlok” merupakan virus yang jamak terjadi di Pare.
Banyak anak muda dengan usia seumuran datang dari berbagai kota dengan tujuan
belajar bahasa Inggris dalam waktu dua minggu sampai berbulan-bulan. Kesamaan
status “anak rantau” yang menuntut ilmu di negeri orang membuat ikatan sesama
teman berjalan cukup kuat. Banyak aktivitas di Pare yang mendukung terjadinya
cinlok. Mulai dari berangkat program bareng, belajar bareng, selesai program
makan siang dan malem bareng. Belum lagi kalau musim liburan akhir program
datang atau hari minggu, kesempatan untuk lebih dekat menjadi lebih besar.
Hanya dalam waktu dua minggu, atau malah kurang, benih-benih cinta sudah pasti
bisa tumbuh. Seperti pepatah Jawa, witing
trisno jalarane seko kulino. Datangnya Cinta itu dari kebiasaan; rutinitas
yang biasa dilakukan bersama, pertemuan yang biasa terjadi, makan malam yang
biasa berdua, dan semua kebiasaan-kebiasaan yang lain.
Dan aku
sempat hampir mengalaminya.
Dengan
keyakinan penuh untuk belajar, aku bertekad selama di Pare untuk fokus belajar
dan tidak akan memikirkan cinta atau cinlok. Tapi tekad kalah oleh keadaan
setelah aku bertemu Shey di stasiun Kediri seperti yang sudah aku tulis di Pare #1 : Mirip Cerita FTV. Hari pertama
program aku bertemu dengan Shey di Office ketika melihat jadwal program yang
ditempel di papan pengumuman. Ada dua program yang sama, tapi beda jadwal. Pagi
itu, jadwal kami di satu tempat yang sama. Pastinya tidak aku sia-siakan
kesempatan seperti ini.
![]() |
sumber google.com |
Karena
tempatnya tidak terlalu jauh dari Office, aku mengajaknya berjalan kaki saja
walaupun sebenarnya kami bawa sepeda. Jalan kaki itu memberi banyak ruang untuk
ngobrol dan mengenal lebih dekat. Untuk tahap awal, tiga hari pertama di Pare
memberi kesan manis tersendiri buatku. Yah… tiga hari pertama.
Siang,
setelah program aku ke office lagi untuk melihat jadwalku selanjutnya. Ternyata
tidak ada jadwalku yang barengan sama dia lagi, termasuk kelas pagi. Mungkin
tadi pagi aku terlalu buru-buru melihat jadwal sehingga tidak begitu jelas.
Pagi tadi seharusnya di ikut program lain di tempat yang berbeda. Jadi, untuk
esok dan seterusnya tidak ada lagi kesempatan jalan berdua ke tempat program.
Meski tidak
ada kesempatan untuk ketemu, kami sering mengatur jadwal agar bisa bertemu.
Seperti hari itu (aku lupa hari apa), ya pokoknya hari itu lah. Selesai extended class, rintik hujan menyelimuti
Pare sore itu. Sudah hampir magrib, kami baru selesai kelas. Untuk extended
class, ada dua program; Vocab dan speaking. Di kelas vocab, kami masih sekelas,
kemudian berpisah lagi ketika masuk kelas speaking. Sore tadi aku telat masuk
kelas vocab dan diminta untuk membuat cerita sederhana berbahasa Inggris dengan
beberapa kata yang tadi diberikan, kemudian membacakannya di depan teman-teman
yang lain.
Setelah
program, aku sms Shey, menanyakan apa dia sudah pulang. Dia masih di Penjual Roti
Bakar di dekat gang Mahesa sendirian, dan dia juga memintaku untuk datang.
Semangat pun berkobar. Tidak peduli hujan, sepeda ontel warna pink yang sudah
luntur kukayuh menembus bulir-bulir air yang turun dari langit yang sudah mulai
menggelap. Siapa yang tega membiarkan seorang gadis sendirian di tengah hujan?
Ah, bodoh sekali pria yang membiarkan gadis itu sendirian. Dan, aku tidak
termasuk pria bodoh itu. Hahahahaha.
Aku melihat
senyumnya ketika ia memandangku yang ngonthel
menembus hujan. Tinggal kurang musik aja nih, kemudian nyanyian lagu-lagu
cinta, pasti film India dan sinetron di Ind*siar kalah romantisnya. Kalau kamu
seorang gadis ya, coba bayangkan ada cowok yang datang hujan-hujan ngonthel atau naik sepeda buat nemeni
kamu yang lagi sendirian nunggu Roti Bakar? Ya, aku tau sih pasti di antara
kalian ada juga yang nggak ngerasa romantis karena takut cowok yang datang
malah menghabiskan jatah roti bakar yang kamu beli kan?
Hujan masih
belum reda. Roti bakar sudah selesai. Shey mengajak makan karena sehabis magrib
ada program di camp yang dia tidak ingin ikuti, bosan katanya. Kami menembus
hujan di saat ketika mega merah yang seharusnya menghias langit barat digantikan
oleh gelapnya mendung untuk mencari tempat yang nyaman; nyaman untuk makan,
nyaman untuk ngobrol. Warung bersetting lesehan dengan ornamen bambu di pinggir
jalan Brawijaya menjadi tujuan kami.
Sambil
memesan makanan, Shey dan aku saling bercerita tentang banyak hal, lebih banyak
tentang hal-hal umum saja. Shey lulusan kebidanan di salah satu universitas
swasta di Cirebon. Beberapa waktu lalu ada kerabat ibunya yang kerja di rumah
sakit. Ibunya mengusulkan agar dia ikut kerabatnya itu bekerja di rumah sakit.
Shey senang sekali bisa kerja di rumah sakit, karena itu salah satu
cita-citanya. Tapi dia bingung, di satu sisi dia ingin bekerja dan mengabdi di
rumah sakit, di sisi lain dia ingin melanjutkan kuliah ke Aussie. Sebagai
teman, aku menyarankan untuk melanjutkan kuliahnya saja. Kesempatan lain yang
lebih baik akan datang lagi di kemudian hari.
Bukannya
mereda, hujan malah turun semakin deras. Kami tetap bertahan. Biarlah hujan di
sana bergemuruh, karena setelah ini mungkin yang tersisa hanya rindu. Jam tujuh
kami pulang. Hujan sudah tidak terlalu deras lagi.
bersambung...
Huwaaakkk, Warung Batoek ya mas? :D
BalasHapusNumpang share ya, hahahahhah.
ojo di share yoo.. isin.. hahaha
BalasHapus