Sumber |
Pada titik ini, keputusan untuk kembali ke
rumah semakin besar. Bukan hanya sekedar melegakan orangtua yang sudah sejak
lama ingin aku di rumah, tetapi juga melegakan hati dan pikiran. Sudah lama
orangtua minta agar aku mencari kerja di Medan. Aku paham apa yang orangtuaku mau,
mereka cuma ingin teman sekaligus perawat di saat usia mereka yang sudah
semakin senja. Dua orang saudaraku yang tertua sudah menikah dan tinggal di
rumah masing-masing bersama keluarga mereka. Wajar jika orangtua ingin aku
tinggal bersama mereka, selain itu juga karena aku anak bungsu.
Sudah entah berapa kali aku coba ngomong kalau
aku ingin mencari kerja di Jawa. Bukan apa-apa, aku hanya ingin mencari tempat
baru saja. Toh, lagi pula Langkat adalah kampung halamanku, di halaman rumah
itu juga ari-ariku dikubur. Sudah pasti suatu saat aku akan pulang, karena di
sana rumahku. Di Jawa hanya tempat untuk mencari penghidupan saja. Bapak pernah
bilang, “Dimana pun kita berada, kita berada di atas bumi Allah. Dan, rizki
Allah tersebar di atas bumi-Nya.” Aku hanya ingin membuktikan kata-kata itu.
Tetapi entah kenapa orangtuaku kemudian mempertegas maksudnya, “Kalau di sini
juga gak masalah kan?”
Aku masih bertahan dengan pilihanku dengan
terus berusaha meyakinkan orangtua kalau aku bisa bahagia di sini, dan
membahagiakan orangtua meskipun tidak tinggal bersama mereka. Untuk meyakinkan
itu, banyak hal yang sudah aku lakukan agar aku bisa mandiri meskipun jauh dari
orang tua. Sejak SMA aku sudah mencoba parttime
di sebagai reporter dan editor di majalah pelajar, berjualan buku di
sekolah, ketika kuliah pun aku mencoba jualan kaos, kerja di warung makan
sebagai front liner, dan lainnya.
Selalu berusaha menggunakan uang sendiri jika ingin membeli barang yang
diinginkan. Ketika semester pertengahan kuliah, Aku berhasil meyakinkan
orangtua kalau aku bisa mandiri di sini. Mereka juga mengakuinya.
Menjelang akhir masa kuliahku, ibuku mulai
sakit-sakitan. Menurut dokter, beliau mengindap penyakit diabetes. Bapak
meminta ibu untuk tidak lagi menjahit sehingga saat ini ibuku lebih banyak
berdiam diri di rumah. Selain itu, muncul berbagai masalah di keluarga. Setiap
ada masalah atau beban pikiran, tekanan darah dan kadar gula ibuku meningkat.
Di saat itu juga aku semakin mengkhawatirkan keadaan ibuku. Namun, beliau masih
cukup kuat. Akhir agustus 2013 kemarin beliau bahkan sempat datang ke Jogja
bersama kakak dan bulikku untuk menghadiri acara wisudaku, walaupun beliau
ngedrop karena kecapekan jalan-jalan.
Abang dan kakakku sering kali menelpon dan
memintaku untuk bekerja di Medan sambil menjaga orangtua. Mungkin saat ini memang
aku yang bisa diharapkan untuk menjaga mereka karena posisiku masih bujang dan
bisa bergerak bebas, di banding mereka. Aku masih belum sepenuhnya menerima
permintaan mereka, kukatakan kalau aku ingin mencari pekerjaan di sini. Entah
kenapa aku masih bersikeras untuk tetap tinggal di Jogja, waktu sembilan tahun
lebih yang kuhabiskan di sini sudah membuatku merasa nyaman dan jatuh cinta
kepada kota pelajar ini.
Namun, aku memang merasakan gerakku tidak
sebebas dulu ketika SMA. Ketika tidak ada batasan untuk berbuat apa saja yang
aku mau, dimana saja, kapan saja. Aku ikut aktif dalam banyak kegiatan. Tetapi
sekarang tidak lagi bisa seperti itu. Memang orangtuaku mengizinkan aku tinggal
dan mencari kerja di Jogja, tetapi restunya belum sepenuhnya turun. Ketika aku
melakukan sesuatu seperti ada beban yang mengganduli kakiku. Pikiranku bisa
merencakan berbagai hal dengan bebas, tetapi kakiku seperti terpasung sehingga
semua rencana itu tidak bisa berjalan seperti yang aku inginkan. Ternyata
ambisi untuk membahagiakan orangtua dengan taruhan jika dalam waktu tertentu
kamu tidak berhasil maka kamu harus menghapus semua mimpi dan idealismu itu
menjadi beban yang sangat besar. Aku butuh restu penuh agar bisa bergerak bebas
menggapai apa yang aku inginkan. Tidak usah ditanya atau diminta untuk
membahagiakan orangtua, setiap anak pasti ingin membahagiakan orangtuanya
seperti orangtua yang ingin membahagiakan anak-anaknya. Namun, sebagian besar
kita masih menganggap cara masing-masing adalah yang paling baik; orang tua
menganggap caranya adalah yang lebih baik, begitu juga sang anak. Begitu juga
denganku, walaupun sampai saat ini aku belum memberikan prestasi simbolik yang
membuat orangtua bangga seperti anak-anak lain yang mempersembahkan medali dan
tropi juara, bukan berarti aku tidak ingin. Aku selalu ingin membahagiakan
mereka. Aku ingin membahagiakan mereka dengan cara yang aku bisa. Setidaknya
jika tropi dan piala tidak bisa kuberikan, aku tidak ingin menambah kekecewaan
mereka kepadaku.
Sepertinya sekarang sudah waktunya aku untuk
pulang. Jika terus kupaksakan ambisiku juga nantinya hanya membuatku rugi
sendiri. Jika aku tetap bertahan dengan idealismeku, aku akan terbebani dengan
dua hal, permintaan orangtua yang ingin aku tinggal bersama mereka dan
keinginanku untuk bekerja di Jogja. Dan, kedua hal itu akan berjalan terus dan
menghambat banyak hal. Namun, jika aku pulang, aku “hanya” akan terbebani oleh
ambisiku sendiri yang tidak kesampaian. Untuk hal itu, aku yakin seiring
berjalannya waktu, semuanya akan berjalan dengan baik. Setiap permulaan memang
butuh penyesuaian.
Akan tetapi, aku bisa mengatakan bahwa
keputusanku untuk pulang bukanlah menyerah, ini hanya strategi improvisasi;
menyesuaikan rencana jangka panjangku dalam kondisi dan lingkungan yang baru. Berusaha
untuk tetap dan selalu berpikir positif bahwa selalu ada hal baik di setiap
keadaan sesulit apapun. Nikmati aja apa yang ada, Tuhan akan mencatatnya
sebagai salah satu bentuk rasa syukurmu terhadap keadaan yang Dia berikan.
Postinganmu, membuatku terharu. Terimakasih ya sudah menjadi teman selama di Jogja, bukankah kita bersama memperjuangkan skripsi dan wisuda bersama. Aku setuju, rizki ada dimanapun, dan dimanapun kamu berada, aku berdoa agar kamu selalu bahagia :)
BalasHapusDuh, postinganmu iki hlo :'(
BalasHapusAura : Duh, lama gak buka blog, baru baca komenmu. Iyaa sama-sama raa.. makasih juga utk semua kebersamaannya yak... semoga kesuksesan juga menyertaimu.
BalasHapusZakia Salsabila : lha kenapa?