A. Pendahuluan
Kebudayaan merupakan
bagian penting dalam kehidupan manusia. Selain sebagai pengkreasi budaya,
manusia juga merupakan hasil dan bagian yang tak terpisahkan dari budaya itu
sendiri. Hubungan yang saling mempengaruhi ini menunjukkan bahwa manusia tidak
dapat hidup tanpa budaya, meskipun kehidupannya terbelakang. Kehidupan
berbudaya ialah ciri khas manusia yang akan terus berganti seiring perubahan
zaman. Kebudayaan sebagai warisan nenek moyang, tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.
Pada zaman globalisasi
dan modernisasi seperti sekarang ini, kehidupan manusia pun semakin beragam.
Seiring dengan itu, budaya mulai berkembang mengikuti pola pikir manusia dalam
kehidupannya. Budaya dalam perkembangannya dibedakan menjadi 2, yaitu budaya
yang berkembang dengan cepat ( revolusi kebudayaan ) dan budaya yang berkembang
secara perlahan ( evolusi kebudayaan ). Perkembangan budaya yang terjadi secara
perlahan hampir tidak bisa dirasakan gerak pertumbuhannya karena berlangsung dalam
jangka waktu yang panjang. Meski demikian satu hal yang pasti, kebudayaan akan
terus dibawa oleh manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.
Indonesia memiliki
bermacam - macam kebudayaan, salah satunya ialah upacara nyadran. Nyadran menjadi
kegiatan rutin sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahunnya dan dilakukan pada
bulan dan hari yang telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada
leluhur. Di wilayah Jawa bagian pedalaman, nyadran
biasa digelar di pemakaman menjelang bulan puasa, sedangkan di Jawa bagian pesisiran
dilakukan di pantai pada bulan Jumadil Awal.
Nyadran dengan ziarah kubur
merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritual
dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya. Tradisi nyadran
merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha
Kuasa. Nyadran merupakan sebuah pola
ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai -nilai Islam, sehingga masih
tampak adanya lokalitas yang masih islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat
menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai - nilai luhur dari
kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan jika pelaksanaan nyadran juga masih menunjukkan adanya
budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai - nilai
Islam.
B. Pembahasan
1.
Makna
Nyadran
Nyadran adalah suatu ritual
sebagai suatu bentuk penghormatan kepada leluhur. Dalam kitab Negara Kertagama
disebutkan bahwa nyadran berasal dari
kata “ srada ” yang berarti peringatan
12 hari kematian. Dalam tradisi nyadran,
syukuran yang dilengkapi dengan doa
merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas
rejeki yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang.
Menurut catatan sejarah,
tradisi nyadran memiliki kesamaan
dengan tradisi craddha yang ada pada
masa kerajaan Majapahit. Kesamaannya iakah pada ritual manusia yang berkaitan
dengan leluhur yang sudah meninggal, misalnya seperti pengorbanan, sesaji, dan
ritual sesembahan yang pada dasarnya adalah suatu bentuk penghormatan kepada
yang sudah meninggal. Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta “sraddha” yang memiliki arti keyakinan, percaya atau kepercayaan.
Masyarakat Jawa kuno mempunyai kepercayaan bahwa leluhur yang telah meninggal,
sebenarnya masih ada dan mempengaruhi kehidupan keturunannya. Oleh karena itu,
masyarakat Jawa benar - benar memperhatikan waktu, hari dan tanggal
meninggalnya leluhur.
Ketika Islam datang
ke pulau Jawa pada abad ke-13, banyak tradisi Hindu-Buddha yang bercampur
dengan ajaran Islam. Percampuran budaya ini semakin kental ketika Walisongo
melakukan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman berlangsung
sukses dan menghasilkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya ialah tradisi sraddha yang menjadi nyadran. Karena pengaruh agama Islam
pula makna nyadran mengalami
pergeseran, yang awalnya hanya berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan
dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan
dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan,
merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.
Jadi nyadran merupakan sebuah upacara
keagamaan yang masih terpengaruh oleh kepercayaan tradisional. Di satu sisi, nyadran merupakan proses berdoa kepada
Tuhan, tapi di sisi lain masih dikaitkan dengan kepercayaan tradisional yang
menganggap datangnya arwah leluhur pada waktu – waktu tertentu.
2. Kaitan Nyadran dengan Budaya Islam
Nyadran semula hanya suatu
proses penghormatan terhadap arwah leluhur. Biasanya dilakukan pada waktu -
waktu tertentu dan leluhur yang dianggap masih hidup itu harus dibuatkan sesaji
berupa kue, minuman, atau kesukaan leluhur yang meninggal itu. Kemudian sesaji
itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan
berupa lampu. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan waktu hari dan
tanggal meninggalnya leluhur mereka.
Namun, setelah
kedatangan Islam di Indonesia, tradisi nyadran
ini sedikit berubah. Tradisi ini diakulturasikan dengan kebudayaan Islam.
Upacara nyadran mulai diisi dengan
berdoa kepada Tuhan dan juga tahlilan. Tradisi nyadran diwujudkan dengan kegiatan keagamaan seperti ziarah ke
makam leluhur. Kegiatan dalam ziarah tersebut di antaranya membersihkan makam
leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan menaburkan bunga. Biasanya para
peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang
raja, jajanan pasar, dan kolak ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa
dengan menggunakan sejumlah jodang
atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta
beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga.
Inilah pentingnya
pemeliharaan tradisi nyadran yang
tumbuh dalam masyarakat Jawa. Hal ini biasanya berhubungan erat dengan sumber
daya alam dan keadaan hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi
seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak
langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal. Ini yang akan memberi bekal
bagi manusia yang mempelajarinya, atau juga bagi generasi muda yang masih
peduli akan kondisi di sekitar mereka, karena tradisi itu tumbuh dari
masyarakatnya sendiri.
3. Nyadran di Yogyakarta
Yogyakarta selalu
identik dengan kebudayaan Jawa. Banyak yang menganggap budaya asli Jawa ada di
Yogyakarta, hal ini dikarenakan Yogyakarta sebagai suatu wilayah masih menjaga
tradisi Jawa hingga sekarang ini. Yogyakarta juga merupakan kelanjutan dari
kerajaan Mataram Islam yang pernah menguasai Jawa. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan tradisi Jawa pasti akan berhubungan dengan Yogyakarta.
Begitu juga dengan tradisi nyadran sebagai rutinitas masyarakat di Jawa.
Nyadran di Yogyakarta
biasanya dilakukan pada bulan menjelang bulan puasa ( Sya’ban ). Upacaranya
juga hampir sama dengan upacara nyadran
di daerah lain, yaitu dengan datang ke pemakaman leluhur. Dalam pembagian
tugasnya, perempuan biasanya membawakan sesaji – sesaji dan makanan, sedangkan
laki laki mengadakan pengajian di pemakamannya. Hal ini juga ditujukan untuk
menghormati arwah para leluhur.
Nyadran bagi masyarakat
Yogyakarta merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakatnya di
mana rasa gotong - royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari
tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah hubungan
vertikal - horizontal yang lebih dekat. Dalam konteks ini, maka nyadran akan
dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat ( sosial ),
sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang
sudah berkembang menjadi lebih lestari. Rangkaian kegiatan pada tradisi nyadran ini mencerminkan rasa Syukur
kepada Tuhan, rasa kekeluargaan antar warga, dan juga melestarikan budaya.
C. Kesimpulan
Nyadran sebagai sebuah
ritual yang sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit nyatanya masih tetap
bertahan sampai sekarang ini. Kegiatannya semula hanya menaruh sesaji dan bunga
– bunga di pemakaman. Namun, setelah kedatangan Islam di Indonesia terutama
Jawa, tradisi ini sedikit berubah. Tradisi nyadran
diakulturasikan dengan kebudayaan Islam. Dalam upacaranya diisi dengan
pembacaan doa - doa kepada Tuhan dan
juga tahlilan. Nyadran di Yogyakarta
dilakukan pada bulan Sya’ban, ini dikarenakan dalam Islam bulan Sya’ban
merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Upacara ini juga
ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan dan juga untuk
mempererat silaturahmi antar warga.
Agama islam masuk melalui proses akulturasi, yakni memasukkan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat tetapi tidak menghilangkan budaya keseharian masyarakat denga pelan-pelan.
BalasHapus