Kamis, 03 Mei 2012

Selembar Surat Selepas Subuh


 Baru kemarin juragan cerita banyak kepadaku tentang kesibukannya. Sebenarnya setiap hari juragan selalu ngobrol denganku tentang kesibukannya sebagai pengacara, tentang pengusaha-pengusaha kaya raya yang meminta bantuannya untuk membebaskan perusahaannya yang terlilit pajak, dan tentang banyak hal, bahkan terkadang juga tentang keluarganya. Setiap pulang kerja ketika aku menjemputnya dari kantor atau terkadang dari hotel, juragan selalu cerita. Aku sering menanggapi, tetapi lebih sering diam. Tidak pantas rasanya seorang supir seperti aku memberi saran kepada juragannya yang merupakan seorang pengacara besar di negeri ini. Tetapi, juragan tidak pernah marah ataupun membentakku jika aku menanggapi ceritanya. Dia juga tidak memaksaku untuk menanggapi ceritanya. Setiap kali menceritakan sesuatu kepadaku, aku sering meliriknya dari kaca spion depan dan melihat wajahnya yang terlihat lelah. Kerut-kerut di keningnya semakin hari juga semakin bertambah.
Hari ini ia memintaku menjemputnya di sebuah hotel berbintang yang berbeda dari biasanya. Ketika melihat mobil yang aku kendarai melintas di depan pintu lobi hotel, ia sudah berdiri menunggu di depan sambil berbicara dengan security di sana. Ya, itulah juraganku. Jabatan dan  prestasi yang ia dapatkan sekarang tidak membuatnya angkuh dan sombong. Ia tetap supel dan ramah dengan siapa saja.
Sembari mengendorkan ikatan dasinya dan melepas jas, ia mulai bercerita.
“Punya banyak uang itu tidak enak,” katanya memulai. “Tapi, tidak punya uang juga tidak enak, tidak bisa apa-apa,” katanya kemudian. “Katanya, orang kaya ketika di akhirat besok bakal dihisab lebih lama daripada orang miskin. Betul begitu, Pak?” tanyanya kepadaku.
“Betul, Juragan,” jawabku singkat.
“Kudengar juga kalau seorang pemimpin juga bakal dihisap lebih lama daripada orang biasa?” tanyanya lagi.
“Betul, Juragan,”
“Apakah seorang pengacara juga dihisap lebih lama ketika di akhirat?”
Aku terdiam. Aku tidak tahu apakah pengacaran juga dihisap lebih lama seperti orang kaya dan pemimpin atau tidak.
“Hmm.. maaf juragan, saya tidak begitu tahu,” kataku hati-hati, takut kalau-kalau Juragan tersinggung.
“Ow..” katanya pendek.
 “Aku pernah dengar kalau hukuman bagi seorang pencuri adalah potong tangan, apa itu benar, Pak?” tanyanya lagi.
“Betul, Juragan,” jawabku singkat. Sepertinya Juragan tidak tersinggung dengan jawabanku tadi. Syukurlah.
“Ukurannya?”
“Ukuran apa?”
“Ukuran tangan yang akan dipotong?”
“Satu lengan, Juragan.”
“Satu lengan?”
“Eh, tapi ada juga yang mensyaratkan hanya sebatas pergelangan tangan,” buru-buru aku meralat ucapanku.
Juragan terdiam. Dari kaca spion, aku melihatnya memegang pergelangan tangannya. Dari raut wajahnya seperti menimbang-nimbang sesuatu.
“Hukuman potong tangan bagi pencuri tidak langsung dijalankan begitu saja. Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Semuanya harus dimusyawarahkan secara jelas sampai benar-benar terbukti bahwa pelaku tersebut mencuri secara sadar.” Aku menjelaskan sejauh yang aku pahami.
“Mencuri secara sadar? Maksudnya?” pancing Juragan, penasaran.
“Ya, pelaku tersebut mencuri secara sadar, tanpa ada paksaan atau alasan-alasan yang dapat dimaklumi yang mendorong ia melakukan pencurian tersebut. Sebagai seorang pengacara, Juragan bisa memberlakukan hukum potong tangan untuk para pencuri uang rakyat itu, biar mereka kapok dan tidak ada lagi koruptor di negeri ini. Saya sebagai orang kecil merasa geregetan kenapa sampai saat ini belum ada yang bisa membuat para koruptor itu jera. Hukum di Negara kita ini bukannya membuat mereka kapok, malah justru membuat mereka semakin menggila.”
Aku diam. Menyadari sudah terlalu banyak aku bicara. Aku melirik Juragan dari spion, beliau juga terdiam. Menatap ke luar jendela seraya mengusap peluh yang membanjiri wajahnya.
Maaf, Juragan, bukan maksud saya mengajari tuan tentang keadilan.
***
Aaaaaarrrrggggg!!!!!
Aku terhenyak ketika mendengar teriakan dari dalam rumah. Itu suara nyonya. Aku segera masuk ke dalam rumah, mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi pagi-pagi subuh begini. Sampai di depan pintu kamar nyonya, anak-anak dan pembantu-pembantu lainnya sudah berkumpul. Nyonya menangis dipelukan anak sulungnya. Sedangkan Juragan tidak ada di sana.
“Ada apa, Nyonya?” tanyaku ketika sampai di depan kamar Nyonya.
Nyonya hanya menangis.
Aku masuk ke kamar Nyonya. Aku terkejut ketika melihat di depan lemari pakaian, tergeletak sepotong tangan, pisau dan selembar surat yang berlumuran darah diletakkan di atas tas hitam besar yang berisi tumpukan uang seratus ribuan. Surat itu berisi pesan singkat bertuliskan,
Aku bukan pencuri (lagi).
***

Siang ini aku ke salah satu hotel berbintang lagi. Pagi tadi setelah kembali dari kamar nyonya, nyonya menemuiku dan memberiku selembar surat. Dalam surat itu, aku diminta menjemput seseorang di kamar B204 di salah satu hotel berbintang tempat Juragan memintaku menjemputnya beberapa hari lalu. Siang ini, pukul sebelas tepat.
Setelah sampai di hotel, aku langsung menuju kamar yang dijanjikan. Sebuah tas hitam yang ada di mobil aku bawa serta. Itu pesan yang ada di dalam surat tersebut. Lalu kubuka pintu perlahan, tampak terlihat ruang kamar begitu megah. Dinding dilapisi cat yang berwarna elegan, hiasan dinding dan lukisan yang begitu memesona. Tidak kulihat seorang pun di sana, meja masih tertata rapi dengan bunga dan vas di atasnya. Dari balik pintu kamar mandi, kudengar gemericik air yang menitik terdengar begitu jelas di telingaku. Suara wanita, aku tidak tahu siapa. Aku tidak berani mendekat, aku takut seseorang di dalamnya sedang tidak memakai baju. Kemudian aku duduk di atas ranjang sembari menunggu. Tas hitam aku letakkan di samping ranjang. Tepat dibawahnya, menetes cairan kental berwarna merah.
Samar-samar, aku menderang detak suara langkah kaki di lorong. Semakin lama semakin mendekat. Aku menghadapkan tubuhku ke arah pintu kamar. Engsel pintu digerakkan dari luar. Secara perlahan pintu terbuka. Sesosok kaki dengan sepatu hitam dan celana hitam muncul dari balik pintu. Aku nyaris tersedak ketika sesaat kemudian melihat sosok pria yang begitu kukenal.
“Astagfirullahh!” teriakku.
Belum selesai keterkejutanku dengan sosok tersebut, ia mengeluarkan sebilah pisau berlumur darah dari balik jaket hitam yang ia kenakan. Sosok itu mendekatiku dan mengarahkan pisau itu ke arahku. Dan…..
***
Sekarang semuanya berbeda. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Yang kuingat hanyalah, tetesan darah yang mengalir dari tangannya. 

ardianjusto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman