weheartit.com |
Aku datang ke sebuah toko bunga. Melihat-lihat rangkaian
bunga yang disusun rapi di atas lemari kaca dan pot-pot yang tergantung.
Warna-warni beraneka macam rupanya. Cantik sekali. Tetapi, tidak ada satupun
yang menarik hatiku.
Seorang gadis penjaga toko itu menghampiriku. Ia tersenyum
terlebih dahulu, kemudian menyapa.
“Selamat datang, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” sapanya
lembut.
“Saya ingin mencari kado,” jawabku.
“Untuk seseorang? Acara apa?”
“Hanya sekedar ucapan selamat.”
“Ulang tahun?”
“Ya, mungkin seperti itu.”
Ia terlihat bingung dengan jawabanku.
“Laki-laki atau perempuan?”
“Apa bunga juga dirangkai khusus untuk jenis kelamin?”
tanyaku.
“Em.. tidak juga. Tetapi, kalau kita tahu bunga ini
ditujukan untuk siapa, saya akan membuatkan bunga yang sesuai dengannya.”
“Apa kamu tahu apa kesukaannya?”
“Mas yang akan beritahu saya.”
“Saya tidak tahu apa kesukaan saya. Itulah yang membuat saya
bingung. Seharian saya berkeliling untuk mencari sesuatu yang saya suka.” Gadis
penjaga toko tersebut terlihat semakin bingung.
“Kemarin aku membaca sebuah tulisan dari Putu. Ia juga
mencari sesuatu seperti yang saya cari. Saya pikir saya akan menemukannya di
toko bunga. Itu sebabnya saya kemari.”
Gadis itu semakin bertambah bingung. Ia mencoba berpikir
sesuatu. Mungkin mencari cara bagaimana agar saya bisa segera keluar dari
tokonya dan tidak mengganggu lagi. Atau mungkin ia sedang mengingat-ingat
tentang nama yang saya sebutkan tadi, siapa tahu ia pernah bertemu dengan orang
saya sebutkan tadi, atau mungkin orang tersebut pernah datang ke tokonya dan
membeli bunga.
“Bunga apa yang Putu beli?” Sepertinya ia mencoba mencari
tahu tentang orang yang saya katakan tadi.
“Saya tidak tahu. Katanya bunga itu begitu spesial. Harganya
Rp 900.000.”
Gadis itu terperangah mendengar harga yang saya sebutkan.
“Saya tidak pernah menjual bunga dengan harga semahal itu.
Pastilah bunga itu sangat istimewa.”
“Ya. Memang istimewah sekali katanya. Ada puisi juga di
dalamnya.”
“Puisi?”
“Ya. Dari penyair terkenal.”
“Apa itu yang membuatnya mahal?”
“Tidak juga. Bunga itu memang istimewah katanya.”
“Bunga seperti apa yang si …”
“Putu”
“Ya, si Putu. Bunga seperti apa yang ia beli dengan harga
semahal itu.”
“Aku tidak melihatnya. Aku hanya membacanya. Ia bilang bunga
itu begitu istimewah. Ia menyukainya sejak pertama kali ia melihatnya. Ia
berani membeli bunga itu padahal sebenarnya bunga itu tidak dijual. Ia juga
mendapat tanda tangan dari penjualnya, seorang gadis cantik juga. Berikut
dengan puisi dari penyair terkenal yang ia tulis.”
Gadis itu semakin bingung. Tetapi, tidak ada kekesalan dalam
wajahnya. Gadis yang sabar, kataku dalam hati.
“Mas tadi bilang kalau Mas tahu kalau Putu membeli bunga
dengan harga Rp 900.000 dari membaca? Membaca apa?”
“Cerpen.”
“Cerpen?”
“Ya. Apa kamu tidak tahu cerpen?”
Ia tersenyum. Seperti mengingat sesuatu.
“Saya baru ingat. Mungkin yang Mas maksud Putu adalah Putu
Wijaya. Dan cerpen yang Mas maksud adalah Bersiap
Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata. Puisi dari penyair terkenal itu adalah
Goenawan Mohammad. Betul kah?”
“Ya, betul.”
Ia tersenyum lagi. Aku baru menyadari kalau gadis penjaga
toko ini senyumnya manis sekali. Mungkin semanis senyum gadis penjual bunga
yang ditemui Putu.
“Kenapa Mas ingin mencari bunga seperti yang ada dalam
cerpen itu?”
“Sebenarnya aku tidak ingin mencari bunga. Aku ingin mencari
kado.”
“Untuk Mas sendiri?” ia menebak.
“Ya. Untukku.”
“Mas berulang tahun hari ini?”
“Tidak. Ulang tahunku sudah lewat jauh.”
“Lantas?”
“Aku hanya ingin memberi sesuatu saja. Dan kupikir, kado
adalah yang paling bagus.”
“Mas ingin memberi kado bunga seharga Rp 900.000 untuk diri
Mas sendiri?”
“Tidak. Aku tidak punya uang sebanyak itu.”
Gadis itu masih sabar. Ia justru tersenyum. Sudah lebih dari
lima kali ia tersenyum selama bertemu denganku siang ini. Aku mulai menyukai
senyumnya.
“Sepertinya aku sudah menemukan kado yang pas untukku,”
kataku.
“O, ya? Apa itu?”
“Yah. Senyummu. Aku suka dengan senyummu.”
Gadis itu tersipu.
“Aku sekarang akan pulang, karena aku telah menemukan kado
terbaik untukku hari ini. Terima kasih.”
Aku kemudian keluar dari tokonya. Aku tahu, ia melihatku
dari depan pintu tokonya.
07 Desember 2011
Jo, ada apa dengan cerpen, puisi dan dua nama itu? kemarin kami baru ngebahas cerpen putu wijaya yang isinya menyindir Gunawan muhammad -gagasan-
BalasHapusiya po? emang kalian ngebahas apaan? hihi, kasih info donk, ini kemarin kita bahas di sosiologi sastra nduk,
BalasHapusdesta : gapapa.. cuma terinspirasi aja.. cerpennya bagus. pas banget.. hehehehe
BalasHapusihhh, aku suka banget sama cerpen Putu Wijaya yang itu. :)
BalasHapustapi, cerpen kamu bagus.
I'a : jadi, lebih bagus mana cerpenku sama punya dia? haha.. 11 12 lah ya..
BalasHapushahaha gokil endingnya!cu cook buat gombalin cewek ini mah :D
BalasHapushaha
BalasHapusgak bisa dibandingin.
setiap tulisan punya nyawa masing masing yang gak bisa ditemukan di tulisan lain mana pun. #sotoyyyy
:-P
april : hahaha.. boleh lah.. tp bukan cerpen gombal lho..
BalasHapusI'a : siipp lah.. ya emang tiap tulisan punya nyawanya tersendiri, dan punya cara tersendiri utk menyampaikan maksudnya..
BalasHapus