Terkadang, dalam
beberapa hal, sangat mengesalkan sekali berurusan dengan perempuan. Mereka
bersikap selayaknya seseorang yang dibutuhkan, sok acuh dan tidak peduli. Sikap
itu semakin terlihat ketika yang mereka tahu kalau mereka memang sedang
dibutuhkan. Belum lagi dengan segala sikap sensitif mereka, yang, sering kali
membuat masalah yang sebenarnya sederhana menjadi semakin ribet.
Ini hanya pernyataan
subjektif saja, tidak ada niat menyinggung-nyinggung masalah gender. Hanya
buntut kekesalan yang beberapa waktu ini menumpuk.
Entah apa yang ada dalam
pikiran mereka ketika dengan mudahnya, dan dengan keputusan sepihak membatalkan
janji yang sudah disepakati sejak lama, dan dengan alasan yang kurang masuk
akal. Juga solusi yang mereka berikan malah membuat semakin ribet.
Masalah perasaan selalu
menjadi alasan mereka kalau bertengkar dengan laki-laki. Alasan mereka begini, “Perempuan itu kalau melihat masalah selalu menggunakan perasaan, gak
kaya laki-laki yang mudah banget ngegampangin masalah.” Masalah perasaan seakan menjadi tameng ampuh untuk melawan
laki-laki. Bisa diibaratkan perasaan bagi perempuan itu seperti rumah besar
dengan tembok kokoh, lengkap dengan sebarisan pasukan pemanah, tombak,
catevilar, dan segenap pasukan lainnya yang siap melindungi mereka jika sewaktu
ada laki-laki yang hendak menyerang. Memang itu cukup ampuh untuk menahan
serangan laki-laki. Seakan di-skakmat, laki-laki langsung luluh tidak berdaya.
Akhirnya mereka pun mengalah, ada juga yang mundur dengan umpatan kekesalan.
Sekali lagi, ini hanya
sebagian perempuan yang berbuat seperti itu. saya masih percaya di luar sana
masih banyak perempuan-perempuan tangguh yang sudah terbuka pikirannya dan
tidak lagi berlindung dengan perasaannya. Perasaan bagi mereka disikapi sebagai
kondrat alamiah yang tidak harus dibesar-besarkan fungsinya.
Perempuan-perempuan yang mandiri memahami bahwa mereka berbeda dengan
laki-laki, tetapi perbedaan itu tidak pernah dianggap menjadi suatu masalah
besar yang memicu konflik. Perbedaan mereka anggap sebagai kondrat alamiah yang
diberikan kepada Tuhan. Mereka bisa
menempatkan perasaannya dalam tempat dan waktu yang tepat. Waktu dan tempat
seperti apa itu, saya juga tidak tahu, karena saya bukan perempuan. Perempuan-perempuan
mandiri itula yang lebih mengerti.
Ada seorang temanku,
perempuan berumur, sekarang sudah menikah dan mempunyai anak. Dulu, sewaktu ia
belum menikah dia seringkali mempermasalahkan antara laki-laki dan perempuan.
Bisa dibilang dia orang yang sangat setuju dengan paham yang menuntut kesetaraan
hak antara laki-laki dan perempuan. Tapi dia mungkin belum paham apa yang
disebut hak yang dituntut untuk disetarakan antara laki-laki dan perempuan.
Beberapa kali berdiskusi dengan saya dan teman-teman yang lain (laki-laki) dia
seringkali menyinggung masalah kehamilan, haid, menyusui, dsb. “Kalian enak, laki-laki, gak perlu haid, melahirkan, nyusui anak.
Coba kalau kalian jadi perempuan, gak akan sanggup kalian.” Kurang lebih seperti itu lah. Saya lebih milih diam dan mengakhiri
perdebatan. Saya anggap dia belum paham apa yang disebut hak yang harus
disetarakan.
Apa yang ia
permasalahkan itu semua bersipat kodrati, sesuatu yang sudah ditetapkan menjadi
pembeda antara laki-laki dan perempuan. Itu semua Tuhan yang menghendaki.
Bahkan sampai struktur otak dan pola pikir juga dibuat berbeda. Jika tidak,
buat apa manusia harus dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan?
Melihat dia seperti itu,
malah saya berpikir, jangan-jangan dia juga menyalahkan Tuhan yang sudah
menciptakan dia menjadi perempuan. Tidak mensyukuri apa yang telah diberikan
Tuhan kepadanya dengan segala bentuk kenikmatan yang khusus diberikan kepada
perempuan. Jangan-jangan ia belum menyadari kenapa perempuan diciptakan?
Jangan-jangan... ya jangan-jangan.. jangan sampai terjadi seperti itulah,
semoga dia lekas sadar tentang keperempuanannya.
Secara umum, hak yang
dituntut para penganut paham feminis menyangkut hak untuk mendapatkan
pekerjaan, pendidikan, dan perlakuan. Sikap mereka tersebut didasari oleh
pandangan bahwa kebudayaan dunia merupakan proyeksi yang dijalankan untuk
menguntungkan pihak laki-laki saja. Untuk itu, mereka bergerak.
Eh, sek..., kok jadi
ngebahas feminis ki pye? Ah, sudah lah. Kekesalan saya memang berpusat kepada
beberapa perempuan. Hanya kekesalan sesaat saja. Bagaimana pun, saya tetap
menghargai perempuan dengan segala keistimewaannya.
Tulisan ini muncul begitu saja
ketika saya sedang bingung menyelesaikan
masalah feminis yang muncul dalam pembahasan
tugas akhir saya.
05
Desember 2012
perpustakaan FIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar