Pada tahun 1860, Golongan Liberal di Belanda di bawah pemerintahan reaksioner perlahan-lahan membangun sebuah kebijakan bagi koloni yang sifatnya konstruktif. Hal inilah yang menjadikan Liberalisme tidak lagi hanya sebuah gerakan semata, tetapi telah menjadi sebuah kekuatan baru yang menyamai kaum Konservatif di Belanda. Menjelang tahun 1870, wakil-wakil dari golongan liberal mulai mendominasi di Eerste Kamer maupun Twede Kamer di Belanda. Mereka mengecam kebijakan pemerintah Belanda mengenai Sistem Tanam Wajib (Cultuur Stelsel). Mereka menuntut diadaknnya suatu pembaharuan yang sifatnya ‘liberal’. Selain itu, mereka juga mengkritik kebijakan koloni dalam bentuk novel, yaitu Max Havelaar yang ditulis Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli dan sebuah pamflet Sugar Contract oleh Van de Putte.
Golongan Liberal menganggap kebijakan itu sebagai Dwang Stelsel/Tanam Paksa, sebab rakyat tidak dijadikan aktor ekonomi melainkan hanya sebagai pelaksana dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah ditentukan sebelumnya. Pihak yang diuntungkan oleh sistem ini hanyalah para pegawai pemerintah, sedangkan rakyat bumiputra tetap miskin. Oleh karena itulah, keterlibatan pemerintah dalam bidang ekonomi tidak akan menciptakan kesejahteraan bagi penduduk, melainkan sebaliknya. Hal ini terbukti dengan banyaknya praktek korupsi yang dilakukan para pejabat pemerintah, sedangkan penduduk di Cirebon, Purwodadi, Grobogan, Tegal, dan Demak mengalami kelaparan yang puncaknya menewaskan ratusan ribu penduduk pribumi.
Golongan Liberal menuntut dewan Belanda untuk membuka seluas-luasnya modal asing yang masuk ke Hindia Belanda dan menginginkan eksploitasi dilakukan oleh pihak-pihak swasta. Sedangkan tugas pemerintah hanyalah memberi perlindungan bagi perusahaan swasta dan menyiapkan segala fasilitas dan sarana-prasarana bagi berlangsungnya perusahaan-perushaan tersebut. Untuk memenuhi segala sesuatunya, pemerintah dapat menarik pajak dari para usahawan tersebut. Secara teori, kebijakan dengan menggunakan sistem liberal dapat menjamin usaha swasta bagi semua orang dan pada waktunya dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh pelaku ekonomi.
Para pemikir Liberal ini menggunakan teori dari Ricardian-Smithtian bahwa pasar selalu mengacu pada proses keselarasan berbagai kepentingan ekonomi antara individu (konsumen, perusahaan atau usahawan individual) dan bangsa. Para individu-individu ekonomi ini selalu melakukan perhitungan-perhitungan untuk mendapatkan kepentingan yang maksimal dan melakukan transaksi yang sifatnya menguntungkan sehingga seluruh individu dalam masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan. Sedangkan pemerintah perlu dibatasi kewenangannya supaya perdagangan dapat memberikan keuntungan tertinggi. Pemerintah sebaiknya menciptakan hukum yang sifatnya dapat melindungi dan menjaga pasar agar berjalan baik.
Hasil dari perdebatan di negeri Belanda menghasilkan kebijakan tentang dihapuskannya sistem kultur sedikit demi sedikit. Penghapusan dimulai dari tanaman yang dirasa mendatangkan keuntungan paling sedikit, mulai dari lada tahun 1862, kopi di tahun 1864, disusul teh, nila dan kayu manis pada tahun 1865 dan tembakau tahun 1866.
B. Zaman Liberalisme
Pada tahun 1870, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengumumkan bahwa Hindia Belanda terbuka bagi masuknya modal asing. Pemerintah juga memberlakukan Undang-undang Agraria, yang bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi sang pemilik tanah dengan memberikan sertifikat. Modal asing dapat ditanamkan langsung pada perusahaan-perusahaan perkebunan atau ditanamkan lewat pemerintah pusat yang ada di Jakarta.
Undang-undang Agraria juga menyatakan bahwa tanah-tanah “tak bertuan” atau tanah yang tidak digarap penduduk (bera) diambil alih oleh pemerintah/negara. Hal ini menimbulkan permasalahan, sebab tanah-tanah yang oleh sebagian penduduk di suatu wilayah dianggap tanah adat, tidak memiliki bukti-bukti tertulis tentang kepemilikan. Kebijakan ini sangatlah merugikan penduduk karena tanah yang diakui oleh pemerintah hanyalah sedikit. Undang-undang ini hanyalah alat untuk melegalkan proses eksploitasi penduduk atas tanahnya. Dalam Undang-Undang Gula (Suiker Wet) ditetapkan, bahwa tebu tidak tidak boleh diuangkut ke luar Indonesia tetapi harus diproses didalam negeri. Pabrik gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap dan diambil alih oleh pihak swasta. Pihak swasta juga diberi kesempatan yang luas untuk mendirikan pabrik gula baru.
Proses eksploitasi terus berjalan, para pemodal asing mulai mencari tanah sewaan di pelosok-pelosok desa. Tanah-tanah di desa biasanya disewa maksimal 5 hingga 20 tahun, sedangkan tanah negara dapat disewa untuk paling lama 75 tahun. Para usahawan dari Eropa ini memanfaatkan peran kepala desa yang pada saat itu sangat besar kekuasaannya , mulai dari mendapatkan tenaga kerja, pengawasan kerja, dan keamanan perkebunan. Bahkan, lewat kepala desa, satu desa dapat bekerja untuk membangun infrastruktur perusahaan perkebunan.
Pengusaha-pengusaha ini sangat diuntungkan, karena mereka mendapatkan pekerja dalam jumlah banyak dengan upah yang rendah. Selain itu, mereka dapat menentukan sendiri harga tanah tergantung negosiasi dengan kepala desa, karena penduduk mempercayakan kontrak-kontrak kerja dan sewa tanah kepadanya. Terkadang penduduk juga enggan menjual tanahnya pada perkebunan, namun mereka pasrah karena kepala desa atau pemodal asing berusaha memaksa atau mengintimidasi si pemilik tanah untuk menjual tanahnya.
Terbukanya Indonesia bagi swasta asing berakibat munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing di Indonesia seperti perkebunan teh dan kina di Jawa Barat, perkebunan tembakau di Deli, perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan perkebunan karet di Serdang. Selain di bidang perkebunan, juga terjadi penanaman modal di bidang pertambangan batu bara di Umbilin.
Lima belas tahun pertama membuktikan bahwa sistem Liberal tepat dilaksanakan di Hindia Belanda. Perkebunan ini mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1870 hingga 1891. Pada tahun 1860, ekspor yang dilakukan pihak swasta maupun pihak pemerintah sama jumlahnya, namun mulai memasuki tahun 1885 ekspor yang dilakukan pihak swasta meningkat hingga 10 kali lipat dari ekspor pemerintah. Keseluruhan nilai ekspor negara dan swasta pada tahun 1885 ialah dua kali lipat dari nilai ekspor tahun 1860.
Ekspor gula meningkat pesat pada tahun 1885 dengan memproduksi 380.364 ton gula. Lima tahun sesudahnya, nilai ekspor tembakau dan teh naik dari 3,2 juta gulden menjadi 32,3 juta gulden. Apabila kita lihat ke belakang, dua produk panen ini tidak dapat maksimal ketika diproduksi di masa sistem Kultur.
Bahkan eksploitasi timah yang dilakukan di pulau Bangka dan Belitung juga mengalami peningkatan jumlah ekspor. Dengan modal hanya 5 juta gulden, di Belitung dapat mendapat keuntungan sebesar 54 juta gulden. Sedangkan di Bangka pada tahun 1900 saja, produksinya mencapai 10.000 ton. Zaman Liberal ini merupakan zaman dimana eksploitasi yang dilakukan pihak kolonial terhadap sumber-sumber pertanian di Jawa maupun diluar Jawa semakin hebat.
Selain penerapan prinsip ekonomi liberal yang dilakukan pemerintah, juga terdapat beberapa faktor pendorong lain pesatnya produksi tanaman-tanaman ekspor ini. Diantara sebab-sebab yang ada, faktor paling menonjol ialah dibukanya Terusan Suez di wilayah Mesir. Hal ini mengakibatkan semakin pendeknya jarak dan waktu yang ditempuh pelayaran yang dilakukan, sehingga menghemat pengeluaran perusahaan. NHM (Netherland Handel Maschaappij) sebagai sebuah perusahaan pelayaran milik kerajaan Belanda, telah memiliki armada kapal uap sehingga lebih cepat dibanding menggunakan kapal layar. Selain itu, biaya transportasi turun sehingga dapat digunakan untuk membuka lahan baru.
Antara tahun itu juga, jumlah orang sipil yang ada di Jawa pun meningkat drastis. Pada tahun 1853 yang hanya berjumlah 17.285, menjadi 62.477 pada tahun 1900. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pegawai yang dibutuhkan para pengusaha untuk melakukan tugas sehari-hari di perkebunan untuk mengawasi pekerja, bagian administrasi, hingga teknisi-teknisi mesin-mesin perusahaan. Selain itu, juga terjadi perubahan stigma tentang wilayah ‘timur’ di mata orang Belanda sendiri. Orang dari segala tingkat lapisan masyarakat melihat Hindia Belanda sebagai wilayah yang menjanjikan untuk mendapatkan penghidupan yang bagus.
Pemodal dari Belanda pun makin lama makin tertarik untuk berinvestasi di Hindia Belanda. Antara tahun 1860 sampai tahun 1880, muncul perusahaan perdagangan swasta yang mengambil alih peran yang selama ini dilakukan oleh perusahaan pemerintah, seperti Maclaine Watson (telah berdiri sejak 1820), George Wehry (1862), Borneo Sumatra Maatschappij (Borsumij) (1894), mereka bergerak di bidang pelayaran. Selain itu, juga beroperasi bank-bank swasta seperti Nederlandsch-Indisch Escompto Maatschappij (1857), Nederlandsch Indisch Handelsbank (1863), Rotterdamsche Bank (1863), Internationale Credit-en Handels vereeniging Rotterdam (Internatio) (1863), Handels vereeniging Amsterdam (HVA) (1878), dan Koloniale Bank (1881), dan sebuah bank yang terbatas operasinya di Vorstenlanden, Dorrepaalsche Bank (1884), karena aktivitas mereka mendukung dana industri perkebunan, bank-bank tersebut dikenal pula sebagai cultuurbanken.
Pada tahun 1885 terjadi krisis yang berkepanjangan sehingga mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Jawa dan orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Mulai tahun 1870-an, penyakit daun kopi menyerang perkebunan sehingga berdampak pada harga kopi yang jatuh di pasaran dunia. Hal ini disusul juga oleh hama gula yang menyerang perkebunan di Cirebon dan menyebar hingga wilayah Jawa timur pada tahun 1882. Hal itu disusul dengan kejatuhan harga gula yang lebih parah lagi. Di India mulai ditanam gula bit dan tanaman ini membanjiri pasaran Eropa karena harganya lebih murah. Harga gula tidak dapat bersaing sehingga harga gula semakon jatuh hingga harga f. 9 sepikul. Jatuhnya harga di pasaran dunia akhirnya menjadi sebuah krisis berkepanjangan yang sedikit demi sedikit menggerogoti sumber kekayaan Jawa.
C. Keadaan Masyarakat Jawa
Pada masa ini, orang-orang Belanda (pengusaha) merasa diuntungkan akan sistem yang sedang berjalan di Nusantara, Sistem Liberal. Mereka telah memandang Hindia Belanda dari sudut yang berbeda, Hindia Belanda dianggap sebagai sebuah tempat dengan prospek kehidupannya yang mapan. Hal inilah yang mendorong berbagai pengusaha swasta untuk menamkan modalnya di negeri ini. Berbagai perkebunan dan bank-bank perkreditan berdiri, diikuti masuknya migrasi orang-orang Belanda ke Nusantara untuk ‘mengadu nasib’. Perkembangan jumlah penduduk sipil Eropa terlihat pada tahun 1900, dengan jumlah 62.477 di pulau Jawa dan 13.356 di Wilayah Luar Jawa. Sedangkan tahun 1852 saja, penduduknya hanya berkisar 17.285 di Pulau Jawa dan 4832 di Wilayah Luar Jawa. Suatu hal yang menarik disini ialah jumlah orang sipil Eropa yang begitu banyak, hanya sekitar 800 orang yang menjadi pegawai pemerintah. Sedangkan sisanya menjadi pegawai di perusahaan gula atau perkebunan-perkebunan di Jawa maupun di luar Jawa seperti administratur, mandor perkebunan, teknisi mesin-mesin perusahaan ataupun lori. Krisis tahun 1885 mengubah segalanya. banyak orang Eropa yang kaya dan sejahtera kehidupannya mendadak jatuh miskin dan bangkrut.
Keberadaan orang Cina di Nusantara lebih maju dibanding keberadaan orang Eropa. Ketika krisis yang terjadi tahun 1885, pengaruhnya tetap ada bagi bisnis orang-orang Cina, namun tidak begitu menggoyahkan atau bahkan menghancurkan bisnis mereka. Hal ini dikarenakan posisi orang Cina yang berada di tengah-tengah dua golongan yang saling membutuhkan, pribumi dan orang Eropa. Orang Cina benar-benar menjadi perantara di dalam berbagai hal. dalam perdagangan yang dilakukan orang pribumi ke orang Eropa atau sebaliknya. Mereka juga menjadi pemegang tol dan pemegang semua toko opium, pegadaian dan rumah judi. Bisnis inilah yang membuat mereka menjadi golongan menengah yang kaya. Meskipun mereka dalam melakukan perjalanan dikenakan kartu pas, namun hal ini tidak menghalangi bisnis mereka. Orang Cina telah mendapatkan posisi yang jauh lebih kuat pada tahun 1900 ini.
Berbeda dengan dua golongan diatas, golongan pribumi adalah golongan yang satu-satunya dirugikan di bawah sistem Liberal. Survei yang dilakukan van Deventer menyebutkan bahwa jumlah penduduk meningkat pesat, sedangkan tanah garapan untuk memproduksi bahan makanan mulai menyempit. Peningkatan beras jauh di bawah peningkatan jumlah penduduk. Selain itu tanah yang ada tersebut dibagi-bagikan kepada anggota keluarga baru. Hal inilah yang mendorong petani yang tidak lagi memiliki lahan untuk digarap mencari pekerjaan baru sebagai buruh di perkebunan. Mobilitas sosial yang diikuti motif ekonomi ini banyak terjadi pada tahun 1890-an, dan mobilitas ini dipermudah dengan adanya transportasi yang semakin lancar.
Mobilitas dapat terjadi pada semua lapisan sosial di pedesaan. Mereka yang tidak memiliki tanah, memilih bekerja di perkebunan di daerah lain dengan hanya bermodal tenaga dan ketrampilan bercocok tanam secara turun temurun. Mereka ini biasa disebut buruh tetap perkebunan. Sedangkan mereka yang tetap tinggal di desa, memilih pertanian sebagai basis kehidupannya. Mereka bekerja pada petani-petani kaya sebagai buruh tani dengan imbalan upah atau sistem bagi hasil. Kepergian mereka sebagai buruh di perkebunan hanyalah sebagai pekerjaan sampingan, setelah mereka selesai menggarap lahan petani kaya. Mereka ini disebut buruh musiman. Mereka yang disebut buruh tetap/musiman yang berasal dari penduduk sekitar hanya berlaku di Jawa. Sedangkan buruh yang terdapat di daerah Sumatera Timur, banyak berasal dari luar, seperti kuli/buruh Cina, buruh dari penduduk lokal sedikit jumlahnya.
Setelah krisis 1885 posisinya menjadi sangat buruk. Penelitian resmi yang dilakukan menyebutkan bahwa telah terjadi penurunan upah yang besar. Dari survei van Deventer memperlihatkan bahwa penghasilan rumah tangga rata-rata tidak lebih dari f.80, dari sini uang sebesar f.16 diambil oleh pemerintah untuk pajak. Bahkan seorang pemilik sawah yang disewa tanahnya hanya mendapatkan uang sewa f.25 per bau, jauh dibawah sistem sewa pada tanam paksa, f.42,48 per bau. Akhirnya untuk membayar pajak dan mencukupi kebutuhan, para petani ini berpaling kepada lintah darat yang kebanyakan para haji lokal. Bagi mereka yang tidak sanggup membayar, tanahnya disita sehingga makin banyak orang yang memiliki tanah. Di sisi lain, pada saat yang sama akibat krisis 1885 kebijakan berubah, pupuk kandang diganti dengan pupuk impor, keranjang anyaman rumahan diganti karung goni impor, kereta hewan diganti lori untuk menekan pengeluaran. Hal ini membuat semakin menipisnya lapangan kerja bagi penduduk pribumi yang ada untuk menambah penghasilan mereka.
By: Eightball Rizalldin
Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosoesanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975)
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200 - 2008, (Jakarta: Serambi, 2008)
J.S Furnivall, Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, (Jakarta: Freedom Institute, 2009)
Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995)
Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Peubahan Ekologi di Indonesia, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1983)
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2010)
Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, (Jakarta: Freedom Institute, 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar