Foto dari google.co.id |
Duduk di tepian trotoar sambil memandangi jalanan yang selalu padat dengan kendaraan yang lalu lalang menjadi kegiatanku setiap sore akhir-akhir ini. Sesekali kameraku membidik objek menarik yang kulihat di sekitar tempatku duduk. Matahari sore di sini terasa berbeda dari tempat lain, setidaknya beberapa tempat yang pernah kukunjungi. Warna keemasan matahari yang hendak terbenam jatuh di atas dedaunan yang berwarna abu-abu karena tertutup debu kendaraan, dan tertimpa kilatan kendaraan bermotor yang berwarna-warni. Dari tempatku duduk di sini adalah tempat yang paling tepat untuk melihat matahari terbenam dengan bulatan yang sempurna. Aku punya beberapa foto matahari berwarna jingga kekuningan dengan lingkaran bulat sempurna bersembungi di sebalik pepohonan di ujung-ujung jalan.
Tetapi sore ini berbeda. Ada sesuatu yang sama menariknya dengan matahari sore. Seorang gadis yang duduk di atas sebuah bangku di pinggir jalan tidak jauh dari tempatku duduk. Ia tidak seperti sedang menunggu seseorang. Sedari tadi ia hanya duduk di sana. Tanpa ia sadari, beberapa kali aku membidikkan kameraku ke arahnya. Aku seperti seorang fotografer yang sedang memoto seorang model cantik. Wajah putih dengan rambut lurus sebahu berpadu dengan warna keemasan dari matahari sore. Keren sekali.
Ingin rasanya menghampirinya, kemudian berkenalan saling
bertanya nama. Siapa tahu nantinya bisa jadi teman dekat. Tapi jika nanti
ternyata ada laki-laki yang datang dan mengaku sebagai pacarnya, kemudian
menghajarku karena ia mengira aku sudah menganggu kekasihnya, bisa gawat
ceritanya. Ah, lebih baik kuurungkan saja niatku untuk berkenalan dengannya.
Lebih baik duduk di sini seraya memandangi wajahnya yang tersapu cahaya
kemerahan senja. Ya, kurasa itu lebih baik.
Tetapi, sepertinya tidak ada salahnya hanya sekedar berkenalan. Jikapun nanti ada laki-laki yang datang dan mengaku sebagai pacarnya, lalu ingin menghajarku karena dikira telah mengganggu kekasihnya, hadapi saja. Toh, aku kan juga laki-laki, kenapa harus takut?
Aku bangkit dari dudukku, berjalan perlahan ke arahnya, kemudian meminta izin untuk duduk di sebelahnya.
“Ehm.. boleh duduk?” kataku halus.
Ia terlihat sedikit kaget dengan kehadiranku. Lalu
tersenyum, “Silakan,” jawabnya.
“Apa aku mengganggu?”
“Ehm.. nggak kok.” Tersenyum.
“Kalau boleh tahu, kamu sedang apa di sini? Dari tadi aku perhatikan kamu seperti sedang bingung?”
“Dari tadi kamu memperhatikan aku ya?”
Aku tersenyum salah tingkah mendengar pernyataannya.
“Nggak apa-apa kok. Aku cuma lagi pengen menikmati waktu sore aja. Kalau kamu sedang apa di pinggir jalan seperti ini? Seperti gelandangan saja. ” ujarnya sambil tersenyum.
“Eh, enak saja gelandangan. Mana ada gelandangan pakaiannya keren seperti ini, hehehe.”
“Iya, cuma bercanda kok.” Ia tersenyum lagi. Tiba-tiba seperti ada angin yang berhembus menyentuh wajahku lembut, dan waktu seakan berjalan jauh lebih lambat.
“Kamu sering ke sini ya?”
“Iya, kok tahu?” tanyaku penasaran.
“Aku sering lewat sekitar sini. Aku juga sering liat kamu duduk di pinggir trotoar sambil nenteng-nenteng kamera. Kamu suka fotografi ya?”
“Wah, ternyata kamu juga sering merhatiin aku ya? Ckck.. nggak nyangka.”
“Yee… apaan. Ke-GR-an kamu nih… ” ia tersipu.
Diam sejenak. Niat semula ingin meminta maaf dan menunjukkan fotonya yang aku ambil diam-diam sepertinya kuurungkan saja. Nanti-nanti saja lah, esok atau lusa ketika kami bertemu lagi. Obrolan kami berlangsung panjang. Kami seakan seperti teman lama yang sudah sekian tahun berpisah kemudian bertemu di sini. Akrab sekali. Sampai-sampai tidak terasa waktu sudah semakin petang. Adzan maghrib pun berkumandang.
“Udah maghrib, kamu nggak pulang?” tanyaku.
“Hmm… bentar lagi. Kamu mau pulang?” ia bertanya balik.
“Nggak juga. Maghrib dulu yuk? Di masjid situ aja,” ajakku.
“Kamu duluan lah. Aku sedang tidak sholat.”
“Ow.. baiklah. ”
Aku beranjak meninggalkannya duduk di trotoar jalan. Waktu maghrib, mega merah semakin terang terlihat di sudut bumi barat. Gerbang menuju malam, pergantian penguasa langit. Di tempat-tempat tertentu, melihat mega merah di waktu maghrib seperti ini menjadi moment yang tidak bisa di lewatkan begitu saja. Aku suka senja. Aku suka waktu maghrib. Karena pada saat ini segala keindahan alam seakan terpancar dengan sangat menakjubkan. Dan pada waktu ini pula, gerbang kematian di buka.
***
Hari semakin gelap. Mega merah tak lagi tampak. Lampu-lampu jalanan dan kendaraan yang berlalu lalang seperti menggantikan peran bintang dan bulan ketika malam. Mereka saling berebut untuk menerangi bumi. Dan akhirnya, bulan dan bintang-bintang itu kalah, atau mungkin malu untuk menunjukkan sinarnya kepada makhluk bumi. Tidak ada bintang kulihat malam ini. Menurut tanggal, malam ini seharusnya bulan sedang purnama. Tetapi, awan di atas bergumul menutupi bulan yang ingin bercengkrama kepada kami. Entah darimana datangnya awan-awan itu. Padahal sore tadi, langit terlihat begitu cerah dan terang. Tidak ada awan tebal seperti malam ini.
Aku hampir lupa meninggalkan dia sendirian. Dia? Ah, iya. Aku lupa menanyakan siapa namanya. Mudah-mudahan saja ia masih di sana. Langkahku sedikit kupercepat menyusuri trotoar. Tetapi tidak bisa. Jalanan ini sekarang ramai oleh orang-orang yang berjalan-jalan di kota. Kebanyakan dari mereka adalah muda-mudi yang berjalan saling bergandengan tangan. Malam apa ini? Aku lupa, malam ini malam minggu. Pantas saja banyak anak muda yang jalan-jalan di sini. Ada rasa iri melihat mereka berjalan bergandengan tangan mesra dengan pasangannya. Aku kapan ya bisa seperti mereka?
Eh, kan ada dia? Mungkin saja dia mau aku ajak jalan-jalan di sekitar kota ini. Mumpung ini malam minggu. Tanpa sadar, aku senyam-senyum sendiri sepanjang jalan. Beberapa orang memperhatikanku. Mungkin aku dikira orang yang kurang waras karena senyum-senyum sendirian.
Khayalanku untuk mengajaknya jalan di sekitar kota malam ini sepertinya harus aku batalkan, karena dia tidak lagi ada di tempat kami bertemu tadi. Entah dimana ia saat ini. Mungkin ia merasa sebal karena kutinggal terlalu lama. Mungkin juga ia sudah pulang ke rumah. Atau mungkin ada lelaki yang mengaku sebagai pacaranya datang dan mengajaknya jalan-jalan di sekitar kota ini. Mungkin saja.
Sudah nasibnya menjadi jomblo. Apa yang salah denganku. Setiap kali mendekati seorang gadis, selalu saja kandas di tengah jalan. Apa mereka takut dengan tampangku yang semerawutan ya? Rambut ikal bergelombang pasang bergulung-gulung, wajah bulat bersih tanpa jerawat, kulit sawo matang. Tidak buruk-buruk amat lah. Malahan ada banyak yang lebih semerawut lagi dibanding aku tapi punya pacar, dan cantik pula. Ah, aku tahu. Ada satu yang aku tidak punya. Motor. Sejelek apapun tampang cowok, kalau jalan-jalan dengan motor bagus, pasti semua ngelirik. Aku ingat dengan cowok yang tampangnya tidak karuan beberapa hari lalu, tetapi punya pacar yang cantik nian. Ia memang punya motor yang bagus, kelas menengah atas. Anak bupati mungkin dia. Pantas sajalah cewek itu mau.
Hmm… Apa seperti itu kah tabiat cewek sekarang yang tidak lagi memandang cowok apa adanya, tetapi apa adanya si cowok. Kalau memang semua cewek seperti itu, alamat jadi jomblo lapuk seumur hidup nih. Nasib nasib…
*** bersambung ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar