Baru kemarin juragan cerita
banyak kepadaku tentang kesibukannya. Sebenarnya setiap hari juragan selalu
ngobrol denganku tentang kesibukannya sebagai pengacara, tentang
pengusaha-pengusaha kaya raya yang meminta bantuannya untuk membebaskan
perusahaannya yang terlilit pajak, dan tentang banyak hal, bahkan terkadang
juga tentang keluarganya. Setiap pulang kerja ketika aku menjemputnya dari
kantor atau terkadang dari hotel, juragan selalu cerita. Aku sering menanggapi,
tetapi lebih sering diam. Tidak pantas rasanya seorang supir seperti aku memberi
saran kepada juragannya yang merupakan seorang pengacara besar di negeri ini.
Tetapi, juragan tidak pernah marah ataupun membentakku jika aku menanggapi
ceritanya. Dia juga tidak memaksaku untuk menanggapi ceritanya. Setiap kali
menceritakan sesuatu kepadaku, aku sering meliriknya dari kaca spion depan dan
melihat wajahnya yang terlihat lelah. Kerut-kerut di keningnya semakin hari
juga semakin bertambah.
Hari ini ia memintaku
menjemputnya di sebuah hotel berbintang yang berbeda dari biasanya. Ketika
melihat mobil yang aku kendarai melintas di depan pintu lobi hotel, ia sudah
berdiri menunggu di depan sambil berbicara dengan security di sana. Ya, itulah
juraganku. Jabatan dan prestasi yang ia
dapatkan sekarang tidak membuatnya angkuh dan sombong. Ia tetap supel dan ramah
dengan siapa saja.
Sembari mengendorkan ikatan
dasinya dan melepas jas, ia mulai bercerita.
“Punya banyak uang itu tidak
enak,” katanya memulai. “Tapi, tidak punya uang juga tidak enak, tidak bisa apa-apa,”
katanya kemudian. “Katanya, orang kaya ketika di akhirat besok bakal dihisab
lebih lama daripada orang miskin. Betul begitu, Pak?” tanyanya kepadaku.
“Betul, Juragan,” jawabku
singkat.
“Kudengar juga kalau seorang
pemimpin juga bakal dihisap lebih lama daripada orang biasa?” tanyanya lagi.
“Betul, Juragan,”
“Apakah seorang pengacara juga
dihisap lebih lama ketika di akhirat?”
Aku terdiam. Aku tidak tahu
apakah pengacaran juga dihisap lebih lama seperti orang kaya dan pemimpin atau
tidak.
“Hmm.. maaf juragan, saya tidak
begitu tahu,” kataku hati-hati, takut kalau-kalau Juragan tersinggung.
“Ow..” katanya pendek.
“Aku pernah dengar kalau hukuman bagi seorang
pencuri adalah potong tangan, apa itu benar, Pak?” tanyanya lagi.
“Betul, Juragan,” jawabku
singkat. Sepertinya Juragan tidak tersinggung dengan jawabanku tadi. Syukurlah.
“Ukurannya?”
“Ukuran apa?”
“Ukuran tangan yang akan
dipotong?”
“Satu lengan, Juragan.”
“Satu lengan?”
“Eh, tapi ada juga yang
mensyaratkan hanya sebatas pergelangan tangan,” buru-buru aku meralat ucapanku.
Juragan terdiam. Dari kaca spion,
aku melihatnya memegang pergelangan tangannya. Dari raut wajahnya seperti
menimbang-nimbang sesuatu.
“Hukuman potong tangan bagi
pencuri tidak langsung dijalankan begitu saja. Banyak hal yang harus
dipertimbangkan. Semuanya harus dimusyawarahkan secara jelas sampai benar-benar
terbukti bahwa pelaku tersebut mencuri secara sadar.” Aku menjelaskan sejauh
yang aku pahami.
“Mencuri secara sadar?
Maksudnya?” pancing Juragan, penasaran.
“Ya, pelaku tersebut mencuri
secara sadar, tanpa ada paksaan atau alasan-alasan yang dapat dimaklumi yang
mendorong ia melakukan pencurian tersebut. Sebagai seorang pengacara, Juragan
bisa memberlakukan hukum potong tangan untuk para pencuri uang rakyat itu, biar
mereka kapok dan tidak ada lagi koruptor di negeri ini. Saya sebagai orang
kecil merasa geregetan kenapa sampai saat ini belum ada yang bisa membuat para
koruptor itu jera. Hukum di Negara kita ini bukannya membuat mereka kapok,
malah justru membuat mereka semakin menggila.”
Aku diam. Menyadari sudah terlalu
banyak aku bicara. Aku melirik Juragan dari spion, beliau juga terdiam. Menatap
ke luar jendela seraya mengusap peluh yang membanjiri wajahnya.
Maaf, Juragan, bukan maksud saya
mengajari tuan tentang keadilan.
***
Aaaaaarrrrggggg!!!!!
Aku terhenyak ketika mendengar
teriakan dari dalam rumah. Itu suara nyonya. Aku segera masuk ke dalam rumah,
mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pagi-pagi subuh begini. Sampai
di depan pintu kamar nyonya, anak-anak dan pembantu-pembantu lainnya sudah
berkumpul. Nyonya menangis dipelukan anak sulungnya. Sedangkan Juragan tidak
ada di sana.
“Ada apa, Nyonya?” tanyaku ketika
sampai di depan kamar Nyonya.
Nyonya hanya menangis.
Aku masuk ke kamar Nyonya. Aku
terkejut ketika melihat di depan lemari pakaian, tergeletak sepotong tangan,
pisau dan selembar surat yang berlumuran darah diletakkan di atas tas hitam
besar yang berisi tumpukan uang seratus ribuan. Surat itu berisi pesan singkat
bertuliskan,
Aku bukan pencuri (lagi).
***
Siang ini aku ke salah satu hotel
berbintang lagi. Pagi tadi setelah kembali dari kamar nyonya, nyonya menemuiku
dan memberiku selembar surat. Dalam surat itu, aku diminta menjemput seseorang
di kamar B204 di salah satu hotel berbintang tempat Juragan memintaku
menjemputnya beberapa hari lalu. Siang ini, pukul sebelas tepat.
Setelah sampai di hotel, aku
langsung menuju kamar yang dijanjikan. Sebuah tas hitam yang ada di mobil aku
bawa serta. Itu pesan yang ada di dalam surat tersebut. Lalu kubuka pintu
perlahan, tampak terlihat ruang kamar begitu megah. Dinding dilapisi cat yang
berwarna elegan, hiasan dinding dan lukisan yang begitu memesona. Tidak kulihat
seorang pun di sana, meja masih tertata rapi dengan bunga dan vas di atasnya.
Dari balik pintu kamar mandi, kudengar gemericik air yang menitik terdengar
begitu jelas di telingaku. Suara wanita, aku tidak tahu siapa. Aku tidak berani
mendekat, aku takut seseorang di dalamnya sedang tidak memakai baju. Kemudian
aku duduk di atas ranjang sembari menunggu. Tas hitam aku letakkan di samping
ranjang. Tepat dibawahnya, menetes cairan kental berwarna merah.
Samar-samar, aku menderang detak
suara langkah kaki di lorong. Semakin lama semakin mendekat. Aku menghadapkan
tubuhku ke arah pintu kamar. Engsel pintu digerakkan dari luar. Secara perlahan
pintu terbuka. Sesosok kaki dengan sepatu hitam dan celana hitam muncul dari
balik pintu. Aku nyaris tersedak ketika sesaat kemudian melihat sosok pria yang
begitu kukenal.
“Astagfirullahh!” teriakku.
Belum selesai keterkejutanku
dengan sosok tersebut, ia mengeluarkan sebilah pisau berlumur darah dari balik
jaket hitam yang ia kenakan. Sosok itu mendekatiku dan mengarahkan pisau itu ke
arahku. Dan…..
***
Sekarang semuanya berbeda. Aku
tidak ingat apa-apa lagi. Yang kuingat hanyalah, tetesan darah yang mengalir
dari tangannya.
ardianjusto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar