Kamis, 19 Januari 2012

TRADISI NYADRAN DI YOGYAKARTA SEBAGAI SEBUAH AKULTURASI BUDAYA


A.  Pendahuluan
Kebudayaan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Selain sebagai pengkreasi budaya, manusia juga merupakan hasil dan bagian yang tak terpisahkan dari budaya itu sendiri. Hubungan yang saling mempengaruhi ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa budaya, meskipun kehidupannya terbelakang. Kehidupan berbudaya ialah ciri khas manusia yang akan terus berganti seiring perubahan zaman. Kebudayaan sebagai warisan nenek moyang, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.
Pada zaman globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, kehidupan manusia pun semakin beragam. Seiring dengan itu, budaya mulai berkembang mengikuti pola pikir manusia dalam kehidupannya. Budaya dalam perkembangannya dibedakan menjadi 2, yaitu budaya yang berkembang dengan cepat ( revolusi kebudayaan ) dan budaya yang berkembang secara perlahan ( evolusi kebudayaan ). Perkembangan budaya yang terjadi secara perlahan hampir tidak bisa dirasakan gerak pertumbuhannya karena berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Meski demikian satu hal yang pasti, kebudayaan akan terus dibawa oleh manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.
Indonesia memiliki bermacam - macam kebudayaan, salah satunya ialah upacara nyadran. Nyadran menjadi kegiatan rutin sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahunnya dan dilakukan pada bulan dan hari yang telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur. Di wilayah Jawa bagian pedalaman, nyadran biasa digelar di pemakaman menjelang bulan puasa, sedangkan di Jawa bagian pesisiran dilakukan di pantai pada bulan Jumadil Awal.
Nyadran dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritual dan objeknya. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya. Tradisi nyadran merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa. Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai -nilai Islam, sehingga masih tampak adanya lokalitas yang masih islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai - nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan jika pelaksanaan nyadran juga masih menunjukkan adanya budaya Hindhu-Buddha dan animisme yang diakulturasikan dengan nilai - nilai Islam.

B.  Pembahasan
1.   Makna Nyadran
Nyadran adalah suatu ritual sebagai suatu bentuk penghormatan kepada leluhur. Dalam kitab Negara Kertagama disebutkan bahwa nyadran berasal dari kata “ srada ” yang berarti peringatan 12 hari kematian. Dalam tradisi nyadran, syukuran yang dilengkapi dengan doa  merupakan ritual inti. Ini dilakukan sebagai timbal balik mereka atas rejeki yang mereka peroleh selama ini dan harapan atas rejeki yang akan datang.
Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran memiliki kesamaan dengan tradisi craddha yang ada pada masa kerajaan Majapahit. Kesamaannya iakah pada ritual manusia yang berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal, misalnya seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual sesembahan yang pada dasarnya adalah suatu bentuk penghormatan kepada yang sudah meninggal. Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta “sraddha” yang memiliki arti keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno mempunyai kepercayaan bahwa leluhur yang telah meninggal, sebenarnya masih ada dan mempengaruhi kehidupan keturunannya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa benar - benar memperhatikan waktu, hari dan tanggal meninggalnya leluhur.
Ketika Islam datang ke pulau Jawa pada abad ke-13, banyak tradisi Hindu-Buddha yang bercampur dengan ajaran Islam. Percampuran budaya ini semakin kental ketika Walisongo melakukan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman berlangsung sukses dan menghasilkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya ialah tradisi sraddha yang menjadi nyadran. Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran, yang awalnya hanya berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.
Jadi nyadran merupakan sebuah upacara keagamaan yang masih terpengaruh oleh kepercayaan tradisional. Di satu sisi, nyadran merupakan proses berdoa kepada Tuhan, tapi di sisi lain masih dikaitkan dengan kepercayaan tradisional yang menganggap datangnya arwah leluhur pada waktu – waktu tertentu.

2.   Kaitan Nyadran dengan Budaya Islam
Nyadran semula hanya suatu proses penghormatan terhadap arwah leluhur. Biasanya dilakukan pada waktu - waktu tertentu dan leluhur yang dianggap masih hidup itu harus dibuatkan sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan leluhur yang meninggal itu. Kemudian sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan waktu hari dan tanggal meninggalnya leluhur mereka.
Namun, setelah kedatangan Islam di Indonesia, tradisi nyadran ini sedikit berubah. Tradisi ini diakulturasikan dengan kebudayaan Islam. Upacara nyadran mulai diisi dengan berdoa kepada Tuhan dan juga tahlilan. Tradisi nyadran diwujudkan dengan kegiatan keagamaan seperti ziarah ke makam leluhur. Kegiatan dalam ziarah tersebut di antaranya membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan menaburkan bunga. Biasanya para peserta nyadran membawa aneka makanan, seperti: tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak ke lokasi pemakaman. Makanan-makanan ini dibawa dengan menggunakan sejumlah jodang atau yang biasa disebut tandu. Selain itu, mereka juga membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga.
Inilah pentingnya pemeliharaan tradisi nyadran yang tumbuh dalam masyarakat Jawa. Hal ini biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan keadaan hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal. Ini yang akan memberi bekal bagi manusia yang mempelajarinya, atau juga bagi generasi muda yang masih peduli akan kondisi di sekitar mereka, karena tradisi itu tumbuh dari masyarakatnya sendiri.

3.   Nyadran di Yogyakarta
Yogyakarta selalu identik dengan kebudayaan Jawa. Banyak yang menganggap budaya asli Jawa ada di Yogyakarta, hal ini dikarenakan Yogyakarta sebagai suatu wilayah masih menjaga tradisi Jawa hingga sekarang ini. Yogyakarta juga merupakan kelanjutan dari kerajaan Mataram Islam yang pernah menguasai Jawa. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tradisi Jawa pasti akan berhubungan dengan Yogyakarta. Begitu juga dengan tradisi nyadran sebagai rutinitas masyarakat di Jawa.
Nyadran di Yogyakarta biasanya dilakukan pada bulan menjelang bulan puasa ( Sya’ban ). Upacaranya juga hampir sama dengan upacara nyadran di daerah lain, yaitu dengan datang ke pemakaman leluhur. Dalam pembagian tugasnya, perempuan biasanya membawakan sesaji – sesaji dan makanan, sedangkan laki laki mengadakan pengajian di pemakamannya. Hal ini juga ditujukan untuk menghormati arwah para leluhur.
Nyadran bagi masyarakat Yogyakarta merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakatnya di mana rasa gotong - royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah hubungan vertikal - horizontal yang lebih dekat. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat ( sosial ), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari. Rangkaian kegiatan pada tradisi nyadran ini mencerminkan rasa Syukur kepada Tuhan, rasa kekeluargaan antar warga, dan juga melestarikan budaya.
 
C.  Kesimpulan
Nyadran sebagai sebuah ritual yang sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit nyatanya masih tetap bertahan sampai sekarang ini. Kegiatannya semula hanya menaruh sesaji dan bunga – bunga di pemakaman. Namun, setelah kedatangan Islam di Indonesia terutama Jawa, tradisi ini sedikit berubah. Tradisi nyadran diakulturasikan dengan kebudayaan Islam. Dalam upacaranya diisi dengan pembacaan doa  - doa kepada Tuhan dan juga tahlilan. Nyadran di Yogyakarta dilakukan pada bulan Sya’ban, ini dikarenakan dalam Islam bulan Sya’ban merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Upacara ini juga ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan dan juga untuk mempererat silaturahmi antar warga.

1 komentar:

  1. Agama islam masuk melalui proses akulturasi, yakni memasukkan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat tetapi tidak menghilangkan budaya keseharian masyarakat denga pelan-pelan.

    BalasHapus

Isi Blognya ini ....

Tayangan

Cari Blog Ini

Teman-teman